Pov Author"Om, turut berduka cita ya, Daf." Sahid menepuk pelan bahu Daffi dan hanya dibalas Daffi dengan anggukan pelan. Asmoro, ayah Daffi baru saja meninggal dunia. Daffi tampak begitu terpukul dan berduka dengan kepergian Asmoro yang cukup mendadak. Sahid bermaksud untuk menyapa Juwita juga, tapi urung, karena Juwita masih menangis di pelukan Friska yang juga baru saja datang bersama keluarganya. "Iya, Om, makasi udah datang. Maafin papa selama ini kalau banyak menyusahkan dan banyak berhutang budi sama, Om.""Kau itu bicara apa? Asmoro itu sudah kuanggap sebagai saudaraku. Sesama saudara tentu saja harus saling bantu. Oh, ya, di mana Riana?"Mendengar nama Riana disebut, Juwita langsung menjauh dari Friska. Ia beringsut mendekati Sahid. "Dia tadi di belakang, Om. Daffi minta dia mengurus hidangan untuk tamu saja.""Sahid, buat apa, si, kau repot-repot bertanya tentang perempuan itu? Biar saja dia di belakang. Di sana memang tempat yang pantas untuknya."Sahid menggeleng pelan m
Pov Author**Beberapa minggu setelah pemakaman Asmoro, Daffi berkunjung ke restoran milik Friska. Ia memang rutin datang ke sana untuk makan siang di sela waktu istirahat kantor. Namun, di sana ia melihat ada mamanya dan seorang pria muda sedang berbicara serius pada Friska. Sayangnya, ia tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. "Ma, udah lama?" Daffi muncul dari arah yang membelakangi Juwita dan Friska, hingga membuat sebagian air mineral di dalam mulut Juwita tersembur keluar. "Eh, Daf. Gak kok, mama tadi abis belanja, trus kebetulan lewat sini. Ya udah mama mampir aja." Juwita tampak salah tingkah seperti baru saja tertangkap basah karena melakukan sesuatu yang buruk. "Daf, udah lama? Kok, ga, nelpon dulu kalau mau ke sini?" Friska berdiri dan berusaha mengalihkan perhatian Daffi. Ia lalu mencium pipi pria yang dicintainya itu. "Baru sampe. Biasa, aku mau makan siang di sini, kangen sama masakan kamu," ujar Daffi sambil tersenyum hangat. "Kalau gitu, mama pulang
Pov Author**Setelah mendapat informasi dari Sahid dan Rafif kalau Frans, musuh lamanya dulu, sudah bebas, Daffi berinisiatif untuk menghubunginya lebih dulu. Ia mencari tahu nomor terbaru Frans dari lembaga pemasyarakatan tempat Frans pernah ditahan dulu. Untungnya petugas di sana mau bekerja sama sesuai dengan harapan Daffi. "Frans, bisa kita ketemu? Dari Daffi anak SMA Budi Luhur. Mantan anak motor yang dulu sering ngadu balapan sama lo."Centang dua dan beberapa detik kemudian berubah warna menjadi centang biru. "Ok. Di mana?"Balasan dari Frans datang sesaat kemudian.***Daffi nampak terkejut melihat penampilan Frans saat ini. Ia terlihat lebih .... religius. Tidak ada lagi jambang di kedua pipinya. Rambutnya yang dulu selalu klimis sudah dipangkas habis. Sangat berbeda dengan Frans yang dulu ia kenal saat masih SMA. "Masih inget, gue?" tanya Daffi dengan sikap yang waspada sejak tadi. Biar bagaimanapun di antara mereka ada masalah yang belum terselesaikan hingga kini. Frans
Pov AuthorMata Friska yang semula redup sudah berbinar kembali. "Makasi, ya, Ma," ujar Friska seraya menghambur ke pelukan Santi. ***Keesokan harinya Santi menghubungi Juwita untuk membicarakan masalah Friska. "Aduh, gila, kamu, San! Mana mungkin Daffi mau menikah dengan Friska kalau dia tau Friska lagi hamil?""Terserah. Pokoknya aku ga mau tau, tugas kamulah selanjutnya untuk meyakinkan anakmu itu, apapun caranya! " Santi menatap Juwita dengan sorot mata mengancam. "Aku mau Friska dan Daffi segera menikah."Juwita bingung tak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi ia ingin menjadikan Friska, anak yang dulu pernah diasuhnya saat kecil, sebagai menantunya, tapi ia juga tidak mau menipu Daffi.Santi dan Juwita adalah sahabat baik yang sama-sama berasal dari daerah Karawang. Santi lebih dulu berangkat ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Di Jakarta, lah, ia bertemu dengan Indra dan kemudian menikah. Beberapa tahun kemudian, Juwita yang juga ingin mengubah nasib di Jakarta, mengikuti
Setelah mendapat informasi dari Sahid dan Rafif kalau Frans, musuh lamanya dulu, sudah bebas, Daffi berinisiatif untuk menghubunginya lebih dulu. Ia mencari tahu nomor terbaru Frans dari lembaga pemasyarakatan tempat Frans pernah ditahan dulu. Untungnya petugas di sana mau bekerja sama sesuai dengan harapan Daffi. "Frans, bisa kita ketemu? Dari Daffi anak SMA Budi Luhur. Mantan anak motor yang dulu sering ngadu balapan sama lo."Centang dua dan beberapa detik kemudian berubah warna menjadi centang biru. "Ok. Di mana?"Balasan dari Frans datang sesaat kemudian.***Daffi nampak terkejut melihat penampilan Frans saat ini. Ia terlihat lebih .... religius. Tidak ada lagi jambang di kedua pipinya. Rambutnya yang dulu selalu klimis sudah dipangkas habis. Sangat berbeda dengan Frans yang dulu ia kenal saat masih SMA. "Masih inget, gue?" tanya Daffi dengan sikap yang waspada sejak tadi. Biar bagaimanapun di antara mereka ada masalah yang belum terselesaikan hingga kini. Frans masuk penjara
Pov Author"Oh, jadi dulu dia emang berniat nyelamatin lo karena dia pacar lo? Salut gue ama tu cewek. Hebat. Ga ada takutnya.""Ya, bukan gitu. Dulu gue ga kenal siapa dia. Gue juga baru tau kalau dia yang udah nolongin gue waktu itu beberapa bulan belakangan ini. Bokap cuma nyuruh gue nikah sama dia tanpa ngasi tau apapun, dan lo bener, Frans, dia emang cewek hebat.""Gimana kondisi mukanya? Masih rusak atau sudah dioperasi? "Masih kayak dulu. Gue sengaja minta dia untuk ga operasi biar gue bisa inget terus peristiwa waktu dia nyelamatin gue dulu, yang bikin gue makin cinta sama dia.""Mau muntah gue jadinya." Frans tertawa lagi, begitu pula Daffi. Daffi lalu menceritakan pada Frans kalau bertepatan dengan bebasnya Frans dari penjara, Riana diculik. Daffi bermaksud mencari tahu ada hubungan apa antara Frans dengan peristiwa penculikan Riana. "Gue ga tau apa-apa soal itu, Bro. Sumpah! Abis keluar dari penjara, gue langsung ke masjid dan balik ke rumah om gue. Hmm, ada yang aneh. Ken
Pov Author“Jangan anggap remeh dia, Frans. Kita tetep harus hati-hati.”“Iya. Gue jamin bisa bikin dia percaya sama gue.”“Baguslah kalau gitu. Oh, iya, jangan lupa janji kita ntar siang di tempat biasa."“Sip. Udah, ya, gue tutup dulu, takut nanti si Daffi curiga.”“Kenapa dia nyebut-nyebut nama gue?” gumam Daffi yang hanya dapat terdengar olehnya.Melihat Frans akan memutus panggilan, Daffi segera bergegas menuju ke posisinya semula. “Udah gue duga, dia pasti nyembunyiin sesuatu,” pikirnya lagi.“Sorry, lama. Biasa bokap, suka masih nganggap gue anak kecil.”“Santai. Emang bokap lo sekarang di mana, Frans?” tanya Daffi mencoba bersikap biasa seakan ia tidak mengetahui apa-apa.“Bokap sama Nyokap masih di Jambi,” jawab Frans sambil melihat arloji di pergelangan tangan kanan.Daffi dan Frans akhirnya tidak meneruskan pembicaraan mereka. Frans bilang ada urusan penting yang mendadak harus segera ia selesaikan.“Ok, Frans. Kalau lo ada info soal yang tadi gue tanyain, lo contact gue, ya
"Bung ...." Rafif bicara lagi. "Kalau, lo, ga, ngakuin Riana sebagai istri, gue siap kapan aja menerimanya di hidup gue. Gue, ga, peduli apapun kondisinya, gue cuma mau dia."Wajah Mas Daffi mulai memerah, lalu ia membuka mulutnya, siap untuk berkata sesuatu. Namun, bukannya berkata sesuatu, ia malah tertawa lepas, hingga membuatku merasa heran. "Lo, mau bawa pergi dia dari sisi gue?" Mas Daffi menunjukku dengan dagu. "Masalahnya, keputusannya bukan sama gue, sih. Coba lo tanya Riana, mau ga dia sama, Lo? Orang dari kemaren dia nempelin gue mulu. Padahal udah gue bilang kalau gue ga inget dia," ujar Mas Daffi dengan sombongnya sambil melipat kedua tangan. Refleks, kulepaskan tanganku yang masih berada dalam genggaman tangan Rafif. Lalu perlahan mendekat kepada Mas Daffi. Mas Daffi sontak tertawa lagi. "Tuh, kan, dia ngedeketin gue lagi. So sorry, Bro," ejek Mas Daffi. "Ok, kita buktiin aja. Mungkin ga sekarang, tapi suatu hari nanti, gue akan bawa dia pergi jauh dari, Lo!" Raut waj