"Eh, Ibu ngapain di sini? Papa, papaa!" pekik gadis kecil itu seakan baru saja melihat sosok yang sangat menyeramkan. Dia masih terus memekik sampai hampir menangis. Ya Allah, Liana. ***Siang itu saat sedang membersihkan kamar Liana, tanpa sengaja aku menemukan undangan untuk orang tua dalam rangka penyerahan piagam bagi peraih tiga besar terbaik di kelas. "Lianaku ternyata menjadi peringkat kedua di kelasnya," ucapku dengan mata yang mulai berkabut. Kubaca lagi selembar kertas putih yang tertoreh nama putriku di atasnya secara perlahan. Acara penyerahan piagam akan dilaksanakan Hari Sabtu besok. Bersamaan dengan pengambilan raport semester pertama. "Ah, tapi, mana mungkin Liana dan Mas Daffi mau mengajakku. Sampai sekarang saja mereka tidak membahas mengenai ini, padahal acaranya tinggal besok," gumamku lebih kepada diri sendiri. Mereka lupa atau memang sengaja tidak memberitahuku? Selama ini aku memang tidak pernah mengetahui apapun tentang kegiatan sekolah Liana, karena semua d
Saat sedang membantu Bik Sumi mencuci piring di dapur, tanpa sengaja kujatuhkan piring hingga hancur berantakan. Suara pecahannya sedikit membuatku tersadar akan lamunan. "Ya Allah, Ibu nggak papa? Udah sini biar saya aja yang nerusin, Bu.""Ga papa, Bik. Biar saya lanjutin aja, tanggung tinggal dikit lagi, kok.""Ibu kenapa? Kok kayak lagi ada yang dipikirin gitu?" tanya Bik Sumi. Sepertinya ia memperhatikan kegusaranku sedari tadi. "Hari ini Liana terima raport, Bik. Dan akan ada penyerahan piagam juga karena dia berhasil meraih peringkat kedua di kelasnya. Saya ingin sekali datang untuk melihatnya menerima piagam," ceritaku pada akhirnya kepada Bik Sumi. "Ya udah, ibu ke sana aja. Ibu, kan, orang tuanya Non Liana, pasti diundang.""Iya, Bik. Tapi dia nggak ngomong apa-apa ke saya." "Hmm, kok aneh? Seharusnya, kan, Non Liana bilang ke ibu," ujar Bik Sumi lagi. "Itulah, Bik. Saya tau karena gak sengaja menemukan surat undangannya waktu kemarin lagi membersihkan kamarnya, Bik. Say
Selamat membaca**Kulihat anak yang tadi bicara denganku sudah bergerak menjauh. "Ibu ngapain ke sini, sih?" bentak Liana."Ibu cuma pengen lihat Liana menerima piagam aja, kok, Sayang," jawabku lalu mencoba untuk tersenyum. "Ini ibu juga sudah mau pulang.""Kamu bukan ibuku. Berhenti manggil aku sayang!" Mas Daffi menatapku dengan pandangan setajam keris. Rasa segan hingga membuat tubuhku sedikit gemetar tak kuhiraukan. Tatapanku masih tertuju pada Liana yang memeluk pinggang Friska sambil menangis.Gadis kecil itu hanya menggeleng kencang sambil membenamkan wajah pada tubuh Friska. "Pergi, Bu. Pergi!""Liana dengar ibu! Ibu nggak bermaksud bikin Liana malu. Ibu cuma pengen lihat Liana menerima piagam, itu aja!" ucapku berusaha tegas hingga membuat Mas Daffi dan Friska terdiam. "Tapi Liana nggak mau! Kenapa sih ibu nggak seperti Tante Friska? Liana nggak suka ibu deket-deket sama Liana! Liana nggak suka ibu itu jadi ibunya Liana!"Aku hanya bisa terdiam mendengar pernyataan putrik
"Lo itu Riana, kan?" tanyanya lagi. "Rafif? Kok lo bisa ada di sini?""Kenapa? Lo kaget kalau gue sekarang jadi supir taksi online? Deu, mentang-mentang udah jadi istri orang kaya sms gue ampe nggak dibales."Aku tersenyum hambar. "Istri orang kaya?" ucapku pelan hampir tanpa suara. Tepatnya istri yang tak dianggap sedikitpun, Fif. "Eh, jadi yang kemarin itu lo, Fif?"Rafif mengangguk. "Ri, Lo mau langsung gue anter pulang? Atau mau nemenin gue makan siang dulu?""Langsung pu ....""Temenin gue aja dulu. Udah lama, kan, gue ga ketemu sama lo," ujarnya memangkas kalimatku. Aku tahu dia berusaha membuatku lupa akan tangisku tadi. Sejak dulu, Rafif memang selalu begitu, tak peduli aku sedang sedih seperti apa, ia selalu bisa mengembalikan senyumku seperti semula. Rafif mengajakku untuk makan siang di salah satu restoran fastfood yang ada di tengah kota. Restoran yang berjarak sekitar dua puluh kilometer dari sekolah Liana. Sebelumnya ia memasang mode transit pada aplikasi driver online
"Habis ini Liana mandi, trus istirahat, ya," ucap Daffi setibanya ia di rumah sambil menggendong Liana ke kamarnya. Sebelum memasuki kamar Liana, ia sempat memindai sekeliling tapi merasa sedikit aneh karena tak menemukan kehadiran Riana di sana. Biasanya Riana akan menyambutnya di depan pintu saat ia baru saja memasuki halaman rumah. Namun, Daffi hanya mengangkat bahu berusaha cuek dan berpikir mungkin istrinya itu sudah berada di kamar."Pa, Liana mau di kamar aja, ya, Pa?" pinta gadis kecil itu dengan suara manja. Ia masih merasa kesal dengan kejadian di sekolahnya tadi."Ya sudah, nanti papa suruh Bik Sumi bawain susu coklatnya ke sini. Nanti susunya harus di habiskan, loh, ya.""Iya, Pa."Daffi mencium kening Liana lalu keluar dari sana menuju kamarnya. Namun, lagi-lagi ia tidak bisa menemukan Riana. Setibanya di sana, kondisi kamarnya gelap dan tidak ada siapapun di dalam.***"Bik tolong buatkan susu coklat untuk Liana, ya. Terus tolong bibik antar ke kamarnya.""Baik, Pak."Bar
Hai sahabat, selamat membaca. Semoga suka ya. Ditunggu vote dan komennya, ya, makasi. ***Juwita merasa kesal pada putra suaminya itu. Sejak tadi, sudah berkali-kali Daffi menanyakan pertanyaan tentang kampung asal Riana. "Mama beneran gak tau, Daf! Ayahmu yang membawa wanita itu ke sini, mama gak tau asal usulnya dari mana. Ayahmu cuma bilang kalau Riana perempuan yang baik, istri yang tepat untukmu. Mama cuma tau kalau dia yatim piatu, sisanya mama gak tau! Atau coba kamu tanya Sahid. Waktu itu, kan, Sahid juga yang menikahkan kalian, " jawab Juwita jengkel."Lagian kamu yang tinggal serumah sama dia, masa gak tau apa-apa tentang dia? Memang dia gak pernah cerita tentang keluarganya? Kalian ga pernah ngobrol satu sama lain?"Daffi terdiam. "Gak, Ma. Daffi gak pernah tanya juga. Ga penting. Yah, mama tau, lah, gimana buruknya hubungan kami.""Hubungan buruk dan gak suka, tapi bisa sampai punya anak segala," cibir Juwita."Ma, waktu itu aku terpaksa menggauli dia karena permintaan pa
"Daffi, lagi mikirin apa, si? Kok kelihatannya suntuk banget, ga kayak kamu yang biasanya. Jangan-jangan kamu lagi mikirin istri kamu yang minggat, ya?" tebak Friska saat siang itu mereka sedang berada di restoran miliknya. Daffi yang sedang melamun tersentak kaget saat tiba-tiba saja Friska menyentuh pundaknya. "Terpaksa. Karena Liana aku jadi mikirin ke mana dia pergi," jawab Daffi mencoba berusaha bersikap biasa. "Terus, kalau udah tau, Kamu mau nyusul dia?" Friska bertanya lagi dengan raut wajah yang sedikit ditekuk. "Ya, gak lah. Kamu itu ada-ada aja, Fris. Ngapain juga aku nyusulin orang yang udah kabur." Daffi tertawa getir. "Aku, tu, cuma berpikir, kalau nanti aku mengajukan cerai, surat cerainya mau dikirim ke mana? Riana di mana aja aku ga tau. Udah ah, ga usah bahas wanita itu terus. Mending kita mulai makan aja, ni makanannya udah mulai dingin," sahut Daffi lagi sambil berusaha mengalihkan pembicaraan. Friska masih menatapnya curiga. "Beneran cuma karena itu? Atau ....
"Oke, Sayang. Aku akan urus perceraianku secepatnya," jawab Daffi pada akhirnya. Friska langsung tersenyum puas. ***"Liana, kok, belum bobo?" tanya Daffi pada putrinya sepulangnya ia dari bekerja, dia pergi ke kamar putrinya untuk melihat keadaan Liana. Rupanya anak itu masih belum tertidur padahal ini sudah cukup larut. "Kenapa? Lagi ada yang dipikirin?"Daffi mengusap lembut kepala Liana. Liana tidak langsung menjawab, kepalanya tertunduk. "Kira-kira ibu kemana ya, Pa?" Daffi sedikit memicingkan matanya, "Kenapa? Kok tumben nanyain ibu? Liana mau ketemu ibu? Bukannya Liana sendiri yang mau ibu pergi?""Iya sih, soalnya, kan, malu. Muka ibu nyeremin," jawabnya polos. "Liana cuma belum biasa aja kalau ibu ga ada. Oh ya, Pa, tadi Tante Friska bilang, dia bisa jadi mamanya Liana kalau ibu udah pergi, apa sekarang Tante Friska udah bisa jadi mamanya Liana, Pa?" "Kamu yakin mau Tante Friska jadi pengganti ibu?" "Liana sayang sama Tante Friska, Pa. Liana pengen banget punya mama kayak