Selamat membaca. Semoga suka. ***"Tolonglah aku, Sahid, aku ga tau lagi harus minta tolong kepada siapa selain sama kamu. Anakku hampir mati."Lelaki paruh baya itu terlihat begitu rapuh, wajahnya pias dan gurat halus di dahinya semakin terlihat jelas. Ia berjalan mondar-mandir hingga sol sepatunya yang beradu dengan lantai keramik membuat sebuah irama yang teratur. "Tenang lah, Asmoro. Aku akan melakukan usaha semaksimal mungkin untuk menolongmu. Sekarang kita harus menemukan saksi utama yang Kahfi sebutkan tadi." Lelaki yang dipanggil Sahid itu berusaha menenangkan sosok pria di hadapan. Cerutu di tangan pengacara berusia 30 tahunan itu sudah hampir habis, tapi ia masih terus berusaha membuat bulatan asap dari mulut. "Iya tapi gimana? Tadi, kan, kau dengar sendiri Daffi bilang kalau temannya yang tau kenyataan sebenarnya itu sudah menghilang. Daffi udah ga ada harapan lagi, Hid!""Hei, kau itu kayak Tuhan saja bicara begitu. Harapan itu akan selalu ada selagi kita masih punya Tuh
"Riana, kenapa, lo? Kayak lagi mikir negara, lecek banget tu, muka." Rafif teman sekolahku, menghampiri saat aku sedang duduk sendiri di perpustakaan siang itu. "Lo ga ke kantin?"Aku menggeleng pelan. "Ga laper.""Ngantin, yuk, gue traktir.""Ga usah, Fif, makasi. Gue beneran ga laper.""Ya udah, gue juga ga laper, deh."Bukannya pergi, Rafif malah ikut duduk di sebelahku. "Kasian ni bocah, baru tujuh belas tahun udah kena vonis mati."Mataku langsung mengalihkan pandangan dari buku yang sedang kubaca ke arah surat kabar yang Rafif pegang. Lalu merebutnya dari tangan Rafif. Berita yang menampilkan sebuah foto tentang kasus narkoba seorang anak pengusaha ternama bernama Asmoro Wicaksana. Ini, kan, orang yang kemarin datang ke kantor Om Sahid. "Yeh, main rebut aja, belum juga beres baca.""Dia ini anak temennya Om Sahid. Kasian ya? Padahal dia masih seumuran kita.""Yoi, tapi yang gue denger, si, dia dijebak, Ri.""Kok, lo, tau?""Gue ini kan pergaulannya luas. Jadi ya wajarlah kalau
"Parah tuh, si, Dito, kebanyakan dia makenya ampe oleng gitu motornya," pekik salah satu pemuda berjaket hitam di tengah bisingnya suasana balapan. Hosh. Untung saja aku salah sangka. Dia ternyata mendekati ketiga temannya yang sudah berada di arena balap lebih dulumIa sedikit berteriak mungkin karena tidak mengira kalau ada orang lain di dekat mereka. "Ah, biarin aja. Noh, buktinya dia masih bisa unggul di depan. Yah, kalau lagi apes, palingan dia mati," jawab pemuda bersuara berat."Yoih, setidaknya dia mau beli punya gue, ga sok suci macam si Daffi itu. Sukurin tu anak, gue bikin m**pus!" Kalimat pemuda itu disambut tawa oleh pemuda lain yang berdiri di sekitar mereka. Daffi? Daffi siapa? Apa yang mereka maksud itu anak temannya Om Sahid? Dan barang yang mereka maksud tadi apakah itu narkoba? Aku terus menajamkan telinga sambil terus melihat ke arah balapan yang semakin malam semakin berlangsung ramai. "Malam ini, lo, bawa berapa? Gue minta secuil, ya, ntar." Suara berat itu t
"Kenapa ga gabung ke sana aja?" Ia adalah pemuda yang semalam juga ada di lokasi balapan. Suaranya mendadak mengagetkanku hingga membuat sebagian cokelat dalam mulut tersembur ke luar. Entah kapan dia tiba-tiba sudah ada di belakangku. Belum sempat aku menjawab, dia sudah berteriak. "Frans, ada yang mau gabung, ni," pekiknya sambil menunjukku. Pemuda yang bernama Frans mendadak bangkit dan berjalan ke arahku. Dia memindaiku dengan sorot mata dinginnya. "Cantik juga, lo nemu di mana?""Dia dari tadi ngeliatin ke arah lo mulu."Aku berusaha tersenyum seraya meredam degup jantung yang semakin bertalu. "Ha-hai," ucapku sambil melambaikan tangan ke arah Frans. Dia langsung duduk di depanku, masih sambil menatapku lekat. "Kayaknya gue pernah ngeliat lo, tapi di mana, ya?""Alah, Frans. Basi, tau! Setiap baru ketemu cewek kalimat lo begitu mulu."Frans tertawa. "Heh, kenapa jam segini lo baru dateng? Abis ngapain, lo?" tanya Frans pada temannya yang masih berdiri di belakangku. "Biasa lah
Setelah keluar dari rumah Mas Daffi hari itu, aku segera menemui Om Sahid di kantornya. Tentu saja sebelum menuju ke sana, aku memastikan lebih dulu kalau Om Sahid sedang berada di sana. Maklum, dia, kan orang sibuk. "Jadi, akhirnya kau menyerah juga, Ri?" tanya Om Sahid lalu menyesap pelan kopi hitam favoritnya. Aroma moccanya yang tajam seketika mampu menenangkan pikiranku yang saat itu sedang kalut."Riana sudah berusaha, Om. Maaf." Kepalaku tertunduk semakin dalam sambil berusaha menyembunyikan air mata yang kembali menyeruak ke luar. Ah, sangat menyebalkan sekali kalau sampai Om Sahid melihatku cengeng seperti ini.Om Sahid mendengkus kasar. "Keterlaluan memang si Daffi dan Juwita itu, apalagi sejak Asmoro sudah tidak ada. Kalau bukan karena Asmoro yang memohon-mohon pada Om dulu, tidak mungkin Om mengizinkan kau menikah dengan anaknya. Asmoro itu terlalu berharap kalau anaknya itu bisa berubah setelah menikahi kamu. Bukannya berubah, dia malah semakin parah. Kau juga sih, Ri, se
Nomor ini kan tidak ada yang tahu selain Om Sahid? Dan ternyata benar, tampak di layar nama Om Sahid. "Riana, Liana sakit, Run. Kondisinya memburuk. Tadi Om ke rumahnya dan ternyata mereka semua sedang ke rumah sakit mengantar Liana.""Ya Allah, rumah sakit mana, Om?" Mataku memanas lagi. "Medika Permata."Tanpa menutup panggilan dari Om Sahid, aku langsung bergegas ke rumah sakit malam itu juga. ***Transportasi online yang kunaiki melaju cepat membelah suasana malam jakarta. Beruntung saat itu kondisi jalanan sedang sepi. Hanya dalam waktu kurang dari satu jam aku sudah tiba di tempat Liana dirawat. Gedung berlantai tiga dengan dinding didominasi warna hijau tosca itu berdiri angkuh menyambut kedatanganku. Aroma cairan antiseptik seketika merasuk ke penciuman. Suasana yang sepi semakin menambah riak perasaanku semakin bergejolak. Kuhirup napas dalam beberapa kali lalu menghembuskanya perlahan. Tenanglah Riana. Liana pasti baik-baik saja. ***"Maaf, Sus. Boleh saya tanya mengena
Selamat membaca. Semoga suka, ya. ***Tak ada lagi sebutan mama padanya seperti yang selama ini kulakukan. Rasa seganku padanya tiba-tiba saja hilang tanpa bekas. "Ingat Nyonya, suatu hari nanti, saya akan kembali untuk merebut Liana dan Mas Daffi lagi. Saya akan membuat anda menyesal karena telah memperlakukan saya seperti ini!" ucapku tajam tepat di depan wajah Mama Juwita. Mama Juwita terus mengeluarkan sumpah serapah sambil terus berteriak."Friska, cepat usir wanita monster ini dari sini! Dan jangan biarkan ia datang lagi!""Sudah cepat sana pergi Riana! Jangan sampai kau membuat Liana terbangun! Untung saja tadi suster baru memberikan dia obat tidur karena dia mengeluh tidak bisa tidur seharian ini." Friska menarik kasar tanganku sambil mendorongku keluar. "Iya, Fris, kau tidak perlu mengusirku. Ini aku juga udah mau pergi!"Kusempatkan untuk memandangi wajah Liana yang masih tertidur. Liana, ibu janji, suatu saat nanti, ibu akan merebutmu dari tangan mereka! ***"Kau sudah
"Trus nanti kalau dia lihat Riana di sini gimana, Om? Riana masih belum siap ketemu dia." Om Sahid seketika mematikan panggilan. Ia lalu menyandarkan tubuh di atas kursi kerja dengan kepala beralas tangan. "Kamu itu harus berani menghadapi dia, dong, Ri. Jangan sembunyi terus kayak gini." Iya Om, Riana tau. Riana cuma masih butuh waktu, entah sampai kapan. ***"Hebat lo, Ri. Jarang, lho, ada siswa yang bisa dapat nilai sempurna dari pengacara Sahid Anwar. Dia itu kan terkenal susah kalau ngasih nilai." Ginting, sesama siswa PKPA menghampiri. Aku tersenyum kecil menanggapi kalimat Ginting barusan. Fakta tersebut memang sudah lama kuketahui. Hal yang malah membuatku merasa tertantang untuk bisa menaklukkan soal yang akan Om Sahid keluarkan. "Biasa aja, kok, Gin. Banyak yang lebih hebat."Tak lama kemudian, Om Sahid tiba-tiba menghampiri aku dan Ginting yang saat itu sedang berada di lobby hotel tempat diselenggarakannya PKPA. "Ri, yuk! Om nanti masih ada sidang lagi," ajak Om Sahid