“Mengapa kau menikah denganku?” tanya Tegar dengan amarah yang meraja di hatinya.“Karena aku Cinta,” jawab Cinta berusaha tetap terlihat tenang meskipun sedang diliputi oleh rasa takut.Tubuh mungil Cinta kini sudah bersandar pada dinding dan sepasang lengan kekar mengungkung sisi kiri dan kanannya, hingga dia sudah tidak bisa bergerak lagi.“Argh!” jerit Cinta kala secara tiba-tiba mendengar suara dentuman tepat di telinga kirinya, dengan mata yang terpejam Cinta memalingkan wajahnya ke kanan. Napasnya pun mulai tidak beraturan karena rasa takut yang tidak bisa dia sembunyikan lagi.“Ya! Dan aku Tegar dengan segala kepalsuanmu!” teriak Tegar dengan wajah garang dan tangan yang masih terkepal setelah memukul dinding tepat di sisi kiri kepala Cinta.Tubuh Cinta meluruh ke bawah, dipeluknya dengan erat dua kaki yang tertekuk dan dengan kepala yang tertunduk, Cinta menangis tergugu. Seandainya bukan untuk menutupi aib keluarganya, tentu Cinta tidak akan terjebak dalam pernikahan yang ti
“Itu tidak benar!” sanggah Damar setelah mendengar namanya disebut oleh Aura.Bukan hanya emosi, tetapi Damar terlihat sangat frustrasi, hingga membuat pewaris tunggal Sanjaya Furniture itu menyugar rambutnya dengan kasar. Damar menghampiri Cinta yang masih terduduk di lantai.“Ta!” panggil Damar sambil meraih tangan Cinta. “Aku mohon percayalah kepadaku, kita akan segera menikah, Ta!” sambung Damar sambil membimbing Cinta untuk duduk di kursi yang berada di dekat posisi Utari.Cinta masih terdiam karena belum sepenuhnya percaya dengan pengakuan Aura. Bagaimana mana mungkin Aura bisa hamil oleh Damar jika selama ini mereka terpisah jarak antara Jakarta dan Solo.“Kau yakin sedang mengandung? Kau tidak sedang berbohong?” cecar Hesti dengan ketus kepada Aura yang sedari tadi duduk di samping Utari.Tatapan mata tajam Hesti tampaknya membuat Aura merasa terintimidasi dan tidak berani memberikan jawaban, hingga membuatnya menggenggam erat tangan Utari, seolah meminta bantuan kepada sang i
“Kak! Kak Cinta marah padaku?” Pertanyaan yang Aura lontarkan berhasil menyadarkan Cinta dari lamunannya.“Apa?” tanya Cinta yang terlihat tergagap karena tidak mendengar dengan jelas pertanyaan dari adiknya.“Apa Kakak marah padaku?”“Tidak, aku tidak marah padamu.”Cinta tidak berbohong, dia memang tidak marah, hanya merasa kecewa karena pengkhianatan dari dua orang terdekatnya. Pengkhianatan yang menorehkan luka begitu dalam“Kalau Kak Cinta tidak marah, mengapa tidak mengucapkan selamat kepadaku?”“Untuk?” tanya balik Cinta dengan menatap ke arah Aura sambil mengerutkan keningnya.“Untuk pernikahanku dengan Kak Damar.”Cinta terdiam sejenak menatap wajah polos sang adik. Kamus dalam otak Cinta seakan memudar, hingga dia tidak menemukan kata-kata lagi untuk menanggapi ucapan Aura.Seandainya yang berada di hadapannya saat ini bukan adiknya, ingin rasanya Cinta menyumpal mulut Aura yang berucap tanpa mempedulikan perasaannya yang sedang terluka. Tidak ada ucapan terima kasih dari Au
“Apakah kau akan menjadi duri dalam pernikahan adikmu?”“Apa maksud ibu bertanya demikian?”Bukan jawaban yang diberikan oleh Cinta, gadis yang masih berusaha untuk mengobati luka hatinya sangat terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh wanita yang telah melahirkannya.Lelah tubuh Cinta karena bekerja seharian, belum sempat dia beristirahat, Utari sudah menyambutnnya dengan kata-kata yang pedas. Sebuah pertanyaan yang dengan jelas menyiratkan sebuah tuduhan.“Lebih baik kau keluar, jangan bekerja di sana lagi! Kamu harus bisa menjaga jarak dengan Damar, dan juga menjaga perasaan adikmu, karena dia sedang mengandung.”“Bu! Kalau saya keluar, terus saya nggak kerja, nanti kita makan apa, Bu?” tanya Cinta yang terdengar nelangsa, sambil menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi usang yang berada di ruang tamu.Sebenarnya tanpa di suruh pun Cinta sudah berpikir akan resign dari Sanjaya Furniture. Tetapi darah tinggi sang ibu yang sering kambuh, hingga membuat Cinta harus menyiapkan dana
“Mbak!” panggil Tegar yang merasa khawatir dengan keadaan Cinta. “Ta!” Dalam waktu yang bersamaan Utari memanggil Cinta. “Siapa Ta? Kenapa tidak di suruh masuk?” cecar Utari dari dalam rumah.“Teman, Bu!” jawab Cinta sekenanya dengan sedikit berteriak.Beberapa kali Cinta menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya agar tetap bisa berpikir dengan jernih. Cinta tidak ingin ibunya mengetahui siapa apa yang sedang terjadi antara Tegar dengan Aura.“Kita bicara di luar saja, Mas!” ucap Cinta sambil menatap mata Tegar. Cinta bergegas memasuki rumah dan tak lama kemudian dia keluar dengan menjinjing tas yang biasa dibawa kerja. “Ayo!” ajak Cinta sambil melangkah meninggalkan rumahnya.Tidak ada pilihan lain bagi Tegar selain mengikuti Cinta. Untuk saat ini hanya Cinta satu-satunya orang yang dia anggap bisa mempertemukan dirinya dengan Aura. Dua orang yang baru berkenalan dan hanya sekedar saling mengetahui nama itu, kini berjalan bersama melangkah meninggalkan rumah Cinta.“S
Siapa ayah dari anak yang berada dalam kandungan Aura sebenarnya? Tegar atau Damar?Pertanyaan itu terus saja menghantui pikiran Cinta. Ingin rasanya Cinta membagi beban ini dengan orang lain, tetapi sepertinya hal itu tidak mungkin Cinta lakukan, karena bagaimana pun ini adalah aib keluarganya. Hamil di luar nikah saja sudah merupakan aib, apalagi sampai melibatkan dua orang lelaki yang diduga sebagai ayah si jabang bayi.Tidak bisa dipungkiri jika kehadiran dan pengakuan Tegar merusak suasana hati Cinta, hingga membuat gadis yang masih belum sembuh dari pedihnya patah hati itu tidak bisa konsentrasi dalam mengerjakan tugas-tugasnya.Cinta tidak habis pikir bagaimana Aura bisa kenal dengan pria seperti Tegar, bahkan sampai melakukan hal yang terlarang. Jika memang mereka tidak pernah melakukannya sudah tentu Tegar tidak akan mengakui anak yang sedang dikandung oleh Aura sebagai anaknya. Sedangkan Damar, sosok yang telah menikahi Aura, sampai saat ini tidak mengakui jika anak yang dik
Cinta merapikan selimut yang menutup tubuh Utari. Dipandanginya dengan saksama sang ibu yang sudah memejamkan matanya. Cinta harus memastikan jika Utari sudah benar-benar tidur, karena dia tidak ingin jika sang ibu sampai mendengarkan pembicaraannya dengan Aura. Cinta bergegas keluar dan menutup pintu setelah yakin jika sang ibu sudah tidur.“Mengapa harus menunggu ibu tidur?” tanya Aura dengan wajah polosnya.“Kenapa?” tanya balik Cinta dengan ketus.“Ng nggak apa-apa sih, Kak! Cuma aku jadi kemalaman pulangnya.”“Takut pulang kemalaman atau takut bicara sendiri denganku? Karena nggak ada ibu yang selalu membelamu,” ucap Cinta dengan sorot mata yang tajam membidik tepat ke arah Aura. “Aura! jangan libatkan ibu lagi dalam masalahmu yang super rumit itu! Kasihan ibu, nanti darah tingginya kambuh lagi,” sambung Cinta memberi peringatan kepada adiknya.Aura tidak bisa menutupi rasa takut saat harus menghadapi Cinta sendirian, biasanya Utari akan berada di sampingnya dan memberikan pembel
Lega?Tentu tidak, setelah meluapkan segala amarahnya, Cinta justru merasa menyesal. Apalagi saat harus melihat sang ibu yang kini terbaring lemah karena kesehatan kembali menurun.“Pulanglah! Suamimu pasti sudah menunggumu,” ucap Cinta tanpa memandang Aura yang masih berdiri di dekat pintu.Aura menatap jam dinding yang berada di kamar sang ibu, sudah hampir jam sembilan malam. Tentu bukan hanya karena waktu yang sudah merangkak semakin malam, tetapi pembicaraan dengan Cinta sepertinya tidak akan menemukan titik temu lagi, hingga akhirnya Aura mengambil jas jinjing terbarunya yang merupakan keluaran terbaru dari sebuah brand ternama.“Aku pulang dulu, Kak!” pamit Aura dengan suara lirih karena tidak ingin Utari yang baru saja istirahat setelah meminum obatnya.“Hmm,” gumam Cinta yang terlihat enggan untuk menjawab.Dengan langkah gontai, Aura meninggalkan rumah masa kecilnya. Perempuan yang sedang hamil muda itu menyeka air matanya sebelum menyusuri gang sempit menuju tempat mobil ya