Cinta merapikan selimut yang menutup tubuh Utari. Dipandanginya dengan saksama sang ibu yang sudah memejamkan matanya. Cinta harus memastikan jika Utari sudah benar-benar tidur, karena dia tidak ingin jika sang ibu sampai mendengarkan pembicaraannya dengan Aura. Cinta bergegas keluar dan menutup pintu setelah yakin jika sang ibu sudah tidur.“Mengapa harus menunggu ibu tidur?” tanya Aura dengan wajah polosnya.“Kenapa?” tanya balik Cinta dengan ketus.“Ng nggak apa-apa sih, Kak! Cuma aku jadi kemalaman pulangnya.”“Takut pulang kemalaman atau takut bicara sendiri denganku? Karena nggak ada ibu yang selalu membelamu,” ucap Cinta dengan sorot mata yang tajam membidik tepat ke arah Aura. “Aura! jangan libatkan ibu lagi dalam masalahmu yang super rumit itu! Kasihan ibu, nanti darah tingginya kambuh lagi,” sambung Cinta memberi peringatan kepada adiknya.Aura tidak bisa menutupi rasa takut saat harus menghadapi Cinta sendirian, biasanya Utari akan berada di sampingnya dan memberikan pembel
Lega?Tentu tidak, setelah meluapkan segala amarahnya, Cinta justru merasa menyesal. Apalagi saat harus melihat sang ibu yang kini terbaring lemah karena kesehatan kembali menurun.“Pulanglah! Suamimu pasti sudah menunggumu,” ucap Cinta tanpa memandang Aura yang masih berdiri di dekat pintu.Aura menatap jam dinding yang berada di kamar sang ibu, sudah hampir jam sembilan malam. Tentu bukan hanya karena waktu yang sudah merangkak semakin malam, tetapi pembicaraan dengan Cinta sepertinya tidak akan menemukan titik temu lagi, hingga akhirnya Aura mengambil jas jinjing terbarunya yang merupakan keluaran terbaru dari sebuah brand ternama.“Aku pulang dulu, Kak!” pamit Aura dengan suara lirih karena tidak ingin Utari yang baru saja istirahat setelah meminum obatnya.“Hmm,” gumam Cinta yang terlihat enggan untuk menjawab.Dengan langkah gontai, Aura meninggalkan rumah masa kecilnya. Perempuan yang sedang hamil muda itu menyeka air matanya sebelum menyusuri gang sempit menuju tempat mobil ya
Dua gelas kopi hitam yang masih mengepulkan uap panas tersaji di sebuah meja kecil. Tegar dan Janmo duduk mengapit meja tersebut sambil berbincang santai menikmati suasana pagi sebelum mereka memulai aktifitas.“Apa rencanamu berikutnya?” tanya Janmo sambil meletakkan kopi yang baru saja dia sesap.Janmo adalah teman Tegar saat masih berada di panti asuhan di kota Solo. Mereka tumbuh bersama, kedekatan yang terjalin di antara kedua sudah seperti saudara.“Tak tahu lah!” jawab Tegar yang terdengar pasrah, mungkin lebih ke arah putus asa.“Mungkin kau bisa bekerja dulu, lalu pelan-pelan cari dia,” saran Janmo kepada sahabatnya.Bekerja, berarti Tegar harus menetap di Jakarta dalam waktu yang tidak bisa ditentukan. Sama sekali tidak pernah terpikir oleh Tegar untuk kembali ke kota Jakarta, kejadian buruk di masa lalu membuat Tegar sempat berjanji untuk tidak pernah menginjakkan kakinya di ibu kota. Jika bukan karena tanggung jawab atas darah dagingnya yang telah tumbuh di rahim Aura, su
Suara ketukan pintu kembali terdengar, bukan membukanya tetapi Cinta justru melangkah menghampiri Aura. Melihat ekspresi datar dari wajah sang kakak, Aura menduga jika Cinta sedang berbohong, apa yang dia lakukan saat ini hanya untuk menakut-nakutinya saja.“Kak Cinta pasti bohong, aku yakin itu Kak Bella,” ucap Aura saat melihat Cinta yang keluar dari kamarnya sambil menjinjing jas kerjanya.“Masuklah ke kamar ibu! jangan sampai dia melihatmu!” perintah Cinta dengan nada dingin.“Permisi!”Wajah Aura tiba-tiba menjadi pucat saat mendengar suara yang begitu dia kenal berbarengan dengan suara pintu yang diketuk. Kini perempuan yang sedang hamil muda itu percaya kepada sang kakak, jika saat ini Tegar berada di depan rumah mereka.“Kak! Aku harus bagaimana?” tanya Aura terlihat panik setelah mendengar suara Tegar yang berasal dari luar rumah mereka.“Masuklah ke kamar ibu!” sekali lagi Cinta memberi perintah agar adiknya ke kamar Utari.Ingin rasanya Cinta bermain-main sebentar dengan A
Layaknya sepasang kekasih, Cinta dan Tegar berjalan berdampingan menyusuri gang yang sempit. Orang-orang yang sudah mengenal Cinta pun saling berbisik sambil menyunggingkan senyum menggoda ke arah Cinta.“Pacar baru, Mbak?” tanya seorang pria sambil menata bakso dagangannya ke dalam gerobak.“Teman, Bang,” jawab Cinta malu-malu.“Sekarang temen, lama-lama demen, Cin!” sahut seorang wanita yang berada tak jauh dari pria tadi.Cinta hanya membalas dengan senyuman ucapan dari tetangganya. Lain di bibir lain di hati, meskipun bibir Cinta terlihat jelas seulas senyum, tetapi hati Cinta seolah menangis darah. Bagaimana tidak, beberapa saat yang lalu dirinya baru saja melepas pria yang sangat dia cintai, tetapi saat ini dia mengetahui sebuah kenyataan jika ada muslihat keji, dan dia harus mendukungnya demi kebahagiaan sang adik yang telah dengan tanpa hati merenggut kebahagiaannya.Uang Cinta yang sudah menipis membuatnya tidak berani mentraktir sarapan untuk Tegar lagi, sehingga Cinta menga
“Jika memang Aura sudah bahagia, ijinkan saya untuk melihat kebagiaannya! Sekali saja, dari jauh juga tidak apa-apa,” ucap Tegar seraya memohon. “Setelah itu saya akan kembali ke Solo seperti yang Mbak Cinta inginkan.”“Saya tidak bisa memutuskan hal itu sendiri, saya akan membicarakan hal ini dengan Aura terlebih dahulu, semoga dia bersedia menemui Mas Tegar untuk yang terakhir kalinya.”“Apa yang membuat Aura tidak ingin bertemu dengan saya?”“Karena Aura sudah menikah, Mas!” jawab Cinta dengan lembut, berharap pengertian dari Tegar. “Tentu Aura harus menghargai perasaan suaminya, saya harap Mas Tegar bisa memahami hal itu.”“Apakah Mbak Cinta juga memahami perasaan saya, bukan hanya sebagai lelaki yang dikhianati, tetapi juga sebagai seorang ayah yang harus terpisah dari anaknya?” Tegar kembali menunjukkan jika dirinya tak setegar namanya kala harus berurusan dengan hati.Cinta tidak menduga suasana akan menjadi begitu melankolis. Seolah kehabisan kata, Cinta hanya bisa mendengus k
Sebuah mobil mewah berhenti tepat di hadapan Tegar, beruntung rem mobil itu berfungsi dengan baik sehingga tidak sampai menabrak dan melukai Tegar. Tetapi karena kaget, Tegar justru memukul kap mobil tersebut menggunakan kedua tangannya dengan keras.Tampaknya sang pengemudi mobil mewah tidak terima dengan perlakuan kasar Tegar lakukan terhadap mobil mewahnya tersebut. Dengan amarah yang bergemuruh di dada, Randy keluar dari mobilnya untuk menemui, atau lebih tepatnya membuat perhitungan dengan Tegar.“Dasar kampungan! Kalau jalan lihat-lihat!” hardik Randy yang kesal dengan ulah Tegar. “Atau memang modus untuk cari uang? Dasar otak begal,” lanjut Randy dengan amarah yang semakin meraja.“Jangan mentang-mentang orang kaya terus bisa ugal-ugalan di jalan,” balas Tegar yang tidak terima dengan kata-kata yang terlontar dari mulut Randy.Sebenarnya Tegar sadar jika dirinya pun bersalah karena menyeberang jalan tanpa memperhatikan kendaraan yang sedang melaju, kata maaf yang akan terlontar
“Randy!” panggil Adnan setengah berteriak saat melihat putra semata wayangnya mengabaikan dirinya.Seolah menulikan telinganya, Randy terus melangkah menuju ke mobilnya yang terparkir di halaman kantor polisi. Marah dan kecewa menjadi satu saat Adnan juga membebaskan Tegar yang telah dianggap sebagai seterunya. Bahkan Adnan mengatakan kepada polisi jika perkelahian antara Tegar dan Randy hanya sebuah kesalahpahaman yang akan diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Sebagai seorang anak, tentu Randy bukan hanya menginginkan perhatian dari Adnan, tetapi juga ingin menjadi prioritas, apalagi saat ini sang mama telah tiada.Masih lekat dalam ingatan Randy, penderitaan sang mama yang hidup dalam bayang-bayang perselingkuhan yang telah dilakukan oleh Adnan. Meskipun tidak pernah mengakui jika dirinya telah melakukan sebuah perselingkuhan, tetapi Adnan sering secara diam-diam mendatangi panti asuhan untuk memberi hadiah dan memenuhi segala kebutuhan Tegar. Dan semua itu tidak luput dari pantau