“Mbak!” panggil Tegar yang merasa khawatir dengan keadaan Cinta.
“Ta!” Dalam waktu yang bersamaan Utari memanggil Cinta. “Siapa Ta? Kenapa tidak di suruh masuk?” cecar Utari dari dalam rumah.
“Teman, Bu!” jawab Cinta sekenanya dengan sedikit berteriak.
Beberapa kali Cinta menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya agar tetap bisa berpikir dengan jernih. Cinta tidak ingin ibunya mengetahui siapa apa yang sedang terjadi antara Tegar dengan Aura.
“Kita bicara di luar saja, Mas!” ucap Cinta sambil menatap mata Tegar. Cinta bergegas memasuki rumah dan tak lama kemudian dia keluar dengan menjinjing tas yang biasa dibawa kerja. “Ayo!” ajak Cinta sambil melangkah meninggalkan rumahnya.
Tidak ada pilihan lain bagi Tegar selain mengikuti Cinta. Untuk saat ini hanya Cinta satu-satunya orang yang dia anggap bisa mempertemukan dirinya dengan Aura. Dua orang yang baru berkenalan dan hanya sekedar saling mengetahui nama itu, kini berjalan bersama melangkah meninggalkan rumah Cinta.
“Sebenarnya saya buru-buru berangkat kerja, tapi sepertinya masih ada sedikit waktu untuk kita sarapan sambil berbincang,” ucap Cinta sambil terus melangkah.
Tegar pun hanya bisa mengikuti kemana Cinta melangkah. Hingga kini mereka berdua sudah berada di sebuah kedai bubur ayam yang letaknya tidak jauh dari gang masuk rumah Cinta.
Dua porsi bubur ayam sudah tersedia di meja, Tegar mengalihkan pandangannya saat melihat Cinta mengaduk bubur ayam yang akan dia santap. Pria berkulit sawo matang itu tiba-tiba merasa mual melihat bubur ayam berubah seperti makanan yang baru saja dimuntahkan.
“Nggak di makan, Mas?” tanya Cinta sambil menikmati bubur ayam di hadapannya. “Makan dulu, Mas! Biar kuat menerima kenyataan hidup yang akan saya sampaikan,” sambung Cinta terdengar seperti sebuah ejekan. Sambil menikmati makanannya ternyata Cinta sedang berbalas pesan dengan Aura.
Tegar pun akhirnya menyantap bubur ayam miliknya, jika menatap bubur ayam milik Cinta membuatnya hampir muntah, ternyata menatap wajah ayu di depannya membuatnya semakin lahap.
“Sebaiknya Mas Tegar pulang saja, karena Aura sudah bahagia dengan pernikahannya,” ucap Cinta setelah selesai menyantap bubur ayam miliknya.
Tegar pun segera menyilangkan sendok menandakan jika dia sudah selesai dengan sarapannya, diraihnya gelas berisi air putih untuk membasahi tenggorokannya.
“Bagaimana dengan anak saya?” tanya Tegar dengan sorot mata tajam yang tertuju kepada Cinta.
“Akan ada ayah yang bertanggung jawab padanya.”
“Mbak Cinta yakin, lelaki yang menikahi Aura akan menerima anak saya?” tanya Tegar dengan sorot mata yang tajam. “Akan menyayangi anak saya seperti anak kandungnya sendiri?” cecar Tegar kepada Cinta.
Cinta menghembuskan napas kasar, ingatan akan kesepakatan dan janji yang telah dia buat dengan Damar, tentang test DNA setelah bayi yang dikandung Aura lahir.
“Sebelum Aura pulang, dia sudah berjanji akan menunggu kedatangan saya untuk menikahinya. Satu bulan saya bekerja keras mengumpulkan uang untuk bekal ke Jakarta dan segala kebutuhan untuk pernikahan kami.”
“Tidak perlu cengeng dan mendramatisir keadaan, Mas! Mungkin karena Mas Tegar terlalu lama datangnya, jadi Aura yang sedang membutuhkan kepastian melakukan jalan pintas.”
Dengan terpaksa Cinta mengarang jawaban dan berbohong, semua itu Cinta lakukan karena dalam pesannya, Aura tidak ingin bertemu dengan Tegar lagi.
“Mbak! Jauh-jauh saya datang dari Solo ke Jakarta, karena saya ingin mempertanggungjawabkan kesalahan saya, tapi sampai di sini apa yang saya dapatkan?”
Cinta mengalihkan pandangannya ke ponsel yang terletak di depannya, bukan karena ada notifikasi, tetapi hanya untuk melihat jam, karena dia harus segera berangkat bekerja.
“Sebaiknya Mas Tegar mulai melupakan Aura dan membuka hati untuk gadis lain, karena saat ini Aura sudah bahagia dengan pernikahannya.”
Brakk
Tegar yang tidak bisa mengendalikan amarahnya dengan tiba-tiba memukul meja dengan keras, hingga membuat Cinta dan pengunjung lain kaget dan mengalihkan pandangannya ke arah Tegar.
“Saya lelaki bukan bajingan!” ucap Tegar penuh amarah saat merasa niatnya untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya diabaikan oleh Cinta.
“Ngakunya bukan bajingan tapi menghamili anak orang.” Cinta pun tidak ingin kalah omongan di hadapan Tegar.
Dalam diam Cinta dan Tegar saling beradu pandang. Seandainya yang berada di hadapannya saat ini adalah seorang pria, ingin rasanya Tegar melayangkan pukulan uppercut tepat di rahangnya. Karena yang saat ini dia hadapi adalah seorang perempuan, Tegar harus menggunakan cara yang lain.
“Ya maaf, saya bisanya baru itu,” sahut Tegar dengan datar berlagak seperti orang yang tidak bersalah.
“Apa? Bisa menghamili anak orang bangga?” Kini balik Cinta yang tersulut amarahnya.
“Dulu saya pernah mencoba menghamili anak semut, tapi gara-gara dia gigit duluan makanya saya pites.”
Cinta mendengus kasar karena kesal dengan penjelasan absurd dari Tegar. “Mungkin lain kali bisa mencoba menghamili anak lebah, siapa tahu bisa berhasil,” timpal Cinta dengan ketus.
Perbincangan yang unfaedah tiba-tiba membuat Tegar merasakan ngilu di bagian tubuhnya yang sensitif. Entah karena harga diri atau memang pikiran mesum yang mulai mempengaruhi otak Tegar hingga membuatnya tidak ingin kalah dari Cinta.
“Kalau sama lebah nggak seru, Mbak! Dia bisanya hanya nungging, sedangkan saya juga pengen gaya yang lain.”
Cinta hanya bisa menyesali dirinya yang meladeni ucapan-ucapan Tegar yang menjurus ke hal-hal mesum.
“Maaf! Saya harus segera berangkat kerja,” pamit Cinta, bukan hanya takut terlambat, tetpi Cinta merasa obrolan dengan Tegar semakin melebar kemana-mana.
“Besok saya akan menemui Mbak Cinta lagi, mungkin saya akan tetap menemui Mbak Cinta sampai Aura mau menemui saya,” ucap Tegar dengan tegas dan terdengar penuh ancaman.
Cinta menghembuskan napas kasar kala mendengar penuturan dari Tegar, gadis yang sudah tidak memiliki ayah itu merasa hidupnya tidak akan mudah setelah pertemuannya dengan durjana yang mengaku telah menghamili adiknya.
Perubahan ekspresi dan gaya bicara Tegar yang secara tiba-tiba, membuat Cinta merasakan sebuah kengerian. Tegar yang tadinya terlihat tengil dan menyebalkan dengan kata-kata yang terdengar tidak masuk akal dengan begitu cepat berubah menjadi sosok yang tegas dan dingin dengan sorot mata yang tajam.
Siapa ayah dari anak yang berada dalam kandungan Aura sebenarnya? Tegar atau Damar?Pertanyaan itu terus saja menghantui pikiran Cinta. Ingin rasanya Cinta membagi beban ini dengan orang lain, tetapi sepertinya hal itu tidak mungkin Cinta lakukan, karena bagaimana pun ini adalah aib keluarganya. Hamil di luar nikah saja sudah merupakan aib, apalagi sampai melibatkan dua orang lelaki yang diduga sebagai ayah si jabang bayi.Tidak bisa dipungkiri jika kehadiran dan pengakuan Tegar merusak suasana hati Cinta, hingga membuat gadis yang masih belum sembuh dari pedihnya patah hati itu tidak bisa konsentrasi dalam mengerjakan tugas-tugasnya.Cinta tidak habis pikir bagaimana Aura bisa kenal dengan pria seperti Tegar, bahkan sampai melakukan hal yang terlarang. Jika memang mereka tidak pernah melakukannya sudah tentu Tegar tidak akan mengakui anak yang sedang dikandung oleh Aura sebagai anaknya. Sedangkan Damar, sosok yang telah menikahi Aura, sampai saat ini tidak mengakui jika anak yang dik
Cinta merapikan selimut yang menutup tubuh Utari. Dipandanginya dengan saksama sang ibu yang sudah memejamkan matanya. Cinta harus memastikan jika Utari sudah benar-benar tidur, karena dia tidak ingin jika sang ibu sampai mendengarkan pembicaraannya dengan Aura. Cinta bergegas keluar dan menutup pintu setelah yakin jika sang ibu sudah tidur.“Mengapa harus menunggu ibu tidur?” tanya Aura dengan wajah polosnya.“Kenapa?” tanya balik Cinta dengan ketus.“Ng nggak apa-apa sih, Kak! Cuma aku jadi kemalaman pulangnya.”“Takut pulang kemalaman atau takut bicara sendiri denganku? Karena nggak ada ibu yang selalu membelamu,” ucap Cinta dengan sorot mata yang tajam membidik tepat ke arah Aura. “Aura! jangan libatkan ibu lagi dalam masalahmu yang super rumit itu! Kasihan ibu, nanti darah tingginya kambuh lagi,” sambung Cinta memberi peringatan kepada adiknya.Aura tidak bisa menutupi rasa takut saat harus menghadapi Cinta sendirian, biasanya Utari akan berada di sampingnya dan memberikan pembel
Lega?Tentu tidak, setelah meluapkan segala amarahnya, Cinta justru merasa menyesal. Apalagi saat harus melihat sang ibu yang kini terbaring lemah karena kesehatan kembali menurun.“Pulanglah! Suamimu pasti sudah menunggumu,” ucap Cinta tanpa memandang Aura yang masih berdiri di dekat pintu.Aura menatap jam dinding yang berada di kamar sang ibu, sudah hampir jam sembilan malam. Tentu bukan hanya karena waktu yang sudah merangkak semakin malam, tetapi pembicaraan dengan Cinta sepertinya tidak akan menemukan titik temu lagi, hingga akhirnya Aura mengambil jas jinjing terbarunya yang merupakan keluaran terbaru dari sebuah brand ternama.“Aku pulang dulu, Kak!” pamit Aura dengan suara lirih karena tidak ingin Utari yang baru saja istirahat setelah meminum obatnya.“Hmm,” gumam Cinta yang terlihat enggan untuk menjawab.Dengan langkah gontai, Aura meninggalkan rumah masa kecilnya. Perempuan yang sedang hamil muda itu menyeka air matanya sebelum menyusuri gang sempit menuju tempat mobil ya
Dua gelas kopi hitam yang masih mengepulkan uap panas tersaji di sebuah meja kecil. Tegar dan Janmo duduk mengapit meja tersebut sambil berbincang santai menikmati suasana pagi sebelum mereka memulai aktifitas.“Apa rencanamu berikutnya?” tanya Janmo sambil meletakkan kopi yang baru saja dia sesap.Janmo adalah teman Tegar saat masih berada di panti asuhan di kota Solo. Mereka tumbuh bersama, kedekatan yang terjalin di antara kedua sudah seperti saudara.“Tak tahu lah!” jawab Tegar yang terdengar pasrah, mungkin lebih ke arah putus asa.“Mungkin kau bisa bekerja dulu, lalu pelan-pelan cari dia,” saran Janmo kepada sahabatnya.Bekerja, berarti Tegar harus menetap di Jakarta dalam waktu yang tidak bisa ditentukan. Sama sekali tidak pernah terpikir oleh Tegar untuk kembali ke kota Jakarta, kejadian buruk di masa lalu membuat Tegar sempat berjanji untuk tidak pernah menginjakkan kakinya di ibu kota. Jika bukan karena tanggung jawab atas darah dagingnya yang telah tumbuh di rahim Aura, su
Suara ketukan pintu kembali terdengar, bukan membukanya tetapi Cinta justru melangkah menghampiri Aura. Melihat ekspresi datar dari wajah sang kakak, Aura menduga jika Cinta sedang berbohong, apa yang dia lakukan saat ini hanya untuk menakut-nakutinya saja.“Kak Cinta pasti bohong, aku yakin itu Kak Bella,” ucap Aura saat melihat Cinta yang keluar dari kamarnya sambil menjinjing jas kerjanya.“Masuklah ke kamar ibu! jangan sampai dia melihatmu!” perintah Cinta dengan nada dingin.“Permisi!”Wajah Aura tiba-tiba menjadi pucat saat mendengar suara yang begitu dia kenal berbarengan dengan suara pintu yang diketuk. Kini perempuan yang sedang hamil muda itu percaya kepada sang kakak, jika saat ini Tegar berada di depan rumah mereka.“Kak! Aku harus bagaimana?” tanya Aura terlihat panik setelah mendengar suara Tegar yang berasal dari luar rumah mereka.“Masuklah ke kamar ibu!” sekali lagi Cinta memberi perintah agar adiknya ke kamar Utari.Ingin rasanya Cinta bermain-main sebentar dengan A
Layaknya sepasang kekasih, Cinta dan Tegar berjalan berdampingan menyusuri gang yang sempit. Orang-orang yang sudah mengenal Cinta pun saling berbisik sambil menyunggingkan senyum menggoda ke arah Cinta.“Pacar baru, Mbak?” tanya seorang pria sambil menata bakso dagangannya ke dalam gerobak.“Teman, Bang,” jawab Cinta malu-malu.“Sekarang temen, lama-lama demen, Cin!” sahut seorang wanita yang berada tak jauh dari pria tadi.Cinta hanya membalas dengan senyuman ucapan dari tetangganya. Lain di bibir lain di hati, meskipun bibir Cinta terlihat jelas seulas senyum, tetapi hati Cinta seolah menangis darah. Bagaimana tidak, beberapa saat yang lalu dirinya baru saja melepas pria yang sangat dia cintai, tetapi saat ini dia mengetahui sebuah kenyataan jika ada muslihat keji, dan dia harus mendukungnya demi kebahagiaan sang adik yang telah dengan tanpa hati merenggut kebahagiaannya.Uang Cinta yang sudah menipis membuatnya tidak berani mentraktir sarapan untuk Tegar lagi, sehingga Cinta menga
“Jika memang Aura sudah bahagia, ijinkan saya untuk melihat kebagiaannya! Sekali saja, dari jauh juga tidak apa-apa,” ucap Tegar seraya memohon. “Setelah itu saya akan kembali ke Solo seperti yang Mbak Cinta inginkan.”“Saya tidak bisa memutuskan hal itu sendiri, saya akan membicarakan hal ini dengan Aura terlebih dahulu, semoga dia bersedia menemui Mas Tegar untuk yang terakhir kalinya.”“Apa yang membuat Aura tidak ingin bertemu dengan saya?”“Karena Aura sudah menikah, Mas!” jawab Cinta dengan lembut, berharap pengertian dari Tegar. “Tentu Aura harus menghargai perasaan suaminya, saya harap Mas Tegar bisa memahami hal itu.”“Apakah Mbak Cinta juga memahami perasaan saya, bukan hanya sebagai lelaki yang dikhianati, tetapi juga sebagai seorang ayah yang harus terpisah dari anaknya?” Tegar kembali menunjukkan jika dirinya tak setegar namanya kala harus berurusan dengan hati.Cinta tidak menduga suasana akan menjadi begitu melankolis. Seolah kehabisan kata, Cinta hanya bisa mendengus k
Sebuah mobil mewah berhenti tepat di hadapan Tegar, beruntung rem mobil itu berfungsi dengan baik sehingga tidak sampai menabrak dan melukai Tegar. Tetapi karena kaget, Tegar justru memukul kap mobil tersebut menggunakan kedua tangannya dengan keras.Tampaknya sang pengemudi mobil mewah tidak terima dengan perlakuan kasar Tegar lakukan terhadap mobil mewahnya tersebut. Dengan amarah yang bergemuruh di dada, Randy keluar dari mobilnya untuk menemui, atau lebih tepatnya membuat perhitungan dengan Tegar.“Dasar kampungan! Kalau jalan lihat-lihat!” hardik Randy yang kesal dengan ulah Tegar. “Atau memang modus untuk cari uang? Dasar otak begal,” lanjut Randy dengan amarah yang semakin meraja.“Jangan mentang-mentang orang kaya terus bisa ugal-ugalan di jalan,” balas Tegar yang tidak terima dengan kata-kata yang terlontar dari mulut Randy.Sebenarnya Tegar sadar jika dirinya pun bersalah karena menyeberang jalan tanpa memperhatikan kendaraan yang sedang melaju, kata maaf yang akan terlontar