Share

5. Sang Durjana

“Mbak!” panggil Tegar yang merasa khawatir dengan keadaan Cinta.

 “Ta!” Dalam waktu yang bersamaan Utari memanggil Cinta. “Siapa Ta? Kenapa tidak di suruh masuk?” cecar Utari dari dalam rumah.

“Teman, Bu!” jawab Cinta sekenanya dengan sedikit berteriak.

Beberapa kali Cinta menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya agar tetap bisa berpikir dengan jernih. Cinta tidak ingin ibunya mengetahui siapa apa yang sedang terjadi antara Tegar dengan Aura.

“Kita bicara di luar saja, Mas!” ucap Cinta sambil menatap mata Tegar. Cinta bergegas memasuki rumah dan tak lama kemudian dia keluar dengan menjinjing tas yang biasa dibawa kerja. “Ayo!” ajak Cinta sambil melangkah meninggalkan rumahnya.

Tidak ada pilihan lain bagi Tegar selain mengikuti Cinta. Untuk saat ini hanya Cinta satu-satunya orang yang dia anggap bisa mempertemukan dirinya dengan Aura. Dua orang yang baru berkenalan dan hanya sekedar saling mengetahui nama itu, kini berjalan bersama melangkah meninggalkan rumah Cinta.

“Sebenarnya saya buru-buru berangkat kerja, tapi sepertinya masih ada sedikit waktu untuk kita sarapan sambil berbincang,” ucap Cinta sambil terus melangkah.

Tegar pun hanya bisa mengikuti kemana Cinta melangkah. Hingga kini mereka berdua sudah berada di sebuah kedai bubur ayam yang letaknya tidak jauh dari gang masuk rumah Cinta.

Dua porsi bubur ayam sudah tersedia di meja, Tegar mengalihkan pandangannya saat melihat Cinta mengaduk bubur ayam yang akan dia santap. Pria berkulit sawo matang itu tiba-tiba merasa mual melihat bubur ayam berubah seperti makanan yang baru saja dimuntahkan.

“Nggak di makan, Mas?” tanya Cinta sambil menikmati bubur ayam di hadapannya. “Makan dulu, Mas! Biar kuat menerima kenyataan hidup yang akan saya sampaikan,” sambung Cinta terdengar seperti sebuah ejekan. Sambil menikmati makanannya ternyata Cinta sedang berbalas pesan dengan Aura.

Tegar pun akhirnya menyantap bubur ayam miliknya, jika menatap bubur ayam milik Cinta membuatnya hampir muntah, ternyata menatap wajah ayu di depannya membuatnya semakin lahap.

“Sebaiknya Mas Tegar pulang saja, karena Aura sudah bahagia dengan pernikahannya,” ucap Cinta setelah selesai menyantap bubur ayam miliknya.

Tegar pun segera menyilangkan sendok menandakan jika dia sudah selesai dengan sarapannya, diraihnya gelas berisi air putih untuk membasahi tenggorokannya.

“Bagaimana dengan anak saya?” tanya Tegar dengan sorot mata tajam yang tertuju kepada Cinta.

“Akan ada ayah yang bertanggung jawab padanya.”

“Mbak Cinta yakin, lelaki yang menikahi Aura akan menerima anak saya?” tanya Tegar dengan sorot mata yang tajam. “Akan menyayangi anak saya seperti anak kandungnya sendiri?” cecar Tegar kepada Cinta.

Cinta menghembuskan napas kasar, ingatan akan kesepakatan dan janji yang telah dia  buat dengan Damar, tentang test DNA setelah bayi yang dikandung Aura lahir.

“Sebelum Aura pulang, dia sudah berjanji akan menunggu kedatangan saya untuk menikahinya. Satu bulan saya bekerja keras mengumpulkan uang untuk bekal ke Jakarta dan segala kebutuhan untuk pernikahan kami.”

“Tidak perlu cengeng dan mendramatisir keadaan, Mas! Mungkin karena Mas Tegar terlalu lama datangnya, jadi Aura yang sedang membutuhkan kepastian melakukan jalan pintas.”

Dengan terpaksa Cinta mengarang jawaban dan berbohong, semua itu Cinta lakukan karena dalam pesannya, Aura tidak ingin bertemu dengan Tegar lagi.

“Mbak! Jauh-jauh saya datang dari Solo ke Jakarta, karena saya ingin mempertanggungjawabkan kesalahan saya, tapi sampai di sini apa yang saya dapatkan?”

Cinta mengalihkan pandangannya ke ponsel yang terletak di depannya, bukan karena ada notifikasi, tetapi hanya untuk melihat jam, karena dia harus segera berangkat bekerja.

“Sebaiknya Mas Tegar mulai melupakan Aura dan membuka hati untuk gadis lain, karena saat ini Aura sudah bahagia dengan pernikahannya.”

Brakk

Tegar yang tidak bisa mengendalikan amarahnya dengan tiba-tiba memukul meja dengan keras, hingga membuat Cinta dan pengunjung lain kaget dan mengalihkan pandangannya ke arah Tegar.

“Saya lelaki bukan bajingan!” ucap Tegar penuh amarah saat merasa niatnya untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya diabaikan oleh Cinta.

“Ngakunya bukan bajingan tapi menghamili anak orang.” Cinta pun tidak ingin kalah omongan di hadapan Tegar.

Dalam diam Cinta dan Tegar saling beradu pandang. Seandainya yang berada di hadapannya saat ini adalah seorang pria, ingin rasanya Tegar melayangkan pukulan uppercut tepat di rahangnya. Karena yang saat ini dia hadapi adalah seorang perempuan, Tegar harus menggunakan cara yang lain.

“Ya maaf, saya bisanya baru itu,” sahut Tegar dengan datar berlagak seperti orang yang tidak bersalah.

“Apa? Bisa menghamili anak orang bangga?” Kini balik Cinta yang tersulut amarahnya.

“Dulu saya pernah mencoba menghamili anak semut, tapi gara-gara dia gigit duluan makanya saya pites.”

Cinta mendengus kasar karena kesal dengan penjelasan absurd dari Tegar. “Mungkin lain kali bisa mencoba menghamili anak lebah, siapa tahu bisa berhasil,” timpal Cinta dengan ketus.

Perbincangan yang unfaedah tiba-tiba membuat Tegar merasakan ngilu di bagian tubuhnya yang sensitif. Entah karena harga diri atau memang pikiran mesum yang mulai mempengaruhi otak Tegar hingga membuatnya tidak ingin kalah dari Cinta.

“Kalau sama lebah nggak seru, Mbak! Dia bisanya hanya nungging, sedangkan saya juga pengen gaya yang lain.”

Cinta hanya bisa menyesali dirinya yang meladeni ucapan-ucapan Tegar yang menjurus ke hal-hal mesum.

“Maaf! Saya harus segera berangkat kerja,” pamit Cinta, bukan hanya takut terlambat, tetpi Cinta merasa obrolan dengan Tegar semakin melebar kemana-mana.

“Besok saya akan menemui Mbak Cinta lagi, mungkin saya akan tetap menemui Mbak Cinta sampai Aura mau menemui saya,” ucap Tegar dengan tegas dan terdengar penuh ancaman.

Cinta menghembuskan napas kasar kala mendengar penuturan dari Tegar, gadis yang sudah tidak memiliki ayah itu merasa hidupnya tidak akan mudah setelah pertemuannya dengan durjana yang mengaku telah menghamili adiknya.

Perubahan ekspresi dan gaya bicara Tegar yang secara tiba-tiba, membuat Cinta merasakan sebuah kengerian. Tegar yang tadinya terlihat tengil dan menyebalkan dengan kata-kata yang terdengar tidak masuk akal dengan begitu cepat berubah menjadi sosok yang tegas dan dingin dengan sorot mata yang tajam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status