*****
VOP Mala
Jujur, aku tidak mencintainya. Pemuda yang telah mengejarku sekian tahun ini sama sekali tak kuingini. Berkhayal menjado istri seorang polisi saja aku tidak pernah. Bukan karena dia kurang tampan. Bukan pula karena kurang kaya. Tidak ada yang kurang pada dirinya. Tapi, cinta tak juga mau bertaut di hati ini.
Wajah Mas Reno telah memenuhi ruang di hati. Tidak ada yang bisa menggantikan posisinya. Meski tak dapat kumiliki, biarlah, dia saja yang tetap bertahta di hati ini. Cukup bayangannya, tak usah wujud nyatanya.
Namun, entah kenapa ada rasa asing yang tak kupahami, saat Mas Diky akan berpaling ke wanita lain. Bukankah sangat wajar dia mencari cinta yang lain, karena cintanya tak jua tertaut di hatiku? Sementara orang tua nya sudah tak sabar lagi. Mas Diky harus segera menikah.
Aku paham saat dia akan dijodohkan dengan wanita yang mereka anggap pantas mendampingi Mas Diky. Awalnya aku tak peduli, tapi saat melihat betapa manisnya gadis yang bernama Diyah itu, aku marah. Kenapa aku marah, coba. Bukankah aku yang menolak Mas Diky?
Duhai hatiku yang lemah, apa yang terjadi padamu? Kenapa aku tidak terima kalau Mas Diky akan dekat dengan perempuan lain? Sementara aku tidak mencintainya. Betapa egoisnya aku.
Aku tak boleh seperti ini. Aku harus bisa bersikap dewasa. Tak mengapa aku tak cinta, akan kuterima Mas Diky, semoga cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Toh, aku tak rela juga, kalau dia bersama dengan yang lain.
Cincin berlian ini memang tak lagi baru. Cincin ini tadinya melekat di jari calon ibu mertuaku. Tetapi, ini adalah ikatan resmi, aku kini telah diikat oleh Mas Diky, calon suamiku.
"Makasih, ya, La, akhirnya kamu mau menerimaku," kata Mas Diky sambil tetap fokus menatap lurus ke depan. Dia harus tetap konsentrasi melajukan sepeda motornya. Dia mengantarku kembali pulang malam ini.
"Aku kasihan pada Mamamu, bukan padamu," jawabku asal bicara. Aku sendiri ragu dengan hatiku. Entahlah.
"Jadi bukan karena kau pun menyukaiku? Oh iya, aku lupa, kalau kau belum bisa melupakan dia. Tidak apa-apa, deh. Aku sabar menunggu sampai kau mencintaiku juga seperti kau mencintai Reno."
"Maaf, kuharap kau bersabar, Mas. Jujur, aku tidak akan pernah bisa memilikinya, karena dia adalah milik sahabatku sendiri. Tak ada keinginan di hatiku untuk berselingkuh. Kau tak perlu meragukan itu."
"Aku percaya itu, Sayang."
Motor Mas Diky perlahan memasuki halaman. Gawat! Mobil pikc up Papa sudah terparkir di halaman. Artinya Papa dan Mama sudah pulang dari berjualan di pasar induk.
Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Pukul sepuluh malam. Gawat, papa dan mama pasti marah besar karena aku terlambat pulang.
Duh! ini gara-gara Mama Mas Diky yang tak henti-henti mengajakku mengobrol tadi. Jadimya kemalaman, deh.
"Kenapa gugup?" Mas Diky melihatku ikut panik.
"Mama enggak akan marah aku keluyuran siang hari, tapi kalau malam hari aku masih berada di luar jam segini, bisa habis aku diomeli," jawabku gelisah.
"Tenang, ada aku."
Mas Diky menggandeng tanganku, lalu berjalan masuk ke dalam rumah.
"Jangan begini! Nanti mereka murka, lho!" tolakku mengibaskan tangannya. Tapi, gagal. Tangan kekar lelaki itu terasa begitu kokoh dan kuat mencengkram pergelangan tanganku.
"Oh, jadi ini laki-laki yang telah mencuri hatimu? Laki laki yang membuatmu jadi pembangkang!" Papa menyambut dengan hardikan.
"Maaf, Om, saya yang salah. Saya --"
"Diam! Kau diam!" Papa menunjuk tepat muka Mas Diky.
"Tapi, tunggu! Kau siapa? Kau mirip betul dengan teman SMA ku dulu! Ah, tapi sudahlah! Enggak penting itu. Sekarang kau pergi! Aku mau bicara dengan anak gadisku, pergi dan jangan pernah kembali, paham!"
"Tapi, Om, saya --"
"Pergi! Sekali lagi kau bicara kulempar kau keluar sana! Pergi!"
"Pa, jangan kasar, gitu, dong! Sabar!" Mama mencoba menenangkan Papa yang semakin murka.
"Sabar apanya? Sudah kubilang, Mala akan kunikahkan dengan anaknya temanku. Dia tidak kuizinkan berpacaran dengan lelaki manapun. Dia barus memenuhi cita-citaku."
Aku tersentak, pun mas Diky. Kami saling tatap sesaat.
"Pulang dulu, ya, Nak! Papanya Mala masih emosi. Maafkan sikapnya, ya!" kata Mama memohon maaf pada Mas Diky.
Mas Diky mengangguk. Setelah menatapku sendu, dia pun berlalu.
"Papa keterlaluan! Mala selalu memenuhi segala peraturan dari Papa. Enggak boleh pacaran, ok, Mala enggak pernah pacaran hingga kini. Tapi, sekarang Mala udah dewasa, Pa. Kami baru saja jadian. Keluarganya juga akan segera datang melamar Mala secara baik-baik." Aku mulai melawan.
"Apa? Mulai melawan? Tunggu! Kau bilang apa tadi? Mereka mau melamar kamu? Tidak bisa! Bilang pada pacar barumu itu, kalian putus."
"Ya, enggak bisa gitu, dong, Pa!" protesku mulai putus asa.
"Kenapa enggak bisa? Kau putri Papa. Kau harus patuh pada perintah Papa. Kau tahu, dulu Papa sangat ingin menjadi angkatan seperti teman Papa itu. Tapi, Papa gagal. Nih, lihat, kaki papamu ini. Bentuknya tidak normal. Kaki O, begitu mereka menyebutnya. Hanya karena kaki ini, cita-cita Papa tepaksa hancur. Papa benci, papa dendam. Papa bahkan tak mau bertemu lagi dengan teman karib Papa itu. Sakit hati Papa setiap melihat dia. Apalagi kalau dia berseragam. Sesak napas Papa.”
Papa terduduk di kursi tamu, wajah kuyunya terlihat begitu murung.
“Sebulan yang lalu kami bertemu tak sengaja. Papa tak bisa menghindarinya. Saat itulah kami saling bercerita bahawa anak lelakinya juga angkatan seperti dia. Papa berniat menjodohkanmu dengan anaknya itu. Kalau memang papa gagal menjadi angkatan, setidaknya anak Papa. Karena Kau perempuan dan tak mau jadi angkatan, harapan Papa tinggal menantu. Suamimu harus angkatan."
Papa menjelaskan panjang lebar.
"Kenapa Papa enggak nanya dulu apa profesi Mas Diky? Dia juga angkatan seperti harapan Papa," sergahku mulai parau.
"Apa? Hem, pacarmu itu tadi memang terlihat seperti angkatan. Tapi, tetap Papa enggak setuju. Kau harus menikahi putra teman Papa, orang yang sudah jelas bibit bobotnya. Karena papa udah janji dengannya! Kau harus menurut, Mala!"
"Papa egois."
"Jangan membantah! Anak perempuan harus orang tua yang mencarikan jodohnya. Biar tidak salah pilih!"
Aku tidak berkata lagi. Segera aku masuk ke kamar. Sesak karena kecewa membuat air mataku luruh. Memang aku tak mencintai Mas Diky. Namun, saat dipaksa berpisah seperti ini, tak urung rasa sakit mendera juga.
"Sabar, Nak! Tolong mengertilah dengan sikap Papamu. Dia memang sangat keras dalam hal pacaran. Mama bangga, selama ini, kau sudah mematuhinya. Kau tidak pernah pacaran dengan lelaki manapun. Saat tiba-tiba kau pulang malam diantar seorang laki-laki, darah tingginya langsung kumat." Mama mengusap punggungku.
"Kami enggak pacaran, kok, Ma. Orang tuanya akan segera melamar Mala. Nih lihat, mereka sudah mengikat Mala," lirihku menunjukkan cincin di jemariku.
"Astaga! Mala, kenapa kau terima sebelum bicara dengan Papa dan Mama? Ya, Allah. Kembalikan, Nak! Tolong segera kembalikan!"
*****
****Kuhirup udara kebebasan dalam-dalam, begitu diri ini berada di luar. Setelah tiga tahun lima bulan terkurung di balik tembok tinggi, terisolasi dari hiruk pikuknya dunia luar, kini aku kembali dipercaya untuk melanjutkan hidup.Aku tahu, masa tahanan ini cukup singkat, dibanding dengan kejahatan yang telah kulakukan. Papa dan Kak Mala, berjuang agar masa tahananku sesingkat mungkin. Padahal, andai seumur hdup di penjara pun, aku ikhlas.Bukan suatu masalah buatku, hidup di dalam penjara. Jujur, aku malah merasa, lebih baik hidup terisolasi di dalam sana dari pada terbuang di luar sini. Yah, aku pasti hidup terbuang di luar ini.Siapa yang peduli padaku, coba? Sapa yang akan mendampingi orang cacat sepertiku? Hanya akan menjadi beban buat orang lain. Bukankah lebih baik hidup di balik jeruji? Entah untuk apa Papa dan Kak Mala berj
*****POV Rara (Malam sebelum Ratna Tertusuk)“Tidur, Nak! Sudah malam, ayo!” Ibu Niken mendorong kursi rodaku menuju kamar.“Baik, Bu,” sahutku.Tante Lena dan Nenek mengikuti kami, setelah lelah berbincang tentang persiapan pernikahan Bu Niken dengan Papa esok pagi. Tante Lena dan Nenek masuk ke kamar mereka. Sedangkan aku dan BU NIken masuk ke kamar kami sendiri. Sejak aku tinggal di rumah Kak Mala, Bu Nikenlah yang merawatku. Dia sendiri yang menawarkan diri. Kmai sekamar berdua, Nennek dimintanya pindah ke kamar Tante Lena. Alasannya agar mugah melayani segala keperluanku.Sungguh tak kusangka, wanita yang pernah dihancurkan oleh Mama, justru bersikap begitu baik padaku. Saat aku tak berdaya, dia tampil sebagai. Tiada pamrih apa-apa, aku dapat merasakan ketulusan dari setiap tindakannya.Pantas Kak Mal
*****POV MalaTekad Papa untuk menikahi Ibu kembali sepertinya sudah sangat bulat. Dia memenuhi janjinya pada Ibu dan nenek. Sehari setelah surat cerai untuk Mama Ratna keluar, dia langsung datang ke rumah untuk melamar Ibu. Alhamdulillah, Ibu menerima lamaran Papa.Pernikahan mereka akan diadakan seminggu lagi. Ibu tak ingin ada pesta, cukup pernikahan sederhana saja.Bertolak belakang dengan Papa dan Mama mertua. Mereka justru diambang perceraian. Mama mertua tetap menggugat pisah. Segala bujukan dan jalan damai telah kutempuh. Bekerja sama dengan Kak Rahma, kami berusaha menyatukan mereka kembali, tetapi pintu hati mama mertua sepertinya sudah benar-benar tertutup. Anehnya Mas Diky malah mendukung.“Apapun akan Diky lakukan untuk Mama, asal itu membuat Mama bahagia,” janjinya pada ibunya.“Izinkan mama
*****POV RaraPerlahan kesadaranku telah kembali. Yang pertama, ternyata aku masih hidup. Saat ini berada di sebuah rumah sakit, tentu saja aku yakin ini adalah sebuah rumah sakit karena ada jarum inpus yang melekat di pergelangan tangan. Ada selang yang ikut bergerak, jika tangan ini kugerakkan. Sebuah botol berisi cairan tergantung di sebuah tiang besi, diatas tempat tidur. Berbagai selang dan wayar menempel di hidung dan tubuh. Aroma obat bercampur karbol menyerang penciuman, Aroma khas rumah sakit.Ingat bagimana tubuh ini terjatuh menyentuh aspal, langsung terlindas sebuah kendaraan. Kukira sudah berakhir. Kenapa, masih berlanjut? Kenapa derita ini masih berlanjut, bahkan efisode berikutnya lebih getir. Skenario yang telah disiapkan oleh Allah, di babak kedua hidup ini, pasti lebih getir. Tentu saja! Wajah-wajah penuh derita telah menyambut kedatanganku. Aku melihat itu.&n
*****POV RaraBenar kata orang, penyesalan itu datangnya selalu terlambat. Seperti halnya yang aku alami saat ini. Entah untuk apa dulu aku meminta preman ini mengobrak-abrik rumah Kak Mala. Usahnya gagal, aekarang malah aku terjebak di sini. Kini, aku harus membayar mahal perbuatan itu.Entah bagaimana caranya agar bisa lolos dari orang sangar ini. Katakutan ini membuatku tak dapat lagi berpikir. Dia akan menjualku kepada laki-laki yang entah siapa, bagaimana tampangnya, bagimana wataknya, dan aku takut. Mama … tolong Rara …. Papa … liat nasip Rara ini Pa!Kak Mala … biasanya kau selalu hadir dan menyelesaikan setiap masalahku. Jangankan masalah yang sulit, masalah yang gampang seklaipun kau sellau hadir untuk menyelesaikannya. Saat akum alas mengerjakan PR sekolah, kau pasti mengerjakannya untukku, saat aku bermasalah dengan teman, kau selal
*****“Tunggu!”Aku tersentak taget. Alat tulis yang sudah kupegang terlepas dari tangan. Serempak kami menoleh ke arah pintu. Papa dan Ibu berdiri di sana.“Apa yang kau lakukan, Sayang?” Papa mendekat, meneliti gambar di layar, membaca kertas yang hampir saja kutandatangan.“Papa ….” Lirihku menyebut namanya. Wajah Papa memucat, segera mas Diky bangkit, menyeret kursi bekas didudukinya ke belakang Papa. Dengan lunglai, Papa mengjatuhkan tubuh di sana.“Kenapa Ibu membawa Papa ke sini?” tanya Mas Diky berbisik pada Ibu, tapi kami dapat mendengar.“Dia maksa, Nak Diky. Ibu sudah berusaha mencegah,” jawab Ibu membela diri.“Tidak apa-apa, Nak Diky. Papa baik-baik saja,” kata Papa dengan suara lemah.“Papa e