*****
Sifat Mala yang seperti inilah yang membuat rasa kagumku semakin berlipat-lipat ganda. Anehnya dia bisa bersikap seperti itu kepada semua orang. Semua … orang. Kecuali aku. Kalau menghadapiku, dia selalu ketus. Kenapa, coba. Apakah dia bersikap begitu karena akulah yang paling istimewa baginya? Bah! Orang yang istimewa, kok malah disiksa.
“Dagang juga pekerjaan yang mulia, Nak. Enggak masalah bagi kami, ya, kan, Ma?” Untung Papa sangat pintar menetralkan suasana. Meskipun Mala tampak tidak tersinggung, namun, tetap aku khawatir perasaannya terluka.
“Udah, sore, Pa! Kita balik, yuk! Ntar kemaleman lagi,” kata istri Om Rijal tiba-tiba.
“Oh, iya. Kami permisi, ya. Ayo, Diyah!” Mereka bangkit bersamaan.
“Lho, kok, buru-buru. Belum hilang kangennya, lho!” kata Papa berbasa-basi.
“Masih banyak waktu, lain kali kita sambung lagi.”
Mereka melangkah keluar setelah saling bersalaman sekali lagi. Mama dan Papa mengantar mereka hingga teras.
“Kok, enggak diantar si Diyah itu setidaknya sampai depan?” Mala meledek. Matanya tajam menatapku.
“Oh, boleh, nih. Sebenarnya aku mau ngantar sampai rumahnya, sih. Tapi, gimana, takut ada yang cemburu,” balasku tak mau kalah.
“Cemburu? Memang situ siapa, mana mungkin aku cemburu?” ketusnya. Wajah cantiknya semakin manis dengan bibir mengerucut seperti itu.
“Lho, yang bilang kamu cemburu siapa? Aku enggak bilang kamu, kan? Aku tadi bilang ada yang cemburu.”
“Memang ada lagi selain aku?” Mala menatapku serius. Aku terperangah.
“Selain kamu? Memangnya kamu siapaku?” balasku sengaja mempemainkan hatinya.
“Mas Diky … awas kalau nangis lagi seperti tadi, ya!” ancamnya dengan gigi dirapatkan.
“Diky! Ada apa, sih? Kalian kok sepertinya berantem terus?” Mama dan Papa kembali masuk.
“Mala, Ma. Masalahnya Mama tahu apa? Dari awal dia itu merajuk karena melihat putri Om Rijal tadi. Dia cemburu,” kilahku. Mata Mala membulat, menatapku penuh ancaman.
“Oh, jadi itu awal musababnya. Mala, Awalnya kami memang mau mendekatkan Diky dengan Diyah. Tapi, setelah kami tahu ada kamu, batal, dong! Makanya Tante marah sama Diky, kenapa baru dikenalin sekarang.”
Mala menunduk. Kasihan dia, sepertinya dia malu sekali karena ucapanku.
“Jadi, Nak Mala, kalau memang Diky sudah berani membawa seorang gadis ke rumah, itu artinya dia sudah sanggat serius. Kami juga sebenarnya sudah tidak sabar. Ponakannya sudah besar-besar. Tinggal dia yang belum nikah di rumah ini. Hanya dia pula anak kami laki-laki. Dialah yang kami harapkan sebagai penerus marga. Kamu paham kan, apa yang Om maksudkan? Om dan tante, bahkan seluruh keluarga besar, ingin Diky segera menikah.”
“Pa, jangan ngomong gitu dulu! Mala masih kuliah. Dia belum mikiri nikah, lho Pa?” selaku memotong ucapan Papa. Aku takut sekali. Pasti Mala bakal ngamuk lagi nanti padaku. Bah, kenapa Papa buat masalah jadi ribet gini, sih? Harusnya aku udah punya pacar aja, mereka udah senang, dong!
“Enggak masalah juga kalau masih kuliah, Diky! Boleh kok kuliah meski sudah menikah. Enggak ada larangan!” bantah Papa.
“Iya, Mala tetap kita izinin kuliah meski sudah menikah nanti. Yang penting, Nak Malanya bersedia menikah denganmu, itu!” kata Mama ikut-ikutan.
Habis sudah. Selesai. Mala pasti ngamuk nanti. Yah, aku bakal kehilangan Mala untuk selamanya. Kami kan hanya pacaran pura-pura, masa menikahnya juga pura-pura? Gawat-gawat.
“Bagaimana Nak Mala? Apakah kamu bersedia kalau kami datang ke rumah untuk melamar?” tanya Papa semakin nekat.
Mala mendongah, diliriknya aku sekilas. Sorot matanya kulihat berubah sayu. Begitu sendu. Gadis itu kini menunduk.
“Maaf, Pa? Sebenarnya. Mas Diky hanya ….”
“Mala, bagaimana kalau aku antar pulang sekarang?” kataku menyela ucapannya. Segera aku bangkit dan meraih tangannya.
“Diky! Duduk!” perintah Papa menatapku tajam.
“Tapi, Pa. Mala nanti kesorean pulangnya. Enggak enak sama orang tuanya,” bantahku semakin tegang. Aku sangat takut Mala akan berterus terang. Bagaiman reaksi Papa dan Mama nanti, kalau mendengar kalimat Mala, bahwa kami hanya pacar bohongan.
“Kau duduk dan diam, Papa mau mendengar langsung dari mulut calon menantu Papa.”
Aku mengalah. Habis sudah. Akhirnya bom ini akan meledak juga. Duh, kalau itu bom beneran, pasti aku sudah bergerak menjinakkannya. Pertama melepas wayar yang berwarna biru, lalu kuning, dan terakhir merah. Semoga prosedurnya benar. Bom tak akan jadi meledak. Tapi kali ini, bom berbeda. Jauh lebih dasyat. Bom ini akan menghancurkan hati Papa dan Mama. Ya, sudahlah. Aku pasrah saja. Kali ini, aku berjanji, tak akan menolak lagi, meski mereka jodohkan dengan wanita manapun. Aku pasrah.
“Bagaimana, Nak Mala? Apakah kamu bersedia kami datang ke rumah untuk melamar kepada orang tuamu?” tanya Papa lagi.
“Begini, Om. Sebenarnya ….”
Aku menunduk, tak sanggup rasanya menanti kalimat yang akan keluar dari mulut Mala selanjutnya.
“Bagaimana mungkin saya akan menjawab pertanyaan Om dan Tante, sedangkan Mas Diky sendiri tak pernah melamar saya menjadi istri.”
Apa? Mala bilang apa barusan? Dia sengaja mengulur waktu untuk meledakkan bom itu, rupanya. Aku semakin gelisah tak karuan.
“Oh, begitu? Diky belum pernah memintamu menjadi istrinya? Jadi hubungan kalian selama ini?” cecar Papa penuh selidik.
“Mas Diky hanya bertanya, apakah saya mau jadi pacarnya, bukan jadi istri, Om.”
“Oh, begitu, rupanya? Diky, cepat kau lamar dia sekarang!” perintah papa. Persis seperti perintah seorang komandan yang harus segera aku laksanakan.
Entah apalah maksud Mala berkata begitu. Mau ledakkan bom saja, pakai drama begini ruwet. Padahal aku sudah pasrah bom nya meledak.
“Cepat Diky! Lamar Mala sekarang juga!” Mama ikut ikutan jadi Komandan.
“Baik, Pa, Ma.” Aku memberanikan diri menatap bola mata Mala.
“Ini, pakai ini!” Mama melepas cincin berlian dari jemarinya. “Kalau memang Mala nanti menerima lamaranmu, pakaikan cincin ini di jarinya. Itu Mama hadiahkan untuknya. Besok akan mama belikan yang baru, cepat!”
Bah, ini bomnya beranak lagi. Bakal meledak rumah ini kalau begitu. Yang hancur bukan cuma hati Papa dan Mama sepertinya, tapi seluruh isi rumah ini. Bagaimana ini. Terpaksa kuraih cincin itu. Kuputar-putar dengan ragu.
“Mas Diky, mungkin tak ingin melamar saya, Tante. Dia ragu, kan? Jangan dipaksa, ya, Tante, Om,” kata Mala kemudian. Sepertinya sengaja makin membuatku jantungan. Duh! Bagaimana ini?!
“Siapa bilang? Aku mau banget menjadikanmu istri. Dari dulu juga. Dari pertama mengenalmu. Saat kita masih SMA dulu. Perasaan itu enggak pernah berubah hingga detik ini. Kau tahu kan, aku enggak pernah bisa mencintai perempuan lain selain kamu. Kenapa kau masih ragu, Mala. Nih, aku pakaikan cincinnya!” Kuraih jemarinya dengan, kugenggam kencang, tanpa berpikir panjang, segera kuselipkan cincin berlian itu.
Mereka bertiga terperanagh. Aku salah tingkah, kuhenyakkan tubuhku, kembali di atas sofa.
“Mala, maafkan Diky, ya. Cara dia melamar, mungkin kurang berkenan di hatimu, Nak,” kata mama mengelus lembut punggung gadis itu.
“Enggak apa-apa, Tante. Saya akan nanya kesiapan Papa dan Mama saya, kapan Om dan tante boleh ke rumah untuk melamar saya.”
Tunggu! Bo*mnya apakah sudah meledak? Apakah aku sudah mati sekarang? Terus yang kudengar barusan, itu suara malaikat yang sengaja datang menghiburku, begitu?”
*****
****Kuhirup udara kebebasan dalam-dalam, begitu diri ini berada di luar. Setelah tiga tahun lima bulan terkurung di balik tembok tinggi, terisolasi dari hiruk pikuknya dunia luar, kini aku kembali dipercaya untuk melanjutkan hidup.Aku tahu, masa tahanan ini cukup singkat, dibanding dengan kejahatan yang telah kulakukan. Papa dan Kak Mala, berjuang agar masa tahananku sesingkat mungkin. Padahal, andai seumur hdup di penjara pun, aku ikhlas.Bukan suatu masalah buatku, hidup di dalam penjara. Jujur, aku malah merasa, lebih baik hidup terisolasi di dalam sana dari pada terbuang di luar sini. Yah, aku pasti hidup terbuang di luar ini.Siapa yang peduli padaku, coba? Sapa yang akan mendampingi orang cacat sepertiku? Hanya akan menjadi beban buat orang lain. Bukankah lebih baik hidup di balik jeruji? Entah untuk apa Papa dan Kak Mala berj
*****POV Rara (Malam sebelum Ratna Tertusuk)“Tidur, Nak! Sudah malam, ayo!” Ibu Niken mendorong kursi rodaku menuju kamar.“Baik, Bu,” sahutku.Tante Lena dan Nenek mengikuti kami, setelah lelah berbincang tentang persiapan pernikahan Bu Niken dengan Papa esok pagi. Tante Lena dan Nenek masuk ke kamar mereka. Sedangkan aku dan BU NIken masuk ke kamar kami sendiri. Sejak aku tinggal di rumah Kak Mala, Bu Nikenlah yang merawatku. Dia sendiri yang menawarkan diri. Kmai sekamar berdua, Nennek dimintanya pindah ke kamar Tante Lena. Alasannya agar mugah melayani segala keperluanku.Sungguh tak kusangka, wanita yang pernah dihancurkan oleh Mama, justru bersikap begitu baik padaku. Saat aku tak berdaya, dia tampil sebagai. Tiada pamrih apa-apa, aku dapat merasakan ketulusan dari setiap tindakannya.Pantas Kak Mal
*****POV MalaTekad Papa untuk menikahi Ibu kembali sepertinya sudah sangat bulat. Dia memenuhi janjinya pada Ibu dan nenek. Sehari setelah surat cerai untuk Mama Ratna keluar, dia langsung datang ke rumah untuk melamar Ibu. Alhamdulillah, Ibu menerima lamaran Papa.Pernikahan mereka akan diadakan seminggu lagi. Ibu tak ingin ada pesta, cukup pernikahan sederhana saja.Bertolak belakang dengan Papa dan Mama mertua. Mereka justru diambang perceraian. Mama mertua tetap menggugat pisah. Segala bujukan dan jalan damai telah kutempuh. Bekerja sama dengan Kak Rahma, kami berusaha menyatukan mereka kembali, tetapi pintu hati mama mertua sepertinya sudah benar-benar tertutup. Anehnya Mas Diky malah mendukung.“Apapun akan Diky lakukan untuk Mama, asal itu membuat Mama bahagia,” janjinya pada ibunya.“Izinkan mama
*****POV RaraPerlahan kesadaranku telah kembali. Yang pertama, ternyata aku masih hidup. Saat ini berada di sebuah rumah sakit, tentu saja aku yakin ini adalah sebuah rumah sakit karena ada jarum inpus yang melekat di pergelangan tangan. Ada selang yang ikut bergerak, jika tangan ini kugerakkan. Sebuah botol berisi cairan tergantung di sebuah tiang besi, diatas tempat tidur. Berbagai selang dan wayar menempel di hidung dan tubuh. Aroma obat bercampur karbol menyerang penciuman, Aroma khas rumah sakit.Ingat bagimana tubuh ini terjatuh menyentuh aspal, langsung terlindas sebuah kendaraan. Kukira sudah berakhir. Kenapa, masih berlanjut? Kenapa derita ini masih berlanjut, bahkan efisode berikutnya lebih getir. Skenario yang telah disiapkan oleh Allah, di babak kedua hidup ini, pasti lebih getir. Tentu saja! Wajah-wajah penuh derita telah menyambut kedatanganku. Aku melihat itu.&n
*****POV RaraBenar kata orang, penyesalan itu datangnya selalu terlambat. Seperti halnya yang aku alami saat ini. Entah untuk apa dulu aku meminta preman ini mengobrak-abrik rumah Kak Mala. Usahnya gagal, aekarang malah aku terjebak di sini. Kini, aku harus membayar mahal perbuatan itu.Entah bagaimana caranya agar bisa lolos dari orang sangar ini. Katakutan ini membuatku tak dapat lagi berpikir. Dia akan menjualku kepada laki-laki yang entah siapa, bagaimana tampangnya, bagimana wataknya, dan aku takut. Mama … tolong Rara …. Papa … liat nasip Rara ini Pa!Kak Mala … biasanya kau selalu hadir dan menyelesaikan setiap masalahku. Jangankan masalah yang sulit, masalah yang gampang seklaipun kau sellau hadir untuk menyelesaikannya. Saat akum alas mengerjakan PR sekolah, kau pasti mengerjakannya untukku, saat aku bermasalah dengan teman, kau selal
*****“Tunggu!”Aku tersentak taget. Alat tulis yang sudah kupegang terlepas dari tangan. Serempak kami menoleh ke arah pintu. Papa dan Ibu berdiri di sana.“Apa yang kau lakukan, Sayang?” Papa mendekat, meneliti gambar di layar, membaca kertas yang hampir saja kutandatangan.“Papa ….” Lirihku menyebut namanya. Wajah Papa memucat, segera mas Diky bangkit, menyeret kursi bekas didudukinya ke belakang Papa. Dengan lunglai, Papa mengjatuhkan tubuh di sana.“Kenapa Ibu membawa Papa ke sini?” tanya Mas Diky berbisik pada Ibu, tapi kami dapat mendengar.“Dia maksa, Nak Diky. Ibu sudah berusaha mencegah,” jawab Ibu membela diri.“Tidak apa-apa, Nak Diky. Papa baik-baik saja,” kata Papa dengan suara lemah.“Papa e
*****POV MalaBayangan saat Rara dibawa pergi oleh lelaki sangar itu tak bisa hilang juga. Sungguh aku tak habis pikir, kok mau-maunya si Rara pacaran dengan preman. Apa yang ada laki-laki yang lebih baik lagi?Usahaku membujuk Mama mertua juga sia-sia belaka. Percuma aku merekam percakapan antara Rara dengan Papa mertua di warung bakso tadi. Sedikitpun hati Mama tidak tersentuh. Dia hanya menatap layar dengan wajah membentuk segi delapan. Bibirnya mencibir, lalu mengembalikan ponselku tanpa ekspresi.Sudah tertutup rapat kah pintu hati wanita itu? Kenapa tiada maaf? Setelah pernikahan yang mereka bina selama puluhan tahun, tak bisa kah, dia mengesampingkan ego, demi Anak-anak dan cucu? Begitu sakitkah hatinya? Bukankah Papa mertuaku sudah meminta maaf?Kenapa Ibu bisa memaafkan Papa? Bukankah posisi mereka hampir sama? Sama-sama dihancurkan oleh Rat
*****POV RaraNyalang kutatap wajah perempuan yang berdiri di teras sudut warung. Sebenarnya aku sudah melihatnya sedari tadi, tak lama setelah Om Herman masuk ke dalam warung. Syal panjang dan lebar yang digunakannya untuk menutupi wajah dan sebagian tubuh, membuat aku tak mengenalinya. Kukira hanya seorang pelanggan warung bakso. Tanpa kusadari dia merekam semua pembicaraanku dengan Om Herman.Mereka keterlaluan! Sengaja menjebak aku rupanya. Om Herman juga, pura-pura jual mahal! Pura-pura tak perduli lagi pada Mama, rupanya karena takut pada Kak Mala dan Kak Rahma. Pasti mereka datang bersamaan tadi, sengaja untuk mempermalukan.Kak Rahma dan Kak Mala tersenyum puas. Panas rasa hatiku.“Oh, jadi kalian sengaja menjebakku! Om Herman bilang dia datang sendiri, dia sembunyi-sembunyi ke sini, padahal kalian sekongkol! Bangs*t kalian semua!” teriakku meradang. Semua meja yang
*****Kembali POV MalaSudah tiga hari Mama mertua tinggal di rumahku. Polisi membebaskannya berdasarkan permintaan keluarga korban, yaitu Papa. Ucapan terima kasih tak henti terucap dari mulutnya. Papa yang sudah mulai sering berkunjung untuk menemui Ibu, menanggapinya dengan santai.“Saya khilap, Bang. Gak nyangka banget, si Ratna setega itu. Saya sudah membela dia mati-matian di depan Abang waktu itu, kan? Berbulan-bulan dia dan anaknya itu saya kasih makan secara gratis, kok malah mencuri suami saya,” tuturnya saat baru pulang dari penjara tiga hari lalu.“Iya, Dek Lena, tapi, lain kali, jangan pernah main senjata tajam lagi. Masalah apapun, hadapilah dengan kepala dingin. Seperti halnya sekarang. Cobalah menghadapi Herman dengan kepala dingin!” kata Papa, sepertinya sengaja memancing isi hati Mama mertua.&