Firman masih mendiamkan Savina karena kejadian kemarin. Laki-laki itu sudah termakan hasutan Bu Leni yang mengatakan Savina sebagai menantu tidak becus mengurus rumah tangga.
“Mas, diminum dulu kopinya!” ucap Savina dengan penuh perhatian. Meski Firman bersikap abai dan tidak peduli kepadanya, Savina masih bersikap baik kepada suaminya.
Firman meneguk secangkir kopi yang sudah terhidang di meja. Laki-laki itu menatap lekat kepada Savina yang masih berdiri di hadapannya.
“Vin, apa kamu mencintaiku?” tanya Firman dengan tatapan yang begitu tajam.
“Kenapa Mas, bertanya seperti itu? Seharusnya tanpa bertanya, Mas, juga tahu kalau aku sangat mencintaimu. Kalau aku tidak mencintai Mas, mungkin aku sudah kembali ke kampung.” Savina berbicara dengan tatapan sendu. Ada kesedihan yang tengah ia sembunyikan di balik tatapan matanya.
“Kalau kamu mencintai Mas, kamu harus bisa mengambil hati ibu. Mas, tahu ini tidak mudah. Tapi bukan berarti hal yang mustahil. Ibu sejatinya sangat menyayangimu Vin, hanya saja ibu tidak bisa mengungakpan perasaannya padamu.” Firman meminta Savina untuk berusaha keras mengambil hati orang tuanya. Laki-laki itu yakin, suatu saat Bu Leni akan menerima Savina seperti menantu-menantu yang lain.
“Mas, dengan cara apa lagi aku mengambil hati ibu? Ibu sepertinya tidak pernah menyukaiku karena aku bukan menantu impian. Aku hanya menantu yang berasal dari desa dan tidak memiliki pendidikan tinggi. Mungkin ibu benar, hidup Mas akan lebih bahagia ketika menikah dengan mantan Mas, yang dokter itu!” Savina berbicara dengan tatapan nanar. Meski dirinya berusaha terus bertahan, tapi Bu Leni tetap saja meremehkan dirinya.
“Vin, jangan menyerah. Sudah tugas kita sebagai anak untuk membahagiakan orang tua. Ibu juga orang tua kamu, jadi sudah sepantasnya kamu berbakti kepada ibuku!” Firman lagi-lagi tidak dapat berbuat banyak. Ia hanya dapat menguatkan Savina untuk bertahan dalam pernikahan mereka.
Savina hanya pasrah. Ia sudah berjanji akan menerima Firman dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Lalu, apa pantas kalau dirinya sekarang menyerah hanya karena Bu Leni yang tidak pernah mau menerimanya sebagai menantu? Setiap rumah tangga ada ujiannya masing-masing, mungkin ujian rumah tangga Savina hadir dari keluarga suaminya.
“Sudah ya, jangan melamun terus. Tolong bantu ibu dan anggap dia sebagai ibumu juga. Aku yakin, suatu saat hati ibu pasti akan terbuka. Kesabaranmu akan berbuah manis!” Firman segera berpamitan dan mencium kening Savina. Ia berharap kalau Savina dan ibunya akan segera berdamai seperti menantu-menantu lainnya.
Sepeninggal Firman, Bu Leni memanggil Savina. Ia memberi tahu kalau kakak perempuan Firman akan datang berkunjung. Ia meminta Savina memasak beberapa makanan kesukaan putrinya.
“Vin, Rista dan suaminya mau datang ke sini, tolong masak yang enak ya!” ucap Bu Leni kepada menantunya.
“Kak Rista mau ke sini? Tumben, biasanya Kak Rista berkunjung ketika akhir pekan,” jawab Savina kepada Bu Leni.
“Vin, dia itu putriku. Terserah dia mau kapan saja berkunjung ke rumah ini, kenapa jadi kamu yang repot?” Bu Lenin tampak sewot mendengar ucapan menantunya.
“Maaf, Bu. Vina tidak bermaksud apa-apa. Vina hanya bertanya saja.” Savina tampak begitu canggung karena ternyata Bu Lenin tersinggung dengan ucapannya.
“Ini yang membuat Ibu tidak setuju Firman menikahmu. Dari pendidikan saja kalian sudah tidak sederajat, jadi kalau diajak ngobrol juga pasti tidak nyambung. Sudahlah, Ibu pusing. Ibu mau istirahat dan jangan lupa, masak yang enak!” seru Bu Leni dengaan nada ketus.
Savina hanya mengurut dada mendengar ucapan mertuanya. Apa sehina ini menjadi wanita yang hanya memiliki ijazah SMA? Untuk mengenyam pendidikan di sekolah lanjutan saja, Savina dan keluarganya harus banyak berkorban. Bapak yang hanya seorang buruh tani, harus rela bermandi peluh seharian di sawah milik juragan Ramli. Ibunya yang hanya ibu rumah tangga juga tidak tinggal diam. Wanita itu rela bekerja apa saja asalkan menghasilkan uang.
Savina tertunduk dengan air mata yang menetes ketika mengingat pesan bapak dan ibunya sebelum ia dibawa pergi ke kota oleh Firman dan keluarganya.
“Nduk, apa pun yang terjadi dengan rumah tanggamu, kamu harus kuat. Tidak ada rumah tangga yang mudah. Semua memiliki ujiannya masing-masing. Ada yang diuji dengan ekonomi, suami, anak dan keluarga. Jadi tinggal bagaimana kamu menyikapinya. Ibu dan bapak menikah hanya sekali dan Ibu berharap kamu juga akan menikah sekali saja seumur hidup!” kata-kata itu kembali terngiang di telinga Savina. Ketika ia ingin menyerah, bayangan wajah ke dua orang tuanya seakan menjadi penguat untuknya terus bertahan bersama Firman.
Savina segera bergegas memasak ikan mujair goreng dengan sambal bawang kesukaan Kak Rista. Tidak lupa lalapan dan sayur asem sebagai pendamping menu utama. Ketika ia sedang menggoreng tempe dan tahu, tamu yang ditunggu-tunggu telah datang.
“Vin, Rista sudah sampai. Kamu segera buatkan minum untuknya!” seru Bu Leni kepada menantunya. Ia tampak tersenyum hangat menyambut kedatangan putri dan menantunya. Sementara Savina tampak sibuk di dapur seperti biasa.
“Rista, Ardi, ayo masuk ke dalam!” Bu Leni tampak begitu bahagia melihat anak dan menantunya berkunjung. Terlebih mereka membawa anak semata wayang mereka yang bernama Alisa.
Ardi dan Rista tampak menyalami Bu Leni dan segera bergegas masuk ke dalam. Dari raut wajah mereka, sepertinya mereka sedang ada masalah sehingga Rista sengaja datang ke rumah ibunya.
“Bu, aku mau cerita sama Ibu,” ucap Rista dengan wajah cemberut.
“Ya, sudah, ayo masuk dulu. Kebetulan Vina sudah selesai memasak!” Bu Leni mengajak mereka masuk ke dalam.
“Kebetulan Bu, aku dan Mas Ardi belum sarapan!” kekeh Rista dengan senyum lebar.
Savina segera menyajikan tiga gelas teh hangat di meja, ketika Savina menyodorkan tangannya untuk bersamalan dengan Rista, wanita itu justru memberikan Alisa kepada adik iparnya.
“Vin, tolong titip Alisa ya, aku mau makan dulu sama Mas Ardi!” ucap Rista tanpa sempat berbasa-basi kepada adik iparnya. Ia bahkan tidak bertanya, apa Savina sedang sibuk atau tidak? Rista dan Bu Leni memang memiliki sifat yang sama. Mereka selalu merendahkan orang yang tidak sederajat dengan mereka.
Savina segera mengambil alih Alisa dari gendongan kakak iparnya. Ia segera mengajak Alisa main di beranda rumah sambil mengamati seekor kucing yang tengah berlarian di halaman.
“Kamu ada masalah apa, Ris? Kenapa wajahmu cemberut seperti itu?” Bu Leni bertanya kepada putrinya yang tengah memiliki masalah.
“Bu, pengasuh yang biasa mengurus Alisa pulang kampung, jadi aku bingung. Sementara Ibu tahu kan, aku harus sering ke luar kota. Kalau aku belum juga menemukan pengasuh Alisa, bagaimana dengan karierku?” Rista tampak begitu sedih ketika pengasuh anaknya pulang kampung dan menikah.
“Sudah, jangan dipikirkan lagi. Kenapa kamu tidak titipkan saja sama Vina? Lihat, Alisa juga sepertinya nyaman sama Vina.” Bu Leni menunjuk ke arah Savina dan Alisa yang tengah bermain di beranda rumahnya.
“Savina juga tidak bekerja, jadi sudah sewajarnya membantumu!” Bu Leni menyarankan Savina sebagai pengasuh sementara untuk Alisa.
“Tapi bagaimana dengan Firman? Apa dia tidak keberatan kalau Savina menjadi pengasuh sementara untuk Alisa?” sahur Rista dengan tatapan lekat.
“Itu urusan Ibu, kamu cukup ikuti saja kata-kata Ibu!” ucap Bu Leni kepada putrinya.
***
Bersambung
Savina membuka matanya ketika mendengar suara yang sangat di kenalnya. Ya itu suara Shera."Shera?"Shera meminta turun dari pangkuan ayahnya, Fazlipun menurunkan sang putri di samping Savina.Shera menghambur kedalam pelukan Savina, membuat wanita itu kelagapan karena baru bangun."Sus Savina kenapa pergi?"tanya Shera."Sus tidak pergi Shera, Sus hanya pulang sebentar," jawab Savina sambil merapikan rambutnya yang berantakan."Kata Tante Nadia, Sus pergi dan tidak mau bermain denganku lagi,"balas Shera dengan wajah yang mulai mendung."Tidak Shera, buktinyan sekarang Sus ada di sini,"jawab Savina memeluk tubuh Shera hangat.Shrera yang sudah berkaca-kaca melepaskan tangisnya di dada Savina.Fazli hanya terdiam melihat putrinya saat melepas rindu dengan pengasuhnya."Ya Allah, berikanlah aku jodoh yang mampu menyayangi Shera sepenuh hati,'doa Fazli di dalam hati. Ia berharap calon istrinya nanti bisa menyayangi Shera dengan baik."Sus jangan pergi lagi,''ucap Shera penuh harap."
Firman dan Nayra terkejut mendengar pertanyaan dari Bu Leni. Sebenar hal ini sudah sering di tanyakan Bu Leni kepada mereka.Sampai saat ini belum ada tanda-tanda Nayra hamil."Firman, Nayra, kenapa kalian diam? Apa kalian tidak ingin memiliki keturunan?"sambung Bu Leni menatap tajam putranya.''Bu, kami ingin sekali memiliki seorang anak, tapi sampai saat ini kamibelum di beri rezeki,"jawab Firman dengan suara pelan.Sementara Nayra hanya tertunduk diam di samping suaminya."Kamu berusaha dong Man. Masa menbuat Nayra hamil saja tidak bisa,"jawab Bu Leni dengan nada suara penuh penekanan."Bu, kenapa Ibu berkata begitu?""Firman Ibu sudah tidak sabar menggendong seorang cucu. Nayra bagaimana kalau kamu periksa kondisi kamu? Maaf bukannya Ibu menuduh, tapi sebagai salah satu usaha kita tidak ada salahnya,"ucap Bu Leni meminta menantunya untuk memeriksakan kondisinya apakah bisa hamil atau tidak.Bagaikan di sambar petir, ucapan mertuanya seakan menghakiminya tidak bisa memberikan ket
"Mbok katakan sekali lagi kepadakum kalau Mas Fazli mau menjemput pembantu itu!"perintah Nadia berapi-api, ia ingin meyakinkan sekali lagi kalau tunangannya sedang pergi menemui wanita yang lain. Orang yang ingin ditemui Fazli hanya seorang bekas pembantu ."B-benar Mbak, Pak Fazli sedang ke Purwokerto menjemput Savina,"jawab Mbok Nah bergetar, ia belum pernah melihat Nadia murka seperti sekarang."Cukup Mbok, kamu temani saja Shera, mungkin nanti dia butuih sesuatu,"ucap Nadia memerintahkan Mbok Nah menjauh dari hadapannya.Mbok Nah menurut saja, wanita itu kemudian pamit dan berlalu dari hadapan Nadia.Nadia meraih ponselnya dan menghubungi Fazli, ia ingin mengetahui langsung dari tunangannya itu apa benar dirinya pergi menjemput Savina."TUUUUT, TUUUUT, TUUUUT,""Mas, kamu keterlaluan! Panggilanku kamu tidak gubris,"Nadia semakin murka ketika Fazli tidak menerima panggilannya. Wanita itu menautkan gerahamnya dengan kuat.Nadia tidak menyangka Fazli ingin kembali memperkerjakan
"Baik Pak, aku bersedia kembali ke Jakarta,''ucap Savina bersedia untuk kembali bekerja di rumah Fazli. Setelah memikirkan dengan matang akhirnya Savina menerima ajakan Fazli.''Terima kasih Savina, aku sangat berterima kasih kepadamu karena bersedia kembali ke Jakarta,"ucap Fazli berbinar, ia sangat berbahagia karena keputusan yang diambil oleh Savina. Inilah yang diharapkan oleh laki-laki itu, Shera sangat membutuhkan kehadiran Savina.Setelah beristirahat sebentar, siang itu juga Fazli dan Savina bersiap untuk berangkat ke Jakarta. Mereka ingin secepatnya sampai di Jakarta karena Shera sudah menunggu kedatangan keduanya terutama Savina.''Bu Aku dan Savina, berangkat dulu,''ucap azli berpamitan kepada ibun Sarmah sambil memberikan sebuah amplop berisikan sejumlah uang. Awalnya Bu Sarmah menolak pemberian Fazli, tapi laki-laki terus memberikannya."Bu sampaikan salamku kepada Bapak,''lanjut Fazli.“Baik Pak, hati-hati di jalan,”jawab Bu Sarmah membantu memasukan barang bawaan
"Apa Ibu tidak salah mendengar?"ucap Savina masih belum percaya dengan kedatangan Fazli ke rumahnya. Menurutnya dirinya sudah tidak ada masalah lagi dengan mantan majikannya itu sejak Fazli memintanya berhenti bekerja. "Vina, Ibu memang sudah tua, tapi belum terlalu pikun. Orangnya sedang duduk di kursi, kamu temui saja sendiri, nanti kamu akan tahu sendiri apa itu Pak Fazli atau bukan,''jawab Bu Sarmah meminta putrinya menemui laki-laki yang datang pagi ini ke rumah mereka. Savina awalnya tampak ragu untuk menemui laki-laki yang mengaku sebagai Fazli. Wanita itu merasa khawatir jika benar itu Fazli, pasti ada sesuatu yang membuatnya datang jauh-jauh ke desa ini. Tapi apa masalahnya?Bu Sarmah mendesak putrinya agar menemui Fazli, ia merasa kasihan karena tamunya itu sudah menempuh perjalanan jauh dari Jakarta. Savina lalu memperbaiki jilbabnya dan dengan hati yang penuh tanda tanya, wanita itu kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan dapur. Benar saja saat sampai di ruang
"Nadia, untuk sementara waktu sebaiknya kita tidak bertemu dulu, sekarang aku ingin fokus dengan kesembuhan Shera,"ucap Fazli ingin mengakhiri pembicaraannya dengan Nadia lewat ponselnya. Wanita itu ingin datang ke rumah sakit untuk menjenguk Shera."Tapi Mas, aku mau meringankan beban kamu,"protes Nadia, ia merasa keberatan dengan keputusan Fazli."Nadia, cobalah mengerti keadaanku,"potong Fazli cepat.Walaupun Nadia bersikeras dan keberatan dengan keputusan sepihak Fazli namun, laki-laki itu tetap memutuskan untuk tidak mengizinkan Nadia bertemu dengan Shera sementara waktu. Saat ini baginya kesembuhan Shera adalah yang utama, jika Nadia masih menemui sang putri ia khawatir ini akan memperburuk keadaan.Setelah mengakhiri pembicaraannya dengan Nadia, Fazli meletakkan ponselnya di atas meja. Laki-laki itu kemudian mengedarkan pandangannya keluar dari jendela kaca rumah sakit. Suasana langit ibu kota tampak sudah mulai gelap.Jika hatinya sekarang tidak sedang bersedih pa