Floella menggenggam tangan Sabrina, lalu menatap Feric dengan tenang. "Kami datang mewakili Pak Carlo."Feric mengerutkan alis, tidak mengerti. "Sejak kapan Pak Carlo jadi begitu sembarangan, sampai mengutus kalian ke acara penting yang tujuan utamanya adalah menjalin koneksi?"Dia cukup memahami sifat Sabrina yang hanya tahu bersenang-senang. Sementara itu, memangnya Floella bisa diandalkan?Floella tahu betul bahwa Feric punya prasangka buruk padanya. Dia tidak merasa perlu menjelaskan apa pun. Dia hanya tetap menggandeng Sabrina dan beranjak ke area pameran lainnya.Kebetulan, mereka berpapasan dengan seorang pria dari arah berlawanan. Benji menatap wajah Floella, tatapannya sempat membeku selama beberapa detik.Feric menangkap arah pandang itu, lalu segera maju. "Pak Benji, ini adikku. Adikku memang suka seenaknya, jadi aku harus awasi. Jangan sampai mereka bertindak semaunya."Benji menaikkan alis, bertanya dengan ringan, "Keduanya?"Feric baru hendak menjawab ketika dari arah aul
Melihat Lareina yang tampak begitu antusias, Floella merasa sedikit heran. "Dia ... sudah pergi."Dia tidak yakin kapan tepatnya Alvaro pergi. Namun, melihat kondisi tempat tidur, dia sangat yakin bahwa Alvaro tidak bermalam di kamar.Ekspresi Lareina langsung berubah. "Sudah pergi? Sekarang baru jam 7.30 pagi. Nenek bangun jam 6, tapi nggak melihatnya keluar!"Floella menyadari nada bicara sang nenek mulai tidak wajar. Dia pun mencoba menenangkan, lalu bertanya dengan hati-hati, "Nenek, kenapa? Ada masalah?"Melihat Floella penasaran, Lareina pun menghela napas berat. "Obat yang diminum kemarin bukan tonik biasa, itu obat pemicu gairah."Pengobatan tradisional memang luas ilmunya. Dia sengaja meminta Aldi meracikkan obat semacam itu. Namun, jelas obat itu tidak terpakai!Dilihat dari kondisi Floella sekarang, mana ada tanda-tanda pasangan yang habis bermesra-mesraan?Wajah Floella langsung menegang, bibirnya terkatup rapat tanpa menjawab apa-apa. Tak heran suara Alvaro terdengar serak
Alvaro menarik kembali tangannya dengan tenang, lalu melirik Lareina sejenak. "Sudah puas?"Lareina merasa lebih tenang, tetapi tetap menyuruh pelayan membawakan semangkuk jamu. "Minum ini dulu, bagus buat tubuhmu."Melihat betapa bersikerasnya Lareina, Alvaro malas berdebat. Dia bahkan tidak bertanya itu obat apa, langsung mengangkat mangkuk dan menenggaknya sampai habis.Lareina langsung tersenyum puas, lalu menoleh ke arah Floella yang tampak masih ragu. "Flo, sini dulu. Biar Dokter Aldi periksa kamu."Alvaro ikut menoleh ke arah Floella. Jari-jari Floella mengepal erat. Tenggorokannya terasa pahit."Aku ...." Dia tidak boleh diperiksa. Seorang dokter pengobatan tradisional yang benar-benar ahli bisa mengenali kondisi tubuh hanya dari denyut nadi.Dulu Aldi yang mengobati Lareina. Dia termasuk dokter kelas atas di dalam negeri. Kalau sampai diperiksa, rahasianya pasti terbongkar."Ada apa, Flo?" Lareina maju, bertanya dengan khawatir.Warna bibir Floella tampak pucat. "Nek, aku baik
Floella menurunkan pandangan sejenak, tangan yang memegang sendok tanpa sadar menjadi lebih erat.Valina tidak melewatkan reaksi singkat itu. Senyuman di sudut bibirnya semakin dalam. Dia kembali menyodorkan ponselnya ke hadapan Alvaro, seolah-olah harus mendapatkan jawaban pasti."Kak, kamu suka nggak?"Tatapan dingin Alvaro tertuju pada layar ponsel. Tidak ada perubahan pada ekspresinya. Dia lantas menatap Valina dengan pandangan penuh peringatan.Valina pun sedikit gentar, buru-buru menarik kembali ponselnya. Dia tahu hubungan kakaknya dengan Rinoa belum bisa dipublikasikan, hanya saja tadi dia memang ingin melihat reaksi Floella, tanpa bermaksud membuat Alvaro marah."Ada apa ini?" tanya Lareina, menyadari suasana sedikit berubah."Nggak apa-apa, Nek." Valina langsung mendekat sambil tertawa. "Tadi aku cuma kasih Kakak lihat sesuatu yang dia suka banget."Lareina tidak mengerti apa maksud mereka, hanya menepuk kepala cucunya sambil tersenyum dan tidak bertanya lagi.Floella terus m
Floella pun agak merasa lega.Setelah menemani Leonel makan siang dan tubuhnya mulai pulih dari rasa tidak nyaman akibat terapi, Floella kembali ke Aerosoul untuk menyelesaikan pekerjaan yang tersisa.Alvaro pun tidak menghubunginya lagi.Keesokan harinya menjelang jam pulang kerja Floella, telepon dari Lareina masuk. "Sayang, kamu pulang jam berapa?""Sebentar lagi," jawab Floella sambil menutup laptopnya."Pas banget! Nenek sudah suruh Alvaro jemput kamu. Nanti kalian pulang bareng, Ada yang ingin Nenek bicarakan dan kalian berdua harus hadir."Floella tertegun. "Nek, tapi nanti aku masih harus ....""Dia sudah di bawah, kamu tinggal turun saja."Floella memijat pelipisnya yang terasa tegang. Kalau bukan karena perintah Lareina, Alvaro mana mungkin mau menjemputnya?Dia berkemas seadanya, lalu turun ke bawah. Benar saja, sebuah Bentley Mulsanne telah terparkir di depan gedung.Jendela mobil diturunkan, Alvaro menoleh ke arahnya. "Masuk."Pemandangan ini terasa cukup asing. Selama ber
Lagi-lagi kalimat yang profesional, membuat mata Floella sedikit bergetar.Sarafnya terasa tegang. Tubuhnya masih terasa melayang akibat radioterapi yang baru selesai. Dia sampai harus diam-diam bertumpu di meja perawat agar tetap bisa berdiri dengan stabil.Floella menarik napas dalam-dalam. "Masih banyak kamar yang lebih bagus di sini, kenapa harus pilih kamar pamanku? Apa maksud mereka sebenarnya?"Alvaro menatapnya dengan tatapan datar. "Suasana hati pasien sangat penting. Aku bisa pindahin pamanmu ke kamar terbaik dan langsung bayar lunas biaya satu tahun."Dia bahkan tidak berusaha agar terdengar ramah. Ini murni urusan bisnis di matanya. Demi menyenangkan hati ibu Rinoa, dia benar-benar melakukan segala cara.Padahal sejak pamannya sakit, Alvaro tidak pernah membantu sedikit pun, apalagi soal uang. Kini, dia mau mengeluarkan biaya hingga miliaran demi ruang rawat VIP, semata-mata karena Rinoa dan ibunya.Dulu Floella juga ingin memindahkan Leonel ke kamar yang lebih baik, hanya