"Waktu Mas tinggal tadi apa Mama memarahimu?" tanya Andra pada Inaya yang tidur di lengannya malam itu.
"Nggak, Mas. Ibu sangat baik, beliau hanya menasehatiku.""Mama bilang apa?""Wanita yang akan selalu dirugikan dalam sebuah pernikahan bawah tangan."Andra merapatkan dekapan. Mencium aroma wangi rambut tebal Inaya. Dia yang telah membawa Inaya dalam hidupnya, maka dari itu dia akan bertanggung jawab sepenuhnya."Ibu benar, Mas. Kita harus jujur pada Mbak Marina. Aku akan meminta maaf, walaupun mungkin nggak akan pernah dimaafkan. Kita cari waktu yang tepat, ya." Inaya berkata sambil mendongak, memandang wajah suaminya. Andra mengangguk kemudian mendekap lagi. Dia sangat paham apa yang bakalan terjadi setelah ini. Hanya satu yang ditakutkan Andra, papanya Marina bisa menempuh banyak cara untuk menyingkirkan Inaya.Pria itu ingat bagaimana rapinya orang suruhannya saat menyingkirkan saingan bisnisnya. Juga menyingkirkan jauh-jauh perempuan simpanannya sebelum di ketahui mamanya Marina.Embusan berat napas Andra membuat Inaya kembali memandang suaminya. Namun sebelum berkata-kata, Andra kembali membawanya dalam rengkuhan. Keduanya bisa terlelap setelah malam benar-benar larut.Seperti biasanya, Inaya akan bangun sebelum azan subuh untuk memasak dan mencuci baju. Hari ini dia harus kerja, dia hanya mengambil cuti sehari saja. Sebelum pergi, makanan harus tersedia hingga siang nanti untuk mertuanya.Bu Safitri yang terbangun perlahan membuka pintu kamar, dari pintu yang sedikit terbuka dia bisa melihat Inaya yang sibuk menyiapkan bahan masakan di meja dapur. Kemudian pergi untuk melihat cuciannya di mesin. Belum genap dua puluh empat jam, beliau bisa menilai seperti apa wanita itu. Bagaimana Andra tidak jatuh cinta pada perempuan yang menjalani perannya sebagai istri dengan baik dan sangat menghargainya sebagai kepala rumah tangga.Namun beliau tidak boleh berpihak pada siapapun. Tugasnya hanya mendoakan agar semuanya diberikan jalan penyelesaian yang baik. Bagaimanapun cara yang diambil Andra dan Inaya tetap salah. Tapi sikap Marina juga tidak dibenarkan.Suara Azan Subuh berkumandang, Bu Safitri bergantian mengambil air wudhu dengan Inaya, kemudian di susul oleh Andra. Mereka melaksanakan Salat Subuh berjamaah.💐💐💐Dua minggu di rumah Andra, Bu Safitri bisa merasakan bagaimana dihargai menantu perempuan. Sebelum hatinya condong pada salah satu pihak, lebih baik segera pulang. Sebenarnya beliau masih betah di sana, Andra selalu mengajaknya jalan-jalan setelah pulang kerja atau pas hari libur untuk melihat keindahan kota itu. Beliau menyukai suasana damai di sana.Hari Senin pagi, Andra mengantarkan ibunya ke bandara. Inaya tidak ikut, karena harus masuk kerja."Segera selesaikan masalahmu, jangan di tunda-tunda lagi.""Iya, Ma. Nanti setelah ulang tahunnya Amel."Bu Safitri mengangguk. Rasa cemas memenuhi dada. Ulang tahun cucunya hanya tinggal dua mingguan lagi. Waktu yang tidak lama.Next ....Andra baru saja berdiskusi dengan Tony siang itu. Dia merasa tidak enak hati kalau harus izin pulang lagi di hari ulang tahunnya Amel, sedangkan itu jatahnya Tony untuk cuti. Namun rupanya lelaki itu telah sepakat dengan istrinya kalau tidak akan pulang kali ini. Nanti saja pas sekalian anaknya sudah libur sekolah. "Kamu tinggal pulang saja nggak apa-apa, Ndra. Pasti Amel kecewa kalau kamu nggak pulang," saran Tony tadi.Setelah ulang tahun putrinya, dia juga harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kemarahan Marina dan segala kemungkinan buruk yang bakal terjadi saat dia jujur nanti. Bahkan berhadapan dengan mertua yang bisa nekat berbuat apa saja.Di raihnya ponsel di atas meja. Ada pesan dari Inaya yang menawarinya makan siang. Tidak ada pesan masuk dari Marina. Dia hanya menghubunginya jika sedang butuh membicarakan sesuatu. Kalau Andra tak memulai, Marina tidak akan berinisiatif untuk mengirimkan pesan lebih dulu.Di sentuhnya nomer Marina. Cukup lama menunggu agar panggilannya
Pintu rumah kembali di buka. Mereka masuk. Inaya cepat-cepat masuk kamar dan mandi, agar tidak ketinggalan waktu salat Maghrib. Sementara Andra ke dapur untuk membuatkan teh untuk istrinya."Mas, nggak usah repot-repot. Lain kali biar aku buat sendiri," protes Inaya sambil duduk di ruang keluarga, di samping suaminya. Setelah menyesap teh, Inaya berdiri. "Akan ku siapkan makan malam dulu, Mas."Andra mengekori istrinya ke belakang. Inaya mengeluarkan lauk dari lemari kaca. Ada kare ayam dan kering tempe. Mereka langsung makan malam tanpa menghangatkan lauk terlebih dahulu. Andra tidak suka lauk yang dipanaskan. "Mas, makan sedikit banget. Mau kutambahi." Inaya mengambil centong nasi dan hendak membuka magic jar. Namun Arya mencegahnya. "Tidak usah, Naya. Perut Mas lagi tak enak.""Nah, pasti gara-gara Mas telat makan. Sebentar aku ambilkan obat." Inaya bergegas ke kotak P3K yang menempel di dinding dekat kulkas. Dia sudah hafal kebiasaan Andra. Kalau banyak pikiran dan telat makan, m
Ponsel di dasbor berdering, segera Andra menyambarnya. Berharap ada kabar mengenai Inaya. Rupanya Tony yang sedang menelepon."Halo.""Kamu di mana? Inaya nggak ada di rumah sakit. Kutanyakan pada petugas, mereka bilang sudah di bawa pulang keluarganya?""Ya, aku sudah tahu. Tapi di rumahnya juga nggak ada. Aku mau nemui temannya dulu, barangkali dia tahu.""Pulang saja dulu, urusi Marina. Biar kucarikan kabar mengenai Inaya. Aku yakin orang tuanya punya alasan yang kuat untuk membawa Inaya pergi. Padahal dia dalam keadaan butuh perawatan.""Ton, kamu yang ngabari orang tua Inaya tadi?""Bukan. Mesi panik dan menghubungi Tita. Kurasa Tita yang ngabari bapak dan ibunya Naya. Sudahlah kamu pulang dulu. Biar aku cari info di mana Inaya. Tenangkan dulu Marina, dia bisa nekat berbuat apa saja.""Ya, aku harus tahu kalau Inaya baik-baik saja. Kata perawat Inaya sedang hamil.""Memangnya kamu belum tahu?""Inaya belum memberitahuku.""Kemungkinan dia baru hamil sekitar sebulan, kata dokter y
Kembali ditariknya napas panjang, lantas melanjutkan bicara. "Kamu pikir aku hanya butuh urusan ranjang saja? Aku butuh teman bicara, aku butuh ada orang yang bisa mendampingiku di sini. Kita pernah duduk berdua membahas ini dua tahun yang lalu. Bahkan sejak dulu aku sering mengajakmu bicara untuk mencari solusi agar kita tak lagi satu atap dengan orang tuamu. Tapi kamu selalu menjawab 'gampang.' Sepuluh tahun kita bersama. Ini pencapaian yang luar biasa dalam pernikahan kita yang selalu beriak. Kita pernah sangat bahagia saat lahir anak-anak kita. Aku pernah bilang, jika pulang kerja ingin bertemu anak-anak dan bercanda dengan kalian. Saat kupinta kalian tinggal di kota ini, apa jawabanmu. 'Kamu bisa nelepon kan, Mas'. Kamu tidak berusaha memahami bagaimana perasaanku. Apakah ini yang di namakan cinta?"Mereka saling pandang. "Maafkan aku. Aku memang salah, Rin. Tapi dari cara yang salah ini aku bisa merasakan bagaimana menjadi suami yang dihargai dan di butuhkan." Andra tidak lagi m
Andra menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu berplitur cokelat, dengan permukaan berukiran klasik. Pintu ruang kerja setinggi tiga meter dengan pegangan kuning keemasan. Dua kali ketukan, terdengar papa mertua menyuruhnya masuk.Pintu terdorong, di kursi kebesarannya lelaki berusia enam puluh lima tahun itu duduk dengan angkuhnya. Andra melangkah dengan tenang menghampiri mertuanya."Duduklah!" perintah lelaki yang di kenal dengan nama Cakra Kusuma. Andra menarik kursi dan duduk."Bagaimana pekerjaanmu?""Alhamdulillah, lancar, Pa.""Kapan rencana pindah ke kantor pusat?""Saya tidak tahu."Pak Cakra manggut-manggut. Lebih baik Andra menahan diri agar tidak banyak bicara. Dengan begitu dia bisa membaca gelagat mertuanya. Dia juga tidak ingin berurusan dengan hal yang rumit dengan mertua. Terlebih jika akan berakhibat fatal pada Inaya."Apa dulu antara kamu dan Pak Yusa nggak ada perjanjian mengenai tugas kamu di sana? Misalnya hanya beberapa tahun saja gitu.""Tidak ada, Pa.
Anak-anak sangat riang diajak jalan-jalan dan membeli apa yang mereka mau. Andra sangat bahagia mereka bisa seceria itu. Sedangkan di lengan kirinya, Marina bergelayut manja. Andra melangkah di sepanjang koridor dengan perasaan hampa. Tadi sempat menelepon Tati sewaktu pulang dari kantor Pak Yusa, tapi jawaban perempuan itu sama seperti jawaban Tony. Kantor tempat mereka bekerja juga tidak menerima surat izin dari Inaya. Dan keberadaan perempuan bermata bening itu jadi bahan pertanyaan bagi rekan-rekan yang mengenalnya.Kiki ngotot ingin masuk kids zone. Amel sebenarnya tidak mau, tapi akhirnya harus mengalah demi sang adik. Andra dan Marina duduk menunggu di bangku besi depan tempat bermain itu."Apakah pertemuan Mas dengan Pak Yusa tadi untuk membicarakan kepindahan Mas kembali ke sini?" tanya Marina setelah diam cukup lama."Kami bicara mengenai pekerjaan.""Itu saja?""Ya."Marina kecewa. Ternyata laki-laki yang beberapa waktu lalu di temui papanya tidak mengindahkan permintaan sa
Ketika langkah kaki sudah terbentur jalan buntu, satu-satunya jalan keluar hanyalah balik arah. Dan ini yang akan di rencanakan Marina. Memulai lagi hubungan yang tak lagi sama seperti dulu. Selama ini Andra selalu mendengarkan apa kata ibunya, dengan mendekati wanita itu, pasti Andra akan kembali luluh."Mas, nggak ke kantor lagi hari ini?" tanya Marina setelah Andra masuk kamar, baru kembali dari mengantar anak-anak ke sekolah. "Tidak. Kenapa?""Nggak ada apa-apa." Padahal jika Andra tidak di rumah, Marina akan menemui ibu mertuanya hari ini juga. Lebih cepat akan lebih baik, sebelum Andra kembali lagi ke tempat kerjanya.Marina kembali menyusun pakaiannya di dalam koper. Walaupun masih tiga hari lagi Andra akan kembali, dirinya sudah bersiap lebih awal karena akan ikut serta. Dia tidak akan memberi celah pada Andra untuk kembali dekat dengan istri keduanya. Andra hanya memperhatikan apa yang dilakukan Marina. Dia tidak mempermasalahkan istrinya ikut. Juga tidak takut kalau kehadi
Andra kembali menyalakan layar ponselnya. Di hubunginya Tony. "Halo, Assalamu'alaikum." Suara Mesi di seberang."Wa'alaikumsalam, Tony ada?""Ada, masih di kamar mandi. Apa nanti saja Mas Andra telepon lagi?""Jangan ditutup dulu. Aku mau nanya sama kamu, bagaimana keadaan terakhir Naya waktu itu?""Dia ... dia minta agar aku menyampaikan permintaan maafnya pada Mas dan Mbak Marina. Itu saja yang sempat diucapkan sebelum dia nggak sadarkan diri dalam perjalanan. Tapi maaf, aku belum bisa menyampaikan ini pada kalian. Situasinya belum memungkinkan, aku khawatir saja malah di maki-maki sama Mbak Marina.""Ya, tidak apa-apa. Aku minta maaf karena melibatkan kamu dalam urusan ini.""Nggak apa-apa, Mas. Selama ini aku dan Mas Tony nggak mencampuri juga urusan kalian. Kami hanya berteman baik pada siapa saja. Siapalah kami ini jika harus menghakimi permasalahan orang lain. Walaupun kita berteman. Mungkin jika aku nggak mengalah ikut Mas Tony. Bisa saja hal yang sama akan terjadi. Berdoa sa