Share

Part 8 Pertemuan

Andra gelisah duduk di ruang tunggu. Pesawat mamanya delay tiga puluh menit dari jadwal semula. Hari ini dia juga mendapatkan kabar kalau Amel juara tiga lomba lari di sekolahnya. Gadis kecilnya sangat antusias memberitahunya saat Andra masih di perjalanan tadi. Dia juga mengirimkan pesan pada Inaya kalau akan telat sampai di rumah.

Sambil menunggu, Andra memantau perkerjaannya dengan menelepon Tony. Dengan begini rasa cemasnya sedikit teralihkan. Padahal kalau cuti tidak perlu ngurusi pekerjaan di kantor, bukankah ada asistennya yang di percaya?

"Andra," panggilan itu membuat Andra kaget dan mendongak. Wanita berjilbab lebar warna cokelat itu tersenyum padanya.

"Mama. Aduh sorry, Ma. Andra tidak tahu Mama sudah datang." Pria itu tidak menyadari kalau waktu sangat pantas berlalu karena dia terlalu asyik dengan ponselnya. Di salami dan diciumnya tangan Bu Safitri. Kemudian meraih travel bag mini dari tangan sang mama.

"Kalau mama tinggal begini, siapa yang jagain Amy, Ma?" tanya Andra beriringan berjalan dengan mamanya menuju parkiran mobil.

"Kan ada ibu mertua sama suaminya."

Andra membuka pintu mobil untuk mamanya. "Lho mana Inaya?" tanya Bu Safitri setelah naik mobil.

"Di rumah, Ma. Tadi bikin kue, jadi tak ikut."

"Dia pandai bikin kue?"

"Sesekali kalau pas ada waktu saja bikin. Naya kerja sampai hari Sabtu, Ma. Sedangkan aku kalau Sabtu-Minggu libur."

Mobil melaju dengan kecepatan sedang di jalan tol. Ada sang mama makanya Andra tidak berani ngebut. Andra menceritakan situasi kota kecil tempatnya bekerja. Sepanjang perjalanan Bu Safitri menikmati pemandangan yang hijau membentang di kiri jalan. Gunung tertinggi di pulau Jawa itu tampak megah di kejauhan.

Bu Safitri menanyakan tentang Inaya. Tapi Andra mengelak untuk menceritakan. "Nanti Mama bisa menilai sendiri bagaimana dia. Aku tidak mau cerita, nanti mama nuduh aku mencari pembenaran sendiri." Andra justru menceritakan Amel yang baru saja menang lomba lari.

"Mama kangen sama mereka, Nak. Kamu ngajak mereka main ke rumah juga sebentar saja waktu itu."

"Bulan depan aku pulang lagi saat Amel ulang tahun, Ma."

"Ajak anak-anak main ke rumah, biar mereka tahu kalau ada sepupunya yang baru lahir."

"Iya." Andra mengangguk. Padahal kemarin dia sempat memberitahu Marina kalau Amy melahirkan, kalau mamanya bilang seperti itu berarti Marina tidak membawa anak-anak datang menjenguk Amy dan anaknya. Harus sekeras apalagi dia meminta pada Marina agar memiliki empati dan rasa kekeluargaan pada keluarganya.

Bu Safitri mengalihkan pembicaraan pada topik lain. Mengenai pekerjaan Andra, hubungan Andra dengan orang yang paling berjasa dalam hidup mereka, yaitu Pak Yusa. Juga perkembangan perusahaan cabang, tempat Andra bernaung empat tahun ini.

Tak terasa mobil sudah memasuki garasi rumah. Inaya berdiri menyambut di teras, senyumnya mengembang terlihat sungkan dan serba salah. Tangannya menyatu di depan tubuhnya, menyembunyikan gemetar yang parah menyiksa.

Andra membukakan pintu untuk mamanya. Wanita anggun itu turun menenteng tas tangan, di belakangnya sang putra membawakan travel bag. "Assalamu'alaikum," ucap Bu Safitri.

"W*'alaikumsalam." Inaya buru-buru menyalami dan mencium tangan mertuanya. Bu Safitri tersenyum. Inaya ganti mencium tangan suaminya. Mereka masuk rumah. Segera Inaya membuatkan minum untuk mertua dan suaminya.

Bu Safitri yang duduk di sofa ruang tengah memperhatikan tempat tinggal putranya. Rumahnya rapi dan wangi. Tidak ada satupun foto yang menggantung di dinding. Kecuali kaligrafi ayat kursi ukuran satu kali setengah meter yang menghiasi dinding di sebelah tempat duduknya. Andra menyusul duduk setelah menyimpan koper mamanya di kamar.

Inaya menyeduh teh dengan dada berdebar. Ternyata aslinya sang mertua lebih anggun dan menenangkan ketika di pandang. Selama ini dia tahu dari foto yang di tunjukkan suaminya.

Dua gelas teh hangat, sepiring roti kukus, dan semangkuk buah-buahan yang sudah di potong dadu di bawa keluar Inaya dalam nampan besar. "Silakan diminum, Bu."

"Terima kasih." Bu Safitri segera meraih gelas dan minum beberapa teguk teh manis. Teh aroma melati yang sering juga di buatnya di rumah.

"Namamu Inaya?"

Inaya mengangguk sopan. Debar di dadanya tak jua reda.

"Umurmu berapa?"

"Dua puluh tujuh, Bu."

"Masih muda. Selisih sepuluh tahun dengan Andra." Bu Safitri memandang putranya. Andra sendiri cemas kalau ibunya akan menegur mereka saat itu juga. Di pandangnya Inaya yang tampak cemas.

"Mama mau istirahat atau mau ganti pakaian dulu, kamarnya di sebelah sini, Ma." Andra menunjuk pintu kamar yang berada di ruangan itu juga.

"Iya, Mama mau ganti baju dulu." Bu Safitri masuk kamar. Baru saja Andra hendak mendekati istrinya, ponsel di saku celana berdering. Ada panggilan masuk dari Tony.

"Halo, Ton."

"Kamu sudah sampai rumah?"

"Sudah, baru saja. Ada apa?"

"Bisa ke kantor sebentar. Maaf ini aku nggak bisa nge-handle, Ndra. Orangnya minta bertemu langsung sama kamu. Sorry ya ganggu cuti kamu."

"Baiklah, aku ke kantor sekarang."

Andra mengakhiri panggilan. Dia menggeser duduknya mendekati Inaya. "Mas tinggal ke kantor ya, ada yang urgent."

Inaya memandang suaminya dan keberatan kalau harus ditinggal dalam situasi seperti itu. Tapi dia tidak bisa melarang.

"Makan siang nanti Mas bisa pulang?"

"Mas usahakan."

Setelah Inaya mengangguk, Andra berdiri dan mengetuk kamar mamanya. Pintu terbuka, muncul Bu Safitri yang sudah melepas jilbab dan memakai daster rumahan. Dia langsung pamitan kalau ada urusan di kantor.

Tinggallah dua wanita beda generasi duduk di ruang tengah. Inaya mempersilakan mertuanya untuk mencicipi roti kukus buatannya. "Maaf, sepertinya rotinya kurang manis, Bu."

"Ini sudah cukup manis. Ibu nggak suka makan yang terlalu manis.'

Inaya tersenyum. Bu Safitri bertanya hal-hal umum yang ada di lingkungan itu. Bertanya tentang pekerjaan dan keluarga Inaya. Membuat wanita itu bisa lebih tenang.

"Kamu masih sangat muda, Nak. Usiamu lebih muda dari adiknya Andra. Masa depanmu juga masih panjang. Apa nggak sayang kamu memilih kehidupan seperti ini?" Bu Safitri berkata pelan dan sangat hati-hati. Dia juga harus menjaga perasaan lawan bicara. Perempuan yang telah membuat putranya membagi hati. Kenapa beliau harus bicara secepat ini, karena tidak ingin menunda-nunda untuk segera membahasnya. Masalah ini sangat besar dan sensitif. Bom waktu akan meledak kapan saja.

Bu Safitri menggeser duduknya agar lebih mendekat ke Inaya. "Kamu cantik dan terpelajar. Kenapa harus menikah dengan pria beristri?"

"Jangan takut, Naya. Ibu nggak marah, ibu nggak membencimu, tapi Ibu juga nggak membenarkan dengan apa yang Andra dan kamu lakukan. Ibu juga memiliki anak perempuan, memiliki dua cucu perempuan. Ibu hanya ingin tahu apa alasanmu memutuskan menikah dengan Andra."

Sebelum menjawab, Inaya menarik napas dalam-dalam. Jemarinya saling bertaut di pangkuan. "Maafkan saya, Bu."

"Tentunya kamu sudah tahu sebelumnya, kalau Andra sudah punya istri dan dua anak."

Inaya mengangguk.

"Kenapa kamu masuk dalam rumah tangga mereka? Ibu sangat menyayangkan karena kamu masih muda, Nak. Kamu berhak mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari anak ibu. Laki-laki yang akan menjadikanmu satu-satunya permaisuri. Bukan menjadikanmu simpanan seperti ini." Netra Bu Safitri berkaca-kaca. Sebagai perempuan, dia bisa merasakan bagaimana perasaan Inaya. Sebagai ibu dia bisa menilai wanita seperti apa yang dinikahi putranya. Beliau bisa melihat ketulusan hati Inaya dari caranya menatap dan bersikap. Namun sayang, semua berada pada tempat yang salah.

"Kamu mencintai Andra?"

"Iya, saya mencintai Mas Andra." Satu bulir air mata menetes dari mata bening itu.

Bu Safitri memalingkan wajah, ada luka yang dilihat dari tetes bening yang jatuh di pipi Inaya. Menandakan bahwa hatinya juga dalam dilema. Dalam bayangan Bu Safitri yang muncul hanya sosok dua cucunya, tapi bukan berarti beliau tidak simpati dengan Marina. Andai saja dulu, sang menantu mau mengikuti sarannya, kemungkinan besar permasalahan ini tidak akan terjadi.

"Saya salah, Bu. Saya mohon maaf."

"Tidak pada Ibu kamu harus minta maaf, Nak. Tapi pada perempuan yang suaminya sudah menikahimu. Ini juga salahnya Andra. Naya, Ibu nggak membencimu, tapi ibu juga nggak bisa mendukung pernikahan diam-diam kalian ini. Ada hati lain yang tersakiti. Ibu juga berdosa jika meminta kalian bercerai. Memisahkan ikatan pernikahan adalah perbuatan yang dibenci Gusti Allah. Walaupun nikah siri, dalam agama kalian sah sebagai suami istri."

Bu Safitri menarik napas panjang. Kemudian kembali memandang Inaya. "Apa kamu nggak takut ditinggalkan Andra? Jika dia ingin mempertahankan istri dan anaknya? Kamu nggak akan dapat apa-apa, Naya. Bahkan surat cerai pun nggak akan ada. Kamu yang dirugikan dalam pernikahan siri."

"Saya sudah memikirkan ini, Bu. Karena mencintai bukan hanya untuk memiliki saja, tapi juga harus siap melepaskan. Saya sadar posisi saya."

Hening. Bu Safitri tahu kalau putranya berada di posisi yang sulit. Andra tidak setangguh papanya dalam menepis godaan di luar rumah tangganya. Apalagi di dukung oleh sikap Marina dan mertuanya yang membuat hubungan mereka makin rumit. Tentu tidak mudah bagi Andra membuat keputusan menikah lagi diam-diam. Pasti putranya sudah melakukan banyak pertimbangan sebelum melangkah. Mungkin ada sesuatu dari Inaya yang baginya istimewa hingga membiarkan hatinya kembali jatuh cinta.

"Bagaimana Andra merayumu? Apa dia menceritakan keburukan istrinya biar kamu bersimpati?"

"Nggak, Bu. Mas Andra hanya bilang kalau Mbak Marina nggak ingin mendampinginya di sini, walaupun sudah berkali-kali di minta. Justru saya tahu dari orang lain mengenai perlakuan orang tua Mbak Marina pada Mas Andra." Inaya ingat saat istrinya Tony cerita padanya.

Pembicaraan mereka selesai saat suara mobil Andra memasuki garasi. Pria itu memandang curiga pada mama dan istrinya. Terlebih saat melihat netra kedua wanita yang memiliki tempat istimewa di hatinya itu tampak memerah.

"Cepatnya kamu pulang, Nak? Sudah selesai urusannya?" Bu Safitri yang bertanya.

"Sudah, Ma. Hanya menemui tamu kantor sebentar."

Andra meletakkan kunci di meja dekat televisi, kemudian duduk bergabung. Perasaannya tidak enak sejak dia meninggalkan rumah tadi.

"Mama baru saja bicara dengan istrimu. Saran Mama segera selesaikan masalah ini. Kalian harus jujur pada Marina, sebelum dia tahu hal ini dari orang lain. Kalian harus siap jujur, meski banyak resiko setelahnya. Hadapi dengan gentle, Nak." Bu Safitri berkata sambil memandang putranya. Andra mengangguk setelah menatap Inaya.

Mamanya benar, sudah waktunya dia memang harus bicara terbuka. Setahun sudah mereka menjalani pernikahan rahasia ini.

Inaya pamit ke belakang untuk menyiapkan makan siang. Sementara Andra masih berbincang dengan mamanya. "Segera selesaikan masalah ini. Kamu tahu kan bagaimana papanya Marina. Dia bisa nekat menyuruh orang untuk mencelakai Inaya. Dia bisa membayar orang untuk menuntaskan misinya. Bahkan nggak segan untuk menghancurkan karirmu dan keluarga kita."

"Ya, Ma. Aku tahu."

"Cari waktu yang tepat untuk memberitahu Marina."

Andra mengangguk.

Next ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status