Andra gelisah duduk di ruang tunggu. Pesawat mamanya delay tiga puluh menit dari jadwal semula. Hari ini dia juga mendapatkan kabar kalau Amel juara tiga lomba lari di sekolahnya. Gadis kecilnya sangat antusias memberitahunya saat Andra masih di perjalanan tadi. Dia juga mengirimkan pesan pada Inaya kalau akan telat sampai di rumah.
Sambil menunggu, Andra memantau perkerjaannya dengan menelepon Tony. Dengan begini rasa cemasnya sedikit teralihkan. Padahal kalau cuti tidak perlu ngurusi pekerjaan di kantor, bukankah ada asistennya yang di percaya?"Andra," panggilan itu membuat Andra kaget dan mendongak. Wanita berjilbab lebar warna cokelat itu tersenyum padanya."Mama. Aduh sorry, Ma. Andra tidak tahu Mama sudah datang." Pria itu tidak menyadari kalau waktu sangat pantas berlalu karena dia terlalu asyik dengan ponselnya. Di salami dan diciumnya tangan Bu Safitri. Kemudian meraih travel bag mini dari tangan sang mama."Kalau mama tinggal begini, siapa yang jagain Amy, Ma?" tanya Andra beriringan berjalan dengan mamanya menuju parkiran mobil."Kan ada ibu mertua sama suaminya."Andra membuka pintu mobil untuk mamanya. "Lho mana Inaya?" tanya Bu Safitri setelah naik mobil."Di rumah, Ma. Tadi bikin kue, jadi tak ikut.""Dia pandai bikin kue?""Sesekali kalau pas ada waktu saja bikin. Naya kerja sampai hari Sabtu, Ma. Sedangkan aku kalau Sabtu-Minggu libur."Mobil melaju dengan kecepatan sedang di jalan tol. Ada sang mama makanya Andra tidak berani ngebut. Andra menceritakan situasi kota kecil tempatnya bekerja. Sepanjang perjalanan Bu Safitri menikmati pemandangan yang hijau membentang di kiri jalan. Gunung tertinggi di pulau Jawa itu tampak megah di kejauhan.Bu Safitri menanyakan tentang Inaya. Tapi Andra mengelak untuk menceritakan. "Nanti Mama bisa menilai sendiri bagaimana dia. Aku tidak mau cerita, nanti mama nuduh aku mencari pembenaran sendiri." Andra justru menceritakan Amel yang baru saja menang lomba lari."Mama kangen sama mereka, Nak. Kamu ngajak mereka main ke rumah juga sebentar saja waktu itu.""Bulan depan aku pulang lagi saat Amel ulang tahun, Ma.""Ajak anak-anak main ke rumah, biar mereka tahu kalau ada sepupunya yang baru lahir.""Iya." Andra mengangguk. Padahal kemarin dia sempat memberitahu Marina kalau Amy melahirkan, kalau mamanya bilang seperti itu berarti Marina tidak membawa anak-anak datang menjenguk Amy dan anaknya. Harus sekeras apalagi dia meminta pada Marina agar memiliki empati dan rasa kekeluargaan pada keluarganya.Bu Safitri mengalihkan pembicaraan pada topik lain. Mengenai pekerjaan Andra, hubungan Andra dengan orang yang paling berjasa dalam hidup mereka, yaitu Pak Yusa. Juga perkembangan perusahaan cabang, tempat Andra bernaung empat tahun ini.Tak terasa mobil sudah memasuki garasi rumah. Inaya berdiri menyambut di teras, senyumnya mengembang terlihat sungkan dan serba salah. Tangannya menyatu di depan tubuhnya, menyembunyikan gemetar yang parah menyiksa.Andra membukakan pintu untuk mamanya. Wanita anggun itu turun menenteng tas tangan, di belakangnya sang putra membawakan travel bag. "Assalamu'alaikum," ucap Bu Safitri."W*'alaikumsalam." Inaya buru-buru menyalami dan mencium tangan mertuanya. Bu Safitri tersenyum. Inaya ganti mencium tangan suaminya. Mereka masuk rumah. Segera Inaya membuatkan minum untuk mertua dan suaminya.Bu Safitri yang duduk di sofa ruang tengah memperhatikan tempat tinggal putranya. Rumahnya rapi dan wangi. Tidak ada satupun foto yang menggantung di dinding. Kecuali kaligrafi ayat kursi ukuran satu kali setengah meter yang menghiasi dinding di sebelah tempat duduknya. Andra menyusul duduk setelah menyimpan koper mamanya di kamar.Inaya menyeduh teh dengan dada berdebar. Ternyata aslinya sang mertua lebih anggun dan menenangkan ketika di pandang. Selama ini dia tahu dari foto yang di tunjukkan suaminya.Dua gelas teh hangat, sepiring roti kukus, dan semangkuk buah-buahan yang sudah di potong dadu di bawa keluar Inaya dalam nampan besar. "Silakan diminum, Bu.""Terima kasih." Bu Safitri segera meraih gelas dan minum beberapa teguk teh manis. Teh aroma melati yang sering juga di buatnya di rumah."Namamu Inaya?"Inaya mengangguk sopan. Debar di dadanya tak jua reda."Umurmu berapa?""Dua puluh tujuh, Bu.""Masih muda. Selisih sepuluh tahun dengan Andra." Bu Safitri memandang putranya. Andra sendiri cemas kalau ibunya akan menegur mereka saat itu juga. Di pandangnya Inaya yang tampak cemas."Mama mau istirahat atau mau ganti pakaian dulu, kamarnya di sebelah sini, Ma." Andra menunjuk pintu kamar yang berada di ruangan itu juga."Iya, Mama mau ganti baju dulu." Bu Safitri masuk kamar. Baru saja Andra hendak mendekati istrinya, ponsel di saku celana berdering. Ada panggilan masuk dari Tony."Halo, Ton.""Kamu sudah sampai rumah?""Sudah, baru saja. Ada apa?""Bisa ke kantor sebentar. Maaf ini aku nggak bisa nge-handle, Ndra. Orangnya minta bertemu langsung sama kamu. Sorry ya ganggu cuti kamu.""Baiklah, aku ke kantor sekarang."Andra mengakhiri panggilan. Dia menggeser duduknya mendekati Inaya. "Mas tinggal ke kantor ya, ada yang urgent."Inaya memandang suaminya dan keberatan kalau harus ditinggal dalam situasi seperti itu. Tapi dia tidak bisa melarang."Makan siang nanti Mas bisa pulang?""Mas usahakan."Setelah Inaya mengangguk, Andra berdiri dan mengetuk kamar mamanya. Pintu terbuka, muncul Bu Safitri yang sudah melepas jilbab dan memakai daster rumahan. Dia langsung pamitan kalau ada urusan di kantor.Tinggallah dua wanita beda generasi duduk di ruang tengah. Inaya mempersilakan mertuanya untuk mencicipi roti kukus buatannya. "Maaf, sepertinya rotinya kurang manis, Bu.""Ini sudah cukup manis. Ibu nggak suka makan yang terlalu manis.'Inaya tersenyum. Bu Safitri bertanya hal-hal umum yang ada di lingkungan itu. Bertanya tentang pekerjaan dan keluarga Inaya. Membuat wanita itu bisa lebih tenang."Kamu masih sangat muda, Nak. Usiamu lebih muda dari adiknya Andra. Masa depanmu juga masih panjang. Apa nggak sayang kamu memilih kehidupan seperti ini?" Bu Safitri berkata pelan dan sangat hati-hati. Dia juga harus menjaga perasaan lawan bicara. Perempuan yang telah membuat putranya membagi hati. Kenapa beliau harus bicara secepat ini, karena tidak ingin menunda-nunda untuk segera membahasnya. Masalah ini sangat besar dan sensitif. Bom waktu akan meledak kapan saja.Bu Safitri menggeser duduknya agar lebih mendekat ke Inaya. "Kamu cantik dan terpelajar. Kenapa harus menikah dengan pria beristri?""Jangan takut, Naya. Ibu nggak marah, ibu nggak membencimu, tapi Ibu juga nggak membenarkan dengan apa yang Andra dan kamu lakukan. Ibu juga memiliki anak perempuan, memiliki dua cucu perempuan. Ibu hanya ingin tahu apa alasanmu memutuskan menikah dengan Andra."Sebelum menjawab, Inaya menarik napas dalam-dalam. Jemarinya saling bertaut di pangkuan. "Maafkan saya, Bu.""Tentunya kamu sudah tahu sebelumnya, kalau Andra sudah punya istri dan dua anak."Inaya mengangguk."Kenapa kamu masuk dalam rumah tangga mereka? Ibu sangat menyayangkan karena kamu masih muda, Nak. Kamu berhak mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari anak ibu. Laki-laki yang akan menjadikanmu satu-satunya permaisuri. Bukan menjadikanmu simpanan seperti ini." Netra Bu Safitri berkaca-kaca. Sebagai perempuan, dia bisa merasakan bagaimana perasaan Inaya. Sebagai ibu dia bisa menilai wanita seperti apa yang dinikahi putranya. Beliau bisa melihat ketulusan hati Inaya dari caranya menatap dan bersikap. Namun sayang, semua berada pada tempat yang salah."Kamu mencintai Andra?""Iya, saya mencintai Mas Andra." Satu bulir air mata menetes dari mata bening itu.Bu Safitri memalingkan wajah, ada luka yang dilihat dari tetes bening yang jatuh di pipi Inaya. Menandakan bahwa hatinya juga dalam dilema. Dalam bayangan Bu Safitri yang muncul hanya sosok dua cucunya, tapi bukan berarti beliau tidak simpati dengan Marina. Andai saja dulu, sang menantu mau mengikuti sarannya, kemungkinan besar permasalahan ini tidak akan terjadi."Saya salah, Bu. Saya mohon maaf.""Tidak pada Ibu kamu harus minta maaf, Nak. Tapi pada perempuan yang suaminya sudah menikahimu. Ini juga salahnya Andra. Naya, Ibu nggak membencimu, tapi ibu juga nggak bisa mendukung pernikahan diam-diam kalian ini. Ada hati lain yang tersakiti. Ibu juga berdosa jika meminta kalian bercerai. Memisahkan ikatan pernikahan adalah perbuatan yang dibenci Gusti Allah. Walaupun nikah siri, dalam agama kalian sah sebagai suami istri."Bu Safitri menarik napas panjang. Kemudian kembali memandang Inaya. "Apa kamu nggak takut ditinggalkan Andra? Jika dia ingin mempertahankan istri dan anaknya? Kamu nggak akan dapat apa-apa, Naya. Bahkan surat cerai pun nggak akan ada. Kamu yang dirugikan dalam pernikahan siri.""Saya sudah memikirkan ini, Bu. Karena mencintai bukan hanya untuk memiliki saja, tapi juga harus siap melepaskan. Saya sadar posisi saya."Hening. Bu Safitri tahu kalau putranya berada di posisi yang sulit. Andra tidak setangguh papanya dalam menepis godaan di luar rumah tangganya. Apalagi di dukung oleh sikap Marina dan mertuanya yang membuat hubungan mereka makin rumit. Tentu tidak mudah bagi Andra membuat keputusan menikah lagi diam-diam. Pasti putranya sudah melakukan banyak pertimbangan sebelum melangkah. Mungkin ada sesuatu dari Inaya yang baginya istimewa hingga membiarkan hatinya kembali jatuh cinta."Bagaimana Andra merayumu? Apa dia menceritakan keburukan istrinya biar kamu bersimpati?""Nggak, Bu. Mas Andra hanya bilang kalau Mbak Marina nggak ingin mendampinginya di sini, walaupun sudah berkali-kali di minta. Justru saya tahu dari orang lain mengenai perlakuan orang tua Mbak Marina pada Mas Andra." Inaya ingat saat istrinya Tony cerita padanya.Pembicaraan mereka selesai saat suara mobil Andra memasuki garasi. Pria itu memandang curiga pada mama dan istrinya. Terlebih saat melihat netra kedua wanita yang memiliki tempat istimewa di hatinya itu tampak memerah."Cepatnya kamu pulang, Nak? Sudah selesai urusannya?" Bu Safitri yang bertanya."Sudah, Ma. Hanya menemui tamu kantor sebentar."Andra meletakkan kunci di meja dekat televisi, kemudian duduk bergabung. Perasaannya tidak enak sejak dia meninggalkan rumah tadi."Mama baru saja bicara dengan istrimu. Saran Mama segera selesaikan masalah ini. Kalian harus jujur pada Marina, sebelum dia tahu hal ini dari orang lain. Kalian harus siap jujur, meski banyak resiko setelahnya. Hadapi dengan gentle, Nak." Bu Safitri berkata sambil memandang putranya. Andra mengangguk setelah menatap Inaya.Mamanya benar, sudah waktunya dia memang harus bicara terbuka. Setahun sudah mereka menjalani pernikahan rahasia ini.Inaya pamit ke belakang untuk menyiapkan makan siang. Sementara Andra masih berbincang dengan mamanya. "Segera selesaikan masalah ini. Kamu tahu kan bagaimana papanya Marina. Dia bisa nekat menyuruh orang untuk mencelakai Inaya. Dia bisa membayar orang untuk menuntaskan misinya. Bahkan nggak segan untuk menghancurkan karirmu dan keluarga kita.""Ya, Ma. Aku tahu.""Cari waktu yang tepat untuk memberitahu Marina."Andra mengangguk.Next ....Malam itu langit bertabur bintang. Berkelipan di angkasa yang membentang luas. Cuaca agak gerah, khas hawa ibukota karena kepadatan penduduknya. Andra mengajak Inaya dan Amel makan malam di luar. Di sebuah restoran pinggiran kota yang menjadikan nasi liwet sebagai menu khasnya.Mereka menikmati makan malam dengan lahap. Nasi liwet berlaukkan sambal balado, pindang ikan kembung goreng, dan cumi asin petai. Amel sudah mulai bisa beradaptasi dan nyaman tinggal serumah dengan ibu tirinya yang sekarang di panggilnya dengan sebutan bunda. Wanita itu bisa menjadi pendengar yang baik bagi Amel. Inaya juga sangat berhati-hati bicara dan bersikap dengan putri tirinya, bagaimanapun juga mereka baru sekarang ini tinggal serumah. Dan tidak kesulitan buat wanita itu untuk dekat dengan Amel.Senyaman-nyamannya tinggal dengan ibu tiri, sudah pasti lebih nyaman tinggal dengan ibu kandung. Namun kehadiran putri dari Om Haris yang membuat Amel tidak selesa dan lebih memilih tinggal dengan sang papa. Wa
Malam merangkak naik. Rintik hujan mewarnai malam yang kian hening. Suara detak jam dinding mengiringi setiap embus napas dua insan yang sedang menciptakan nikmat yang bertahun-tahun tak pernah lagi di kecap. Sensasi luar biasa menjalar di seluruh aliran darah, menyatu dengan rasa yang tertumpah. Delapan tahun lalu, tubuh itu menjadi miliknya. Hanya Andra yang menyentuhnya. Ternyata masih juga terjaga hingga kembali di miliki."I love you," bisik Andra di tengah aktivitas mereka. Kalimat yang baru kali ini di ucapkan pria itu untuk Inaya. Kebersamaannya di pernikahan dulu, tak pernah pria itu mengumbar kalimat romantis untuknya. Justru di hadapannya, Andra sering menelepon Marina dengan ucapan mesra.Bahkan dirinya pernah sempat berpikir kalau hanya jadi sampingan saat Andra jauh dari istri pertamanya, jadi pelampiasan seks ketika sedang dibutuhkan. Namun tak pernah dia memprotesnya. Sejak memutuskan mau dinikahi, dia menempatkan diri menjadi orang ketiga yang harus nerimo.Inaya men
Angin semribit menjelang sore menyambut rombongan pengantin pria saat turun dari kendaraan. Suasana rumah Pak Redjo lumayan ramai dengan kehadiran kerabat mereka dan para warga desa. Satu tenda ukuran besar berdiri megah di halaman rumah. Debar dada Andra makin terasa saat berpasang-pasang mata memandang ke arahnya. Disertai kasak-kusuk, entah bicara apa. Pasti tentang perjalanan hidupnya dengan Inaya. Biar saja, semua orang berhak berkomentar sesuai penilaiannya.Mereka di jamu masuk ke ruang tamu yang sudah di sulap dengan dekorasi yang sederhana. Karpet warna hijau terbentang dengan meja kecil di tengahnya. Andra menyalami petugas KUA yang sudah menunggunya dan siap melaksanakan tugasnya.Anak-anak berkumpul jadi satu di salah satu sudut ruangan setelah menyalami dan mencium tangan Pak Redjo dan Bu Siti. Amel, Kiki, dan Amir berangkulan penuh haru. Kemudian duduk bersama dengan sepupu dan anak-anaknya Tony.Seluruh perhatian yang hadir tertuju pada Inaya yang muncul dari ruang dala
Amelia Side's StoryAmel berbaring menatap langit-langit kamarnya. Air mata haru mengalir dari sudut netra ingat saat di kabari kalau papanya akan menikah lagi.Tidak ada anak yang menginginkan orang tuanya berpisah. Tapi jika semuanya sudah terjadi, dia sebagai anak hanya bisa ridho menerima. Tidak ada anak yang ingin memiliki ayah tiri atau ibu tiri, tapi dia juga sadar, selain sebagai orang tua bagi anak-anaknya, mereka adalah manusia dewasa dan individu yang memiliki keinginan personal yang tidak bisa diberikan oleh seorang anak pada orang tuanya.Dia yang paling besar di antara kedua saudaranya, ketika perceraian papa dan mamanya terjadi. Jadi dia yang paling mengerti meski umurnya saat itu baru menginjak usia dua belas tahun.Apakah dia harus membenci papanya karena telah mendua, atau membenci mamanya dengan sikap egoisnya, atau membenci Inaya yang masuk menjadi orang ketiga? Jika terus mengingat peristiwa bertahun-tahun lalu itu hanya membuat pusaran dendam tak ada habisnya dal
"Saya calon suaminya," sahut Andra cepat. Tidak peduli para karyawan dan beberapa pengunjung fokus memandangnya. Dahi Pak Halim mengernyit antara heran dan tidak percaya. Inaya juga tak kalah kagetnya. "Benar dia calon suamimu?" Inaya menjawabnya dengan semyum samar. Kemudian membantu pelayan memasukkan kaos ke dalam paper bag. "Maaf, Pak Halim. Saya harus pergi!" Jujur saja Inaya sebenarnya lebih was-was berhadapan dengan laki-laki berwajah timur tengah itu daripada berhadapan dengan pria lain yang berusaha mendekatinya. Pak Halim ini karakternya suka memaksa dan tak peduli dengan situasi di sekitarnya. Inaya bicara sejenak dengan karyawannya kemudian meraih tali tas yang di letakkannya di kursi, lantas bergegas menghampiri Andra.Pria itu paham dengan raut cemas yang ditunjukkan mantan istrinya. Andra bergegas membuka pintu kaca dan mereka keluar toko. Mobil melaju di tengah keramaian kota. Cuaca begitu cepat berubah, siang tadi mendung tapi sore ini langit lumayan cerah. "Laki-la
Pagi itu Andra memesan kopi hitam pahit dan kental pada room service untuk mengusir rasa kantuknya. Sebab semalaman dia hanya bisa tidur beberapa jam saja. Entah pukul berapa dia mengirimkan pesan pada Inaya, tapi hanya di jawab, "Kita bicarakan besok saja, Mas." Padahal dirinya sudah tidak sabar menunggu esok hari.Sepiring nasi goreng di atas meja kamar hanya di makan sebagian. Ada bimbang yang melanda dalam dada. Sekarang Inaya sudah sukses secara finansial, tokonya berkembang, usaha konveksi ibunya juga berjalan baik. Tentunya dia sudah sangat nyaman dengan kondisinya. Apa mungkin kembali bersedia mengarungi hidup bersamanya? Bersama mantan yang dulu gagal membahagiakannya.Andra ingat perkataan mamanya tadi malam ketika ia di perjalanan pulang. Pria itu memberitahu kalau akan melamar kembali Inaya. Suara wanita di seberang terdengar bahagia, ketika sang putra mau kembali berumah tangga meski rujuk dengan mantan istrinya. "Kamu memang harus memikirkan perasaan anak-anak, tapi kamu
"Siapa Halim?" tanya Andra cepat. Perasaannya mulai tak enak."Kekasih kamu?" Andra tidak sabar menunggu jawaban."Bukan. Hanya kenalan. Dia pemilik toko onderdil mobil depan itu." Inaya menunjuk toko besar yang kini sudah tertutup rapat."Perhatian sekali sampai ngirim-ngirim barang kayak gitu.""Ini cuma kue lapis. Sudah biasa dia bagi makanan buat karyawan toko.""Termasuk untuk bosnya, 'kan? Untuk menarik perhatian bos, biasanya akan mendekati anak buahnya lebih dulu." Andra benar-benar gusar, ketika Inaya tampak santai menjawab pertanyaannya. Pria itu mengajak Inaya masuk sebuah kafe yang sepi pengunjung, dengan harapan bisa segera di layani. Setelah mengambil tempat duduk, Andra mengirimkan pesan pada Muhlisin agar laki-laki itu tahu keberadaannya."Mau pesan apa, Mas?" Inaya menyodorkan buku menu pada Andra. Seorang pelayan sudah menunggu dengan sebuah nota di tangan."Chicken steak tanpa nasi sama jeruk hangat." "Saya juga sama, Mas." Inaya bicara pada pramusaji yang sedang m
Siang itu Marina baru selesai makan siang dan minum obat. Kemarin sore dia keluar dari klinik. Sekarang di rumah di temani Amel dan seorang ART, karena mamanya kemarin langsung pulang. Sejak papanya terkena stroke, tidak bisa di tinggal lama-lama oleh sang mama. Tidak seperti dulu waktu masih sehat, bahkan tidak peduli Bu Cakra menginap hingga hitungan bulan di rumah anak-anaknya.Begitulah, semua baru terasa saat sedang membutuhkan atau di saat terkena musibah. Marina ingat bagaimana dulu Andra minta maaf dan memohonnya untuk bertahan. Dia juga ingat permintaan tulus dari seorang perempuan yang telah masuk dalam kehidupan dirinya dan Andra. Wanita yang mengalah karena sadar kalau dirinya hanya pihak ketiga. Namun dirinya malah ingin melihat mereka hancur.Kemarahannya memuncak setelah dia tahu kalau Inaya sedang hamil anak keduanya dengan Andra, padahal jarang sekali suaminya mendatangi madunya. Namun Tuhan menganugerahkan bayi di rahim perempuan itu sedangkan dia yang sebenarnya sa
Muhlisin yang baru dari kamar mandi menghampiri Andra. Pria itu memberi kesempatan istirahat kepada sopirnya.Kesempatan itu Inaya menanyakan kabar tentang Bu Safitri dan keluarga Andra yang lain. Mereka berbincang hingga hampir jam tiga. Perutnya yang terasa perih membuatnya tersadar kalau belum makan siang."Kita makan siang dulu, kamu juga belum makan," kata Andra pada Inaya. "Sudah hampir jam tiga. Kita makan bakso di depan sana saja. Mau, nggak?" Andra menunjuk sebuah kedai bakso di seberang jalan depan masjid.Inaya mengangguk. "Terserah Mas Andra saja."Mereka bertiga melangkah menyeberang jalan. Mobil di tinggalkan di parkiran masjid. Andra mengajak Inaya dan Muhlisin mengambil tempat duduk lesehan luar. Pria itu memesang dua bakso untuk dirinya dan Inaya, satu mangkuk mie ayam untuk Muhlisin. Minumnya memesan tiga es jeruk. Muhlisin memilih duduk terpisah di pojok teras sambil bersandar pada tiang. Laki-laki itu sengaja membiarkan bos dan mantan istrinya punya kesempatan unt