Share

Obat Apa yang Diminum Ibu?

Bab 4

Setiap orang punya takdirnya masing-masing. Tugas kita berusaha menemukan takdir terbaik kita. Sampai saat ini, aku masih meyakini usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Maka segera kukirimkan pesan kepada Mbak Riris.

[Mbak, besok Laras mau ke rumah mengantar puding. Ada resep baru, biar dicicipin sama Dija dan Hanima, Mbak Riris ada di rumah jam tiga sore?]

Tak lama kemudian, Mbak Riris membalas pesanku.

[Wah terima kasih banyak, Laras. Mereka pasti senang. Besok Mbak Riris ada di rumah.]

Mbak Riris iparku yang sangat sabar. Sebenarnya Mas Bagus melarangnya bekerja, apalagi setelah Dija dan Hanima lahir. Mereka mengikuti program bayi tabung dan mempunyai sepasang anak kembar yang kini berusia sebelas tahun. Mbak Riris akhirnya diperbolehkan bekerja di TK dekat rumah mereka setelah Dija dan Hanima mulai tumbuh besar.

 Kusapa Si Kembar yang sedang asyik bermain di pinggir kolam teras belakang. Mereka tertawa kegirangan saat menerima puding mangga susu yang sengaja aku buat supaya ada alasan datang ke rumah ini.

"Laras kamu makin cantik dan langsing, calon pengantin diet rupanya." Mbak Riris menyodorkan secangkir teh hijau kepadaku.

"Bukan diet, Mbak. Stres kali, ya."

"Biasa calon pengantin suka gitu, kepikiran sebelum pernikahan. Bilang saja kalau kamu butuh bantuan. O,ya, sampai sekarang belum ada panitia untuk pernikahan kamu, kan? Biasanya Mbak Lika sama Mbak Tari suka ngajak ngobrol kalau kita mau ada acara keluarga. Apalagi ini acara besar, mungkin mereka sibuk, ya?"

"Tenang, Mbak. Laras sudah siapkan semuanya, kok. O,ya, Mas Bagus pulang jam berapa?"

"Mas Bagus pulangnya malam, Laras. Sekarang pekerjaannya makin padat karena ada penambahan wilayah kerja.  Sampai rumah tidak tentu, kadang jam sepuluh kadang jam sebelas."

"Sudah lama Mas Bagus sering terlambat pulang, Mbak?"

"Ya sejak ada penambahan area ini. Mas Bagus targetnya berat, Ras. Kalau tidak bisa mencapai target, dia tidak dapat bonus. Sedangkan gajinya cuma cukup untuk kebutuhan kami. Makanya sekarang Mbak diizinkan bekerja biar bisa bantu-bantu biaya dapur. Kalau mau menabung memang Mas Bagus harus kerja keras supaya targetnya tercapai."

"Alhamdulillah Mas Bagus rajin menabung, ya, Mbak. Laras nanti juga mau mencontoh begitu, rajin menabung supaya segera punya rumah sendiri. Mbak Riris pasti pintar menyimpan uang."

"Ehm, iya, eh, maksudnya Mas Bagus memang memenuhi semua kebutuhan keluarga, tetapi masalah uang tabungan, Mbak Riris tidak tahu menahu. Mas Bagus tidak suka kalau ditanya-tanya masalah keuangan."

"Jadi Mbak Riris juga tidak tahu Mas Bagus dapat bonus berapa tiap bulan?"

Mbak Riris menggelengkan kepalanya.

"Wah, kalau Laras kayaknya enggak bisa begitu, Mbak. Laras bekerja, calon suami juga bekerja, kami harus sama-sama terbuka. Mas Erlangga juga sepakat kami akan terbuka masalah keuangan, jadi kami tahu harus mengatur pengeluaran berapa setiap bulan. Mbak Riris hebat, bisa nurut gitu sama Mas Bagus." Aku tertawa sambil menunggu reaksinya. Mbak Riris hanya tersenyum kecil. Senyum yang sulit kuartikan.

"Soalnya laki-laki kalau pegang uang lebih suka kebablasan, Mbak. Ini juga cerita teman-teman Laras di kantor. Apalagi kalau suami yang tidak mau istrinya tahu tentang keuangannya. Itu bisa bahaya."

Aku mengambil cangkir teh hijau lalu meminum isinya. Kubiarkan Mbak Riris memikirkan kata-kataku.

"Seharusnya kalau tidak ada yang disembunyikan seorang suami tidak perlu marah juga kalau istrinya ingin tahu jumlah tabungannya. Benar, gak, sih, Mbak? Maaf ini, kan, Laras mau menikah, jadi harus tanya-tanya masalah begini sama senior," candaku.

 "Iya, Laras. Seharusnya begitu. Ndak masalah kamu tanya-tanya sama Mbak Riris, hanya saja Mbak Riris tidak bisa memberikan nasihat apa-apa. Mas Bagus sangat tertutup masalah keuangan." Akhirnya Mbak Riris mau sedikit terbuka perihal tabiat Mas Bagus.

"Apa perlu aku ngomong ke Mas Bagus, Mbak?" pancingku.

"Jangan, Laras. Nanti Mas Bagus marah sama Mbak."

"Mas Bagus sering marah?"

 Raut wajah Mbak Riris yang semula ceria berubah mendung.

"Dulu Laras sering berantem sama Mas Bagus karena dia tidak pernah mau mengalah saat rebutan mainan. Meskipun lebih tua, sikap Mas Bagus sering kekanak-kanakan. Dia juga suka ngancam mau ngadu ke Ibu kalau Laras ndak mau mencucikan bajunya. Hih, kalau ingat saat kami kecil dahulu, rasanya sekarang aku masih gemes sama Mas Bagus."

Mbak Riris tertawa mendengar gurauanku. Mendung di wajahnya sejenak menghilang bersama derai tawa yang sengaja kuhadirkan. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat.

"Mbak, aku pulang dulu. Jangan lupa awasi Mas Bagus, termasuk rekeningnya. Kita harus jadi istri yang smart, tidak gampang dibodohi suami. Ini kita ngomong sebagai sesama perempuan."

Mbak Riris mengangguk pelan. Aku tahu setelah ini Mbak Riris akan lebih peduli dengan pengeluaran Mas Bagus.

"Nanti kalau ada uang lebih Laras mau pinjam buat nikahan, Mbak."

"Kamu serius, Laras? Kalau iya, nanti aku bilang sama Mas Bagus."

"Ndak kok, Mbak, becanda. Eh tapi boleh juga, sih, buat dana cadangan. Itu juga kalau tidak merepotkan."

Mbak Riris mengangguk ringan. Tentu saja aku tidak serius dengan ucapanku. Aku hanya ingin Mbak Riris mempunyai bahan obrolan untuk bicara tentang kondisi keuangan Mas Bagus. Akan terasa aneh jika ujug-ujug Mbak Riris bertanya tentang uang.

"Aku pamit, ya, Mbak. Mbak Riris sekali-sekali, cek, dong, ke teman Mas Bagus, apa bener lemburnya sering? Duh, maaf ini jadinya Laras yang posesif."

"Laras, apakah ada yang ingin kamu sampaikan sama Mbak?" Wajah Mbak Riris begitu serius seperti ingin tahu sesuatu. Aku teringat perkataan Ibu. Mbak Riris tidak setegar kelihatannya. Dia mempunyai riwayat lemah jantung yang harus dijauhkan dari berita-berita mengejutkan.

"Maksud Mbak Riris apa? Laras cuma mau ngobrol tentang keuangan dalam rumah tangga. Ya, siapa tahu Laras bisa mendapatkan ilmu gratis karena Mbak Riris, kan, lebih berpengalaman."

"Laras, apakah kamu bisa menyimpan rahasia?" Kali ini wajah Mbak Riris terlihat tegang.

"Rahasia apa, Mbak?" Dadaku berdegub kencang.

"Mbak Riris curiga Mas Bagus berhubungan dengan seseorang, Ras."

Degh!

Benar yang kukhawatirkan. Mbak Riris pasti sudah mencium gelagat tidak baik dari suaminya.

"Maksudnya Mas Bagus selingkuh?"

"Mbak tidak tahu kebenarannya, hanya saja sekarang memang Mas Bagus lebih sering pulang terlambat, ponselnya juga dikunci, Ras. Mbak sama sekali tidak tahu kenapa Mas Bagus sekarang berubah."

"Apakah Mbak yakin?"

"Mungkin, mungkin ini cuma perasaan Mbak saja." Mbak Riris bimbang, sejenak tadi dia merasa aku mendukungnya, tetapi kemudian dia sadar aku adik kandung Mas Bagus jadi seketika dia menjaga jarak.

"Mbak cerita aja, ndak papa. Dari pada cerita sama orang lain. Kalau Mbak butuh Laras, kapan pun Laras siap. Laras tidak ingin ada masalah dalam rumah tangga kalian. Ibu juga selalu menasihati Mas Bagus. Sebaiknya kalau Mbak Riris curiga, mulai kumpulkan bukti dari yang terkecil dahulu. Tentang keuangan, Mas Bagus harus terbuka, jadi Mbak Riris tahu."

"Makasih, Laras. Mbak akan coba atasi masalah ini sendiri dulu."

"Mbak, meskipun aku adik kandung Mas Bagus, aku mendukung Mbak Riris sebagai sesama perempuan."

Mbak Riris memelukku erat. Dia seperti menemukan tempat untuk bercerita, meskipun belum semuanya. Ah, kasihan sekali kamu, Mbak.

"Semoga semuanya baik-baik saja, Mbak."

Aku meninggalkan rumah Mbak Riris dengan perasaan tak menentu. Masalah ini seperti memeras otakku untuk berpikir lebih keras. Melihat kenyataan kakakku mengkhianati istrinya membuat dadaku sering dihinggapi denyut nyeri. Aku perempuan yang sebentar lagi menikah. Kelakuan Mas Bagus dan Mbak Lika sedikit banyak membuatku takut menghadapi pernikahan.

Malam harinya aku terpaksa menceritakan semuanya kepada Mas Erlangga karena aku butuh pendapat orang lain. Pria yang sebentar lagi jadi suamiku tempat aku sering melabuhkan masalah. Aku menceritakan semua yang dilakukan Mas Bagus dan Mbak Lika di belakang pasangan sah mereka. Aku butuh pendapat dari kacamata laki-laki.

"Sebaiknya kamu jangan terlalu mencampuri urusan rumah tangga kakak-kakakmu, Dik."

Biasanya Mas Erlangga selalu mendukungku, kenapa sekarang tidak?

"Kenapa, Mas? Sepertinya Mas tidak mendukungku?"

"Bukan begitu, aku hanya tidak mau kamu bermasalah dengan mereka. Kita akan menikah sebentar lagi. Mesti kamu butuh Mas Bagus dan Mbak Lika juga."

"Mas, ini tidak ada hubungannya dengan pernikahan kita. Aku mengkhawatirkan Ibu. Bayangkan jika aku tidak di sini dan Ibu memikirkan semuanya sendirian. Aku juga kuatir dengan kesehatan Ibu karena sekarang Ibu minum obat yang aku tidak tahu obat apa itu. Ibu seperti menyembunyikan sesuatu, Mas."

"Coba kamu tanya Ibu langsung, jadi tidak menduga-duga begini."

"Ibu tidak akan mau berterus terang tentang penyakitnya. Aku sangat paham, Ibu tidak mau kami semua mengkhawatirkannya."

"Kalau memang keputusan Ibu menikah lebih banyak kebaikan dan membuatmu tenang, Mas juga mendukung. Hanya saja pernikahan itu bukan main-main. Ada konsekuensinya, Ibu pasti tahu itu. Saran Mas, sebaiknya kamu bicara lagi dengan Ibu. Tentang urusan Mas Bagus dan Mbak Lika, tugas orang tua hanya mengingatkan dan Ibu sudah melakukan itu. Selanjutnya biar mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri."

Dalam hati aku setuju dengan ucapan mas Erlangga, tetapi melihat bagaimana Ibu bersikeras mencegah supaya tidak terjadi perceraian aku jadi bingung.

Saat kami sedang mengobrol di panggilan W******p, tiba-tiba ada telepon masuk dari Mas Bagus. Segera kuakhiri pembicaraan dengan Mas Erlangga.

"Ya, Mas, ada apa?"

"Mulai sekarang, jauhi keluargaku. Jangan pernah lagi kamu dekati Riris dan anak-anakku. Silakan berbuat semaumu dengan Ibu. O,ya, satu lagi, meskipun aku punya uang lebih, aku tidak akan meminjamkan satu rupiahpun kepadamu, Laras. Mulai sekarang kamu urus dirimu sendiri! Sialan kamu!"

 Mas Bagus menutup teleponnya setelah mengumpat menyebutku binatang kaki empat.

Allahu Akbar!

Baru kali ini Mas bagus berbicara sekasar ini kepadaku. Hatiku seperti dirajam pisau belati, rasanya perih sekali. Kalau saja tidak mengingat kondisi Mbak Riris, sudah kukatakan semua tentang hubungannya dengan Rafiqoh. Hanya saja ada hati yang harus kujaga. Hati perempuan-perempuan yang selalu mendoakannya siang malam. Doa istri salihah dan doa Ibu yang selalu mengetuk pintu langit di sepertiga malam. Aku harus bisa menahan diri, demi Ibu dan demi Mbak Riris juga si kembar. 

Mas Bagus, tidak masalah jika sekarang kau berbicara begitu padaku. Pasti Mbak Riris sudah menyampaikan apa yang kami bicarakan tadi siang. Mbak Riris! Apakah dia baik-baik saja?

Kubuka W******p dan hendak menanyakan kabar Mbak Riris. Ya Tuhan, kenapa foto profil Mbak Riris berubah putih? Ketika kukirimkan pesan ternyata centang satu, berarti aku sudah diblokir. Pasti Mas Bagus yang melakukannya. Tidak mungkin jika Mbak Riris sengaja memblokirku. Perasaanku tak enak.

Segera kubuka aplikasi F******k dan mencari akun Si Kembar. Khadija Almadina sedang online.

 [Dija, apakah mama baik-baik saja? Tante Laras tidak bisa menghubungi mama]

Sambil menunggu pesanku dibaca, hatiku gelisah. Semoga Mas Bagus tidak main tangan.

[Mama dan Papa bertengkar, Tante. Dija sama Hanima takut.]

Akhirnya aku tahu keadaan di sana.

[Dija dan Hanima coba tengok ke kamar mama, sayang. Apakah mama baik-baik saja?]

[Dija tidak berani, Tante. Tadi papa banting piring dan gelas keras sekali.]

Ya Tuhan, Mas Bagus jadi kalap dan bertengkar di depan anak-anak. Kasihan sekali mereka.

[Sayang, tolong ketuk pintu kamar mama. Siapa tahu mama butuh bantuan, kalian harus melindungi mama. Kalau mama tidak apa-apa, kalian kembali ke kamar, kabari Tante Laras . Kalau kalian tidak berani Tante Laras akan ke rumah kalian sekarang.]

Lama tidak ada jawaban, aku mulai panik. Ingin kutelepon balik Mas Bagus tapi aku kuatir membuat situasi semakin rumit.

[Tante, Mama berteriak minta tolong!]

Pesan dari Dija membuatku panik.

[Dija lihat mama di kamar sekarang, Nak.]

 Lama tak ada balasan dari Dija. Masih kucoba menghubungi nomor ponsel Mbak Riris berkali-kali meskipun nomornya tidak bisa dihubungi. Setengah terpaksa aku menelpon Mas Bagus. Berkali-kali nadanya nyambung tetapi tidak ada jawaban. Terakhir nomornya tidak aktif. Baiklah, tidak mungkin Mas Bagus melukai istrinya. Mungkin memang harus kuturuti nasehat Ibu dan Mas Erlangga, aku tidak boleh terlalu ikut campur.

Aku masih belum bisa tidur meskipun sudah tengah malam. Karena gelisah kuputuskan untuk membaca buku di ruang tengah. Ketika melewati kamar Ibu, terdengar Ibu sedang menangis. Aku mendekati pintu kamarnya dan sayup-syup kudengar Ibu berdoa.

"Ya Allah, jangan timpakan cobaan kepada kami melebihi kemampuan kami untuk menanggungnya. Maafkan dosa hamba, Ya Rabb."

Aku masih termangu di depan pintu. Sekarang pikiranku semakin kacau. Membaca buku juga tidak membuatku mengantuk karena terus memikirkan Mbak Riris. Telah ku-inbox dia untuk mengabariku bagaimana keadaannya. Meskipun Mbak Riris tidak terlalu aktif di medsos, semoga dia membaca pesanku. Jika aku tidak bisa menolongnya sekarang, maka biarkan Allah yang mengurusnya. Aku mengambil wudu lalu mulai menghabiskan sepertiga malam untuk berdoa memohon kebaikan  semuanya.

Keesokan harinya sebelum berangkat kerja aku menyempatkan diri mampir ke rumah Mbak Riris, kebetulan arah ke kantor notaris tempatku bekerja melewati perumahan tempat tinggalnya. Terlihat rumahnya sepi. Beberapa kali kuketuk pintu pagar tetapi tidak ada jawaban.  

“Sepertinya Bu Riris sakit, semalam saya sempat melihat dia dipapah suaminya masuk mobil, Mbak." Tetangga samping rumah Mbak Riris keluar menyapaku. Seorang perempuan seusia Ibu. Aku sering melihatnya menggendong cucu di depan rumah.

"Oh, ya, terima kasih banyak informasinya, Bu. Saya ke sini untuk memastikan keadaan Mbak Riris."

"Sepertinya suaminya panik karena semalam saya dengar ada teriakan. Mbak adiknya Pak Bagus, kan? Coba saja hubungi Pak Bagus."

Aku menganggukkan kepala lalu bergegas pergi. Seribu pertanyaan berkecamuk di kepala. Apakah penyakit Mbak Riris kumat? Apakah Mas Bagus melakukan KDRT karena aku kemarin datang ke rumahnya? Apakah ini semua gara-gara aku?

Seharian aku tidak bisa fokus bekerja. Aku tahu rumah sakit langganan Mas Bagus adalah rumah sakit internasional yang cukup bagus di kota kami. Aku masih harus berpikir ulang perlu ke sana atau tidak. Akhirnya aku menelepon Mbak Tari.

"Mbak Tari aku dengar kabar katanya Mbak Riris masuk rumah sakit. Coba Mbak tanyakan langsung ke Mas Bagus, karena dia masih marah sama aku, Mbak. Mas Bagus marah karena berpikir aku mendukung Ibu kemarin."

 "Kamu tahu dari siapa kalau Riris opname?"

"Ehm, aku kebetulan mampir mau mengantar makanan buat kembar, tetangga sebelah rumahnya yang cerita." Aku terpaksa berbohong supaya Mbak Tari tidak curiga. Sampai saat ini mbak Tari masih menentang pernikahan Ibu.

"Tolong kabari Laras, ya, Mbak." Aku memutus sambungan telepon. Begini rasanya bersalah karena terlalu ikut campur urusan rumah tangga orang, meskipun kakak sendiri. Jika bukan karena Ibu tentu saja aku takkan mau melakukan ini semua.

Beberapa saat kemudian Mbak Tari mengabari lewat pesan W******p.

[Riris dirawat di rumah sakit Mitra Bahagia, tetapi Bagus berpesan tidak usah ditengok. Riris butuh banyak istirahat.]

Ternyata benar Mbak Riris masuk rumah sakit. Ya Tuhan, kenapa persoalannya jadi serumit ini? Niatku hanya ingin menjauhkan Mas Bagus dari hubungan terlarangnya dengan Rafiqoh. Kenapa justru Mbak Riris yang harus menanggung semua ini?

Rafiqoh. Semua ini gara-gara perempuan itu. Apakah aku harus mendatanginya dan memintanya berhenti berhubungan dengan Mas Bagus? Rasanya aku memang terlalu ikut campur urusan ini. Tapi sudah kepalang basah. Aku harus bertemu Rafiqoh.

Tiba-tiba ponselku berdering, Ibu menghubungi.

"Laras, kamu di mana? Kalau kamu belum pulang boleh Ibu titip kue jajanan pasar di Jalan Veteran? Sudah lama Ibu tidak makan kue putu dan klepon."

Bagaimana ini? Penjual kue putu, klepon, ketan dan aneka kue tradisional lainnya ini sangat ramai. Sebelum Magrib pasti sudah habis. Akhirnya kuputuskan untuk pulang saja membawa makanan pesanan Ibu.

Suasana jalanan ramai pada jam lima sore saat lepas jam kantor. Aku memarkir motor dan memesan aneka kue yang dipesan Ibu. Karena cuma sebentar aku tidak melepaskan helm. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada sesosok wanita yang sangat aku kenal sedang keluar dari sebuah toko roti. Wanita itu bersama pria yang aku kenal juga. Mereka berdua sedang tertawa-tawa bahagia. Sang wanita menjinjing plastik besar bertuliskan toko roti tersebut, sementara sang pria merangkul bahu sang wanita. Mereka berjalan menuju tempat parkir yang ada di depan ruko. Segera kuambil ponsel untuk merekam kejadian itu. Siapa tahu dibutuhkan suatu saat nanti. Mereka berdua adalah Mbak Lika dan Mas Ibram. Mobil mereka melaju keluar dari tempat parkir, aku membuang muka supaya mereka tidak melihatku, meski aku memakai masker.

Lengkaplah sudah penderitaan Ibu mempunyai dua anak yang melanggar batasan. Aku memacu motorku dengan perasaan tak menentu. Apakah ini harus dibiarkan?

"Ini pesanan Ibu, semuanya Laras beli campur jadi satu, Bu."

Ibu menerima kardus makanan dengan wajah semringah. Sangat mudah sebenarnya menyenangkan hati Ibu, entah kenapa kakak-kakakku enggan melakukannya. Bukankah dengan menyenangkan hati orang tua, pintu keberkahan akan terbuka? Ah, mana mungkin mereka berpikir begitu.

"Laras, apa kemarin kamu jadi bertemu Riris? Bagaimana kabarnya? Sehat, kan? Dija dan Hanima juga sehat? Entah kenapa Ibu jadi kepikiran dengan Riris. Dari pagi teringat dia terus," ujar Ibu sambil mengunyah klepon.

"Kemarin saat Laras ke rumahnya sehat, kok, Bu. Anak-anak juga sehat. Tapi untuk memastikan sebaiknya Ibu telepon saja." Aku tidak mungkin berterus terang sekarang. Jika Ibu menelepon pasti Mas Bagus atau Mbak Riris mau mengangkat.

"Sini biar Laras saja yang telepon pakai HP Ibu, nanti kalau sudah tersambung Ibu yang bicara. Ini sambil dimakan klepon kesukaan Ibu."

Ibu tertawa senang, perlahan-lahan Ibu mengambil kue putu, jajanan pasar kesukaannya.

Setelah menunggu beberapa saat supaya Ibu kenyang, aku menghubungi nomor Mbak Riris dari ponsel Ibu. Ternyata nomornya tidak aktif.

"Nomornya tidak aktif, Bu. Mau Laras teleponkan ke Mas Bagus?"

Ibu menggeleng lemah. Mendengar nama Mas Bagus wajah Ibu kembali muram. Sebaiknya Ibu tidak perlu tahu perihal Mbak Riris yang sedang opname, juga Mbak Lika yang tadi jalan bareng suami orang. Ibu sudah terlihat lelah dengan semua ini.

Sebuah nada dering di ponsel Ibu berbunyi, ada nama Danu terbaca di layar. Duh gawat! Tanganku gemetar. Apakah Mas Danu menelepon Ibu untuk menanyakan keberadaan Mbak Lika?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status