Share

Rumah Akan Dijual

Part 3

Baik dan buruk adalah pilihan di dalam takdir. Takdir kita untuk lahir, pilihan kita untuk berbuat. Ibu memilih menikah lagi untuk menyelamatkan rumah tangga anak-anaknya. Tentu saja ini bukan pilihan mudah. Ibu sudah dua puluh tahun ditinggal Bapak. Tentu untuk menerima kehadiran laki-laki baru, Ibu butuh waktu. Tidak bisa secepat itu.

Aku membuka pintu kamar Ibu perlahan. Jam 02.30 dini hari, Ibu pasti sedang salat Tahajud. Kami mempunyai rutinitas yang sama. Setelah salat biasanya aku lelap sebentar menunggu Subuh datang. Kali ini pikiranku tak tenang. Ibu sedang memutar tasbihnya ketika aku masuk ke kamar, lalu merebahkan diri di kasurnya. 

"Ibu pasti tidak bisa tidur nyenyak, kan?" tanyaku saat melihat ibu membuka mukenanya.

"Ibu kepikiran terus, Laras. Ibu bertanya-tanya apakah kamu tidak masalah jika ibu menikah sebulan lagi? Menurutmu apakah tidak lebih baik kamu mempercepat pernikahanmu?”

"Mas Erlangga sudah merencanakan semuanya, Bu. Bagi Laras lebih baik jika Ibu menikah duluan. Laras akan lebih tenang karena ada yang menjaga Ibu."

"Kamu tidak malu, Nduk?"

"Laras lebih malu dengan kelakuan Mas Bagus dan Mbak Lika, Bu." Iya memang sekarang kami berdua harus menanggung malu.

"Bu, Laras harus ngomong ke Mbak Riris tentang Mas Bagus."

"Laras kamu jangan aneh-aneh. Riris tidak boleh tahu kelakuan suaminya!" Ibu sedikit berteriak sambil menekan dada kiri. Wajah ibu memucat.

"Ibu tidak apa-apa?” Ibu memberi isyarat dengan tangannya bahwa dia baik-baik saja. “Laras mendukung rencana Ibu asal Ibu juga mendukung Laras. Kita sama-sama punya tujuan supaya rumah tangga Mas Bagus dan Mbak Lika baik-baik saja. Anggap ini ikhtiar Laras, Bu."

"Jangan sampai Riris atau Danu tahu."

 "Laras tidak akan memberitahu mereka secara langsung. Laras akan mencari cara supaya Mas Bagus dan Mbak Lika tetap baik di mata pasangan mereka. Kecuali Ibu mau berbicara dengan mereka, bicara empat mata."

Ibu bergeming. Perlahan-lahan Ibu mengurut pelipisnya.

“Baiklah, Ibu akan bicara dengan Bagus dan Lika." Akhirnya aku menyetujui rencanaku. Kami memang harus sama-sama berikhtiar supaya Ibu tidak berjuang sendirian. Bagiku rencana Ibu menikah lagi ini seperti pengorbanan besar yang harus dilakukan Ibu untuk anaknya. Dahulu saat kami masih kecil, mungkin masih bisa dimaklumi. Tetapi kalau sekarang, saat anak-anaknya sudah besar rasanya terlalu berlebihan. Aku harus membantu supaya ibu tidak mengambil beban ini sendirian.

Keesokan harinya saat aku pulang kerja, terlihat mobil Mas Bagus terparkir di halaman.  Mas Bagus bekerja di kantor operator telepon seluler. Jabatannya sudah lumayan sebagai kepala Divisi Promosi area keresidenan yang membawahi beberapa kabupaten. Aku sengaja duduk di teras, karena situasinya sepertinya tidak tepat jika aku masuk sekarang. Terdengar obrolan Mas Bagus dan Ibu yang makin lama sepertinya makin panas.

"Ibu berubah pikiran?" tanya Mas Bagus dingin dan tanpa basa-basi.

"Tergantung jawabanmu, Bagus."

"Bagus sudah bilang tidak setuju Ibu menikah lagi."

"Kamu belum menjelaskan alasannya."

"Karena Bagus tidak rela ada pengganti Bapak."

"Apakah ada alasan lain? Bapakmu memang tidak akan pernah terganti."

"Ibu sudah seharusnya memikirkan akhirat, Bu. Menikah itu urusan dunia."

"Bagaimana dengan berzina?"

"Apa maksud Ibu?"

"Kalau kamu mengakhiri hubunganmu dengan Rafiqoh, Ibu tidak akan menikahi Haji Umar!" Suara Ibu bergetar menahan diri. Beberapa hari ini Ibu murung dan tak berselera makan. Sore ini air mata Ibu pecah di hadapan anak laki-lakinya.

"I-Ibu bicara apa?"

"Ibu tahu semuanya, Bagus. Kalau kamu berjanji akan mengakhiri hubunganmu dengan Rafiqoh, Ibu tidak perlu menikahi abahnya."

"Jadi semua ini gara-gara Haji Umar?" tanya Mas Bagus geram.

"Tidak ada orang tua yang ingin anaknya melakukan kesalahan. Kami akan melakukan apa pun supaya rumah tanggamu dan Riris baik-baik saja. Begitu juga dengan rumah tangga Rafiqoh."

Mas Bagus terdiam tanpa perlawanan. Sepertinya dia tidak menyangka Ibu menegurnya begitu keras. Setidaknya dia pasti berharap Ibu tidak tahu hubungan haram yang dia jalin bersama Rafiqoh.

"Bagus dan Rafiqoh tidak ada hubungan apa-apa, Bu."

Ah, Mas Bagus masih saja berkelit. “Padahal Ibu punya bukti yang jika Ibu keluarkan, kamu mungkin takkan bisa menatap wajah Ibu lagi, Mas.”

"Ibu tahu semuanya, Bagus. Mulai sekarang berhenti menemui Rafiqoh. Kamu dan Riris mempunyai keluarga yang diimpikan banyak orang. Dija dan Hanima anak-anak yang kalian perjuangkan kelahirannya. Sekarang kenapa kamu justru seperti mengejar badai bersama Rafiqoh?"

"Ibu lebih percaya kepada orang lain ketimbang anak Ibu sendiri?"

"Baiklah jika itu jawabanmu, maka Ibu tidak akan menunda lagi pernikahan Ibu dengan Haji Umar."

"Ibu ternyata juga lebih memilih mengkhianati Bapak," pungkas Mas Bagus sembari keluar dari ruang tamu. Saat memergokiku berada di teras dan mendengar semua obrolannya dengan ibu, Mas Bagus terlihat kesal. Aku hanya terdiam mendengar langkah kakinya yang seperti sengaja menjejak bumi sekeras mungkin untuk menumpahkan kekesalannya.

Aku masuk  dan mendapati Ibu tengah melamun sepeninggal Mas Bagus. Aku mencium tangan Ibu lalu memeluknya erat. Kami hanya berpelukan tanpa suara. Aku tahu Ibu terluka, aku bisa merasakan perihnya.

 Selepas magrib Mbak Lika datang dengan wajah masam. Aku segera mengambil cangkir untuk membuat teh di dapur. Sebenarnya aku ingin mendengar obrolan mereka. Dengan Mas Bagus tadi sore, Ibu sudah hancur. Jangan sampai bersama Mbak Lika, Ibu lebih tersakiti lagi.

"Kamu sudah salat, Lika?" tanya Ibu lembut.

"Lika sedang berhalangan, Bu? Ada apa Ibu memanggil Lika? Warung sedang ramai saat Lika tinggal ke sini karena Ibu bilang sangat penting. Pasti ini rencana pernikahan, Ibu, kan? Lika tidak setuju. Apakah itu tidak cukup?" protes Mbak Lika.

"Kenapa kamu tidak setuju, bilang saja alasannya biar Ibu tahu."

"Ibu tolong ya, ini sudah kelewatan. Ibu bisa tidak bersikap seperti ibu-ibu lainnya yang sudah sepuh? Mereka sudah memilih di rumah, bermain bersama cucu, bukan sibuk memikirkan mau menikah lagi!" Nada suara Mbak Lika mulai meninggi.

"Kamu pasti malu, ya?"

"Tentu saja, Bu. Apa kata orang dan saudara dari keluarga Bapak? Mereka pasti berpikir Ibu tidak setia."

 

"Ibu juga malu punya anak tidak setia."

Mbak Lika memandang Ibu tajam. Aku menaruh dua cangkir teh di meja makan. Mereka  terdiam sesaat sebelum Mbak Lika berbicara lagi.

"Maksud Ibu apa? Siapa yang tidak setia?"

"Bagaimana jika Danu tahu semua ini?" Ibu menatap wajah Mbak Lika. Tatapan itu mengingatkanku saat kami kecil dulu. Mbak Lika semasa kecilnya sering sakit-sakitan karena mengidap penyakit asma. Hanya seiring waktu gejalanya muncul saat kondisi tertentu saja. Dulu badannya kurus kering, sekarang dia menjadi wanita cantik yang mempunyai keluarga nyaris sempurna. Ibu rutin memberikan obat dengan tatapan seperti yang kulihat sekarang. Tatapan sayang seorang wanita yang melahirkan anak dari rahimnya tapi harus menelan kecewa karena putrinya sedang tersesat jalan.

"Ibu bicara apa? Kenapa bawa-bawa Mas Danu?" elak Mbak Lika. Dia sama saja dengan Mas Bagus, keduanya memilih berbohong.

"Danu sudah bekerja keras untuk kalian, dia tidak pantas menerima pengkhianatan. Kalau kamu tidak mengakhiri hubunganmu dengan Ibram, kamu akan kehilangan Danu, kehilangan semua yang kamu miliki sekarang, Lika."

Wajah Mbak Lika memucat. Seharusnya dia mengakui semuanya lalu mengakhiri ini, ternyata tidak. Aku mengamati Mbak Lika dari ruang tengah sambil menajamkan pendengaran.

"Ibu jangan ikut campur rumah tangga Lika dan Mas Danu. Kalau Ibu mau menikah lagi, silakan. Itu hak Ibu. Mulai sekarang Lika tidak akan menginjak rumah ini lagi." Mbak Lika pergi seraya membanting pintu. Pintu yang dibanting tetapi hatiku yang remuk melihat Ibu diperlakukan begitu kasar oleh kakakku. Ibu memegang dada kirinya.

"Ibu, Ibu kenapa?" Aku segera  menghampiri Ibu yang hampir roboh.

"Ya Allah! Ibu!"

Ibu pingsan setelah Mbak Lika pergi. Kakakku bahkan tidak kembali ketika kupanggil-panggil namanya saat Ibu tak sadarkan diri. Aku memijit pelipis Ibu yang terbaring lemas di sofa ruang tengah. Tak berapa lama ibu membuka matanya.

"Ibu sudah sadar? Maafkan Laras yang memaksa Ibu bicara dengan Mas Bagus dan Mbak Lika. Maafkan Laras, Bu." Aku menggenggam tangan Ibu lalu mencium punggung tangannya. Ibu meringis kesakitan sambil meraba dada kirinya.

Aku berlari ke dapur lalu kembali sambil menyodorkan secangkir teh hangat, Ibu bangun lalu meminumnya hingga tandas.

 "Lika sudah pergi?" tanya Ibu lemah. Aku menggangguk.

"Laras, rasanya Ibu ingin mati saja."

"Ibu jangan bicara begitu."

"Mereka berkelit, Laras. Bagus dan Lika tidak ada yang mengaku. Ibu harus bagaimana?"

"Ibu tenangkan diri dulu. Biar Laras pikirkan caranya."

"Laras, jangan pernah berpikir kau akan memberitahu Riris maupun Danu. Kasihan Riris, dia punya penyakit lemah jantung. Berita ini bisa membunuhnya."

"Iya Bu. Laras tahu. Laras tidak akan mengganggu Mbak Riris dengan kabar sampah ini."

"Danu juga tidak boleh tahu. Danu wataknya sangat keras dan temperamental. Bisa-bisa dihajar Lika nanti. Ibu tidak sanggup membayangkan itu."

Ibu benar, Mas Danu memang sangat temperamental jika terpicu sesuatu yang tidak disukainya. Meskipun dia menantu yang baik untuk Ibu dan baik juga kepadaku. Mas Danu hanya tidak suka jika anak dan istrinya tidak patuh pada perkataannya. Kurasa sudah benar Mas Danu bersikap begitu. Apalagi jika itu dilakukan untuk membela keluarganya.

"Mungkin benar kata Lika, kita tidak perlu ikut campur urusan rumah tangganya," bisik Ibu lirih.

"Ibu menyerah?" Aku tahu Ibu tidak akan menyerah menghadapi situasi ini. Hanya saja sekarang Ibu terlihat lemah. Ibu makin menua, tetapi kakak-kakakku tidak sadar diri dan membuatnya bertambah beban pikiran.

Aku mengirimkan pesan kepada Mbak Riris setelah Ibu tertidur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status