Share

5. Rencana Laras

Hidup adalah serangkaian kebetulan. Kebetulan adalah takdir yang menyamar. Lama-lama aku mulai menyadari bahwa kebetulan sesungguhnya tidak pernah ada. Hal yang sama juga berlaku saat dering telepon dari Mas Danu yang segera menyadarkanku bahwa posisi Mbak Lika mungkin tidak lagi aman. Ibu menatapku sambil menatap ponselnya yang masih kugenggam. Aku mencoba bersikap biasa, meskipun dadaku bergemuruh hebat.

"Telepon dari siapa?" tanyanya pelan.

Duh, bagaimana ini? Apakah aku harus memberikan kepada Ibu, atau sebaiknya tak kubiarkan Ibu dan Mas Danu mengobrol?

"Laras, sini teleponnya, barangkali penting." Terpaksa kuberikan telepon Ibu.

"Iya, Nak Danu, Waalaikumsalam. Kabar Ibu baik, gimana kabarmu? Ini masih di rumah atau sudah berangkat? Oh, baru sampai Bali. Lika tidak ada di sini. Lho, tidak ada di warung? Mungkin sedang ada keperluan. Jadi teleponnya mati? Apa perlu Laras pergi ke warung Lika? Nanti Ibu kabari Nak Danu? Tidak usah, baiklah. Maaf Nak Danu, Lika memang sering lupa charge ponselnya. Baik, Waalaikumsalam."

Ibu mematikan ponselnya.

"Laras, kamu coba ke warung Lika, Danu tidak bisa menghubungi."

"Bu, Laras, kan, baru pulang. Sebentar lagi Magrib, Laras belum mandi. Nanti juga aktif, mungkin lowbatt, atau sedang banyak pelanggan."

Aku tidak mungkin memberitahu Ibu kalau Mbak Lika sedang bersama Mas Ibram. Baru ditinggal suaminya berlayar kemarin, sekarang dia sudah berduaan dengan suami orang. Sungguh rasanya ingin kumaki-maki, jika saja Mbak Lika tidak lebih tua dari aku.

"Di warung, kan, ada telepon meja, coba berapa nomornya, sini Ibu mau telepon." Ibu masih saja mendesak. Seolah-olah paham sedang terjadi sesuatu, Ibu ingin memastikan semuanya baik-baik saja.

"Wah, Laras ndak hafal, Bu. Sekaraqng kayaknya telepon meja sudah tidak nyala." Aku hafal nomornya dan masih aktif, lagi-lagi aku berbohong untuk membela kakakku yang tak tahu diri, lebih tepatnya melindungi Ibu dari kabar yang tidak menyenangkan.

Selepas Magrib, ketika kami makan malam, Ibu kembali menanyakan Mbak Lika.

"Sudah Ibu telepon belum aktif ponselnya. Ada apa, ya?" Wajah Ibu tampak resah. Aku meletakkan sendok, rasanya nafsu makanku hilang seketika.

"Mungkin sedang menyiapkan pesanan, Bu. Warung Mbak Lika kalau ramai pasti dia ikut turun tangan. Jadi ndak sempat liat ponsel."

Ibu terdiam saat makan, seperti sedang memikirkan sesuatu. Akhir-akhir ini kuperhatikan memang Ibu lebih banyak diam.

Aku hendak mencuci piring ketika ponselku berdering, panggilan masuk dari Mbak Lika. Dengan malas kuterima panggilan itu.

"Laras, Mas Danu tadi telepon kamu?"

"Bukan. Mas Danu yang telepon Ibu," jawabku ketus sambil berjalan ke teras, menjauh dari Ibu terlihat curiga.

"Mas Danu bilang apa?" tanya Mbak Lika cemas.

"Nyariin istrinya yang sedang berduaan dengan lelaki lain." Akhirnya aku tak tahan menyimpan semuanya. Setidaknya aku harus ngomong bahwa aku tahu kelakuannya tadi di toko kue.

"Kamu jangan asal menuduh Laras. Ibu pasti sudah mempengaruhi kamu."

"Aku cuma bilang fakta, Mbak. Untung aku yang lihat Mbak Lika dan Mas Ibram keluar dari toko kue tadi sore, coba kalau Mas Danu yang lihat, habis kamu, Mbak."

"Laras, jangan bicara sembarangan kamu, nanti Ibu dengar. Terserah kamu mau menilai apa, jangan ikut campur urusan Mbak."

"Kalau sampai Ibu kepikiran dan sakit gara-gara masalah ini, maka ini jadi urusanku juga, Mbak. Ibu tinggal sama aku, jadi aku yang mengurusnya, jangan sampai kalian berdua bikin Ibu sakit," tegasku.

"Mas Danu tadi ngomong apalagi? Bilangin ke Ibu, lain kali kalau Mas Danu telepon tidak usah diangkat."

"Mbak, kalau Mbak Lika mau jadi orang ndak bener jangan ajak-ajak Ibu. Lagian Ibu tidak ada masalah sama Mas Danu, jadi kenapa mesti menghindar? Mbak yang harus kasih tahu Mas Danu, jangan lagi menelepon Ibu untuk mencari istrinya, karena Mbak Lika juga jarang menengok Ibu. Atau jangan-jangan setiap Mbak Lika keluar, bilangnya sedang ke sini menengok Ibu? Iya benar begitu?" cerocosku tanpa henti. Muak sekali aku dengan kelakuan kakakku.

"Ah, sudah! Kamu anak kecil ndak ada sopannya sama kakakmu. Kalau kamu ndak mau bilangin Ibu, nanti biar Mbak Lika sendiri yang telepon Ibu."

Aku hampir berteriak mencegahnya, tapi Mbak Lika keburu mematikan panggilan. Benar-benar tidak tahu malu. Heran aku dengan kelakuannya juga Mas Bagus. Punya rumah tangga yang nyaris sempurna tapi lebih memilih berselingkuh. Dasar orang-orang yang tidak bersyukur!

"Ibu ndak ngomong apa-apa sama Danu, Lika." Oh secepat itu dia menelepon Ibu. Baru saja aku akan meneruskan cuci piring, Ibu sedang berbicara dengannya di telepon.

"Kamu tahu, kan, tidak boleh seorang istri keluar rumah tanpa seizin suaminya meski cuma satu detik saja, dia dilaknat malaikat." Ibu terdiam sebentar mengatur napas.

"Kemarin Ibu sudah bilang, kalau kamu masih selingkuh dengan suami orang, Ibu akan meneruskan niat untuk menikah lagi. Ini semua Ibu lakukan untuk kalian, bukan untuk Ibu. Lika, kamu segeralah bertaubat, Nduk. Ibu--"

Ibu melihat ponselnya, sepertinya panggilan sudah diputus oleh Mbak Lika.

"Sudahlah, Bu, jangan diambil hati. Tugas Ibu sudah selesai. Mereka memilih untuk tetap di jalan dosa," cetusku kesal.

"Tidak ada tugas seorang Ibu yang selesai mendidik anaknya. Selama masih hidup, Ibu tidak rela anak-anak Ibu mengambil jalan sesat."

 "Ibu menasihati mereka, itu sudah cukup. Kita tidak bisa memaksa mereka untuk manut. Kita hanya bisa mengingatkan."

"Ibu bisa memaksa mereka."

"Bagaimana caranya?"

"Tidak perlu menunggu sebulan, secepatnya Ibu akan menikah dengan Haji Umar."

Aku terdiam mendengar tekad Ibu yang telanjur bulat. Ini bukan tentang kebutuhan seks di usia beliau yang sudah lima puluh tahun lebih. Wanita yang sepertinya sengaja ingin mengorbankan diri menikahi pria sebaya yang bernasib sama. Kami sama-sama diam dan saling mengeja hati masing-masing.

"Apa yang bisa Laras lakukan untuk pernikahan Ibu?" Akhirnya aku membuka suara. Pertahananku runtuh melihat perlakuan kedua kakakku kepada Ibu. Bukan. Aku bukan ingin mendukung rencana Ibu untuk membuat anak-anaknya jera. Aku mendukung Ibu menikah lagi karena sekarang Ibu butuh teman yang mengerti. Haji Umar ada di posisi yang sama. Ini akan membuat Ibu merasa mempunyai teman seperjuangan.

"Tidak ada, Laras. Ibu hanya butuh doa darimu. Ibu akan mengundang Haji Umar ke sini bersama Bude Narsih dan suaminya. Kami akan membicarakan persiapan secepatnya."

"Laras mendoakan semoga semuanya lancar, Bu. Laras percaya Ibu tidak salah mengambil keputusan."

Aku meninggalkan Ibu sendirian di ruang tengah. Kupencet tombol hijau pada nama Mas Erlangga. Sesaat kemudian terdengar suara pria yang kucintai.

"Mas, Ibu akan menikah secepatnya. Situasi semakin buruk karena Mas Bagus dan Mbak Lika tetap tidak mau mendengarkan nasihat Ibu."

"Ya sudah, mau bagaimana lagi? Ini keputusan Ibu. Hanya saja, Mas belum bisa menceritakan ini kepada orang tua mas, Dik."

Suara Mas Erlangga terdengar gamang. Aku paham, dia pasti malu. Kami yang merencanakan pernikahan jauh hari, ternyata Ibu yang menikah duluan.

Bagi orang yang tidak paham, pasti akan menganggap Ibu ganjen, tua-tua keladi, masih memikirkan dunia. Aku paham mungkin Mas Erlangga juga bingung harus mulai dari mana ketika menyampaikan berita ini kepada orang tuanya. Tak mengapa.

"Iya, ndak papa, Mas. Nanti saja kalau semua sudah berjalan lancar. Maaf jika pernikahan Ibu membuat Mas Erlangga tidak nyaman."

"Dik, kamu benar ketika bilang mengkhawatirkan Ibu saat kamu nanti ikut Mas ke sini. Kalau Ibu menikah bakal ada yang menjaga, itu yang paling membuat Mas tidak terlalu merasa bersalah memboyongmu ke sini nantinya."

 "Jadi benar Mas ndak malu? Sebentar lagi berita ini pasti akan sampai ke kampungmu. Papa dan mamamu pasti akan tanya. Apa tidak sebaiknya aku datang untuk memberitahu mereka?"

"Boleh juga, itu ide yang bagus. Sekalian kamu, kan, sudah lama tidak menengok mereka. Katanya Mama kangen sama calon mantunya yang ayu." Mas Erlangga memang paling bisa membuatku tersipu.

"Kamu memang anak laki-laki satu-satunya, ya, jelas aku calon mantu paling ayu," rajukku.

Mas Erlangga tertawa mendengar gurauanku. Kami larut dalam obrolan tentang pekerjaannya, tentang persiapan pernikahan, hingga pekerjaanku. Tanpa kami sadari malam semakin tua. Mengobrol dengan Mas Erlangga memang selalu membuatku lupa waktu. Hanya malam begini waktu yang kami miliki untuk membunuh rindu.

"Sudah dulu, ya, Mas. Aku sudah ngantuk. Besok aku harus ikut tim untuk pengukuran tanah ke luar kota. Mas Erlangga juga tidur, jangan begadang biar besok fit lagi."

"Ya sudah, Mas mau cari makan dulu sebelum tidur. Lapar dari tadi belum makan."

"Lha, kok, ndak bilang kalau belum makan? Udah malam gini baru mau keluar."

"Kamu, kan, ndak tanya, Dik. Padahal Mas itu udah ngarep ditanya dari tadi, loh."

"Ya Allah, maaf, Mas. Aku lupa, malah ngobrol ke mana-mana. Ya sudah, makan dulu sana, kasihan itu cacingnya kelaparan."

"Sekalinya nyuruh makan, malah cacing yang dikuatirkan, wis aku ndak penting memang." Sekarang gantian dia yang merajuk. Mas Erlangga memang calon suami yang menyenangkan. Dia bisa menjadi teman, kakak, terkadang juga menjadi bapak.

Aku hanya tertawa sebelum mengakhiri pembicaraan. Mengobrol dengan Mas Erlangga selalu membuat hatiku hangat. Kami sudah berteman sejak SMA, tetapi memutuskan berpacaran setelah sama-sama lulus kuliah dan bekerja. Jodoh memang seajaib itu.

Mas Erlangga pria yang tidak neko-neko. Hidupnya lurus-lurus saja sejak dahulu. Pantas saja segala urusannya dimudahkan, sampai masalah pekerjaan pun, Mas Erlangga tidak perlu susah payah mencari karena direkrut oleh perusahaan multinasional begitu dia lulus kuliah.

Aku meletakkan ponsel di meja lalu bergegas ke kamar mandi. Saat melewati kamar Ibu, kudengar suara isakan tangis. Ibu sedang menangis? Sekarang belum waktunya salat Tahajud. Aku mendekatkan telinga ke arah pintu kamar Ibu.

Suara tangisan Ibu makin terdengar jelas.

"Ibu mohon, Bagus. Untuk yang terakhir kali. Tinggalkan Rafiqoh. Kasihan Riris. Ibu mohon, Nak."

Rupanya Ibu sedang menelepon Mas Bagus. Selarut ini Ibu masih juga peduli pada anaknya yang tidak tahu diri. Ibu kenapa harus memohon kepada lelaki yang tak tahu cara menghargai wanita yang melahirkannya itu?   

Hampir saja kubuka handel pintu kamar Ibu, tetapi aku teringat perbincangan terakhir dengan Mas Bagus yang menyebutku dengan kata-kata yang tidak pantas. Akhirnya kubiarkan Ibu menyelesaikan urusannya dengan anak lelaki kesayangannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status