Share

Bab 4

Evan tak pernah merencanakan ingin memiliki dua istri. Satu saja, yang baik seperti Lidia saja, sulit ia rawat. Namun,  mau tak keputusan itu harus diambil. 

Lidia dinyatakan dokter mengalami sedikit gangguan di rahimnya. Wanita itu sulit hamil. Sedangkan Dina, ibunya Evan sudah setiap hari mendesak cucu. 

Di usia pernikahan yang ketiga, saat usinya sudah 32 tahun, Evan pun akhirnya terpaksa menuruti saran ibunya untuk menikahi perempuan lain. Saat itu, proses bayi tabung yang ia dan Lidia jalani juga belum membuahkan hasil. 

Sungguh takdir yang kusut, Evan harus dipertemukan dengan Kiandra. Si perempuan keras kepala, banyak mau dan cengeng. 

"Kia belum siap punya anak, itu karena kamu juga selalu dingin sama dia." 

Suara Lidia membuat Evan membuka kelopak mata. "Jadi, menurut kamu, aku yang salah? Semuanya salah aku?" 

"Bersikap baik sama dia. Buat dia nyaman dan percaya kalau kamu layak dikasih anak." 

Dahi lebar Evan berlipat. "Aku kurang baik sama dia? Dia kurang nyaman di rumah ini?" 

Lidia yang kesal memukul lengan pria di sampingnya. "Aku enggak tahu harus gimana bikin kamu paham. Perempuan itu butuh perhatian. Bukan cuma dicukupi materi." 

"Kalian kurang perhatian?" 

Si istri pertama berdecak. "Capek ngomong sama kamu. Untung aku bisa tahan sampai sejauh ini." 

"Kamu mau kabur-kaburan juga? Silakan." Pria itu ikut berdiri karena Lidia sudah beranjak. 

"Mau ke mana kamu?" tanya Lidia ketika sadar geraknya diikuti. 

"Ini Senin. Jadwalnya aku sama kamu, 'kan?" 

Lidia menggeleng. "Sama Kia. Aku takut demamnya naik pas tengah malam." 

Evan menghempas tubuh ke sofa lagi. Pria itu berbaring di sana. "Malas." 

"Terserah kamu aja. Capek aku." Lidia berlalu. Tak lagi memaksa, karena tahu hal semacam itu tak akan mempan untuk orang kepala batu seperti Evan. 

Evan menutup mata, menaruh satu lengannya di atas wajah. Hanya beberapa saat, sampai akhirnya pria itu bangkit. Berjalan menuju kamar  Lidia. 

Enak saja dirinya harus menemani orang sakit. Entah demam Kia naik atau tidak, terserah. Kenapa Evan harus repot? Ia juga lelah seharian bekerja. 

Tiba di kamar Lidia, Evan membuka pintu. Kepala pria itu masuk melewati pintu. "Aku di kamar Kia," katanya, kemudian menarik pintu untuk tertutup lagi. 

Tidak. Evan bukan khawatir demam Kiandra parah saat tengah malam. Pria itu hanya baru ingat. Kia belum diberi hukuman karena sudah membuatnya hujan-hujanan kemarin. 

Kakinya menapak di lantai kamar Kia, Evan melihat perempuan itu tidak tidur. Namun, duduk memeluk lutut dan bersandar di kepala ranjang. 

Mungkin karena suara pintu, perempuan itu menengok untuk tahu siapa yang datang. Setelahnya, kembali membenamkan kepala di antara kaki. 

Evan naik ke ranjang. Menepuk bantal, kemudian berbaring. "Aku kira kamu udah enggak ada muka untuk bangun dari pingsan kemarin. Aku kira, kamu mau pingsan selamanya." 

Hening. Ejekannya tak disahut, Evan melanjutkan. Sengaja, pria itu mengusap pergelangan dan punggung kaki Kia yang berada tepat di samping. "Itu pilihan tepat, kok. Kamu mau kabur ke mana memangnya? Kamu enggak kasihan sama Bapak dan Ibu kalau rumah mereka aku ambil lagi?" 

"Kalau kamu kira aku enggak ada tenaga untuk tendang wajah kamu, kamu salah, Van." 

Suara serak itu Evan tertawai. "Siapa yang pingsan cuma karena kehujanan? Sok bisa nendang." 

Evan duduk. Dengan satu tarikan di kedua kaki Kia, ia berhasil membuat perempuan itu berbaring. Ia posisikan diri di atas si istri. 

"Kamu mau apa, Evan?" 

Lelaki itu tak menjawab. Hanya menaikkan alis pada istrinya. 

Kiandra meringkuk di bawah kungkungan dua lengan Evan. Dahi perempuan itu mengenai lengan si pria. "Ini Senin. Bukan tugasku." 

"Kata kamu, aku suka memaksakan diri. Ya, udah, ini aku turuti. Aku mau memaksakan diri." Telapak tangan Evan mengusap punggung Kia. Rambut sebahu perempuan itu ia sampirkan ke belakang. Untuk kemudian memainkan telunjuk di leher. 

"Otak kamu di mana, Evan? Kamu tega mau meniduri orang sakit?" Kiandra memejam. Kepalanya makin pusing karena harus menghadapi orang gila seperti Evan. 

Evan menurunkan tubuh. Telunjuk diganti bibirnya. "Aku hitung sampai sepuluh. Kalau kamu belum tidur setelah hitunganku selesai, berarti kamu memang mau aku." 

Kalau saja kuat, Kia pasti sudah memukul kepala lelaki di atasnya. "Berengsek kamu. Bajingan." 

"Lima, enam." Evan menghitung sambil menciumi leher dan bahu Kia. 

Terpaksa, Kiandra merapatkan kelopak mata. Berusaha tidur atau pura-pura saja, daripada harus menuruti kemauan si suami. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status