Lidia dinyatakan dokter mengalami sedikit gangguan di rahimnya. Wanita itu sulit hamil. Sedangkan Dina, ibunya Evan sudah setiap hari mendesak cucu.
Di usia pernikahan yang ketiga, saat usinya sudah 32 tahun, Evan pun akhirnya terpaksa menuruti saran ibunya untuk menikahi perempuan lain. Saat itu, proses bayi tabung yang ia dan Lidia jalani juga belum membuahkan hasil.
Sungguh takdir yang kusut, Evan harus dipertemukan dengan Kiandra. Si perempuan keras kepala, banyak mau dan cengeng.
"Kia belum siap punya anak, itu karena kamu juga selalu dingin sama dia."
Suara Lidia membuat Evan membuka kelopak mata. "Jadi, menurut kamu, aku yang salah? Semuanya salah aku?"
"Bersikap baik sama dia. Buat dia nyaman dan percaya kalau kamu layak dikasih anak."
Dahi lebar Evan berlipat. "Aku kurang baik sama dia? Dia kurang nyaman di rumah ini?"
Lidia yang kesal memukul lengan pria di sampingnya. "Aku enggak tahu harus gimana bikin kamu paham. Perempuan itu butuh perhatian. Bukan cuma dicukupi materi."
"Kalian kurang perhatian?"
Si istri pertama berdecak. "Capek ngomong sama kamu. Untung aku bisa tahan sampai sejauh ini."
"Kamu mau kabur-kaburan juga? Silakan." Pria itu ikut berdiri karena Lidia sudah beranjak.
"Mau ke mana kamu?" tanya Lidia ketika sadar geraknya diikuti.
"Ini Senin. Jadwalnya aku sama kamu, 'kan?"
Lidia menggeleng. "Sama Kia. Aku takut demamnya naik pas tengah malam."
Evan menghempas tubuh ke sofa lagi. Pria itu berbaring di sana. "Malas."
"Terserah kamu aja. Capek aku." Lidia berlalu. Tak lagi memaksa, karena tahu hal semacam itu tak akan mempan untuk orang kepala batu seperti Evan.
Evan menutup mata, menaruh satu lengannya di atas wajah. Hanya beberapa saat, sampai akhirnya pria itu bangkit. Berjalan menuju kamar Lidia.
Enak saja dirinya harus menemani orang sakit. Entah demam Kia naik atau tidak, terserah. Kenapa Evan harus repot? Ia juga lelah seharian bekerja.
Tiba di kamar Lidia, Evan membuka pintu. Kepala pria itu masuk melewati pintu. "Aku di kamar Kia," katanya, kemudian menarik pintu untuk tertutup lagi.
Tidak. Evan bukan khawatir demam Kiandra parah saat tengah malam. Pria itu hanya baru ingat. Kia belum diberi hukuman karena sudah membuatnya hujan-hujanan kemarin.
Kakinya menapak di lantai kamar Kia, Evan melihat perempuan itu tidak tidur. Namun, duduk memeluk lutut dan bersandar di kepala ranjang.
Mungkin karena suara pintu, perempuan itu menengok untuk tahu siapa yang datang. Setelahnya, kembali membenamkan kepala di antara kaki.
Evan naik ke ranjang. Menepuk bantal, kemudian berbaring. "Aku kira kamu udah enggak ada muka untuk bangun dari pingsan kemarin. Aku kira, kamu mau pingsan selamanya."
Hening. Ejekannya tak disahut, Evan melanjutkan. Sengaja, pria itu mengusap pergelangan dan punggung kaki Kia yang berada tepat di samping. "Itu pilihan tepat, kok. Kamu mau kabur ke mana memangnya? Kamu enggak kasihan sama Bapak dan Ibu kalau rumah mereka aku ambil lagi?"
"Kalau kamu kira aku enggak ada tenaga untuk tendang wajah kamu, kamu salah, Van."
Suara serak itu Evan tertawai. "Siapa yang pingsan cuma karena kehujanan? Sok bisa nendang."
Evan duduk. Dengan satu tarikan di kedua kaki Kia, ia berhasil membuat perempuan itu berbaring. Ia posisikan diri di atas si istri.
"Kamu mau apa, Evan?"
Lelaki itu tak menjawab. Hanya menaikkan alis pada istrinya.
Kiandra meringkuk di bawah kungkungan dua lengan Evan. Dahi perempuan itu mengenai lengan si pria. "Ini Senin. Bukan tugasku."
"Kata kamu, aku suka memaksakan diri. Ya, udah, ini aku turuti. Aku mau memaksakan diri." Telapak tangan Evan mengusap punggung Kia. Rambut sebahu perempuan itu ia sampirkan ke belakang. Untuk kemudian memainkan telunjuk di leher.
"Otak kamu di mana, Evan? Kamu tega mau meniduri orang sakit?" Kiandra memejam. Kepalanya makin pusing karena harus menghadapi orang gila seperti Evan.
Evan menurunkan tubuh. Telunjuk diganti bibirnya. "Aku hitung sampai sepuluh. Kalau kamu belum tidur setelah hitunganku selesai, berarti kamu memang mau aku."
Kalau saja kuat, Kia pasti sudah memukul kepala lelaki di atasnya. "Berengsek kamu. Bajingan."
"Lima, enam." Evan menghitung sambil menciumi leher dan bahu Kia.
Terpaksa, Kiandra merapatkan kelopak mata. Berusaha tidur atau pura-pura saja, daripada harus menuruti kemauan si suami.
Sudah akan pulang, sudah duduk di atas jok sepeda motornya, Kai menemukan Samara menghampiri. Lelaki ini yakin benar-benar didatangi, sebab setahunya, sepeda motor karwayan lepas ibunya itu ada di sebelah kanan. Sekarang pukul satu siang, Kai dan Samara baru saja pulang mengajar. Kebetulan aneh, Kai dan gadis yang bekerja sampingan sebagai pengantar nastar Kia itu diterima menjadi guru honor di SD yang sama. Bertemu di rumah, bertemu lagi di tempat kerja. Kai mulai terbiasa, tetapi tetap merasa risih saat gadis dengan iris mata sewarna madu itu mendatangi dan muncul di hadapan muka seperti sekarang. Menurut Kai, Samara itu tidak tegak akalnya. Agak miring. Bayangkan, di hari pertama masuk kerja dan mereka bertemu, si gadis dengan rambut hitam sepunggung itu mengaku menyukai Kai. Di depan Kiandra pula. "Apa?" tanya Kai ketus saat Samara hanya diam saja di samping sepeda motornya. Kai menjadi sedikit jengkel saat gadis yang ada di depannya memasang ekspresi wajah santai, menuju da
Hening. Sepi. Ketenangan yang ada di kediaman Evan terasa hampa kali ini. Rumah berlantai dua yang menjadi saksi lika-liku cinta Evan dan Kia itu tidaklah kosong. Bangunan itu berpenghuni, hanya saja masing-masing penghuninya tengah diselimuti kehampaan. Ada peristiwa jelek beberapa waktu lalu. Di kamar yang berada di lantai satu, yang beberapa tahun belakangan ditempati oleh sulung Wijaya. Di sana, Evan memergoki Vano hendak menyayat nadi. Kehebohan terjadi. Evan yang biasanya tenang menjerit histeris dan berusaha mencegah anaknya melanjutkan tindakan mengerikan itu. Dibantu istri dan putrinya, Evan akhirnya berhasil menjauhkan Vano dari pisau terkutuk tadi. Memang, Vano tak baik-baik saja setahun belakangan. Sejak kecelakaan tragis yang menyebabkan kaki kanannya pincang, Vano mengalami masa-masa sulit untuk beradaptasi dengan keadaan barunya. Mengasingkan diri, menarik diri, menjauhi semua orang, bahkan menunda pengerjaan tugas akhir kuliah. Evan tahu semua itu tidak mudah. Na
"Papa enggak sayang Vian!" Kalimat keramat, batin Evan. Di depan putrinya yang masih mengenakan seragam putih abu-abu, lelaki itu mengepalkan tangan. "Apa salahnya, Pa? Vian udah gede! Udah tujuh belas! Pacaran aja enggak boleh?" Pipi Vian merah. Ia mengingat bagaimana ayahnya memarahi Glen di muka umum tadi. Kekasihnya itu pasti malu. Tahu sendiri kalau ayahnya sudah murka, mulutnya lebih pedas dari sambal rawit buatan nenek. Mengusap wajah, Evan menarik napas. "Pacaran? Untuk apa? Dengan siapa? Kamu bahkan enggak mengenalkan dia ke Papa, Vian. Kamu sehat?" Rahangnya yang tirus mengetat, mata si gadis memerah. "Papa udah enggak sayang Vian!" tuduhnya dengan wajah terluka. Kemudian, remaja itu berbalik, menaiki tangga dengan tergesa. "Vian?" Evan memanggil. "Navian Kaiandra Wijaya!" Suaranya menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Langkah Vian berhenti. Ia berbalik, menoleh dengan sorot marah pada ayahnya. "Papa udah enggak sayang Vian! Vian kesal! Vian enggak mau ngomong dulu sa
"Abang, kok, kita dilihatin mereka?" Gadis kecil dengan kaus kuning itu bergeser ke kanan agar semakin dekat dengan sang kakak. Kai melirik pada beberapa pegawai di rumah makan itu. Anak lelaki itu tahu apa yang adiknya maksud. Memang, mereka sedang jadi bahan tontonan sekarang. Bukan hanya pegawai bagian dapur yang ada di sini, pekerja yang biasanya siap siaga di depan pun sudah silih berganti muncul. Sekadar pura-pura lewat, demi bisa melihat mereka. "Abang?" Si gadis kecil menyenggol bahu kakaknya. Tangannya yang kecil itu terus berusaha mencuci kentang dalam ember yang penuh air. "Enggak apa, Vian. Mereka itu teman Papa. Vian takut?" Kai melempar senyum tulus pada sang adik. Gadis kecil berambut hitam sepundak itu mengangguk. Matanya yang sedikit bengkak mulai berkaca-kaca lagi. "Salah Vian. Maafin Vian, ya, Bang?" Ia membersit hidung. Kai mengangguk. Tangannya basah, anak itu menyentuh kepala sang adik dengan lengan. "Abang juga salah." Kai dan Vian sedang dihukum. Oleh ay
Menemukan Evan sedang duduk sendirian di ruang makan, Kiandra terkekeh pelan. Memasang raut datar setelahnya, perempuan itu duduk di pangkuan sang suami. "Nungguin siapa? Enggak dikasih jatah, kamu mau beneran selingkuh sama Nona Daster Putih?" Tidak dijawab, Kiandra mengalihkan tatap karena Evan malah memandangi. Dari jarak sedekat ini, dengan sorot mata dalam dan teduh pria itu, Kiandra sudah berdebar saja. "Lihat mataku," Evan meraih dagu Kia, membuat perempuan itu kembali menatapi. Evan suka saat melihat pantulan dirinya di beningnya netra coklat sang istri. Mengendalikan detak jantung, Kiandra tak bisa untuk tak memeluk lelakinya itu. "Kenapa duduk sendirian di sini?" "Pengin mi instan goreng. Buat, gih." Ah. Kia tak bisa tak tersenyum. Perempuan itu menjungkitkkan ujung bibir. Ia kecup pipi Evan lama. "Tumben," ejeknya sengaja. Evan menggeleng. Ia juga tak paham. Tadi itu sudah makan. Ikan goreng yang Kia siapkan, sungguh enak. Namun, entah k
Kiandra itu gila. Evan tidak akan meralat ucapan itu. Ia juga tak akan mau meminta maaf kalau pun istrinya itu mendengar apa yang barusan ia suarakan dalam hati."Kamu apa enggak bisa ambil libur satu hari aja?" Begitu rengek ibunya Kai di pagi saat Evan sudah akan berangkat bekerja. Tidak ada angin, hujan atau badai, Kiandra atau Vano juga tidak sakit. Evan menolak permintaan itu. Jelas. Untuk apa ia libur mendadak, sementara sudah ada jatah libur? Lagipula untuk apa? Kia mau apa? Tadi pagi itu, Evan sudah akan berangkat. Lalu apa? Kiandra yang berusia kepala tiga itu menangis dengan segelas air di tangan kanan dan kunci mobil Evan di tangan kiri. "Kalau kamu tetap berangkat, aku telan ini kunci mobilmu." Kia mengancam tepat di dekat tangga rumah, sedangkan suaminya di anak tangga. Reaksi Evan kala itu, hanya tertawa. "Telan, coba. Bisa memangnya?" Kia benar-benar menaruh ujung kunci mobil Evan di lidah
Menggandeng Kai dengan tangan kanan, Kiandra terlihat berjalan tergopoh memasuki rumah. Di balik helm yang masih terpasang, pipi wanita itu basah. "Evan!" panggilnya kencang. Sampai di ruang tamu, Kiandra langsung memeluk Evan yang terduduk di sofa. Tangisnya pecah. "Kenapa bisa? Mana yang sakit? Kamu geger otak?" Kiandra menyentuh perban kecil di dahi kiri Evan. Tadi, tepat setelah jam sekolah Kai usai, Kiandra dihubungi Evan. Lelaki itu mengabari jika dirinya ada di rumah, habis mengalami kecelakaan kecil. Sejak mendengar itu hingga di perjalanan menuju rumah, Kiandra tak berhenti menangis. Ia sungguh cemas dan sedih. Kenapa bisa Evan kecelakaan? Pria itu adalah orang yang selalu berhati-hati. Perasaannya makin tak tentu tadi, karena Evan menolak menjelaskan detail luka yang didapat. Saat melihat keadaan pria itu saat ini, Kiandra jadi makin ketakutan. Ada memar di pipi Evan. Atas pelipis kirinya ditempeli perba
"Jadi, kenapa waktu itu kamu cuma ngakuin Lidia?" Kiandra bertanya pada suaminya. Pukul satu dini hari. Kiandra tengah berbaring di pelukan Evan. Mereka berdua berbagi selimut. Evan menarik bibir Kia. "Hobi banget ngungkit masa lalu. Untuk apa?" "Jawab," desak Kia. Bibirnya yang barusan dicubit terasa sedikt sakit. "Ya biar enggak ribet. Kalau aku kasih tahu kamu juga istriku, kenalanku itu pasti banyak tanya. Atau, kalau dia enggak tanya langsung, dia pasti mikir aneh-aneh." Kiandra berbaring telungkup. Evan melirik sewot. Perempuan itu sepertinya sengaja pamer-pamer. Dari tempatnya, Evan bisa melihat dua benda cantik itu menggantung bebas. "Mikir aneh apa?" Kiandra bertanya seraya menarik Evan yang hendak tidur menyamping. "Pikir aja sendiri!" Evan menarik selimut, menyelimuti dirinya hingga ujung kepala. Pria itu mengulum senyum. "Evan! Jawab dulu! Mikir aneh apa?" Wah! Jebakan berhasil. Saat selimut di atas wajah Evan ditarik Kia
Membuka mata, bangun dari tidur, pagi ini Evan heran apa dirinya sedang ada di surga atau masih di Bumi. Sebab, pemandangan di depan pria itu sungguh bagus. Lebih indah dari apa pun. Ada Kia dan Vano. Mereka di dekat lemari pakaian, si istri sedang membantu anak mereka mengenakan seragam sekolah. Ditambah senyum indah yang di wajah dua orang itu, Evan sungguh merasa dirinya sudah di surga. "Papa! Papa udah bangun!" Vano berlari, menghampiri dan naik ke tempat tidur. Anak itu memeluk ayahnya yang baru saja duduk. "Ibuk ikut antar Kai ke sekolah hari ini." Anak itu kegirangan. "Beneran Ibuk tinggal di sini dan enggak pulang-pulang lagi?" Evan mengangguk. Mengecup pipi Vano. "Tadi pagi Vano lihat sendiri, 'kan? Ibuk boboknya sama kita." Kai mengangguk. Ia turun dari pangkuan Evan dan mendatangi Kia. Membiarkan ibunya itu mengancingkan kembali seragam sekolah. Senyumnya tak pudar dari wajah. "Oke. Seragam selesai. Turun, biar sarap