Share

Bab 3

Evan terkekeh di tengah hujan. Pria itu berdiri di tepi jalan, di dekat sebuah pohon yang lokasinya tak jauh dari kompleks perumahan. Di bawah pohon itu, seorang perempuan tampak berjongkok dan menggigil kedinginan. 

"Kamu baru mau kabur atau lagi mau pulang, Ki?" 

Evan mengusap wajah yang kuyup. Hujan yang sejak sore mengguyur belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti sepertinya. Pada perempuan pucat di bawah pohon, lelaki itu melempar tatapan menang. 

Kiandra kabur pukul dua pagi. Lidia sudah menangis-nangis meminta dilaporkan ke polisi, sebab orang tua Kia mengaku tidak didatangi anaknya. Evan menolak melakukan itu. Pria itu menunggu hingga malam dan lihat? Kiandra bisa ia temukan dengan mudah, 'kan? 

Evan mendekat pada Kia. Ikut berjongkok di depan perempuan itu. "Gimana? Udah kabur-kaburannya?" 

Kia tak menjawab. Bibir perempuan itu gemetar, seperti seluruh bagian tubuh yang lain. Dia kedinginan dan lemas. 

"Jadi, gimana? Kamu masih mau kabur atau enggak?" 

Evan kembali terbahak saat kepala istri keduanya menggeleng lemah. "Mau pulang?" 

Kia mengangguk dengan tangis di pipi.  Sungguh, tadi pagi itu niatnya sudah bulat. Apa pun yang terjadi, biarlah rumah yang ditempati ayah dan ibu diambil. Biarlah saja Evan menagih utang atau sampai menyita harta Rina, dan tak apa jika Nando putus sekolah. 

Namun, keteguhan hati Kia itu runtuh saat bayangan Nando yang bercerita tentang cita-cita muncul di benak. Kiandra kalah. Ia menyerah pada kekuasaan Evan. 

Nando ingin menjadi polisi atau tentara. Anak itu masih kelas 2 SMA. Masih butuh banyak biaya. Apa jadinya jika Evan berhenti membiayai Nando? Gaji ayah Kiandra yang hanya seorang supir ojek tak akan bisa membuat impian Nando terwujud. 

Mungkin, bisa, dengan sedikit keajaiban. Namun, bukankah Kia juga bertanggung jawab untuk mimpi Nando itu? Kiandra sulung. Si bungsu pantas ia pikirkan masa depannya. 

Tidak jadi kabur, perasaan malu, sedih dan marah menahan Kia untuk berteduh sebentar di bawah pohon itu. Lelah juga karena sepanjang hari luntang-lantung, berjalan tak tentu arah. Kemudian, hujan menyemarakkan suasana. Jadilah ia semenyedihkan sekarang. Menjadi bahan tertawaan si berengsek Evan. 

"Mau pulang, Ki?" Evan bertanya saat diihatnya kelopak mata Kiandra nyaris menutup. Pria itu menyeringai. Apa istri keduanya itu sedang berakting ringkih untuk dikasihani? 

Kepala Kia kembali mengangguk. Perempuan itu mulai sulit membuka mata. 

Evan berdiri. "Kamu pergi sendiri, 'kan? Pulang sendiri juga, ya? Aku duluan." Ia berbalik, berjalan menuju mobil yang terparkir tak jauh dari sana. 

Laki-laki itu sudah menarik pintu mobil, saat akhirnya kembali menoleh ke pohon tadi. Terdiam sebentar, Evan membanting pintu mobil. Kiandra sudah tergeletak tak sadarkan diri di sana. 

Evan menggigit bibir. Mengusap wajah. "Sejak kamu datang, hidupku enggak pernah tenang, Ki." 

*** 

Pukul delapan malam. Evan bangkit dari kursinya dan berjalan meninggalkan dapur sembari meregangkan lengan. Pria itu masih di salah satu toko rumah makan milknya, habis memeriksa laporan belanja bulan ini. 

"Pulang, Pak?" Kasir di rumah makan itu menyapa. 

Evan mengangguk. Ia mengedarkan pandangan. Mencari Doni, si penanggung jawab gerai. Setelah menemukan orang itu, tangannya melambai, memanggil. 

"Tolong yang pemasok ikannya segera dicari pengganti. Yang lama kayaknya memang sengaja naikkan harga, sementara kualitas ikannya jelek." 

Doni mengangguk paham. 

"Pastikan yang bisa kirim ke cabang yang lain." Evan menambahkan. "Saya bakal absen datang beberapa hari ke sini. Tolong, kamu kasih laporan tiap hari." 

Selesai memberi arahan, Evan pun pamit pulang. Pria itu sudah sangat ingin mandi dan tidur. Lelah sekali, padahal hanya memantau pegawai bekerja dan memeriksa beberapa laporan. Menjadi pemilik dari beberapa gerai rumah makan sungguh menguras banyak tenaga dan pikiran. 

Setibanya ia di rumah, Evan disambut oleh Lidia, seperti biasa. Wanita itu menyiapkan pakaian ganti dan teh saja karena Evan tidak ingin makan. 

"Sepupu aku jadi datang, ya, Van." Lidia memulai obrolan. Perempuan  bewajah lembut itu memijat lengan suaminya. 

Evan mengangguk saja. 

"Kia. Tolong, jangan terlalu keras sama dia." Lidia merasa Evan menepis tangannya yang jadi memijat lengan. "Kamu terlalu keras sama dia, Van." 

Evan menjatuhkan punggung di sandaran sofa. "Jangan mulai lagi, Lid." 

"Dia cuma mau kamu ngertiin dikit. Kamu bahkan jarang ajak dia ngobrol." 

"Aku pernah ajak kamu ngobrol?" balas si suami. "Lagian, dia udah bohongi aku. Dia minum pil KB, padahal tahu alasan aku nikahin dia." Matanya terpejam, teringat kejadian setahun lalu. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Husni
Lidia benar , kita ingin di pahami bukan sekedar saja
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status