Evan terkekeh di tengah hujan. Pria itu berdiri di tepi jalan, di dekat sebuah pohon yang lokasinya tak jauh dari kompleks perumahan. Di bawah pohon itu, seorang perempuan tampak berjongkok dan menggigil kedinginan.
"Kamu baru mau kabur atau lagi mau pulang, Ki?"
Evan mengusap wajah yang kuyup. Hujan yang sejak sore mengguyur belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti sepertinya. Pada perempuan pucat di bawah pohon, lelaki itu melempar tatapan menang.
Kiandra kabur pukul dua pagi. Lidia sudah menangis-nangis meminta dilaporkan ke polisi, sebab orang tua Kia mengaku tidak didatangi anaknya. Evan menolak melakukan itu. Pria itu menunggu hingga malam dan lihat? Kiandra bisa ia temukan dengan mudah, 'kan?
Evan mendekat pada Kia. Ikut berjongkok di depan perempuan itu. "Gimana? Udah kabur-kaburannya?"
Kia tak menjawab. Bibir perempuan itu gemetar, seperti seluruh bagian tubuh yang lain. Dia kedinginan dan lemas.
"Jadi, gimana? Kamu masih mau kabur atau enggak?"
Evan kembali terbahak saat kepala istri keduanya menggeleng lemah. "Mau pulang?"
Kia mengangguk dengan tangis di pipi. Sungguh, tadi pagi itu niatnya sudah bulat. Apa pun yang terjadi, biarlah rumah yang ditempati ayah dan ibu diambil. Biarlah saja Evan menagih utang atau sampai menyita harta Rina, dan tak apa jika Nando putus sekolah.
Namun, keteguhan hati Kia itu runtuh saat bayangan Nando yang bercerita tentang cita-cita muncul di benak. Kiandra kalah. Ia menyerah pada kekuasaan Evan.
Nando ingin menjadi polisi atau tentara. Anak itu masih kelas 2 SMA. Masih butuh banyak biaya. Apa jadinya jika Evan berhenti membiayai Nando? Gaji ayah Kiandra yang hanya seorang supir ojek tak akan bisa membuat impian Nando terwujud.
Mungkin, bisa, dengan sedikit keajaiban. Namun, bukankah Kia juga bertanggung jawab untuk mimpi Nando itu? Kiandra sulung. Si bungsu pantas ia pikirkan masa depannya.
Tidak jadi kabur, perasaan malu, sedih dan marah menahan Kia untuk berteduh sebentar di bawah pohon itu. Lelah juga karena sepanjang hari luntang-lantung, berjalan tak tentu arah. Kemudian, hujan menyemarakkan suasana. Jadilah ia semenyedihkan sekarang. Menjadi bahan tertawaan si berengsek Evan.
"Mau pulang, Ki?" Evan bertanya saat diihatnya kelopak mata Kiandra nyaris menutup. Pria itu menyeringai. Apa istri keduanya itu sedang berakting ringkih untuk dikasihani?
Kepala Kia kembali mengangguk. Perempuan itu mulai sulit membuka mata.
Evan berdiri. "Kamu pergi sendiri, 'kan? Pulang sendiri juga, ya? Aku duluan." Ia berbalik, berjalan menuju mobil yang terparkir tak jauh dari sana.
Laki-laki itu sudah menarik pintu mobil, saat akhirnya kembali menoleh ke pohon tadi. Terdiam sebentar, Evan membanting pintu mobil. Kiandra sudah tergeletak tak sadarkan diri di sana.
Evan menggigit bibir. Mengusap wajah. "Sejak kamu datang, hidupku enggak pernah tenang, Ki."
***Pukul delapan malam. Evan bangkit dari kursinya dan berjalan meninggalkan dapur sembari meregangkan lengan. Pria itu masih di salah satu toko rumah makan milknya, habis memeriksa laporan belanja bulan ini.
"Pulang, Pak?" Kasir di rumah makan itu menyapa.
Evan mengangguk. Ia mengedarkan pandangan. Mencari Doni, si penanggung jawab gerai. Setelah menemukan orang itu, tangannya melambai, memanggil.
"Tolong yang pemasok ikannya segera dicari pengganti. Yang lama kayaknya memang sengaja naikkan harga, sementara kualitas ikannya jelek."
Doni mengangguk paham.
"Pastikan yang bisa kirim ke cabang yang lain." Evan menambahkan. "Saya bakal absen datang beberapa hari ke sini. Tolong, kamu kasih laporan tiap hari."
Selesai memberi arahan, Evan pun pamit pulang. Pria itu sudah sangat ingin mandi dan tidur. Lelah sekali, padahal hanya memantau pegawai bekerja dan memeriksa beberapa laporan. Menjadi pemilik dari beberapa gerai rumah makan sungguh menguras banyak tenaga dan pikiran.
Setibanya ia di rumah, Evan disambut oleh Lidia, seperti biasa. Wanita itu menyiapkan pakaian ganti dan teh saja karena Evan tidak ingin makan.
"Sepupu aku jadi datang, ya, Van." Lidia memulai obrolan. Perempuan bewajah lembut itu memijat lengan suaminya.
Evan mengangguk saja.
"Kia. Tolong, jangan terlalu keras sama dia." Lidia merasa Evan menepis tangannya yang jadi memijat lengan. "Kamu terlalu keras sama dia, Van."
Evan menjatuhkan punggung di sandaran sofa. "Jangan mulai lagi, Lid."
"Dia cuma mau kamu ngertiin dikit. Kamu bahkan jarang ajak dia ngobrol."
"Aku pernah ajak kamu ngobrol?" balas si suami. "Lagian, dia udah bohongi aku. Dia minum pil KB, padahal tahu alasan aku nikahin dia." Matanya terpejam, teringat kejadian setahun lalu.
Evan tak pernah merencanakan ingin memiliki dua istri. Satu saja, yang baik seperti Lidia saja, sulit ia rawat. Namun, mau tak keputusan itu harus diambil.Lidia dinyatakan dokter mengalami sedikit gangguan di rahimnya. Wanita itu sulit hamil. Sedangkan Dina, ibunya Evan sudah setiap hari mendesak cucu.Di usia pernikahan yang ketiga, saat usinya sudah 32 tahun, Evan pun akhirnya terpaksa menuruti saran ibunya untuk menikahi perempuan lain. Saat itu, proses bayi tabung yang ia dan Lidia jalani juga belum membuahkan hasil.Sungguh takdir yang kusut, Evan harus dipertemukan dengan Kiandra. Si perempuan keras kepala, banyak mau dan cengeng."Kia belum siap punya anak, itu karena kamu juga selalu dingin sama dia."Suara Lidia membuat Evan membuka kelopak mata. "Jadi, menurut kamu, aku yang salah? Semuanya salah aku?""Bersikap baik sama dia. Buat dia nyaman dan percaya kalau kamu layak dikasih anak
Evan Wijaya. Usia pria itu 33 tahun sekarang. Pendapat Kia tentangnya? Si rupawan yang bajingan.Contoh paling dekat dari sikap bajingannya itu, sekarang. Saat Kia masih ingin merebahkan tubuh di kasur karena memang masih lemas dan sedikit pusing, pria itu malah memaksanya ikut keluar rumah.Di malam hari yang lumayan berangin pula. Seperti sengaja sekali ingin membuat sakitnya makin parah. Katanya, ingin mengajak makan bakso. Namun, malah berhenti di warung nasi goreng.Kesal, Kia membiakan pria itu turun dari mobil dan masuk sendirian ke tempat makan. Sekitar tiga menit berlalu, Kia tertawa kecil saat melihat pria yang berstatus sebagai suaminya itu kembali menghampiri mobil."Kamu beneran sakit? Sempat-sempatnya bikin aku kesal?" Evan bicara tepat di samping Kia. Pria itu melepas seat belt yang masih melilit di tubuh istrinya."Aku enggak lapar. Kalau kamu mau kerepotan ngurusin aku yan
"Di pernikahan ini, bukan cuma kamu yang berkuasa, Evan. Aku butuh uang kamu, tapi kamu juga butuh aku. Kalau kamu enggak bisa berubah, sedikit aja menghargai aku, lupakan niat kamu dapat anak dari aku."Usai mengatakan itu, Kia melompat dari atas mobil. Benar-benar melompat hingga tubuhnya terlempar, berguling dan menghantam entah apa.Perempuan itu meringis setelah tubuh berhenti berguling. Ia bangkit untuk duduk. Sakit. Lutut, lengan, siku, kepala, semuanya. Ia menoleh ke belakang, mobil Evan berhenti.Mengumpulkan tenaga, menghalau semua rasa sakit, Kia berdiri. Meski pergelangan kakinya sakit, perempuan itu berlari menjauh dari sana. Ia tak ingin Evan berhasil mengejar. Kalau pria itu memang berusaha mencarinya.Jalanan malam itu cukup ramai, tetapi lancar. Kiandra yang sudah beberapa menit berlari, memutuskan untuk berhenti sejenak di salah satu trotoar. Evan sudah tak terlihat.
"Ki? Makan siang, yuk? Buka pintunya, aku antar, ya?"Pada Lidia yang mengetuk pintu kamar, Kiandra tak memberikan respon apa pun. Ia masih duduk di lantai dekat tempat tidur.Sejak kemarin, Kia memang tak keluar dari kamar. Masih tidak ingin bertemu si sinting Evan. Dan kesal pada Damar yang ternyata adalah sepupunya Lidia.Ia sudah berharap bisa bebas dari Evan. Menumpang sebentar di rumah saudara Damar, untuk nantinya mencari sumber uang dan bisa mandiri. Sayang, nasih6 terlalu licik mengatur semua ini.Tidak keluar dari kamar, sejak kemarin Kia juga belum makan. Jadi, untuk mengganjal perut sampai entah kapan, Kia memakan biskuit yang memang selalu ada di kamar.Di sela kegiatan itu, ponsel si perempuan bergetar. Ada telepon dari Nando. Cepat-cepat ia terima."Ada apa, Ndo?""Pagi, Kak. Cuma mau kasih tahu. Senin nanti aku ujian. Aku udah dapat kartu ujiannya, loh. Tunggakan sekolah, udah
"Dalam lima bulan, kalau Kia belum hamil, Evan berhak menarik kembali apa yang sudah diberikan pada Bapak, Ibu, Rina dan Nando. Selanjutnya, Evan bebas melakukan apa saja, tidak dihitung sebagai pemaksaan, selama perjanjian berlangsung." Pria itu menyuarakan apa yang sudah ditulis. Menanti reaksi lawan bicara.Kia mengangguk, meski sempat terlihat akan protes. Materai ditempel, mereka tanda tangan bergantian di atas nama masing-masing.Kia menatapi kertas itu dengan mata berbinar. Akhirnya, setengah dari bebannya lepas. Hanya tinggal tunggu tiga bulan usai efek KB hilang, hamil, melahirkan dan bebas dari Evan. Kia akan bisa memiliki hidupnya sepenuhnya lagi.Tanpa sepengetahuan Kia, Evan sudah berdiri. Pria itu memutari meja, memposisikan diri di samping kursi istrinya.Evan menarik lengan Kia, hingga perempuan itu berdiri. "Kamu naik apa ke sini?" Ia mengancingkan bagian bawah ritsleting jaket abu-abu Kia."Motor." Ki
Kia turun untuk makan malam. Sepertinya agak terlambat, karena meja sudah dihuni penghuni rumah lain. Ada Evan, Lidia dan sepupunya Lidia.Saat akan menarik kursi di sudut ujung, yang berseberangan langsung dengan Evan, Kia diinterupsi. Evan memang tidak bicara, tetapi menatapnya terus-menerus. Lurus, ke arah dada.Ingat kejadian di rumah makan kemarin, Kia dengan sigap menyilangkan lengan di depan dada. "Ada. Aku pakai."Alis Evan naik satu, pria itu masih tak membuka mulut, tetapi tatapannya sangat mengganggu Kiandra."Apanya yang ada, Ki?" tanya Lidia sembari menaruh piring di depan Kia.Kiandra menggeleng. Ia mengambil piring yang tadi Lidia berikan. "Aku bisa sendiri," ucapnya tak ramah.Kebiasaan Lidia itu, yang Kia paling tidak suka adalah, selalu bersikap baik. Bagaimana pun Kia berusaha ketus, tak acuh atau sengaja menyebalkan, istri pertama Evan itu tak pernah marah.Tadi itu, kalau
Kia menatap waspada pada lelaki itu. Apa Damar ingin melakukan pembalasan atas sikapnya pada Lidia?"Sini, aku bantu." Damar mengambil kapas dari tangan kiri Kia. Membasahinya dengan alkohol, lalu menarik lengan kanan gadis itu."Aku bisa sendiri." Kia berusaha menjauhkan lengan."Aku bantu." Damar sedikit melotot. Memaksa, hingga akhirnya gadis di depan tak lagi protes.Ada jeda yang diisi hening sekitar beberapa menit, sampai akhirnya Damar bersuara."Menurut kamu, Lidia itu sok baik?"Kan! Kia sudah menebak. Sepupunya Lidia ini pendendam. Tidak menjawab, Kia meringis sebab Damar sengaja menekan luka."Kamu bisa nolak dengan baik-baik kalau enggak mau dibantu. Kenapa harus ngatain?" Damar meniup luka di siku kanan si gadis.Damar melirik lutut Kia yang juga lecet. Pria itu menarik kaki si gadis, ditaruh di atas paha."Dia keras kepala. Tiap hari ditolak, tiap hari s
"Yang bener dikit, Ki. Apa, sih, yang bisa kamu kerjain dengan benar?" Evan menoleh dengan sorot galak ke belakang. Pada istrinya yang malas-malasan memijat punggung."Ini udah benar, Evan!" Kia menekan kuat di punggung si suami."Yang kuat. Kamu punya banyak tenaga untuk membantah, tapi untuk mijit aja enggak bisa benar."Mengerahkan seluruh tenaga, Kia memicit punggung dan bahu Evan."Yang kuat, Kia!""Ini udah kuat, Evan! Badan kamu aja yang kayak kayu!" Telapak tangan Kia memukul punggung si lelaki.Evan menengok, dahinya berkerut tak senang. "Kamu enggak boleh makan kalau aku enggak puas."Mengancam, mengancam dan mengancam. Hanya itu yang bisa Evan gunakan. Sial sekali Kia harus melalui Sabtu malam begini bersama si lelaki jahat itu.Terpaksa, demi perut yang sudah keroncongan, Kia berusaha memijat punggung dan bahu Evan lagi. Jemarinya sudah terasa kebas dan terlihat memera