"Kenapa diam, apa perlu aku bongkar semuanya. Kalau ibumu sering menagih biaya operasiku dulu saat melahirkan Zara. Bukan itu saja, selama ini kamu juga hanya memberiku uang bulanan lima ratus ribu untuk satu bulan, dan itu sudah termasuk untuk membeli susu dan juga pampers," ungkap Resty. Mendengar itu semua karyawan yang ada kembali terkejut.
"Hah, sebulan hanya lima ratus ribu, yang benar saja," bisik salah seorang karyawan."Iya, masa sih pak Ardan menjatah istrinya cuma lima ratus ribu," bisik satunya lagi."Iya, rasanya nggak mungkin. Tapi wanita itu beneran istrinya, pak Ardan," timpal salah satunya.Bisikan demi bisikan mulai terdengar, bahkan Resty dapat merasakan tatapan tak suka dari mereka. Sementara itu, kemarahan Ardan semakin memuncak. Karena secara tidak sengaja Ardan telah dipermalukan oleh istrinya sendiri. Walaupun sesungguhnya itu terjadi juga akibat ulahnya."Ikut aku pulang, Romi tolong kamu handle semuanya. Maaf istri saya memang mengalami gangguan jiwa." Dengan rahang yang sudah mengeras, Ardan menarik kasar tangan istrinya dan membawanya masuk ke dalam mobil. Awalnya Resty memberontak, tetapi tenaga Ardan cukup kuat untuk dilawan."Kamu mau bawa aku ke mana, Mas. Aku sedang kerja, turunkan aku." Resty berusaha untuk turun dari mobil suaminya, tetapi dengan cepat Ardan menambah laju mobilnya. Hal tersebut membuat Resty diam, ia tidak mau mati konyol seperti dalam sinetron."Kamu benar-benar memalukan, kamu sengaja melakukan itu, iya!" bentak Ardan. Tatapan matanya yang tajam, membuat nyali seseorang menciut, tetapi tidak dengan Resty. Justru ia ingin melihat suaminya lebih marah lagi dari yang sekarang."Kenapa harus malu, jika yang aku lakukan dan aku katakan itu salah. Baru kamu malu, Mas. Tapi semua itu benar bukan." Resty menatap suaminya dengan tatapan meremehkan, melihat itu Ardan bertambah murka."Tapi tidak seharusnya kamu bongkar di depan umum seperti itu. Kamu tahu kan, aku ini seorang bos, itu sama saja kamu menjatuhkan nama baik suamimu sendiri," ujar Ardan, emosinya semakin menguasai dirinya."Kamu mengaku seorang bos, tapi istri dan anaknya kamu telantarkan. Kalau kamu benar-benar seorang bos, seharusnya tahu apa tanggung jawab mempunyai istri dan anak. Bukan seperti ini," ujar Resty, mendengar itu Ardan diam. Ia berusaha untuk menahan emosinya, terlebih saat ini mereka berada dalam perjalanan.Tidak butuh waktu lama, kini mereka tiba di rumah, setelah memarkirkan mobilnya. Ardan dan Resty bergegas keluar, setelah itu Ardan membawa istrinya masuk ke dalam. Setibanya di dalam. Rumah nampak sepi, Ardan berjalan masuk ke dalam kamar untuk mencari putrinya."Di mana Zara?" tanya Ardan, saat ia tidak menemukan putrinya di dalam kamar."Zara ada di rumah ibu," jawab Resty."Sekarang kamu tunggu di sini, aku akan menjemput Zara. Tugas kamu itu mengurus rumah dan Zara, mengerti." Setelah mengatakan itu Ardan beranjak keluar, ingin mencegah tapi rasanya percuma. Setelah ini Resty harus memutar otak untuk mencari pekerjaan yang kiranya tidak diketahui oleh suaminya.***Hari telah berganti, sejak kejadian kemarin hubungan antara Ardan dan Resty menjadi dingin. Bahkan Resty sengaja tidak melakukan tugasnya sebagai seorang istri. Hal itu terjadi karena ia ingin memberi pelajaran untuk suaminya. Terlebih Ardan telah menyuruh bos tempat Resty bekerja untuk memecatnya.Resty memang kehilangan pekerjaan, tetapi ia bukan wanita bodoh yang akan menangis dan meminta belas kasihan pada suaminya. Resty akan mencari pekerjaan lainnya, dan semua itu tanpa sepengetahuan Ardan. Pagi ini Resty memilih sibuk mengurus Zara."Astaga, kenapa baju belum disiapin sih." Ardan menggerutu saat melihat istrinya belum menyiapkan baju kerjanya. Dengan terpaksa Ardan mengambilnya sendiri. Usai berpakaian Ardan bergegas turun ke bawah.Di bawah terlihat Resty sedang bermain dengan Zara di ruang tengah. Jujur, Ardan tersenyum saat melihat istrinya yang sedang bercanda dengan putri mereka. Terlebih Zara sangat aktif, dalam hati Ardan ada rasa keinginan untuk bermain dengan putrinya itu."Resty, apa sarapannya sudah siap?" tanya Ardan. Seketika Resty menoleh, tetapi sedetik kemudian wanita itu kembali fokus pada putrinya."Aku nggak masak, Mas. Soalnya bahan makanan sudah habis, beras sama minyak juga habis," jawab Resty, mendengar itu mata Ardan melotot."Seharusnya kalau bahan makanan habis kamu belanja dong, bukan diam saja seperti ini," ujar Ardan, sebisa mungkin ia menahan emosinya."Kamu bilang tugas aku hanya mengurus rumah dan Zara. Sekarang kerjaan rumah sudah beres, kalau kamu ingin aku masak. Ya kamu sendiri yang belanja, Mas. Sekalian nanti beli susu sama pampers, soalnya persediaan sudah habis," ungkap Resty. Otak Ardan rasanya ingin meledak mendengar semua itu. Dengan hati yang dongkol, Ardan beranjak pergi, dan memilih untuk berangkat ke kantor.Baru saja mobil Ardan pergi, tiba-tiba datang dua orang perempuan. Mereka adalah kakak ipar serta ibu mertua Resty, kedua perempuan itu beranjak masuk ke dalam. Melihat Resty yang sedang bermain dengan putrinya di ruang tengah. Mereka bergegas untuk menghampirinya."Ardan mana?" tanya Hesti, ibu mertua Resty."Sudah berangkat ke kantor, Bu." Resty menjawab tanpa menoleh, karena ia memilih sibuk dengan putrinya. Mendengar jawaban dari menantunya itu, Hesti menoleh ke arah putrinya."Oh, kedatangan ibu ke sini hanya untuk menagih biaya operasi kamu yang dulu. Apa sudah ada uangnya, ibu dengar kamu kerja, itu artinya kamu punya uang," ungkap Hesti, seketika Resty menoleh. Ternyata ibu mertuanya semakin menjadi, karena biaya yang seharusnya Ardan keluarkan, tetap saja ditagih."Sampai kapanpun aku tidak akan mengeluarkan uang sepeserpun, karena semua itu sudah menjadi kewajiban, mas Ardan sebagai seorang suami. Kalau ibu butuh uang, tinggal minta saja sama mas Ardan. Dan kalau, Ibu tetap memaksa aku untuk menggantinya, aku juga akan meminta, Ibu untuk mengganti biaya mengurus mas Ardan sejak kami menikah sampai sekarang. Apa, Ibu sanggup," ungkap Resty. Detik itu juga ibu mertua serta kakak iparnya terdiam dengan ucapannya.Waktu berjalan begitu cepat, keesokan harinya tepatnya pukul sepuluh siang Resty sudah diperbolehkan pulang. Sejujurnya Resty meminta pulang sedari tujuh pagi tadi, tapi dokter belum mengizinkan. Setelah kondisinya benar-benar sudah pulih, baru dokter mengijinkannya untuk pulang."Dafian nggak rewel kan, Mas?" tanya Resty, memang Dian membawa pulang cucunya terlebih dahulu, itupun atas saran dokter. "Nggak kok, kata mama anteng," jawab Dony. Mendengar itu, hati serta pikiran Resty menjadi tenang. "Lalu bagaimana dengan Zara." Resty kembali bertanya."Zara juga nggak rewel kok, malah kata mama seneng banget," sahut Dony."Syukurlah, auh." Resty hampir saja terjatuh jika Dony tidak sigap. "Sayang kamu baik-baik saja kan?" tanya Dony dengan raut wajah khawatir. "Aku nggak apa-apa kok, Mas. Cuma tadi rasanya tiba-tiba sedikit pusing," jawab Resty sembari memijit pelipisnya. "Kita kembali ke .... ""Enggak apa-apa kok, Mas. Aku mau pulang, aku ingin melihat putra kita." Resty memotong
Dua jam telah berlalu, kini Ardan sudah dibawa ke rumah sakit jiwa. Awalnya polisi akan membawanya ke kantor polisi, tetapi setelah diperiksa. Kondisi kejiwaan Ardan terganggu, itu sebabnya polisi membawanya ke rumah sakit jiwa.Sementara itu, saat ini rumah Rena banyak pelayat yang datang saat mendengar kabar Serly meninggal dunia. Bahkan Haris yang mendengar kabar tersebut ikut hadir bersama dengan keluarganya. Mengingat jika Serly juga pernah menjadi bagian dari keluarganya.Setelah pemakaman selesai, Hesti meminta Haris dan sekeluarga untuk mampir lagi ke rumah. Hesti ingin meminta maaf pada mereka, terutama pada Resty, mantan menantunya yang pernah ia sia-siakan. Hesti juga ingin meminta maaf pada Dony."Resty, tolong maafkan semua kesalahan ibu dan sekeluarga. Tolong maafkan kesalahan Ardan juga, mungkin apa yang kami alami adalah karma. Karena kami sering menghina kamu dan juga menyia-nyiakan kamu," ungkap Hesti dengan penuh penyesalan. Bahkan air matanya tak berhenti menetes,
Setelah menanda tangani surat persetujuan, kini mereka tengah menunggu di depan ruangan operasi. Ardan dan Rena hanya bisa berharap agar operasi berjalan dengan lancar. Tiba-tiba saja Rena teringat akan Mita yang sampai saat ini mereka belum tahu keadaannya."Kenapa, Kak?" tanya Ardan yang melihat kakaknya tiba-tiba gelisah. "Kita belum tahu bagaimana dengan keadaan Mita," jawab Rena. Mendengar itu Ardan hanya menghela napas. "Nunggu operasi ibu selesai operasi, setelah itu kita tanyakan kondisi Mita," lanjutnya. Sementara itu Ardan hanya mengangguk, setelah itu ia menyenderkan kepalanya di sandaran kursi."Kenapa semenjak aku menyia-nyiakan Resty dan juga Zara masalah selalu datang. Terlebih setelah Resty mengetahui rahasia yang selama ini aku simpan." Ardan membatin, jujur ia merasa bersalah atas perbuatannya pada Resty serta putrinya dulu."Apa ini karma untukku dan juga keluargaku. Selama ini kami selalu berbuat jahat pada Resty." Ardan kembali membatin, lalu mengusap wajahnya d
Resty tersenyum. "Itu tidak akan pernah terjadi, kamu pikir aku akan luluh dengan ancamanmu itu. Dengar ya, Mas. Aku bersedia memaafkan semua kesalahan kamu dan juga keluargamu. Tapi tolong, jangan pernah usik hidupku lagi, aku sudah bahagia bersama dengan mas Dony."Ardan menggeleng. "Aku tidak percaya, kamu tidak bahagia, kamu hanya akan bahagia hidup bersamaku. Resty, Sayang kembalilah padaku, aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan kamu seperti dulu. Aku berjanji."Ardan bangkit dan hendak menyentuh pipi mulus mantan istrinya. Dengan cepat Resty menepisnya dengan kasar. Bahkan dua bodyguard yang sedang berjaga langsung menghampiri majikannya untuk melindunginya."Nyonya cepat masuk," titah Jony, salah satu bodyguard yang bertugas untuk menjaga rumah. Dengan segera Resty bangkit dan berlari masuk ke dalam. Sementara itu, Ardan yang hendak mengejarnya, dengan kasar Jony mendorongnya hingga jatuh."Cepat pergi dari sini, jika masih sayang pada nyawamu," ujar Beni, bodyguard yang ikut
Hari telah berganti, pagi ini Hesti tengah pusing dengan masalah yang menimpa anak-anaknya. Mulai dari anak pertamanya hingga anak ketiganya, yaitu Ardan. Kepala Hesti rasanya ingin meledak saat memikirkan berbagai masalah mereka."Jadi kak Rena semalam nggak pulang, Bu?" tanya Ardan. Saat ini mereka tengah menikmati sarapan bersama, tetapi hanya Hesti dan kedua anaknya. Karena Rena tidak pulang, entah ke mana anak itu."Iya, Rena benar-benar membuat ibu pusing. Anak itu biang masalah yang terjadi di keluarga kita," keluhnya. Karena semenjak ketahuan selingkuh, Rena benar-benar berubah. Wanita itu sering pergi pagi dan pulang larut malam, bahkan terkadang tidak pulang seperti semalam."Udah coba, Ibu telpon." Mita menimpali."Nomornya nggak aktif," sahut Hesti. Wanita itu memijit pelipisnya yang tiba-tiba sangat sakit. Hesti tidak tahu harus berbuat apa lagi, karena setelah Rena dan Dion resmi bercerai, mereka harus mengembalikan uang yang pernah Rena pinjam dulu."Ibu sudah pernah me
"Ya sudah, kalau begitu kami pamit dulu. Ingat ya, kalau kamu tidak mengembalikan uang itu, saya akan menuntut kamu," ucap Mira, seketika Rena dan yang lainnya terkejut mendengar hal tersebut. Terlebih Rena, wanita itu pusing harus mencari uang sebanyak itu ke mana.Setelah urusan mereka selesai, kedua orang tua Dion bergegas untuk pulang. Kini Ardan dan ibunya tengah bingung, bagaimana caranya untuk mengembalikan uang itu. Andai saja Rena tidak berbuat ulah, mungkin Dion tidak akan menceraikannya. Karena bagi Hesti, menantunya itu sumber uang, tapi dasar Rena saja yang tidak bisa memanfaatkan."Coba saja kamu tidak berbuat ulah, Dion pasti tak akan menceraikan kamu. Kalau sudah begini siapa yang rugi," ungkap Hesti. Beruntung jantungnya tidak kumat saat mendengar kabar tersebut."Mas Dion itu terlalu sibuk sama pekerjaan, dia nggak ada waktu untuk Rena," belanya. Sesungguhnya bukan masalah itu saja yang membuat Rena berpaling, tetapi Rena yang memang matre membuatnya mencari kesenang