Sementara itu, Ardan terlihat salah tingkah karena memang ia tidak jujur jika uang yang kakaknya butuhkan itu, ternyata hasil pinjaman pada Resty. Setelah itu Ardan berjalan menghampiri istrinya yang saat ini tengah berdiri di hadapan kakaknya.
Ardan khawatir jika nanti istrinya itu akan mempermalukan kakaknya, seperti yang pernah Resty lakukan pada dirinya saat berada di kantor. Sementara itu, bisikan mulai terdengar dari tamu undangan yang datang, bahkan tatapan mereka juga terlihat aneh, seakan percaya dengan apa yang Resty katakan."Resty kamu apa-apaan sih, kamu jangan buat malu keluargaku ya." Ardan menarik tangan istrinya dan membawanya untuk menjauh dari mereka. Suasana yang semakin panas membuat Resty semakin gencar untuk membuat mereka malu."Aku pikir kalian sudah tidak punya malu, tapi ternyata masih ada urat malunya ya," ujar Resty dengan nada mengejek, Ardan yang mendengar itu kemarahannya semakin memuncak. Mita yang samar-samar mendengar pembicaraan mereka seketika beranjak menghampiri adik serta adik iparnya itu."Ardan, apa benar kalau uang yang kakak butuhkan itu .... ""Benar, uang yang mas Ardan janjikan untuk, Kakak adalah uangku." Resty memotong ucapan kakak iparnya."Resty." Ardan membentak Resty, sampai putrinya yang sedang dalam gendongan terkejut mendengar suara ayahnya."Kenapa, Mas. Kamu malu atau takut." Resty menatap mata elang suaminya. Sementara Ardan berusaha untuk menahan emosinya, karena ia sadar jika yang ada di hadapannya adalah istrinya."Apa kamu masih ingat kejadian di mana aku harus kehilangan ayah gara-gara keegoisan yang anda miliki, Pak Ardan yang terhormat," ujar Resty. Sementara itu, Ardan terdiam, begitu juga dengan kakaknya serta yang lain.Flashback"Mas kebetulan kamu sudah pulang, ada yang ingin aku sampaikan," ujar Resty seraya bangkit dari duduknya, lalu berjalan menghampiri suaminya yang baru saja pulang dari kantor."Memangnya ada apa?" tanya Ardan seraya melepas dasinya yang melingkar di leher. Setelah itu, Ardan melipat lengan kemejanya, tak lupa ia membuka dua kancing kemejanya yang atas."Aku mau pinjam uang untuk biaya operasi ayah, kata dokter hari ini juga ayah harus dioperasi," jawab Resty. Berharap suaminya itu mau meminjamkan uang. Karena Resty sudah tidak tahu harus meminta tolong pada siapa, jika bukan pada suaminya sendiri."Aku nggak ada uang, soalnya sudah dipinjam sama kak Rena," ujar Ardan. Mendengar itu Resty cukup terkejut, tetapi bukankah suaminya itu seorang bos."Aku mohon, Mas. hanya kamu yang bisa bantu aku." Resty memohon agar suaminya mau membantunya. Namun justru Ardan hanya diam, lelaki itu seperti tidak mempunyai rasa kasihan, terlebih yang membutuhkan ayah mertuanya sendiri."Resty kamu dengar apa nggak sih, aku nggak ada uang, kak Rena itu lebih membutuhkan," ujar Ardan, sebisa mungkin ia menahan amarahnya."Kak Rena kan punya suami, Mas. Ya Allah, Mas hanya kamu yang bisa bantu aku, tolong pinjamkan .... ""Resty! Kamu itu istri aku. Seharusnya kamu itu tahu tanpa harus aku menjelaskannya. Kak Rena lebih membutuhkan untuk biaya khitanan anaknya." Ardan memotong ucapan istrinya, mendengar itu Resty menggelengkan kepala tak percaya.Tiba-tiba saja ponsel Resty berdering, dengan segera ia mengangkatnya. Sedetik kemudian tangis Resty pecah saat mendengar kabar jika ayahnya meninggal. Jika saja suaminya mau meminta uang, mungkin hal buruk ini tidak akan terjadi. Resty pernah menyinggung perihal biaya operasi ayahnya, tetapi Ardan sama sekali tidak meresponnya, dan sekarang Resty menanyakan lagi berharap ada belas kasih dari suaminya."Kenapa." Ardan menghampiri istrinya yang tiba-tiba menangis."Ayah, ayah meninggal." Tubuh Resty hampir saja ambruk jika Ardan tidak langsung menahannya. Jujur, hati Ardan ikut merasa sedih saat mendengar kenyataan itu."Mas tolong antar aku ke rumah sakit sekarang, aku ingin melihat ayah untuk yang terakhir kali." Restu mencoba untuk berdiri walaupun sesungguhnya tubuhnya bergetar hebat."Enggak, kamu akan tetap di rumah. Ingat kamu itu sedang hamil besar." Ardan melarang istrinya untuk datang ke rumah sakit, mendengar itu Resty menatap suaminya. Ia tidak percaya jika lelaki yang menikahinya tega melarangnya bertemu dengan ayahnya untuk yang terakhir kali."Astaghfirullah, Mas. Dia ayah aku, coba kalau kamu ada di posisi aku, apa yang akan kamu lakukan," ujar Resty yang mulai tersulut emosi."Iya aku tahu, tapi sekarang aku suami kamu. Sebagai istri kamu harus menurut pada suami, mengerti. Jika nanti sampai terjadi sesuatu pada kandunganmu siapa yang akan tanggung jawab." Setelah mengatakan itu, Ardan keluar dari kamar dan mengunci istrinya di dalam."Mas tolong buka pintunya, Mas." Resty menggedor pintu kamarnya, tetapi Ardan sama sekali tidak peduli dengan teriakan istrinya itu.Dor, seketika mereka tersadar dari lamunannya saat mendengar balon yang meletus. Detik itu juga Ardan teringat tentang kejadian itu, seketika wajahnya menjadi pucat. Ardan khawatir jika Resty akan mengusut penyebab ayahnya kecelakaan."Sudah, sudah, ini masalah keluarga, jangan sampai orang lain tahu," ujar Hesti yang tidak ingin orang lain tahu tentang kebusukan mereka. Akan sangat berbahaya jika sampai orang lain mengetahuinya."Ibu, takut." Resty menatap ibu mertuanya itu. "Ibu takut kalau orang lain tahu, jika ibu sering menagih biaya operasi caesar-ku dulu, serta yang aku ceritakan tadi.""Resty." Ardan mengangkat tangan kanannya, bersiap untuk melayangkan tamparannya saat mendengar putrinya menangis."Terima kasih untuk semuanya, oya untuk uangnya aku bawa pulang lagi ya. Karena ternyata aku juga butuh, kalian kan orang kaya, jadi tidak butuh uang orang miskin sepertiku." Setelah mengatakan itu Resty beranjak meninggalkan keluarga tak berakhlaq itu. Rasanya seperti dalam neraka jika tetap berada di sana."Resty tunggu." Ardan yang hendak mengejar istrinya seketika terhenti saat melihat ibunya jatuh pingsan. Suasana pun menjadi panik dan juga tidak tenang. Sementara itu Resty terus melangkahkan kakinya, tanpa memperpedulikan mereka.Waktu berjalan begitu cepat, keesokan harinya tepatnya pukul sepuluh siang Resty sudah diperbolehkan pulang. Sejujurnya Resty meminta pulang sedari tujuh pagi tadi, tapi dokter belum mengizinkan. Setelah kondisinya benar-benar sudah pulih, baru dokter mengijinkannya untuk pulang."Dafian nggak rewel kan, Mas?" tanya Resty, memang Dian membawa pulang cucunya terlebih dahulu, itupun atas saran dokter. "Nggak kok, kata mama anteng," jawab Dony. Mendengar itu, hati serta pikiran Resty menjadi tenang. "Lalu bagaimana dengan Zara." Resty kembali bertanya."Zara juga nggak rewel kok, malah kata mama seneng banget," sahut Dony."Syukurlah, auh." Resty hampir saja terjatuh jika Dony tidak sigap. "Sayang kamu baik-baik saja kan?" tanya Dony dengan raut wajah khawatir. "Aku nggak apa-apa kok, Mas. Cuma tadi rasanya tiba-tiba sedikit pusing," jawab Resty sembari memijit pelipisnya. "Kita kembali ke .... ""Enggak apa-apa kok, Mas. Aku mau pulang, aku ingin melihat putra kita." Resty memotong
Dua jam telah berlalu, kini Ardan sudah dibawa ke rumah sakit jiwa. Awalnya polisi akan membawanya ke kantor polisi, tetapi setelah diperiksa. Kondisi kejiwaan Ardan terganggu, itu sebabnya polisi membawanya ke rumah sakit jiwa.Sementara itu, saat ini rumah Rena banyak pelayat yang datang saat mendengar kabar Serly meninggal dunia. Bahkan Haris yang mendengar kabar tersebut ikut hadir bersama dengan keluarganya. Mengingat jika Serly juga pernah menjadi bagian dari keluarganya.Setelah pemakaman selesai, Hesti meminta Haris dan sekeluarga untuk mampir lagi ke rumah. Hesti ingin meminta maaf pada mereka, terutama pada Resty, mantan menantunya yang pernah ia sia-siakan. Hesti juga ingin meminta maaf pada Dony."Resty, tolong maafkan semua kesalahan ibu dan sekeluarga. Tolong maafkan kesalahan Ardan juga, mungkin apa yang kami alami adalah karma. Karena kami sering menghina kamu dan juga menyia-nyiakan kamu," ungkap Hesti dengan penuh penyesalan. Bahkan air matanya tak berhenti menetes,
Setelah menanda tangani surat persetujuan, kini mereka tengah menunggu di depan ruangan operasi. Ardan dan Rena hanya bisa berharap agar operasi berjalan dengan lancar. Tiba-tiba saja Rena teringat akan Mita yang sampai saat ini mereka belum tahu keadaannya."Kenapa, Kak?" tanya Ardan yang melihat kakaknya tiba-tiba gelisah. "Kita belum tahu bagaimana dengan keadaan Mita," jawab Rena. Mendengar itu Ardan hanya menghela napas. "Nunggu operasi ibu selesai operasi, setelah itu kita tanyakan kondisi Mita," lanjutnya. Sementara itu Ardan hanya mengangguk, setelah itu ia menyenderkan kepalanya di sandaran kursi."Kenapa semenjak aku menyia-nyiakan Resty dan juga Zara masalah selalu datang. Terlebih setelah Resty mengetahui rahasia yang selama ini aku simpan." Ardan membatin, jujur ia merasa bersalah atas perbuatannya pada Resty serta putrinya dulu."Apa ini karma untukku dan juga keluargaku. Selama ini kami selalu berbuat jahat pada Resty." Ardan kembali membatin, lalu mengusap wajahnya d
Resty tersenyum. "Itu tidak akan pernah terjadi, kamu pikir aku akan luluh dengan ancamanmu itu. Dengar ya, Mas. Aku bersedia memaafkan semua kesalahan kamu dan juga keluargamu. Tapi tolong, jangan pernah usik hidupku lagi, aku sudah bahagia bersama dengan mas Dony."Ardan menggeleng. "Aku tidak percaya, kamu tidak bahagia, kamu hanya akan bahagia hidup bersamaku. Resty, Sayang kembalilah padaku, aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan kamu seperti dulu. Aku berjanji."Ardan bangkit dan hendak menyentuh pipi mulus mantan istrinya. Dengan cepat Resty menepisnya dengan kasar. Bahkan dua bodyguard yang sedang berjaga langsung menghampiri majikannya untuk melindunginya."Nyonya cepat masuk," titah Jony, salah satu bodyguard yang bertugas untuk menjaga rumah. Dengan segera Resty bangkit dan berlari masuk ke dalam. Sementara itu, Ardan yang hendak mengejarnya, dengan kasar Jony mendorongnya hingga jatuh."Cepat pergi dari sini, jika masih sayang pada nyawamu," ujar Beni, bodyguard yang ikut
Hari telah berganti, pagi ini Hesti tengah pusing dengan masalah yang menimpa anak-anaknya. Mulai dari anak pertamanya hingga anak ketiganya, yaitu Ardan. Kepala Hesti rasanya ingin meledak saat memikirkan berbagai masalah mereka."Jadi kak Rena semalam nggak pulang, Bu?" tanya Ardan. Saat ini mereka tengah menikmati sarapan bersama, tetapi hanya Hesti dan kedua anaknya. Karena Rena tidak pulang, entah ke mana anak itu."Iya, Rena benar-benar membuat ibu pusing. Anak itu biang masalah yang terjadi di keluarga kita," keluhnya. Karena semenjak ketahuan selingkuh, Rena benar-benar berubah. Wanita itu sering pergi pagi dan pulang larut malam, bahkan terkadang tidak pulang seperti semalam."Udah coba, Ibu telpon." Mita menimpali."Nomornya nggak aktif," sahut Hesti. Wanita itu memijit pelipisnya yang tiba-tiba sangat sakit. Hesti tidak tahu harus berbuat apa lagi, karena setelah Rena dan Dion resmi bercerai, mereka harus mengembalikan uang yang pernah Rena pinjam dulu."Ibu sudah pernah me
"Ya sudah, kalau begitu kami pamit dulu. Ingat ya, kalau kamu tidak mengembalikan uang itu, saya akan menuntut kamu," ucap Mira, seketika Rena dan yang lainnya terkejut mendengar hal tersebut. Terlebih Rena, wanita itu pusing harus mencari uang sebanyak itu ke mana.Setelah urusan mereka selesai, kedua orang tua Dion bergegas untuk pulang. Kini Ardan dan ibunya tengah bingung, bagaimana caranya untuk mengembalikan uang itu. Andai saja Rena tidak berbuat ulah, mungkin Dion tidak akan menceraikannya. Karena bagi Hesti, menantunya itu sumber uang, tapi dasar Rena saja yang tidak bisa memanfaatkan."Coba saja kamu tidak berbuat ulah, Dion pasti tak akan menceraikan kamu. Kalau sudah begini siapa yang rugi," ungkap Hesti. Beruntung jantungnya tidak kumat saat mendengar kabar tersebut."Mas Dion itu terlalu sibuk sama pekerjaan, dia nggak ada waktu untuk Rena," belanya. Sesungguhnya bukan masalah itu saja yang membuat Rena berpaling, tetapi Rena yang memang matre membuatnya mencari kesenang