Lagi-lagi kecolongan *****Entah kenapa aku sangat merasa terganggu kali ini dengan kehadiran Tiara. "Dipta!"Penyesalan memang selalu datang terlambat. Aku melipat sajadah dan menaruhnya di tempat semula dan bergegas keluar untuk menemui Tiara.Aku harus melakukan ini, biarpun nanti aku kehilangan pekerjaan. Luna lebih penting dari itu semua. Semoga saja Tiara mengerti posisiku. *****"Dipt, ayo makan dulu! Aku bawain soto betawi kesukaan kamu nih," teriak Tiara yang terdengar dari ruang makan. Aku bergegas keluar menghampiri Tiara dengab ponsel di tangan yang mungkin akan selalu kubawa, bila perlu sampai ke kamar mandi. Untuk apalagi, kalau bukan menunggu balasan dari pesan-pesan yang kukirim untuk Luna. Centang dua tapi belum berubah warna jadi biru. Sepertinya, istriku belum mengecek ponselnya, padahal jika dihitung-hitung seharusnya mereka sudah tiba di rumah jam segini. Mengingat lokasi rumah mertuaku tidak terlalu jauh dari sini. Mungkin, Luna masih sibuk dan belum se
"Ja-di, kamu ... enggak mau lagi jadi sahabatku, Dipt?" tanya Tiara dengan raut wajah sendu.***"Maaf, Tiara! Kita bisa berinteraksi layaknya sesama teman kantor pada umumnya. Tidak sedekat sebelumnya." "Aku nggak bisa,Dipt. Kamu tega ngomong gitu sama sahabat sendiri. Aku ....""Sekali lagi maaf Tiara. Tolong jangan membuat keadaan semakin buruk. Keputusan aku nggak akan berubah, sekalipun ... aku kehilangan pekerjaan." Aku berkata pelan, Tiara tampak kaget mendengar apa yang baru saja kukatakan.Ya, aku sudah berpikir dengan matang. Apa yang baru saja aku ucapkan bukan hanya wacana. Aku sudah siap kehilangan semuanya, kecuali ... Luna. "Tinggallah di apartemen atau rumah teman-teman kamu yang cewek. Aku yakin banyak kok teman-teman kamu yang tinggal di kota ini." Semoga opsi kali ini berjalan, aku lumayan banyak kenal dengan teman-teman Tiara. Apalagi teman-teman satu angkatan. Tiara tidak menjawab ucapanku. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan terdengar terisak. Seme
HAPPY READING ❤️😊Aku yang bodoh karena telah mengubahnya seperti ini. Dan tugasku adalah membuatnya kembali lagi menjadi sosok yang begitu kucintai.Tunggu, apa aku masih punya kesempatan untuk itu? *****"Sayang, kita harus bicara! Please!" Semoga Luna luluh dengan ucapanku."Dipta, udah belom. Kita udah telat nih." Seketika aku kaget dan melihat Tiara yang sedang berjalan arah kami. Sementara, Luna menatapku ... sinis.Tubuhku seperti membeku saat Tiara berdiri di sampingku tanpa rasa canggung sama sekali. Aku hanya takut jika Luna salah paham lagi."Bisa lepasin nggak? Aku sedang buru-buru," ketus Luna sembari menatap ke arah lengannya yang tercekal oleh tanganku dengan ekor mata. Seolah jijik bersentuhan dengan suaminya sendiri. "Sayang, kita harus bicara. Ini tidak seperti yang kamu lihat." Aku terus mengiba pada Luna, tidak peduli jika kami sedang menjadi pusat perhatian orang-orang yang mulai berdatangan ke warung ini. Banyak yang menatap heran, juga menghadiahkan tatapa
Istriku benar-benar aneh sekarang. Luna belum pernah berkata sekasar ini padaku. "Sayang, kenapa kamu berkata seperti itu? Siapa yang mengajarimu?" Aku memegang kedua bahu Luna dan menatap ke dalam sepasang bola mata miliknya. Kosong. Tak lagi ada pendar cahaya, tak lagi ada cinta di dalam sana. Ini sungguh menakutkan, jika Luna tidak lagi mencintaiku."Sayang! Tolong jawab pertanyaan, Mas! Kamu akan kembali ke rumah 'kan? Ayo kita mulai semuanya dari awal!" "Maaf, tapi aku tidak suka berbagi tempat dengan orang lain. Jadi, ...."Sungguh kesabaranku benar-benar teruji. Semoga aku bisa menahan diri untuk tidak menyakiti istriku. Walau bagaimanapun aku yang sudah membuatnya seperti ini. Menghancurkan kepercayaan Luna demi orang lain. "Sayang, Tiara tidak akan lagi tinggal di rumah kita. Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa tanyakan sama dia.""Benar Luna. Dipta bahkan terpaksa mengusirku demi kamu. Hubungan kami yang sudah lama terjalin juga harus hancur karena keegoisan kamu." Kami
Apa! Jadi begitu anggapan Tiara terhadap istriku selama ini?Aku sungguh terkejut mendengarnya. Sial. "Kamu jangan bodoh Tiara. Tentu saja aku akan mengutamakan istriku lebih dari siapapun. Luna adalah wanita yang begitu aku cintai. Apa kamu belum juga mengerti? Harusnya kamu sadar untuk tidak bergantung pada suami orang."Wajah Tiara tampak berubah mendengar perkataanku, seperti ada amarah yang memaksa ke permukaan namun dia tahan mati-matian.Sepertinya benar dugaan Riko. Wanita ini sedang menghancurkan rumah tanggaku. Kenapa aku begitu bodoh selama ini?"Jadi ... kamu membentakku yang sudah menolongmu hanya gara-gara perempuan itu? Tega kamu, Dipta. Padahal, selama ini hubungan kita baik-baik saja, kenapa sekarang kamu berubah?" pekiknya menunjuk ke arahku.Apakah Tiara tidak sadar jika dia baru saja menunjukkan dirinya yang asli di hadapanku?"Ck, kukira selama ini kamu tulus menolongku. Rupanya ada harga yang harus kubayar. Sungguh aku tidak akan menerima setiap pertolonganmu,
Biar aku yang memperjuangkanmu kali ini. *****Setelah memastikan Tiara benar-benar keluar dari gerbang rumahku, aku memilih masuk ke kamar, kamarku dan Luna. Tak banyak yang bisa kulakukan, selain berbaring di atas ranjang sembari terus memandang foto pernikahan kami yang tergantung di dinding. Istriku begitu anggun dalam balutan gaun pengantin, sangat serasi dan pantas untuk mendampingi seorang Dipta Aditama. Sayang seribu sayang, aku telah menelantarkannya di usia pernikahan yang baru beberapa bulan, ya menelantarkan perasaannya. Mengabaikan setiap keluh kesah, padahal, akulah satu-satunya tempat Luna berbagi di rumah ini. Tapi, aku malah sibuk menjaga perasaan orang lain, hingga Luna memilih Mbok Asih sebagai tempatnya bercerita, yang notabenenya hanya orang luar.Aku terlalu tahu diri untuk tidak menyalahkan Luna, sebab secara tidak langsung aku-lah yang telah membuatnya merasa tak lagi bisa berbagi pada seorang suami. Aku tidak pernah percaya pada Luna, wanita yang kuambil d
Aku meninggalkan makanan yang baru habis setengah di piring, langsung keluar untuk bertemu dengan Riko di tempat biasa kami nongkrong. Riko si mantan playboy sejati, punya segala solusi untuk menaklukkan hati wanita. Biarpun masa lalunya lumayan kelam, tapi setidaknya dia lebih baik dariku, dalam memperlakukan seorang wanita yang bergelar istri."Hai, Bro. Kenapa lagi lo?" tanya Riko saatku menghampiri meja di mana dia berada. "Tiara udah pergi," jawabku setelah menyesap kopi yang masih terasa hangat. Sepertinya Riko belum lama memesannya. "Pergi sendiri?" "Gue usir. Sepertinya benar dugaan lo. Tiara ingin menghancurkan rumah tangga gue.""Itu baru teman gue. Setidaknya lo udah menyadari siapa Tiara. Terus sekarang gimana dengan istri lo. Udah baikan?" Aku menghirup udara dalam-dalam sembari menatap sekeliling. Kok nyesak ya."Luna pergi ... lebih dulu dari Tiara.""Apa? Maksud lo ... pergi dari rumah gitu?" Riko tampak kaget dengan ucapanku. Aku tersenyum hambar."Tentu saja. S
Lalu, istri Pak Handoko itu siapanya Tiara. Dan ada hubungan apa antara papa dengan ibunya Tiara? "Bagus, Sayang. Kamu harus membalas penderitaan Nirmala melalui Luna. Luna harus menanggung akibat dari perbuatan ayahnya. Mereka tidak boleh lolos dari kita." Aku berdiri di balik pintu dengan tubuh gemetar. Perasaanku campur aduk, ada rasa marah sekaligus penasaran. Apa yang sudah papa lakukan pada wanita bernama Nirmala hingga Pak Handoko dan Tiara ingin menyakiti istriku. "Apa papa tahu, selama aku tinggal di rumah Dipta, Luna sudah cukup menderita sebenarnya. Selain membunuh anaknya, aku juga mengadu yang tidak-tidak sama Dipta. Mereka sering bertengkar, dan Dipta lebih sering menghabiskan waktu bersamaku ketimbang istrinya. Setiap hari aku begitu menikmati raut wajah terluka Luna, haha." Dasar iblis. Dadaku naik turun. Jadi, wanita iblis itu benar-benar menyakiti istriku selama ini. Kurang ajar. Sungguh aku tidak tahan berdiri di sini lebih lama.Aku tidak peduli dengan masa l