Tangan Ruhi mulai bergerak perlahan mengusap punggung laki-laki yang sedang menangis dalam dekapannya. Abinawa, ya. Laki-laki asing yang ditemuinya semalam dan sekarang akan berada di bawah atap yang sama dengannya. Pertemuan mereka bahkan belum sampai 24 jam. Namun, entah magnet apa yang menarik kedua untuk menjadi selengket itu."Dia pengkhianat. Kenapa setiap wanita yang kutemui semuanya jahat?" "Siapa bilang? Mamaku sangat setia dengan Papa. Percayalah, Pak, tidak semua wanita itu sama. Mungkin saja, mereka yang kemarin hadir dalam hidup Pak Abi hanya untuk jadi pembelajaran, atau bentuk teguran dari Tuhan atas kesalahan yang Bapak perbuat di masa lalu yang mungkin tidak Bapak sadari," jelas Ruhi dengan pelan. Berharap apa yang disampaikannya sampai ke otak laki-laki itu. Laki-laki yang sedang hancur itu. Entahlah, semalam bertemu dengan Abinawa sudah membuat Ruhi merasa sedikit lebih dewasa dari usianya. Menghadapi orang yang sedang tidak bisa berpikir jernih memang butuh ke
"Bibi sedang apa?" tanya Ruhi pada Bi Yuyu—asisten rumah tangga di rumah Abinawa. "Eh, Non Ruhi, ini Bibi ingin memasak untuk makan siang," jawab wanita paruh baya itu yang tampak cekatan mengeluarkan beberapa bahan makanan yang hendak diolah dari kulkas. Ruhi yang melihat Bi Yuyu tampak sibuk perlahan mendekat untuk membantu. Perkenalan mereka sudah dimulai beberapa saat yang lalu, saat Ruhi beranjak ke dapur untuk membuat susu Baby Shanum. Yang Bi Yuyu ketahui, Ruhi adalah pengasuh Baby Shanum seperti yang dijelaskan gadis itu. Meski Bi Yuyu sempat heran dan berpikir keras, bagaimana majikannya bisa menemukan seorang pengasuh secantik Ruhi.Karena memang tampak dari wajah dan penampilannya kalau Ruhi bukanlah orang susah yang perlu berkerja sebagai pengasuh bayi untuk bertahan hidup. Namun begitu, alasan sesungguhnya hanya Abinawa dan Ruhi yang tahu. Tidak. Abinawalah yang paling tahu penyebab gadis bernama lengkap Ruhi Ghumaisya berada di rumahnya saat ini. "Bibi mau masak apa
Tidak sesuai ekspektasi, Mimi—sang manager kepercayaan Denaya kembali ke rumah sakit dengan tangan kosong. Bahkan saat di jalan tadi, Mimi sempat khawatir membayangkan bagaimana bosnya akan mengamuk. Mengingat watak Denaya yang emosian dan tidak sabaran, Mimi sudah bisa membayangkan bagaimana hasilnya nanti.Watak yang kurang menyenangkan itu selama ini ditutupi oleh kecantikan, ketenaran dan kehormatan sebagai istri seorang Abinawa selama ini. Dan tentu saja mata Abinawa juga tertutup oleh cinta—sehingga buta dengan akhlak istrinya yang kurang terpuji. Namun, itu sebelum tabir terkuak. Sebelum Baby Shanum datang ke dunia ini dan segala misteri di balik kehadirannya. Sekarang mata Abinawa sudah terbuka lebar, pun hatinya yang tak lagi tersisa rasa cinta, melainkan kebencian yang tidak dapat dijelaskan dengan kata. Buktinya hampir saja Baby Shanum melayang ke sungai di malam yang lalu, andai saja gadis yang dianggapnya malaikat tidak datang menghampiri. Ruhi Ghumaisya. Menurut Ab
"Sayang, itu obat apa? Kok banyak banget? Sejak kapan kamu minum obat sembarangan? Kan kamu lagi hamil? Kamu sakit?" Luna tampak terkejut saat melihat ke arahku yang berdiri di depan pintu kamar kami dan memberondongnya dengan banyak pertanyaan. Saat aku berjalan ke arahnya, istriku tampak buru-buru menelan obat-obatan yang tadi berada di tangannya. "Sayang? Kamu kenapa? Itu yang barusan kamu minum obat apa?" Bukannya menjawab, istriku malah memalingkan wajah membelakangiku. Tapi, aku masih bisa melihat kedua tangannya tampak menyapu kedua pipi dengan cepat.Seketika aku meraih lengan Luna dan memutar tubuhnya untuk kembali menghadap ke arahku. Hatiku mencolos.Saat pandangan kami bertemu untuk beberapa saat, sebelum Luna menunduk. Sepasang netra itu tampak berkaca-kaca, bukankah itu sangat masuk akal jika aku terlalu khawatir, kalau ... kalau seandainya istriku sakit atau kenapa-napa."Sayang. Kamu kenapa? Kenapa menangis, apa ada yang sakit? Ceritakan sama Mas!" Kembali kucoba
"Sayang, maafin Mas! Ini semua salah Mas. Gara-gara Mas ....""Pergi ...!" Lagi Luna berteriak memotong perkataanku. Suaranya bahkan lebih kencang dari sebelumnya. Sepertinya, istriku benar-benar marah atas kejadian ini. Sungguh, aku tersiksa menyaksikannya sesakit ini. Tapi, caranya tidak begini bukan.Aku memang salah karena tidak langsung hadir ketika Luna membutuhkan. Tapi, apa patut dia memperlalukanku seperti ini. Bukan hanya Luna yang sedih, aku juga sangat merasa kehilangan atas kepergian calon anak kami. Mengertilah Luna, aku juga sakit bahkan lebih sakit ketika kamu berubah dingin. Kemana Lunaku yang dulu. Yang selalu bersikap manja, banyak cerita saat aku pulang kerja. Tutur kata dan tatapan begitu menggoda. Lembut dan selalu menghormatiku sebagai suami. "Luna, please. Mas nggak mau kamu seperti ini, Sayang. Mas mengaku salah, Lun. Tapi, Mas benar-benar nggak bermaksud mengabaikan permintaan kamu ....""Keluar atau aku yang pergi?" Suaranya mulai melemah kembali, tapi
"Dipta ...." Di saat aku hendak menyusul Luna ke kamarnya, Tiara kembali memanggilku dengan suara yang sangat lemah. Sepertinya Tiara benar-benar sangat kesakitan, tapi, bagaimana dengan Luna. Istriku juga sedang sakit."Dipt,""Eh, iya Tiara? Sorry, tadi aku ....""Aku udah panggil kamu sampai beberapa kali loh, tapi kamunya asik mematung sambil melihat ke arah situ. Emangnya ada apa sih, di situ? Kamu habis ngelamunin apa?" Aku berbalik menghampiri Tiara, dia terlihat sedikit kesal dan memberondongku dengan banyak pertanyaan. Suaranya juga sudah sedikit meninggi daripada yang tadi terdengar lirih dan lemah, padahal dia sedang sakit. Aneh."Maaf. Jadi, sekarang gimana? Oh ya, bentar aku ambil minum dulu." "Udah, nggak usah, Dipt. Tolong bantu aku ke kamar saja, kepalaku masih pusing soalnya." Tiara kembali memijit kepalanya dan berbicara dengan nada lirih.Mengantar Tiara ke kamar? Jujur aku takut, takut kalau Luna salah paham lagi. Tapi, membiarkan dia ke kamar sendirian juga ngg
Sarapan pagi ini kunikmati dalam hening, sementara Tiara sibuk berceloteh dengan banyak cerita yang hanya kutanggapi sesekali saja.Sembari menanti Luna selesai di dapur dan bergabung untuk sarapan dengan kami. Satu suap.Dua suap.Hingga di suapan ke tiga, istriku belum muncul juga. Ah, sejak kapan Luna menjadi sangat sibuk pagi-pagi begini, hingga tidak sempat sarapan. Ketika ingatan tentang obat-obatan di tangan Luna semalam, aku baru sadar, bahwa Luna harus makan dan minum obat. Biarpun dia masih marah, setidaknya jangan mengabaikan kesehatannya. Apa kata keluarganya nanti, jika Luna sampai kenapa-kenapa saat bersamaku. Sementara, sejak berjabat tangan dengan papa Luna saat ijab kabul dulu, segala tanggung jawab tentang Luna telah berpindah ke tanganku. Ya, aku menikahi Luna setelah dua tahun lebih bekerja di perusahaan manufaktur milik keluarga Tiara. Tepatnya sekitar enam bulan yang lalu. Memiliki jabatan sebagai manager bagian pemasaran dengan gaji yang bisa dibilang lebih d
"Iya, sekalian belajar ... menggantikan posisiku."Deg.Tubuhku menegang, setelah mendengar ucapan istriku. Luna berucap sangat pelan, tapi masih bisa tertangkap oleh telingaku yang memang duduk di sampingnya. Maksudnya apa berkata absurd seperti itu? Apa Luna ingin meninggalkanku?Bukankah kami baru saja berbaikan. Sekarang istriku kenapa lagi?Wajah Tiara juga berubah tidak jauh berbeda sepertiku. Sedangkan Luna hanya tersenyum dan lanjut menikmati makanannya, tanpa terganggu sama sekali. Sementara aku tak berani bersuara karena takut akan berakhir dengan pertengkaran, apalagi di depan Tiara yang notabenenya orang lain. Kenapa istriku jadi penuh misteri. Aku sangat merindukan Luna yang dulu."Kok pada tegang?" Luna menatapku dan Tiara secara bergantian. "Aku cuma bergurau, jangan dimasukkan hati, hehe," sambungnya lagi dengan kekehan kecil.Tiara tersenyum hambar, sediki dipaksakan. Mungkin tersinggung dengan candaan Luna. Tapi, aku merasa sedikit lega, setidaknya ... istriku han