Share

4 Bukan Rumahku

Sarapan pagi ini kunikmati dalam hening, sementara Tiara sibuk berceloteh dengan banyak cerita yang hanya kutanggapi sesekali saja.

Sembari menanti Luna selesai di dapur dan bergabung untuk sarapan dengan kami. 

Satu suap.

Dua suap.

Hingga di suapan ke tiga, istriku belum muncul juga. Ah, sejak kapan Luna menjadi sangat sibuk pagi-pagi begini, hingga tidak sempat sarapan. Ketika ingatan tentang obat-obatan di tangan Luna semalam, aku baru sadar, bahwa Luna harus makan dan minum obat.

 Biarpun dia masih marah, setidaknya jangan mengabaikan kesehatannya. Apa kata keluarganya nanti, jika Luna sampai kenapa-kenapa saat bersamaku. Sementara, sejak berjabat tangan dengan papa Luna saat ijab kabul dulu, segala tanggung jawab tentang Luna telah berpindah ke tanganku. 

Ya, aku menikahi Luna setelah dua tahun lebih bekerja di perusahaan manufaktur milik keluarga Tiara. Tepatnya sekitar enam bulan yang lalu. Memiliki jabatan sebagai manager bagian pemasaran dengan gaji yang bisa dibilang lebih dari cukup, membuatku percaya diri untuk menikahi Luna.

Karena aku sudah merasa mampu untuk mencukupi segala kebutuhannya dan bisa memberinya kehidupan yang sangat layak, tidak kurang suatu apapun, sebagaimana yang Luna peroleh dari keluarganya. 

Luna adalah gadis  cantik dan manis dengan lesung pipinya yang tampak saat dia tersenyum. Yang berhasil membuat dadaku berdebar setelah sekian lama seperti tidak berfungsi dengan baik, dalam urusan percintaan. 

Pertemuan pertama dengan Luna di sebuah pesta ulang tahun seorang teman, membuatku tak berkedip menatap kagum pada salah satu ciptaan Tuhan. 

Gadis dalam balutan gaun merah malam itu, membuatku merancang berbagai pertemuan-pertemuan kecil yang seolah tanpa disengaja setelahnya. Hingga kuketahui beberapa hal yang membuatku semakin kagum dan yakin terhadapnya, kelembutan dan ketulusan serta aura-aura positif lainnya tertangkap dengan jelas oleh mataku. 

Luna, gadis yang mengajarkanku arti sebuah perjuangan, hingga berhasil memilikinya dalam genggaman. Tapi, kini berubah drastis, seperti aku tidak mengenalnya lagi, sama sekali. 

"Dipt, kok nggak dimakan sarapannya? Cuma diaduk-aduk doang."

Teguran dari Tiara membuatku kembali ke alam sadar dari nostalgia tentang Luna dan segala daya tariknya. 

Ah, aku tidak bisa berdiam diri seperti ini, membiarkan masalah kami terus berlarut tanpa titik penyelesaian. Aku merindukan Luna. 

"Aku ke dapur sebentar," ujarku pada Tiara, kemudian beranjak dari sana.

"Tapi, Dipt ...." 

*****

Tiba di dapur, aku melihat Luna sedang duduk di mini bar dalam posisi membelakangi. Sepertinya dia belum menyadari kehadiranku. 

Bukankah tadi Mbok Asih bilang Luna sedang sibuk. Lalu, kenapa istriku hanya termenung di sini. Ini namanya bukan sibuk, tapi sedang menghindari suaminya. 

"Kenapa malah duduk di sini, bukannya ikut sarapan?" cercaku setelah duduk di sampingnya. 

Istriku tampak melebarkan matanya kaget setelah aku menangkap basah dirinya telah berbohong. 

Aku berhasil mencekal pergelangan tangannya saat dia hendak pergi meninggalkanku. Luna tampak meringis, tapi aku tidak peduli. Aku mulai geram menghadapi tingkahnya. 

"Duduk!" titahku.

"Lepasin dulu! Tanganku sakit, Mas." 

Mendengar Luna kembali meringis, aku merasa kasihan dan mulai melepaskan cekalan tanganku. Benar saja, lengan istriku tampak memerah. 

"Maaf, Sayang. Mas nggak sengaja. Mas hanya nggak mau kamu pergi begitu saja ketika kita sedang bicara." Luna menarik tangannya dengan cepat saat aku hendak menyentuh lengannya yang memerah tadi, karena ulahku.

"Nggak apa-apa," lirihnya pelan. Hampir tidak bisa mendengarnya. Setelahnya, Luna kembali membisu dan hanya menatap kosong ke depan. 

Kami seperti orang asing yang canggung. Ini bahkan lebih buruk dari pertemuan pertamaku dengannya.

"Sebenarnya kamu kenapa sih, Sayang? Kenapa akhir-akhir ini kamu mulai berubah, dan semenjak semalam kamu mengabaikan Mas." Aku berbicara panjang lebar, tapi Luna hanya membisu. Sejak kapan istriku berubah menjadi patung.

Padahal, aku juga ingin bertanya kronologi keguguran yang dialaminya. Tapi, kuurungkan, aku tidak ingin membuatnya semakin sedih dan tertekan.

"Mas lanjutin sarapan sana. Nanti telat ke kantor."

Sekarang Luna mengusirku dengan alasan yang sangat masuk akal. Saat marah dia bahkan tidak bisa menghargaiku sama sekali sebagai suaminya.

"Mas nggak akan pergi sebelum kamu menjelaskan semuanya! Jangan membantah kali ini! Kamu tahu 'kan bagaimana hukumnya seorang istri yang tidak patuh pada suami?" 

Luna melirik sekilas dengan ekor matanya. Bibirnya sedikit tersungging. 

" Bagaimana hukumnya?" tanya Luna. 

Apa?

Baiklah jika Luna sudah lupa bagaimana hukumnya seorang istri jika tidak patuh terhadap suaminya, biar kujelaskan agar dia mengerti.

"Jika seorang istri tidak patuh pada suaminya itu dinamakan nusyud, Lun. Dengan istilah istri yang durhaka  pada suaminya dalam ketaa'tan dan selalu membangkang. Dan istri yang tidak menurut pada suami itu hukumnya haram. 

Kalau ada masalah seharusnya kita selesaikan secara baik-baik, bukan malah bertingkah seperti anak kecil, mendiamkan, dan membangkang pada suami." Aku berkata tegas pada Luna. 

"Lalu, hukumnya membawa wanita yang bukan muhrim tinggal serumah, bersentuhan bahkan memeluknya, itu apa hukumnya?" 

Deg.

Sekarang aku paham, Luna bukan lupa atau tidak mengerti, tapi sedang memojokkanku.

Kini istriku menatap tajam ke arahku. Maksudnya apa selalu mempermasalahkan hal itu. Dan menuduhku yang bukan-bukan. Apa Luna melihatnya semalam, melihatku memapah Tiara ke kamarnya. 

Ini yang tidak aku sukai dari Luna, dia selalu menyimpulkan sesuatu seorang diri, tanpa menanyakan apa yang sebenarnya terjadi lebih dulu. 

"Jadi, ini yang membuat kamu berubah? Kamu kenapa sih, Sayang seperti nggak suka  sama Tiara? Tiara hanya tinggal sebentar di rumah kita, apa salahnya.

Dia dan keluarganya sangat berjasa pada kita, harusnya kamu sadar itu dan berterimakasih pada Tiara. Bukan malah bersikap kekanakan seperti ini dan menuduhku yang bukan-bukan.  Semalam itu nggak seperti yang kamu lihat, Luna. Aku hanya membantu Tiara ke kamarnya setelah terjatuh karena kepalanya sakit," jelasku dengan suara tinggi. 

Emosiku benar-benar tidak terkontrol sekarang, aku hampir muak dengan sikap Luna yang selalu mempermasalahkan hal sepele dan tidak menyukai keberadaan Tiara.

Harusnya Luna mengerti posisiku, tidak mungkin aku menyuruh Tiara pergi dari sini, hanya karena Luna merasa cemburu. 

Melihat Luna menyeka air matanya, rasa bersalah muncul seketika dalam hati. Sebenarnya, aku tidak bermaksud membentaknya, aku hanya ingin membuat Luna mengerti. 

"Sayang, maaf. Mas tidak bermaksud membentakmu, tadi. Maaf," lirihku menyesal.

"Aku yang salah karena terlalu ikut campur urusan Mas. Maaf! Mulai saat ini aku nggak akan protes apapun yang Mas lakukan." 

Luna mengeluarkan air mata setelah mendengar ucapanku. Tapi, sekarang malah tersenyum dan  meminta maaf. Senyumnya penuh misteri.

Walaupun, perkataannya terdengar aneh tapi aku sedikit lega. Setidaknya, Luna bisa bersikap dewasa dan mengesampingkan rasa cemburunya yang tidak wajar. 

Aku lelah, harus bertengkar setiap hari dengan permasalahan yang sama. 

"Sayang, makasih kalau kamu mulai ngerti dan nggak marah lagi sama, Mas. Kamu nggak usah khawatir dan berpikir macam-macam. Nggak ada yang bisa gantiin posisi kamu di hati Mas.

Tiara hanya tinggal di sini sampai dua hari lagi, lusa orangtuanya kembali. Kamu tahu 'kan Tiara nggak betah tinggal di rumahnya tanpa keluarga. Di sana hanya ada pembantu, dan Tiara sudah menganggap kita seperti keluarganya," ujarku dengan lembut. 

"Iya Mas." 

Luna  tersenyum sekilas, kemudian menunduk. Kenapa dia tidak merasa senang setelah mendengar Tiara akan pulang lusa. Bukankah ini yang Luna inginkan. Atau Luna mulai mengerti dan menerima Tiara. Alhamdulillah kalau gitu.

Aku merasa tenang sekaligus senang, akhirnya Luna mau tersenyum lagi, walaupun tampak kaku. Aku berhasil menasehati istriku.

"I love you, Sayang."

Bisikku pelan di telinganya. Biasanya istriku akan merona ketika aku bertingkah nakal untuk menggodanya seperti ini. 

Entah kenapa pipinya tidak memerah kali ini. Apa Luna tidak mendengar bisikanku barusan. 

Luna tidak membalas bisikanku seperti biasanya, dia hanya menatap datar dan tidak memberi respon apa-apa. Sedikit mengecewakan. Tapi, masalah kami baru saja selesai dan aku tidak ingin membuat masalah baru lagi.

Mungkin Luna sedang lelah, positif thinking saja.

"Sayang,  kamu belum sarapan 'kan? Kita sarapan yuk. Bentar lagi Mas harus ke kantor." 

Luna tidak menjawabnya, tapi sudah berjalan lebih dulu ke arah meja makan. Aku mengekor di belakangnya dengan hati girang. Lunaku sudah kembali.

Kami melanjutkan sarapan tanpa pembicaraan. Hanya dentingan sendok yang terdengar. Tampak canggung untuk beberapa saat, hingga akhirnya Tiara membuka suara.

"Lun, boleh nggak aku nginap di sini seminggu lagi? Soalnya semalam papa bilang, minggu depan baru pulang dari Belanda." 

Ucapan Tiara membuatku menatap bingung ke arah wanita dalam balutan pakaian formil itu.  Bukankah  kemarin dia bilang papanya akan kembali lusa. Aku merasa tidak enak pada istriku, terkesan seperti membohonginya.

"Maaf Dipt, Lun, tapi Papa sama Mama harus mengundurkan kepulangannya karena ada urusan mendadak di sana. Tapi, kalau emang kalian merasa keberatan, nggak papa kok. Lusa aku akan pulang ...."

"Mbak Tiara bisa tinggal di sini sampai kapanpun, tidak perlu minta izin sama aku. Ini bukan rumahku, aku cuma numpang di sini." 

Luna berkata sambil tersenyum ke arah Tiara, kemudian kembali melanjutkan sarapannya. Tanpa peduli dengan kami yang sedang menatap ke arahnya dengan penuh tanda tanya.

Kenapa Luna berkata seperti itu?

Hatiku perih mendengarnya. Bukankah ini rumahnya juga, karena dia istriku. Aku kembali dibuat bingung dengan sikapnya. 

"Kamu serius Lun?" 

"Iya, sekalian belajar ... menggantikan posisiku." 

Deg.

Bersambung ...

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ayi Asmiyah
aduh semua nopel knp slalu mesti ada koin... tolong dong koin nya..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status