Share

5 Pria Asing

"Iya, sekalian belajar ... menggantikan posisiku."

Deg.

Tubuhku menegang, setelah mendengar ucapan istriku. Luna berucap sangat pelan, tapi masih bisa tertangkap oleh telingaku yang memang duduk di sampingnya.

Maksudnya apa berkata absurd seperti itu? Apa Luna ingin meninggalkanku?

Bukankah kami baru saja berbaikan. Sekarang istriku kenapa lagi?

Wajah Tiara juga berubah tidak jauh berbeda sepertiku. Sedangkan Luna hanya tersenyum dan lanjut menikmati makanannya, tanpa terganggu sama sekali.

Sementara aku tak berani bersuara karena takut akan berakhir dengan pertengkaran, apalagi di depan Tiara yang notabenenya orang lain.

Kenapa istriku jadi penuh misteri. Aku sangat merindukan Luna yang dulu.

"Kok pada tegang?" Luna menatapku dan Tiara secara bergantian. "Aku cuma bergurau, jangan dimasukkan hati, hehe," sambungnya lagi dengan kekehan kecil.

Tiara tersenyum hambar, sediki dipaksakan. Mungkin tersinggung dengan candaan Luna. Tapi, aku merasa sedikit lega, setidaknya ... istriku hanya bercanda. Ya Luna hanya bercanda, kami sudah berbaikan bukan?

Walaupun istriku masih terkesan dingin dan irit bicara, setidaknya Luna mulai mengerti dan mendengar penjelasanku tadi.

Tapi, kenapa selera humor istriku aneh begitu. Dan senyum miliknya seperti menyimpan misteri. Kenapa Luna hobi sekali membuatku merasa takut begini.

Ah, sekarang bukan waktunya untuk memikirkan hal-hal yang membuatku pusing. Aku harus mempersiapkan diri dengan baik untuk presentasi saat meeting nanti siang.

****

Dalam mobil, aku dan Tiara hanya membisu. Tidak seperti biasanya, yang asik bercerita banyak hal saat kami dalam perjalanan.

Apa ini ada hubungannya dengan perkataan Luna tadi.

"Ra, maaf ya! Kalau perkataan Luna tadi menyinggungmu. Tadi, Luna hanya bercanda, jangan dimasukin hati," ujarku menyesalkan sikap Luna.

"Iya, nggak papa, Dipt. Aku cuma ngerasa Luna nggak suka aku tinggal di rumah kalian. Apa aku pulang aja, daripada nanti kalian bertengkar. Maaf ya Dipt, aku sudah merepotkan." Tiara menatapku dengan rasa bersalah.

Aku yang tadi lega, kini mendadak begitu menyayangkan sikap istriku.

"Ya ampun, Ra. Kamu itu sahabatku. Aku nggak ngerasa direpotin sama sekali. Ini nggak seberapa dari apa yang kamu lakukan untuk aku selama ini. Udah kamu jangan pulang sebelum papa sama mama kamu pulang! Soal itu biar aku yang bilang sama Luna nanti."

"Makasih ya,Dipt. Semoga Luna nggak membenci aku lagi dan bersikap seperti beberapa hari yang lalu, waktu kamu keluar bersama Riko."

Hah, apa Luna kembali macam-macam pada Tiara kalau aku sedang tidak ada. Benar-benar.

"Bersikap seperti apa? Memangnya apa yang Luna lakukan pada kamu?" tanyaku panik.

"Eum ... aduh gimana ya, Dipt? Aku nggak mau kalau kalian berantem cuma gara-gara aku."

"Udah nggak usah khawatirkan itu. Sekarang kamu bilang sama aku Luna ngapain kamu?"

"Waktu itu Luna ... Luna menyuruhku untuk cepat-cepat pergi dari rumah kalian dan menuduhku ingin merebut kamu darinya. Kamu tahu 'kan Dipt, aku gimana, aku nggak ada niatan buruk sama sekali. Aku hanya nggak betah tinggal di rumah kalau nggak ada mama sama papa, apalagi cuma sama pembantu. Aku mau tinggal sama kamu karena kamu udah seperti keluargaku. Maaf ya, Dipt! Gara-gara sikap aku yang kekanakan, istrimu jadi nggak nyaman dan membenciku hik-hik."

Tiara menjatuhkan kepalanya di pundakku yang sedang menyetir. Rasa bersalah dan kasihan membuatku tidak tega untuk menolaknya.

Aku tidak percaya Luna sekejam itu, istriku adalah orang yang tidak tegaan sama orang lain. Luna juga wanita yang lembut dan baik.

Tapi, melihat kesedihan Tiara dan sikap yang Luna tunjukan selama ini, bukan tidak mungkin istriku telah berubah.

Denganku saja dia sudah berani membangkang, apalagi dengan Tiara. Sepertinya aku harus lebih tegas kali ini, istriku bukan lagi Luna yang dulu. Dia sudah keterlaluan.

"Maafin aku, Ra. Aku belum bisa mendidik Luna dengan baik. Aku nggak nyangka dia berani seperti itu sama kamu. Udah jangan nangis lagi, biar nanti aku yang bilang sama Luna!"

"Iya, Dipt. Tapi, tolong jangan dimarahin ya!"

Tiara memang sangat baik. Dia bahkan masih membela istriku setelah apa yang dilakukan terhadapnya. Aku sangat beruntung memiliki teman sepertinya.

Rasa risih yang tadi sempat hinggap karena Tiara yang masih bersandar di pundakku kini perlahan hilang berganti rasa bersalah karena mengingat kelakuan Luna yang tidak terpuji. Memalukan.

Andai saja istriku tahu, bahwa Tiara bahkan masih membelanya setelah apa yang Luna lakukan karena alasan cemburu yang bahkan sudah membuatku muak mendengarnya.

Kenapa akhir-akhir ini Luna bersikap egois dan membuatku kecewa?

*****

Di Kantor.

Aku membuka setiap laci untuk mencari berkas yang diperlukan untuk meeting nanti siang.

Namun, setelah mencari ke sana ke mari, berkas itu tidak juga kutemukan. Sial. Kenapa hari ini banyak sekali hal yang merusak moodku.

Tadi Luna, sekarang berkas itu. Nanti apalagi?

Aku mengusap wajah dengan kasar. Rasanya ingin sekali meninju tembok, tapi sekarang bukan saatnya meluapkan amarah. Aku harus berpikir jernih untuk mengetahui di mana berkas itu?

Jika hilang, bisa mati.

Apa mungkin tertinggal di rumah? Mengingat aku sempat membawa pulang untuk menyelesaikan sisanya waktu itu.

Spertinya aku harus pulang untuk mencarinya. Waktunya juga masih lama sampai meeting berlangsung.

*****

Tanpa kusadari, mobil yang kukendarai dengan kecepatan tinggi sudah berbelok memasuki halaman rumah.

Hufft, akhirnya sampai juga.

Tunggu.

Itu mobil siapa?

Siapa yang datang ke rumahku pagi-pagi begini. Mama, itu bukan mobil mama. Apa orangtua Luna?

Saat hendak turun dari mobil, tiba-tiba seorang pria yang tidak kukenal keluar dari rumahku.

Lalu, disusul Luna di belakang. Mereka tampak berbincang di teras, bisa kulihat sesekali Luna sampai tertawa.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status