Home / Romansa / Ketika Istri Mulai Beku / 3 Tidak Lagi Cemburu

Share

3 Tidak Lagi Cemburu

Author: p.hara
last update Last Updated: 2023-03-17 14:35:09

"Dipta ...." 

Di saat aku hendak menyusul Luna ke kamarnya, Tiara kembali memanggilku dengan suara yang sangat lemah. Sepertinya Tiara benar-benar sangat kesakitan, tapi, bagaimana dengan Luna. Istriku juga sedang sakit.

"Dipt,"

"Eh, iya Tiara? Sorry, tadi aku ...."

"Aku udah panggil kamu sampai beberapa kali loh, tapi kamunya asik mematung sambil melihat ke arah situ. Emangnya ada apa sih, di situ? Kamu habis ngelamunin apa?" 

Aku berbalik menghampiri Tiara, dia terlihat sedikit kesal dan memberondongku dengan banyak pertanyaan. Suaranya juga sudah sedikit meninggi daripada yang tadi terdengar lirih dan lemah, padahal dia sedang sakit. Aneh.

"Maaf. Jadi, sekarang gimana? Oh ya, bentar aku ambil minum dulu." 

"Udah, nggak usah, Dipt. Tolong bantu aku ke kamar saja, kepalaku masih pusing soalnya." Tiara kembali memijit kepalanya dan berbicara dengan nada lirih.

Mengantar Tiara ke kamar? Jujur aku takut, takut kalau Luna salah paham lagi. Tapi, membiarkan dia ke kamar sendirian juga nggak mungkin.

Tiba-tiba aku teringat Luna, apakah selama hamil Luna sering pusing mual-mual efek dari morning sickness? Wajahnya memang terlihat pucat selama istriku mengandung, tapi setiap aku bertanya luna selalu bilang 'tidak apa-apa', 'aku baik-baik saja.'

Selebihnya aku tidak tahu karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskan aku pergi pagi pulang sore, kadang sampai larut di mana Luna sudah tertidur dengan tertutup selimut sampai kepala, seperti semalam. 

Padahal, dulu sebelum aku pulang Luna tidak pernah tidur duluan. Dia selalu menungguku di sofa dengan senyum paling manis miliknya.

 Baru akhir-akhir ini istriku bertingkah aneh yang membuatku mulai pusing sendiri untuk memahaminya. Sepertinya, bukan hanya efek kehamilan, tapi ada yang salah dengan Luna yang harus kuselidiki. Lebih-lebih setelah dia mengalami keguguran. 

Tunggu, tadi kata Mbok Ijah, Luna keguguran karena terjatuh dari tangga. Memangnya untuk apa istriku  ke lantai dua. Padahal, aku sudah melarangnya, bahkan sampai pindah kamar ke lantai satu sampai waktu Luna melahirkan, nanti.

Aku hanya tidak mau ambil resiko jika sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Lalu, untuk apa Luna ke sana? Apa dia tidak hati-hati hingga membuatnya terjatuh? 

Aku harus bertanya pada Luna.

"Eh."

Aku terkejut dan gelagapan saat Tiara menyentuh lenganku. Lalu kembali termenung dengan sekelabat isi pikiran tentang Luna. Membuatku hampir melupakan Tiara yang sudah menatap kesal ke arahku. Duh, memangnya tadi dia ngomong apa ya? 

" Ayo, bantu aku ke kamar!"

"Eh, iya-iya. Ayo, pelan-pelan!" 

Saat aku memapahnya, Tiara malah memeluk pinggangku erat. Ada rasa takut dan begitu riuh dalam hati. Ingin menolak, tidak tega.  Semoga Luna tidak melihatnya, aku tidak mau istriku semakin salah paham seperti tadi. 

Setelah keluar dari kamar Tiara, kamar tamu bukan lagi tujuan. Melainkan, kamar kami. Kamarku dan Luna. 

Sebelum memutar handel pintu, aku berdoa dan berharap cemas dalam hati. Besar harapanku agar pintu tidak terkunci. Tapi, semua sia-sia, Luna tidak memberi ruang untukku dapat bersamanya. 

Haruskah dia marah sampai seperti ini. Sampai memasang tirai di antara kami. Setidaknya, beri aku kesempatan untuk menjelaskan kesalahpahaman yang tadi terjadi. Agar masalah tidak semakin bertambah. 

Dulu, Luna sering bilang, setiap permasalahan yang terjadi harus se-segera mungkin diselesaikan, dengan pikiran tenang dan terbuka. Lalu, kenapa sekarang Luna malah bersikap sebaliknya? 

Andai Luna bisa berpikir dewasa, tentu semuanya tidak akan serumit sekarang. Tentu, masalah sebesar apapun akan menjadi lebih sederhana, dan masalah kecil akan hilang berganti kehangatan. 

Jujur, aku kurang suka dengan sikapnya yang mulai sangat childish. Tapi, juga takut kehilangannya, perhatian dan kasih sayang yang selama ini kudapatkan dari Luna. 

Sekali lagi aku mencoba memutar handel pintu untuk memastikan, ah lebih tepatnya megharap keajaiban. Tapi, lagi-lagi nihil. Ini pertama kali setelah kami menikah, aku harus tidur di kamar tamu. 

Semoga besok Luna mau berbicara denganku. Ini harapan terakhirku sebelum mata terpejam untuk menuju alam mimpi.

Walaupun nyatanya, malam ini hanya kuhabiskan mengingat segala memorial tentang Luna dan masa-masa indah kami. Yang berhasil membuat dadaku sesak ketika menghubungkannya dengan saat ini. 

Kisah kami yang dulu dengan saat ini. Luna yang malam kemarin masih bisa kurengkuh dalam kehangatan, saat ini hanya mampu kuperbincangkan namanya dalam kesepian. 

.

Pagi hari.

Setelah bangun, membersihkan diri dan melaksanakan solat, aku gegas ke kamar utama untuk mengambil pakaian yang akan kukenakan untuk bekerja. 

Jam segini biasanya istriku sudah bangun. Biasanya setelah kami solat subuh berjamaah, Luna akan menyiapkan pakaian kerjaku sebelum ke dapur untuk membantu Mbok Asih. 

Padahal, aku sering menasehatinya untuk tidak terlalu memaksakan diri mengerjakan pekerjaan rumah. Toh, untuk apa menggaji orang lain jika istriku harus mengerjakan semuanya, pikirku.

Tapi, Luna selalu bisa memberi alasan yang membuatku semakin mencintainya. Selain kasian pada Mbok Asih, Luna ingin mengurus sendiri segala kebutuhan pribadiku. Seperti soal makanan. 

Saat menyentuh handel pintu, ternyata sudah tidak terkunci. Aku segera masuk ke kamar untuk bertemu dengan Luna. Tapi, istriku tidak ada di sini.

Hanya ranjang kosong dengan sprei yang sudah berganti dari yang tadi malam. Dan tidak kutemukan pakaian kerjaku yang sudah disiapkan Luna seperti biasa di atasnya.Mungkin Luna sedang di kamar mandi.

Tanpa menunggu lebih lama, aku mengetuk pintu kamar mandi yang tertutup.

"Luna! Sayang, kamu di dalam?"

"Sayang, Mas buka ya?"

"Lun!"

Panggilan pertama, kedua, ketiga tidak ada jawaban. Ketika aku membuka pintu dan menelusuri setiap sudut kamar mandi, istriku juga tidak ada.

Kalau Luna tidak ada di sini, berarti sedang di dapur. Dia ... bahkan lupa menyiapkan pakaianku kali ini. Ya, akan lebih baik dia lupa daripada disengaja. Setidaknya itu tidak terlalu membuat  sesak karena diabaikan.

Setelah mengenakan pakaian kerja yang membuat sebagian tenagaku terkuras untuk menyiapkannya, seperti dasi, kaus kaki, celana dan baju dan lainnya. Aku bergegas keluar menuju meja makan sembari menunggu Luna. 

"Pagi, Dipta." 

Aku menoleh ke arah Tiara yang sudah rapi dengan pakaian kantornya yang lumayan nge–pas di badan, dan ikut bergabung di meja makan. 

"Pagi, Ra," jawabku sekenanya. 

Sebenarnya aku ingin menanyakan keadaan Tiara. Tapi, kuurungkan, karena pikiranku hanya tertuju pada Luna saat ini. Lagian tampaknya dia sudah sangat baik dari semalam. 

Setelah tersenyum paksa ke arahnya, aku kembali fokus menatap ke arah dapur. Menunggu kemunculan Luna dengan perasaan berdebar sembari mengetuk jari pada meja. 

Lima menit.

Sepuluh menit.

Hingga menit ke sekian, baru terlihat bayang-bayang seseorang melalui kaca-kaca lemari sekitarnya yang sedang berjalan ke ruang makan.

Harapanku kembali pupus, ternyata Mbok Asih yang datang dengan makanan di tangannya. Mendadak selera makanku hilang seketika. Biasanya Luna selalu yang membawa sarapan dan menatanya di meja lalu, duduk di sampingku dan melayaniku dengan baik. 

Aku berusaha menahan gejolak amarah yang ingin meluap. Sedangkan Tiara terlihat sangat antusias dengan nasi goreng dan susu yang dihidangkan Mbok Ijah. Kenapa Tiara tidak merasa aneh sama sekali dengan ketidakhadiran Luna di sini.

"Luna di mana, Mbok? Kenapa dia tidak ikut sarapan?" tanyaku, ketika Mbok Asih ingin berlalu.

"Anu Pak, Bu Luna ... masih di dapur.  Tadi, Bu Luna berpesan agar bapak dan Non Tiara sarapan duluan saja."

Ck, Luna masih menghindariku ternyata. Sampai harus bermain drama seperti ini. 

"Baiklah. Mbok boleh pergi."

"Saya permisi, Pak." 

Aku menatap nanar pada mangkuk nasi goreng buatan istriku yang harumnya sangat menggugah selera. Buktinya, Tiara sudah mulai mengisi piringnya, dan terlihat tidak sabar untuk mencicipi. 

" Ya sudah, Dipt. Mungkin Luna masih sibuk di dapur. Kita sarapan saja duluan, biar nggak telat ke kantor. Nggak usah dipikirin, Luna 'kan tidak pergi kerja, jadi kalau telat sarapan pun tidak masalah," katanya tanpa menoleh ke arahku. 

Entah kenapa aku tidak suka mendengar perkataan Tiara kali ini. Itu terdengar seperti meremehkan istriku sama sekali.

"Luna istriku, Tiara. Wajar kalau aku khawatir sama dia. Biarpun dia tidak pergi kemana-mana, aku tetap tidak mau kalau sampai istriku telat makan, apalagi di pagi hari," ucapku tegas. 

Tiara menarik kembali tangannya yang hendak mengambil ayam goreng, dan menatap ke arahku dengan rasa bersalah.  

"Maaf Dipt, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya mencoba mengerti posisi Luna, mungkin memang benar seperti Mbok Asih bilang, kalau Luna sedang sibuk, makanya menyuruh kita sarapan lebih dulu. Percayalah, Dipt! Aku sama sekali ...." 

"Iya, tidak apa-apa. Maaf , kalau perkataanku tadi membuat kamu tersinggung." 

Seketika aku merasa bersalah pada Tiara yang tampak sedih mendengar perkataanku. Seharusnya aku bisa mengontrol emosi dan tidak menyalahkan Tiara,  dia tidak tahu menahu masalahku dengan Luna. 

Lagian kenapa sih, Luna harus bersikap seperti ini. Dia bahkan sanggup  mengabaikanku sebagai suaminya. Apa hanya aku yang merasa bersalah di sini. Dan Luna tidak sama sekali.  Ya ampun, Luna.

"Iya, Dipt. Ya sudah, sekarang kita makan, ya. Sini biar aku yang taruh nasinya ke piring kamu." 

Ingin menolak, tapi Tiara sudah berjalan lebih dulu dan berdiri di samping kursiku. Lalu, melakukan seperti yang biasa Luna lakukan.

Bersamaan dengan mataku yang menangkap tubuh mungil itu yang sedang berdiri menatap ke arah kami. Di mana aku dan Tiara pagi ini seperti aku dengan Luna di pagi-pagi sebelumnya.

"Kamu mau paha atau dada, Dipt?" 

Aku hanya melihat sekilas pada piring ayam goreng yang ditunjukkan Tiara. Lalu, kembali menatap ke arah istriku yang tampak tersenyum sinis. Kemudian berlalu, dari sana. Sebelum aku sempat beranjak atau memanggilnya.

Ah, apa Luna akan salah paham lagi.

Tapi, raut wajahnya begitu datar, tidak nanar seperti semalam. Tidak kutemukan tanda-tanda kecemburuan sama sekali seperti yang biasa istriku tunjukkan. Anehnya, sifat Luna yang semakin tidak kupahami itu malah membuatku semakin merinding. 

Next?

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Istri Mulai Beku    70 Denaya Murka

    Tidak sesuai ekspektasi, Mimi—sang manager kepercayaan Denaya kembali ke rumah sakit dengan tangan kosong. Bahkan saat di jalan tadi, Mimi sempat khawatir membayangkan bagaimana bosnya akan mengamuk. Mengingat watak Denaya yang emosian dan tidak sabaran, Mimi sudah bisa membayangkan bagaimana hasilnya nanti.Watak yang kurang menyenangkan itu selama ini ditutupi oleh kecantikan, ketenaran dan kehormatan sebagai istri seorang Abinawa selama ini. Dan tentu saja mata Abinawa juga tertutup oleh cinta—sehingga buta dengan akhlak istrinya yang kurang terpuji. Namun, itu sebelum tabir terkuak. Sebelum Baby Shanum datang ke dunia ini dan segala misteri di balik kehadirannya. Sekarang mata Abinawa sudah terbuka lebar, pun hatinya yang tak lagi tersisa rasa cinta, melainkan kebencian yang tidak dapat dijelaskan dengan kata. Buktinya hampir saja Baby Shanum melayang ke sungai di malam yang lalu, andai saja gadis yang dianggapnya malaikat tidak datang menghampiri. Ruhi Ghumaisya. Menurut Ab

  • Ketika Istri Mulai Beku    69 Usapan Tanganmu

    "Bibi sedang apa?" tanya Ruhi pada Bi Yuyu—asisten rumah tangga di rumah Abinawa. "Eh, Non Ruhi, ini Bibi ingin memasak untuk makan siang," jawab wanita paruh baya itu yang tampak cekatan mengeluarkan beberapa bahan makanan yang hendak diolah dari kulkas. Ruhi yang melihat Bi Yuyu tampak sibuk perlahan mendekat untuk membantu. Perkenalan mereka sudah dimulai beberapa saat yang lalu, saat Ruhi beranjak ke dapur untuk membuat susu Baby Shanum. Yang Bi Yuyu ketahui, Ruhi adalah pengasuh Baby Shanum seperti yang dijelaskan gadis itu. Meski Bi Yuyu sempat heran dan berpikir keras, bagaimana majikannya bisa menemukan seorang pengasuh secantik Ruhi.Karena memang tampak dari wajah dan penampilannya kalau Ruhi bukanlah orang susah yang perlu berkerja sebagai pengasuh bayi untuk bertahan hidup. Namun begitu, alasan sesungguhnya hanya Abinawa dan Ruhi yang tahu. Tidak. Abinawalah yang paling tahu penyebab gadis bernama lengkap Ruhi Ghumaisya berada di rumahnya saat ini. "Bibi mau masak apa

  • Ketika Istri Mulai Beku    68 Permintaan Abinawa

    Tangan Ruhi mulai bergerak perlahan mengusap punggung laki-laki yang sedang menangis dalam dekapannya. Abinawa, ya. Laki-laki asing yang ditemuinya semalam dan sekarang akan berada di bawah atap yang sama dengannya. Pertemuan mereka bahkan belum sampai 24 jam. Namun, entah magnet apa yang menarik kedua untuk menjadi selengket itu."Dia pengkhianat. Kenapa setiap wanita yang kutemui semuanya jahat?" "Siapa bilang? Mamaku sangat setia dengan Papa. Percayalah, Pak, tidak semua wanita itu sama. Mungkin saja, mereka yang kemarin hadir dalam hidup Pak Abi hanya untuk jadi pembelajaran, atau bentuk teguran dari Tuhan atas kesalahan yang Bapak perbuat di masa lalu yang mungkin tidak Bapak sadari," jelas Ruhi dengan pelan. Berharap apa yang disampaikannya sampai ke otak laki-laki itu. Laki-laki yang sedang hancur itu. Entahlah, semalam bertemu dengan Abinawa sudah membuat Ruhi merasa sedikit lebih dewasa dari usianya. Menghadapi orang yang sedang tidak bisa berpikir jernih memang butuh ke

  • Ketika Istri Mulai Beku    67 Pelukan

    Degub jantung Ruhi semakin cepat saat jaraknya dengan Abinawa tinggal beberapa senti saja.Takut? Tentu saja. Namun, melihat raut wajah menyedihkan dan tatapan putus asa dari laki-laki berusia 30 tahun itu mendorong Ruhi untuk berbuat nekat.Ya. Nekat melakukan hal seperti yang biasa dilakukan pada Dipta, papanya. Deg. Seketika Abinawa menegang, saat Ruhi mulai memeluknya. Jarum jam seperti berhenti berdenting. Seolah dunia Abinawa terhenti beberapa saat. Itu gila. Tapi, seperti itulah pemandangannya. Akal sehat Abinawa tidak bisa berfungsi beberapa saat, pun degub jantungnya yang mulai mengencang.Seperti yang terjadi pada Ruhi, namun, gadis itu memilih bersikap tenang. Seiring dengan tangan mungilnya yang mulai bergerak menepuk-nepuk punggung tegap dalam balutan kemeja mahal itu. "Maaf." Gadis itu berucap lirih. Saat itulah kesadaran Abinawa mulai kembali sepenuhnya. Laki-laki itu sampai beberapa kali mengerjapkan matanya. "Maaf, sudah membuat Pak Abi sedih. Aku ... menyesal

  • Ketika Istri Mulai Beku    66 Putuskan Pacarmu

    "Maaf," cicit Ruhi dengan tatapan penuh rasa bersalah pada laki-laki yang masih berdiri di hadapannya. "Tidak masalah untuk kali ini. Tapi, lain kali jangan berniat meminta hal-hal di luar kemampuanku." Abinawa kini sudah duduk di samping Ruhi yang sedang menyusui Baby Shanum. Bayi itu tampak anteng dalam dekapan gadis berusia 21 tahun itu, bahkan mulai tertidur lagi. "Pak, dia mulai tertelap lagi," ujar Ruhi menoleh ke arah Abinawa."Bayi dengan usia segitu memang wajar jika terus tertidur. Selama dia masih tidur dalam keadaan normal dan tidak ada gangguan medis apapun kamu tidak perlu khawatir.""Gangguan seperti apa, Pak, misalnya?""Gangguan kesehatan, seperti penyakit kuning atau infeksi lainnya yang membuat bayi tertidur lebih lama," jelas Abinawa membuat Ruhi diam-diam mengaguminya. Jarang-jarang ada laki-laki yang tahu banyak hal tentang bayi.'Sepertinya Pak Abi memang sudah mempersiapkan dirinya sebaik mungkin untuk menjadi seorang ayah. Kasihan dia. Kenapa istrinya tega

  • Ketika Istri Mulai Beku    65 Perkara Memberi Susu

    Pagi hari.Setelah pamit pada Ruhi, Abinawa segera keluar dari apartemen untuk membeli beberapa keperluan Baby Shanum, seperti diaper, susu, baju ganti serta tissue basah. Karena tidak membawanya dari rumah saat pergi semalam.Tentu saja tidak membawanya, karena kepergian Abinawa semalam dengan membawa Baby Shanum dalam keranjang bayi adalah untuk membunuhnya. Siapa sangka jalan ceritanya telah berubah karena bertemu dengan Ruhi yang baru pulang dari membeli nasi goreng. Berniat membunuh bayi, Abinawa malah berakhir di apartemen seorang gadis. "Sepertinya sudah semua." Abinawa memeriksa isi dari beberapa kresek di tangannya. Setelah mendapatkan semua keperluan Baby Shanum, laki-laki itu segera melajukan mobilnya untuk kembali ke apartemen. Dia melajukan mobilnya sampai mengebut, karena mengetahui di sana Ruhi sudah menunggu kedatangannya sejak tadi. .Setelah menekan bel, dan pintu terbuka dari dalam. Abinawa terkejut melihat Baby Shanum yang menangis kencang dalam gendongan Ruhi

  • Ketika Istri Mulai Beku    64 Menginap Di Apartemen

    Kini keduanya tiba di apartemen milik Ruhi, yang jaraknya tidak seberapa jauh dari jembatan tadi yang hampir saja menjadi tempat pembunuhan berencana ... untuk seorang bayi. Bayi cantik lagi menggemaskan. Sayangnya, dia hadir dengan cara yang membuat seseorang hancur dan terluka.Abinawa Aslan Aydin. Laki-laki berusia 30 tahun yang merupakan seorang pemilik bisnis real estate sekaligus seorang investor. Dia telah dikhianati oleh sang istri dan juga abang kandungnya sendiri. Denaya dan Alister. Profesi keduanya yang merupakan seorang model dan photografer membuat Denaya dan Alister sering bertemu karena hubungan pekerjaan. Hanya hubungan pekerjaan, awalnya. Siapa sangka, kenyamanan yang tercipta karena pertemuan intens, membuat Denaya dan Alister melupakan status mereka yang merupakan seorang adik dan abang ipar.Serta melupakan seorang laki-laki yang kini mereka hancurkan dengan tega. Berselingkuh dengan ipar sendiri hingga memiliki seorang bayi, bisa bayangkan serusak apa moral du

  • Ketika Istri Mulai Beku    63 Saling Menantang (Bab 2)

    Laki-laki asing itu menatap Ruhi penuh telisik. Lama dan dalam. 'Jelas tidak sama. Dia hanya gadis polos yang mencoba mencegahku menjadi seorang pembunuh.'Laki-laki berpenampilan perlente itu menilai Ruhi dalam keterdiaman. Lapisan paling dasar dalam hatinya menyadari satu hal. Ruhi bukanlah wanita seperti yang dia tuduhkan. Ada sinar ketulusan yang tiba-tiba laki-laki temukan di sana. Tanpa Ruhi sadari, kegelapan yang semula menghiasi ruang perasaan seseorang, telah perlahan menerang akibat sihir ketulusan yang terpancar dari sepasang bola matanya. Mata hazel yang gadis itu peroleh dari garis keturunan ibunya. "Apakah aku sama seperti mereka, Pak?" tanya Ruhi sekali lagi, setelah melihat sosok di hadapannya hanya berdiri mematung. "Tentu saja tidak. Kamu hanya seorang gadis kecil yang tidak tahu apapun." Ucapan laki-laki itu jelas membuat Ruhi emosi. "Hei, Pak. Usia saya sudah menginjak 21 tahun sekarang! Bagaimana bisa Bapak bilang saya gadis kecil," protesnya terdengar beran

  • Ketika Istri Mulai Beku    62 Sekuel Ketika Istri Mulai Beku (Bab 1)

    Gadis berusia 21 tahun itu tampak sedang berjalan kaki untuk kembali ke apartemennya. Tangannya menjinjing sebuah kantong kresek berisi nasi goreng, yang baru saja dibeli di jalan ujung taman sana. Tubuh yang dibalut dress merah muda dengan panjang selutut itu, tidak begitu tinggi. Hanya sekitar 158 cm saja. Kulitnya putih gading, dengan rambut lurus sedada lengkap dengan poni di bagian depan. Wajah ovalnya terkadang berwarna serupa biji saga jika sedang kepanasan atau sedang salah tingkah. Wajahnya juga dihiasi sepasang lesung pipi. Yang membuat kecantikannya semakin sempurna saja. Kebiasaannya setiap habis magrib adalah, membeli nasi goreng oppa-oppa di jalan ujung taman yang tidak seberapa jauh dari apartemennya. Dia menyebutnya nasi goreng oppa-oppa karena penjualnya seorang laki-laki muda yang wajahnya seperti oppa-oppa Korea. Padahal, di gerobak nasi goreng sendiri tertulis dengan jelas, 'Nasi Goreng Spesial Bang Firdaus.'Kebiasaan lain gadis itu, tiap kali pulang dari memb

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status