Share

3 Tidak Lagi Cemburu

"Dipta ...." 

Di saat aku hendak menyusul Luna ke kamarnya, Tiara kembali memanggilku dengan suara yang sangat lemah. Sepertinya Tiara benar-benar sangat kesakitan, tapi, bagaimana dengan Luna. Istriku juga sedang sakit.

"Dipt,"

"Eh, iya Tiara? Sorry, tadi aku ...."

"Aku udah panggil kamu sampai beberapa kali loh, tapi kamunya asik mematung sambil melihat ke arah situ. Emangnya ada apa sih, di situ? Kamu habis ngelamunin apa?" 

Aku berbalik menghampiri Tiara, dia terlihat sedikit kesal dan memberondongku dengan banyak pertanyaan. Suaranya juga sudah sedikit meninggi daripada yang tadi terdengar lirih dan lemah, padahal dia sedang sakit. Aneh.

"Maaf. Jadi, sekarang gimana? Oh ya, bentar aku ambil minum dulu." 

"Udah, nggak usah, Dipt. Tolong bantu aku ke kamar saja, kepalaku masih pusing soalnya." Tiara kembali memijit kepalanya dan berbicara dengan nada lirih.

Mengantar Tiara ke kamar? Jujur aku takut, takut kalau Luna salah paham lagi. Tapi, membiarkan dia ke kamar sendirian juga nggak mungkin.

Tiba-tiba aku teringat Luna, apakah selama hamil Luna sering pusing mual-mual efek dari morning sickness? Wajahnya memang terlihat pucat selama istriku mengandung, tapi setiap aku bertanya luna selalu bilang 'tidak apa-apa', 'aku baik-baik saja.'

Selebihnya aku tidak tahu karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskan aku pergi pagi pulang sore, kadang sampai larut di mana Luna sudah tertidur dengan tertutup selimut sampai kepala, seperti semalam. 

Padahal, dulu sebelum aku pulang Luna tidak pernah tidur duluan. Dia selalu menungguku di sofa dengan senyum paling manis miliknya.

 Baru akhir-akhir ini istriku bertingkah aneh yang membuatku mulai pusing sendiri untuk memahaminya. Sepertinya, bukan hanya efek kehamilan, tapi ada yang salah dengan Luna yang harus kuselidiki. Lebih-lebih setelah dia mengalami keguguran. 

Tunggu, tadi kata Mbok Ijah, Luna keguguran karena terjatuh dari tangga. Memangnya untuk apa istriku  ke lantai dua. Padahal, aku sudah melarangnya, bahkan sampai pindah kamar ke lantai satu sampai waktu Luna melahirkan, nanti.

Aku hanya tidak mau ambil resiko jika sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Lalu, untuk apa Luna ke sana? Apa dia tidak hati-hati hingga membuatnya terjatuh? 

Aku harus bertanya pada Luna.

"Eh."

Aku terkejut dan gelagapan saat Tiara menyentuh lenganku. Lalu kembali termenung dengan sekelabat isi pikiran tentang Luna. Membuatku hampir melupakan Tiara yang sudah menatap kesal ke arahku. Duh, memangnya tadi dia ngomong apa ya? 

" Ayo, bantu aku ke kamar!"

"Eh, iya-iya. Ayo, pelan-pelan!" 

Saat aku memapahnya, Tiara malah memeluk pinggangku erat. Ada rasa takut dan begitu riuh dalam hati. Ingin menolak, tidak tega.  Semoga Luna tidak melihatnya, aku tidak mau istriku semakin salah paham seperti tadi. 

Setelah keluar dari kamar Tiara, kamar tamu bukan lagi tujuan. Melainkan, kamar kami. Kamarku dan Luna. 

Sebelum memutar handel pintu, aku berdoa dan berharap cemas dalam hati. Besar harapanku agar pintu tidak terkunci. Tapi, semua sia-sia, Luna tidak memberi ruang untukku dapat bersamanya. 

Haruskah dia marah sampai seperti ini. Sampai memasang tirai di antara kami. Setidaknya, beri aku kesempatan untuk menjelaskan kesalahpahaman yang tadi terjadi. Agar masalah tidak semakin bertambah. 

Dulu, Luna sering bilang, setiap permasalahan yang terjadi harus se-segera mungkin diselesaikan, dengan pikiran tenang dan terbuka. Lalu, kenapa sekarang Luna malah bersikap sebaliknya? 

Andai Luna bisa berpikir dewasa, tentu semuanya tidak akan serumit sekarang. Tentu, masalah sebesar apapun akan menjadi lebih sederhana, dan masalah kecil akan hilang berganti kehangatan. 

Jujur, aku kurang suka dengan sikapnya yang mulai sangat childish. Tapi, juga takut kehilangannya, perhatian dan kasih sayang yang selama ini kudapatkan dari Luna. 

Sekali lagi aku mencoba memutar handel pintu untuk memastikan, ah lebih tepatnya megharap keajaiban. Tapi, lagi-lagi nihil. Ini pertama kali setelah kami menikah, aku harus tidur di kamar tamu. 

Semoga besok Luna mau berbicara denganku. Ini harapan terakhirku sebelum mata terpejam untuk menuju alam mimpi.

Walaupun nyatanya, malam ini hanya kuhabiskan mengingat segala memorial tentang Luna dan masa-masa indah kami. Yang berhasil membuat dadaku sesak ketika menghubungkannya dengan saat ini. 

Kisah kami yang dulu dengan saat ini. Luna yang malam kemarin masih bisa kurengkuh dalam kehangatan, saat ini hanya mampu kuperbincangkan namanya dalam kesepian. 

.

Pagi hari.

Setelah bangun, membersihkan diri dan melaksanakan solat, aku gegas ke kamar utama untuk mengambil pakaian yang akan kukenakan untuk bekerja. 

Jam segini biasanya istriku sudah bangun. Biasanya setelah kami solat subuh berjamaah, Luna akan menyiapkan pakaian kerjaku sebelum ke dapur untuk membantu Mbok Asih. 

Padahal, aku sering menasehatinya untuk tidak terlalu memaksakan diri mengerjakan pekerjaan rumah. Toh, untuk apa menggaji orang lain jika istriku harus mengerjakan semuanya, pikirku.

Tapi, Luna selalu bisa memberi alasan yang membuatku semakin mencintainya. Selain kasian pada Mbok Asih, Luna ingin mengurus sendiri segala kebutuhan pribadiku. Seperti soal makanan. 

Saat menyentuh handel pintu, ternyata sudah tidak terkunci. Aku segera masuk ke kamar untuk bertemu dengan Luna. Tapi, istriku tidak ada di sini.

Hanya ranjang kosong dengan sprei yang sudah berganti dari yang tadi malam. Dan tidak kutemukan pakaian kerjaku yang sudah disiapkan Luna seperti biasa di atasnya.Mungkin Luna sedang di kamar mandi.

Tanpa menunggu lebih lama, aku mengetuk pintu kamar mandi yang tertutup.

"Luna! Sayang, kamu di dalam?"

"Sayang, Mas buka ya?"

"Lun!"

Panggilan pertama, kedua, ketiga tidak ada jawaban. Ketika aku membuka pintu dan menelusuri setiap sudut kamar mandi, istriku juga tidak ada.

Kalau Luna tidak ada di sini, berarti sedang di dapur. Dia ... bahkan lupa menyiapkan pakaianku kali ini. Ya, akan lebih baik dia lupa daripada disengaja. Setidaknya itu tidak terlalu membuat  sesak karena diabaikan.

Setelah mengenakan pakaian kerja yang membuat sebagian tenagaku terkuras untuk menyiapkannya, seperti dasi, kaus kaki, celana dan baju dan lainnya. Aku bergegas keluar menuju meja makan sembari menunggu Luna. 

"Pagi, Dipta." 

Aku menoleh ke arah Tiara yang sudah rapi dengan pakaian kantornya yang lumayan nge–pas di badan, dan ikut bergabung di meja makan. 

"Pagi, Ra," jawabku sekenanya. 

Sebenarnya aku ingin menanyakan keadaan Tiara. Tapi, kuurungkan, karena pikiranku hanya tertuju pada Luna saat ini. Lagian tampaknya dia sudah sangat baik dari semalam. 

Setelah tersenyum paksa ke arahnya, aku kembali fokus menatap ke arah dapur. Menunggu kemunculan Luna dengan perasaan berdebar sembari mengetuk jari pada meja. 

Lima menit.

Sepuluh menit.

Hingga menit ke sekian, baru terlihat bayang-bayang seseorang melalui kaca-kaca lemari sekitarnya yang sedang berjalan ke ruang makan.

Harapanku kembali pupus, ternyata Mbok Asih yang datang dengan makanan di tangannya. Mendadak selera makanku hilang seketika. Biasanya Luna selalu yang membawa sarapan dan menatanya di meja lalu, duduk di sampingku dan melayaniku dengan baik. 

Aku berusaha menahan gejolak amarah yang ingin meluap. Sedangkan Tiara terlihat sangat antusias dengan nasi goreng dan susu yang dihidangkan Mbok Ijah. Kenapa Tiara tidak merasa aneh sama sekali dengan ketidakhadiran Luna di sini.

"Luna di mana, Mbok? Kenapa dia tidak ikut sarapan?" tanyaku, ketika Mbok Asih ingin berlalu.

"Anu Pak, Bu Luna ... masih di dapur.  Tadi, Bu Luna berpesan agar bapak dan Non Tiara sarapan duluan saja."

Ck, Luna masih menghindariku ternyata. Sampai harus bermain drama seperti ini. 

"Baiklah. Mbok boleh pergi."

"Saya permisi, Pak." 

Aku menatap nanar pada mangkuk nasi goreng buatan istriku yang harumnya sangat menggugah selera. Buktinya, Tiara sudah mulai mengisi piringnya, dan terlihat tidak sabar untuk mencicipi. 

" Ya sudah, Dipt. Mungkin Luna masih sibuk di dapur. Kita sarapan saja duluan, biar nggak telat ke kantor. Nggak usah dipikirin, Luna 'kan tidak pergi kerja, jadi kalau telat sarapan pun tidak masalah," katanya tanpa menoleh ke arahku. 

Entah kenapa aku tidak suka mendengar perkataan Tiara kali ini. Itu terdengar seperti meremehkan istriku sama sekali.

"Luna istriku, Tiara. Wajar kalau aku khawatir sama dia. Biarpun dia tidak pergi kemana-mana, aku tetap tidak mau kalau sampai istriku telat makan, apalagi di pagi hari," ucapku tegas. 

Tiara menarik kembali tangannya yang hendak mengambil ayam goreng, dan menatap ke arahku dengan rasa bersalah.  

"Maaf Dipt, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya mencoba mengerti posisi Luna, mungkin memang benar seperti Mbok Asih bilang, kalau Luna sedang sibuk, makanya menyuruh kita sarapan lebih dulu. Percayalah, Dipt! Aku sama sekali ...." 

"Iya, tidak apa-apa. Maaf , kalau perkataanku tadi membuat kamu tersinggung." 

Seketika aku merasa bersalah pada Tiara yang tampak sedih mendengar perkataanku. Seharusnya aku bisa mengontrol emosi dan tidak menyalahkan Tiara,  dia tidak tahu menahu masalahku dengan Luna. 

Lagian kenapa sih, Luna harus bersikap seperti ini. Dia bahkan sanggup  mengabaikanku sebagai suaminya. Apa hanya aku yang merasa bersalah di sini. Dan Luna tidak sama sekali.  Ya ampun, Luna.

"Iya, Dipt. Ya sudah, sekarang kita makan, ya. Sini biar aku yang taruh nasinya ke piring kamu." 

Ingin menolak, tapi Tiara sudah berjalan lebih dulu dan berdiri di samping kursiku. Lalu, melakukan seperti yang biasa Luna lakukan.

Bersamaan dengan mataku yang menangkap tubuh mungil itu yang sedang berdiri menatap ke arah kami. Di mana aku dan Tiara pagi ini seperti aku dengan Luna di pagi-pagi sebelumnya.

"Kamu mau paha atau dada, Dipt?" 

Aku hanya melihat sekilas pada piring ayam goreng yang ditunjukkan Tiara. Lalu, kembali menatap ke arah istriku yang tampak tersenyum sinis. Kemudian berlalu, dari sana. Sebelum aku sempat beranjak atau memanggilnya.

Ah, apa Luna akan salah paham lagi.

Tapi, raut wajahnya begitu datar, tidak nanar seperti semalam. Tidak kutemukan tanda-tanda kecemburuan sama sekali seperti yang biasa istriku tunjukkan. Anehnya, sifat Luna yang semakin tidak kupahami itu malah membuatku semakin merinding. 

Next?

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status