Untuk membuatmu sadar atas suatu kesalahan, kenapa harus menunggu sampai waktu menempatkanmu pada posisi yang sama?
*****Selama meeting berlangsung, aku berusaha keras untuk bisa melewatinya dengan baik. Meskipun perkataan Luna sewaktu di rumah terus mengusik pikiranku."Suka? Tentu saja tidak, Mas ... tentu saja aku tidak suka karena baru mengetahuinya sekarang. Mungkin jika aku tahu Emir menyukaiku dari dulu, aku sudah bahagia bersamanya. Bukan malah terjebak dalam pernikahan menyakitkan ini. Apa kamu tahu Mas, menjadi istrimu adalah hal yang kusesali ...."Aku tidak bisa menahan diri mendengar Luna mengatakan menyesal menikah denganku selama ini, dan akan lebih memilih pria asing itu seandainya istriku masih punya kesempatan.Tentu saja aku sangat murka mendengar wanita yang begitu kucintai membahas laki-laki lain di depanku. Bahkan membelanya.Kemurkaan itulah yang akhirnya menjadi bumerang untuk diriku sendiri, aku telah menyakiti Luna dengan tanganku yang berakhir di pipinya. Sungguh aku menyesal.Biarpun akhir-akhir ini kami sering berselisih paham, aku belum pernah mengasari istriku. Dan hari ini, aku baru saja menyakitinya.Wajah sendu Luna sebelm dia berlari ke kamar dan meninggalkanku, terus tergambar jelas dalam pikiran.Berdampak pada diriku yang lebih banyak membisu setelah meeting berakhir, dan hal itu juga yang membuat Riko berada di sini sekarang."Lo kenapa , Bro? Kok gue perhatiin kek nggak ada gairah hidup lo hari ini?" todongnya sembari mendaratkan tubuh di sofa.Karena kondisiku yang tampak kacau telah terbaca olehnya, membuatku menceritakan semua pada Riko. Berharap ada solusi yang kudapatkan, lebih-lebih tentang sikap Luna.Aku menjelaskan dengan lugas satu persatu. Tentang Tiara dan perubahan Luna pasca mengalami keguguran, hingga kejadian tadi ketika aku pulang ke rumah. Termasuk kata-kata Luna yang membuatku merasa takut hingga berakhir menyakitinya."Jadi selama ini Tiara tinggal di rumah lo? Dengan alasan nggak betah di rumahnya sendiri? Karena hanya ada pembantu?"Riko mengulangi pernyataanku dalam bentuk pertanyaan. Laki-laki itu menatap tidak percaya. Bola matanya semakin melebar setelah aku membenarkan sesuatu yang seolah aneh menurutnya."Gila. Berani juga lo ya? Salut gue."Aku mengernyit mendengar ucapannya yang seperti mengejek. Maksudnya apa?"Lo tahu nggak, Bro. Tanpa lo sadari lo udah nyakitin istri lo. Jangan bodoh, Bro! Jangan sampai gara-gara merasa berhutang budi sama orang rumah tangga lo hancur.Wajar Luna cemburu dan ngediemin lo. Apalagi alasan Tiara mau numpang di rumah lo sama sekali nggak masuk akal tahu nggak? Coba lo bayangin, kalau emang dia merasa nggak betah di rumahnya, 'kan dia bisa tinggal di rumah teman-temannya yang cewek, bukan sama lo yang beda jenis kelamin dan udah berkeluarga. Nggak etis sama sekali. Lo udah nyakitin Luna, Dipt," jelas Riko panjang lebar, yang terdengar seperti memojokkan.Apalagi sampai menuduhku menyakiti Luna. Menurutnya, aku mengajak Tiara tinggal di rumah adalah suatu kesalahan besar?"Lo nggak ngerti posisi gue, Rik."Aku membela diri. Padahal, hati kecilku mulai tersentil dengan ucapannya barusan. Entahlah, rasa tidak enakan pada Tiara dan keluarganya membuatku terjebak dalam situasi rumit begini. Walaupun aku baru sadar, jika alasan Tiara tinggal dirumahku memang tudak masuk akal, seperti yang Riko katakan.Riko menatapku tajam "Ck, lo tahu apa yang gue lakuin kalau gue di posisi lo? Gue akan lebih memilih menjaga perasaan istri gue. Gue akan memilah mana hal yang masuk akal untuk gue lakukan sebagai bentuk balas budi. Yang lo lakuin itu bukan bentuk balas budi, Bro, tapi mempersiapkan kehancuran rumah tangga lo sendiri.""Maksud lo apa?" pekikku tidak terima atas tuduhannya."Lo yakin Tiara cuma anggap lo teman?" Kini, aku malah kaget mendengar pertanyaannya." Gue sama Tiara cuma berteman. Nggak mungkin–lah gue nyakitin Luna. Selama ini gue nggak pernah macam-macam di belakang dia, Luna aja yang nggak bisa ngertiin gue."Riko tampak menghela nafas pelan, sambil menatap bingung sekaligus kesal, aku mengenal dengan baik mimik tubuhnya. Laki-laki itu menggeleng-geleng kepala, bahasa tubuhnya seolah mengatakan 'Susah ngomong sama orang bodoh kayak lo.'Benar-benar tuh anak.Untung kawan."Oke, jadi maksud lo, lo itu cuma anggap Tiara teman 'kan. Terus lo tahu nggak Tiara anggap lo apa? Dan lo ngerti nggak pemikiran Luna seperti apa pada kalian, hingga membuatnya berubah acuh sama lo?" Bola mataku yang ingin melompat dari tempatnya."Maksud lo apa? Jelas dia juga anggap gue teman dong. Luna aja yang nggak bisa bersikap dewasa, makanya sampai marah-marah nggak jelas," sahutku kesal.Jujur, semakin ke sini aku semakin tidak mengerti ke mana arah pembicaraan kami."Lo tahu dari mana Tiara anggap lo teman dan istri lo nggak bisa bersikap dewasa?""Ya tahu–lah. Tiara sendiri yang bilang. Dia bahkan udah anggap gue seperti keluarganya. Luna aja yang nggak suka sama Tiara. Entahlah gue ngerasa Luna udah berubah nggak seperti Luna yang gue kenal."Aku mendesah membayangkan sikap Luna selama ini. Sekaligus heran, kenapa Riko malah membelanya."Dipt, menurut gue bukan Luna yang nggak dewasa, tapi lo. Nggak ada yang benar-benar murni pertemanan antara laki-laki dan perempuan. Lo jangan terlalu polos memahaminya. Apalagi lo udah nikah, nggak lagi sebebas dulu. Ada hati yang harus lo jaga," ujarnya pelan, tapi menancap tepat di relung hati. Entah kenapa lagi-lagi aku merasa tertampar dengan omongan Riko barusan.Riko tampak beberapa kali menghela nafas kasar beberapa saat, sebelum melanjutkan ucapannya."Tiara hanya orang luar, sedangkan Luna istri lo. Satu-satunya dari milyaran wanita yang lo pilih di dunia ini untuk mendampingi lo. Yang menjadi prioritas utama untuk lo bahagiakan. Dibandingkan orang lain, termasuk keluarga lo. Hanya gara-gara hutang budi atau bentuk dari balas jasa bukan berarti orang luar bisa bebas masuk ke dalam rumah tangga lo. Itu privasi lo dengan Luna, yang harus lo batasi dari orang-orang yang ingin berniat menghancurkannya.""Jadi, lo mau bilang kalau Tiara ingin menghancurkan rumah tangga gue gitu?" tanyaku spontan. Merasa tidak terima Tiara dituduh seperti itu.Aku mengenal Tiara dengan baik selama ini. Tiara temanku, tidak mungkin dia sampai tega melakukan hal itu."Sorry ya Bro. Gue nggak bermaksud menuduh Tiara yang bukan-bukan. Tapi, tadi lo bilang, kata Tiara Pak Handoko dan istrinya baru kembali seminggu lagi. Dan dia ingin tinggal di rumah lo sampai orangtuanya pulang 'kan?""Ya," sahutku cepat.Aku merasa pembicaraan kami semakin berputar-putar seperti sedang berada dalam sebuah labirin yang tak kunjung menemukan pintu keluar.Ditambah kepalaku yang sudah cukup pusing memikirkan sikap Luna yang seperti teka-teki yang sulit dipecahkan."Saran gue, setelah pembicaraan kita selesai, lo ke ruangan Direktur Utama!""Buat apa gue ke sana di saat Pak Handoko nggak ada?" tanyaku penasaran.Riko menyuruhku ke ruang Pak Handoko, padahal jelas-jelas dia tahu beliau lagi di luar negeri. Aku semakin tidak mengerti dengan jalan pikirannya."Lo lakuin aja apa yang gue bilang, kalau mau tahu jawabannya. Kalau nggak sih, ya terserah. Asal lo siap-siap menyesal nantinya. Siap-siap jadi duda muda."Riko mengakhiri ucapannya dengan kekehan kecil. Lalu, mengangkat bahunya merasa tidak bersalah sama sekali dengan apa yang baru saja diucapkan."Lo barusan sumpahin gue jadi duda?!" teriakku kesal. Dadaku berdenyut, merasa ngeri sendiri jika perkataan Riko benar-benar terjadi.Apalagi, mengingat perkataan Luna tadi dan sikapnya selama ini."Gue bukan nyumpahin Bro. Tapi sedang menyadarkan lo sebelum terlambat.""Tadi, lo bilang cemburu 'kan pas lihat Luna gomong sama laki-laki lain. Sekarang lo bayangin, gimana kalau seandainya Luna mengajak laki-laki itu tinggal di rumah kalian? Gimana perasaan lo?"Entah aku sadar atau tidak, ucapan Riko barusan, seketika menimbulkan gejolak dalam dadaku. Rasa cemburu pada Luna yang sedari tadi berusaha kuenyahkan, kembali memaksa muncul ke permukaan.Bayang-bayang istriku bersama dengan Emir kembali menari-nari dengan jelas dalam kepala.Bersambung...Ada rasa panas yang kembali menjalar, mengingat bagaimana laki-laki itu memperlakukan Luna. Aku tidak mau istriku ditatap oleh laki-laki lain, apalagi dengan cara seperti itu. Luna hanya milikku. Aku akan cemburu, kalau Luna masih berteman dengan lawan jenis di saat kami sudah menikah. Rasa takut mulai menjalar menusuk ke dalam kalbu, bagaimana kalau dugaanku benar, bahwa laki-laki bernama Emir itu memiliki rasa terhadap istriku. "Nggak gue nggak bisa. Gue nggak terima kalau Luna punya teman laki-laki apalagi sampai tinggal di rumah kami." "Nah. Sekarang lo ngerti 'kan gimana perasaan Luna melihat lo dengan Tiara? Tinggal serumah, pulang pergi bareng. Lo sekarang ngerti 'kan istri lo tersiksa. Bahkan di saat dia keguguran lo lebih mentingin orang lain ketimbang dia. Sakit banget, Bro. Gue aja sampe merinding bayanginnya, jangan sampai gue seperti itu sama bini gue." Deg. Aku terbungkam. Lumayan lama mencerna setiap perkataan Riko, lalu menghubungkannya dengan apa yang aku rasak
Benar apa yang Riko bilang, aku telah salah mengartikan bentuk rasa terimakasih pada Tiara sehingga memasukkannya dalam kehidupan pribadiku dan mengabaikan Luna.Selama ini istriku malah terang-terangan menunjukkan apa yang dirasakan, tapi aku selalu berkilah dengan dalih persahabatan dan balas budi. Selama ini aku selalu memaksanya untuk mengerti posisiku. Sedangkan, posisi dan perasaannya selalu kunomorduakan. "Jadi, ini yang membuat kamu berubah? Kamu kenapa sih, Sayang seperti nggak suka sama Tiara? Tiara hanya tinggal sebentar di rumah kita, apa salahnya.Dia dan keluarganya sangat berjasa pada kita, harusnya kamu sadar itu dan berterimakasih pada Tiara. Bukan malah bersikap kekanakan seperti ini dan menuduhku yang bukan-bukan. Semalam itu nggak seperti yang kamu lihat, Luna. Aku hanya membantu Tiara ke kamarnya setelah terjatuh karena kepalanya sakit," Aku teringat perkataanku pada Luna, yang baru kusadari terdengar sangat egois dan menyakitkan. Oh Tuhan.Sekarang pertahanan
Ketika aku ingin mengucapkan kata maaf kenapa dia malah memilih pergi? Ataukah aku yang salah karena baru sadar saat dia sudah sangat lelah dan hendak beranjak dari sisi? Lalu, rasa ini hendak kubawa pada siapa? Sedangkan, hanya dia satu-satunya pemilik hati.Apa aku harus mengemis, demi dapat menebus kesalahan yang sangat fatal? Luka yang tergores terlalu dalam, bagaimana jika aku tidak mampu lagi menyembuhkannya? Bagaimana jika ada sosok lain yang menawarkan obat untuk hati yang baru saja kukoyak dengan brutal?Bagaimana?****Bismillah."Sayang!" panggilku beriringan dengan pintu yang mulai terbuka. Luna menoleh dengan beberapa pakaian miliknya yang berada di tangan, dan ada sebagian yang sudah berpindah ke dalam koper yang masih terbuka yang terletak di atas ranjang. "Aku tidak bermaksud mengaggu waktu Mas. Tapi, orangtuaku sedang dalam perjalanan kemari. Rasanya tidak etis jika mereka menjemputku saat tuan rumah tidak ada." Hatiku mencolos.Ada apa ini?Mengapa pemandangan y
Benar-benar perih aku melihat keadaan wanita yang begitu kucintai. .Sialnya, akulah sumber penyakit bagi hati dan mentalnya. Akulah sebab bekunya Luna seperti balok es. Aku kembali membawa jari-jemari mungil Luna dalam genggaman, agar berhenti memukul dadanya yang mungkin sesak membayangkan kelakuanku. Aku yang lebih pantas mendapat pukulan itu.Apa yang Luna rasakan selama ini, jauh lebih sakit ketimbang rasa cemburuku melihatnya bersama laki-laki lain tadi pagi. Aku kembali teringat beberapa kali sempat menegur Luna bahkan sampai memarahinya karena berlaku tidak sopan pada Tiara di belakangku. "Dipt, kenapa sih istri kamu selalu jutek sama aku kalau kamu nggak ada. Bahkan sering nyindir-nyindir aku sama Mbok Asih. Aku salah apa sih, Dipt sampai Luna membenciku." Setiap kali Tiara mengadu, aku langsung menemui Luna untuk menegurnya tanpa mau mendengar penjelasannya. Tanpa bertanya dari sudut pandangnya. "Sayang kamu kenapa sih selalu jahat sama Tiara. Tiara itu tamu di sini,
"Nggak, kamu nggak boleh pergi! Nggak ada yang bisa memisahkan kamu dariku," ujarku semakin erat memeluknya. Tok tok.Aku terlonjak saat ada yang mengetuk pintu kamar dari luar, begitu juga dengan Luna. Tubuhnya terasa menegang, tak lagi memberontak seperti tadi.Kutatap sendu tubuh kurus yang masih dalam dekapan. Lalu, kucium pucuk kepalanya, aroma shampo kesukaanku menguar. Ini memabukkan.Setelah beberapa saat, aku melepas pelukan dari tubuh Luna dan beranjak membuka pintu dengan perasaan tak bisa dijelaskan. Bagaimana kalau benar-benar ada yang mengambil istriku?Saat pintu terbuka, hatiku sedikit lebih baik melihat siapa yang berdiri di baliknya. Mbok Asih dalam keadaan menunduk, bukan mama atau papa Luna. Semoga saja apa yang Luna ucapkan mengenai kedatangan orangtuanya hanya akal-akalannya saja untuk mengancamku.Sungguh aku belum siap bertemu dengan mereka, mengingat apa yang sudah aku lakukan pada putrinya. Semoga Luna tidak menceritakan apapun. Jika tidak, mau dibawa ke m
Suara papa mertua kembali terdengar. Aku mengambil posisi agak jauh dari Kak Vincen, sembari menatap takut ke arah papa, wajah yang mulai penuh kerutan itu tampak sangat bersahaja. Beliau bisa mengontrol emosinya dengan baik, walau bagaimanapun mana ada orangtua yang tidak murka melihat anaknya diperlakukan seperti itu. Aku yakin sekali Luna sudah menceritakan semuanya, melihat bagaimana sikap Kak Vincen terlebih tatapannya ke arahku saat ini.Papa tampak beberapa kali membuang nafas kasar. Sementara Luna hanya menunduk meremas jemarinya, sedangkan mama mertua menatapku sinis dengan ekor matanya. Ya, beliau pantas melalukannya. Seketika aku merasa seperti akan menjalani hukuman gantung beberapa menit lagi, itu yang kurasakan saat ini. Tapi, apapun yang terjadi nanti, tekadku untuk memperjuangkan Luna sudah bulat.Mungkin ini memang konsekuensi yang harus kutanggung dari semua perbuatan dholimku pada Luna selama ini. Aku siap, asal bukan untuk melepaskannya."Kedatangan kami ke si
Lagi-lagi kecolongan *****Entah kenapa aku sangat merasa terganggu kali ini dengan kehadiran Tiara. "Dipta!"Penyesalan memang selalu datang terlambat. Aku melipat sajadah dan menaruhnya di tempat semula dan bergegas keluar untuk menemui Tiara.Aku harus melakukan ini, biarpun nanti aku kehilangan pekerjaan. Luna lebih penting dari itu semua. Semoga saja Tiara mengerti posisiku. *****"Dipt, ayo makan dulu! Aku bawain soto betawi kesukaan kamu nih," teriak Tiara yang terdengar dari ruang makan. Aku bergegas keluar menghampiri Tiara dengab ponsel di tangan yang mungkin akan selalu kubawa, bila perlu sampai ke kamar mandi. Untuk apalagi, kalau bukan menunggu balasan dari pesan-pesan yang kukirim untuk Luna. Centang dua tapi belum berubah warna jadi biru. Sepertinya, istriku belum mengecek ponselnya, padahal jika dihitung-hitung seharusnya mereka sudah tiba di rumah jam segini. Mengingat lokasi rumah mertuaku tidak terlalu jauh dari sini. Mungkin, Luna masih sibuk dan belum se
"Ja-di, kamu ... enggak mau lagi jadi sahabatku, Dipt?" tanya Tiara dengan raut wajah sendu.***"Maaf, Tiara! Kita bisa berinteraksi layaknya sesama teman kantor pada umumnya. Tidak sedekat sebelumnya." "Aku nggak bisa,Dipt. Kamu tega ngomong gitu sama sahabat sendiri. Aku ....""Sekali lagi maaf Tiara. Tolong jangan membuat keadaan semakin buruk. Keputusan aku nggak akan berubah, sekalipun ... aku kehilangan pekerjaan." Aku berkata pelan, Tiara tampak kaget mendengar apa yang baru saja kukatakan.Ya, aku sudah berpikir dengan matang. Apa yang baru saja aku ucapkan bukan hanya wacana. Aku sudah siap kehilangan semuanya, kecuali ... Luna. "Tinggallah di apartemen atau rumah teman-teman kamu yang cewek. Aku yakin banyak kok teman-teman kamu yang tinggal di kota ini." Semoga opsi kali ini berjalan, aku lumayan banyak kenal dengan teman-teman Tiara. Apalagi teman-teman satu angkatan. Tiara tidak menjawab ucapanku. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan terdengar terisak. Seme