Share

8 Baru Sadar, Tapi Telat 2

Ada rasa panas yang kembali menjalar, mengingat bagaimana laki-laki itu memperlakukan Luna. Aku tidak mau istriku ditatap oleh laki-laki lain, apalagi dengan cara seperti itu.

Luna hanya milikku. Aku akan cemburu, kalau Luna masih berteman dengan lawan jenis di saat kami sudah menikah.

Rasa takut mulai menjalar menusuk ke dalam kalbu, bagaimana kalau dugaanku benar, bahwa laki-laki bernama Emir itu memiliki rasa terhadap istriku.

"Nggak gue nggak bisa. Gue nggak terima kalau Luna punya teman laki-laki apalagi sampai tinggal di rumah kami."

"Nah. Sekarang lo ngerti 'kan gimana perasaan Luna melihat lo dengan Tiara? Tinggal serumah, pulang pergi bareng. Lo sekarang ngerti 'kan istri lo tersiksa. Bahkan di saat dia keguguran lo lebih mentingin orang lain ketimbang dia. Sakit banget, Bro. Gue aja sampe merinding bayanginnya, jangan sampai gue seperti itu sama bini gue."

Deg.

Aku terbungkam.

Lumayan lama mencerna setiap perkataan Riko, lalu menghubungkannya dengan apa yang aku rasakan saat melihat istriku tertawa lepas dengan laki-laki selain aku.

Dadaku gemuruh, semakin riuh di dalam sana. Seketika aku merasa begitu bodoh setelah menyadari sesuatu. Kenapa hati dan pikiranku baru terbuka sekarang.

Kenapa otakku terlalu dangkal, baru menyadari sesuatu yang membuatnya begitu sakit setelah aku berada di posisi itu.

Benarkah, Luna juga merasakan hal yang sama sepertiku saat melihatnya bersama laki-laki lain? Benarkah istriku sesakit itu? Hingga merubahnya menjadi sosok yang tak lagi tersentuh dan beku.

Mendiamkanku, mengacuhkan, tidak lagi banyak bertanya, merajuk manjas seperti dulu. Itukah alasan. Atau selama ini aku yang mulai mengabaikannya, perasaannya seperti tadi pagi. Sampai-sampai candaan yang tidak masuk akal terlontar dari bibirnya.

Aku semakin merasa paling buruk, kala mengingat calon anak kami telah tiada. Ya, sampai sekarang, penyesalan tentang kebodohanku waktu Luna keguguran masih begitu kentara.

"Orang yang udah menikah itu nggak seharusnya berteman terlalu akrab dengan lawan jenis, Dipt. Kecuali, untuk menyakiti pasangannya. Buktinya, lo sakit 'kan melihat interaksi Luna sama temannya. Istri lo juga seperti itu, Bro. Sakit melihat lo dengan Tiara."

Riko menepuk bahuku pelan. Entah mengapa, setiap perkataannya membuatku tertohok dan terpojok, kali ini. Ya aku sadar, kini aku sadar. Tapi, kenapa baru sekarang. Ketika istriku telah menanggung sakit terlalu lama.

Apa aku egois jika menyalahkan Riko yang baru menasehatiku sekarang? Atau seharusnya diriku sendiri yang disalahkan? Atau bersyukur dengan kehadiran Emir, karena pikiran dangkalku akhirnya mengerti posisi Luna dengan segala rasa sakitnya.

Aku menunduk untuk menyembunyikan netra yang mulai berembun. Luna dengan segala kebekuannya, Luna dengan candaan absurdnya tadi pagi. Luna dengan tubuh terguncang di balik selimut pasca keguguran. Berulang-ulang muncul dalam kepala.

Ck, kenapa mata dan telingaku bisa tertutup untuk rasa sakit Luna selama ini.

"Gue ... gue nggak tahu kalau Luna sesakit itu, Rik. Selama ini gue selalu menuduh Luna kekanakan, cemburu berlebihan bahkan sering memarahinya. Ternyata gue seegois itu, ck," lirihku penuh sesal.

"Penyesalan emang selalu datang belakangan. Tapi, setidaknya lo udah sadar di mana letak kesalahan lo. Saran gue ya, batasi pertemanan dengan lawan jenis, itu nggak sehat, kita udah dewasa udah menikah, kita punya kehidupan pribadi yang nggak seharusnya melibatkan orang lain. Suka main air, sesekali pasti basah, Bro.

Bagian akademis lo paling depan. Masak memahami perasaan wanita lo nol besar. Wanita itu emang diciptakan penuh misteri, dengan segala teka-teki, untuk memecahkannya adalah tugas kita sebagai laki-laki."

Dalam hati aku mengumpat diri sendiri, benar kata Riko, dalam akademis aku nomor satu, tapi menjaga perasaan wanita yang aku cintai aku gagal. GAGAL.

"Jadi, sekarang gue harus gimana?" tanyaku dengan pikiran yang mulai buntu. Kali ini aku akan mendengarkan apapun yang Riko perintahkan.

"Lo harus bisa tegas sama Tiara. Dia nggak bisa berlaku seenaknya sama lo,Dipt, atas alasan apapun. Enyahkan rasa tidak tegaan lo yang nggak jelas sama sekali. Lo udah memilih Luna buat jadi istri lo, Luna yang lebih berhak atas lo ketimbang siapapun. Suruh Tiara pulang, kalau lo masih mencintai Luna. Kalau lo masih menganggap Luna sebagai dunia lo. Pesan gue, jangan sampai lo nyesal, Dipt. Itu rumah tangga lo, keputusan ada di tangan lo, mau melanjutkan atau membuatnya hancur."

Riko kembali menepuk-nepuk bahuku. Entah kenapa, mendengar kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya membuatku panas dingin.

"Gue cabut, ya. Jangan lupa ke ruangan Pak Handoko dan segera perbaiki hubungan lo dengan Luna."

Riko beranjak meninggalkanku yang larut dalam rasa bersalah dan penyesalan. Serta rasa takut kehilangan Luna.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status