Ada rasa panas yang kembali menjalar, mengingat bagaimana laki-laki itu memperlakukan Luna. Aku tidak mau istriku ditatap oleh laki-laki lain, apalagi dengan cara seperti itu.
Luna hanya milikku. Aku akan cemburu, kalau Luna masih berteman dengan lawan jenis di saat kami sudah menikah.Rasa takut mulai menjalar menusuk ke dalam kalbu, bagaimana kalau dugaanku benar, bahwa laki-laki bernama Emir itu memiliki rasa terhadap istriku."Nggak gue nggak bisa. Gue nggak terima kalau Luna punya teman laki-laki apalagi sampai tinggal di rumah kami.""Nah. Sekarang lo ngerti 'kan gimana perasaan Luna melihat lo dengan Tiara? Tinggal serumah, pulang pergi bareng. Lo sekarang ngerti 'kan istri lo tersiksa. Bahkan di saat dia keguguran lo lebih mentingin orang lain ketimbang dia. Sakit banget, Bro. Gue aja sampe merinding bayanginnya, jangan sampai gue seperti itu sama bini gue."Deg.Aku terbungkam.Lumayan lama mencerna setiap perkataan Riko, lalu menghubungkannya dengan apa yang aku rasakan saat melihat istriku tertawa lepas dengan laki-laki selain aku.Dadaku gemuruh, semakin riuh di dalam sana. Seketika aku merasa begitu bodoh setelah menyadari sesuatu. Kenapa hati dan pikiranku baru terbuka sekarang.Kenapa otakku terlalu dangkal, baru menyadari sesuatu yang membuatnya begitu sakit setelah aku berada di posisi itu.Benarkah, Luna juga merasakan hal yang sama sepertiku saat melihatnya bersama laki-laki lain? Benarkah istriku sesakit itu? Hingga merubahnya menjadi sosok yang tak lagi tersentuh dan beku.Mendiamkanku, mengacuhkan, tidak lagi banyak bertanya, merajuk manjas seperti dulu. Itukah alasan. Atau selama ini aku yang mulai mengabaikannya, perasaannya seperti tadi pagi. Sampai-sampai candaan yang tidak masuk akal terlontar dari bibirnya.Aku semakin merasa paling buruk, kala mengingat calon anak kami telah tiada. Ya, sampai sekarang, penyesalan tentang kebodohanku waktu Luna keguguran masih begitu kentara."Orang yang udah menikah itu nggak seharusnya berteman terlalu akrab dengan lawan jenis, Dipt. Kecuali, untuk menyakiti pasangannya. Buktinya, lo sakit 'kan melihat interaksi Luna sama temannya. Istri lo juga seperti itu, Bro. Sakit melihat lo dengan Tiara."Riko menepuk bahuku pelan. Entah mengapa, setiap perkataannya membuatku tertohok dan terpojok, kali ini. Ya aku sadar, kini aku sadar. Tapi, kenapa baru sekarang. Ketika istriku telah menanggung sakit terlalu lama.Apa aku egois jika menyalahkan Riko yang baru menasehatiku sekarang? Atau seharusnya diriku sendiri yang disalahkan? Atau bersyukur dengan kehadiran Emir, karena pikiran dangkalku akhirnya mengerti posisi Luna dengan segala rasa sakitnya.Aku menunduk untuk menyembunyikan netra yang mulai berembun. Luna dengan segala kebekuannya, Luna dengan candaan absurdnya tadi pagi. Luna dengan tubuh terguncang di balik selimut pasca keguguran. Berulang-ulang muncul dalam kepala.Ck, kenapa mata dan telingaku bisa tertutup untuk rasa sakit Luna selama ini."Gue ... gue nggak tahu kalau Luna sesakit itu, Rik. Selama ini gue selalu menuduh Luna kekanakan, cemburu berlebihan bahkan sering memarahinya. Ternyata gue seegois itu, ck," lirihku penuh sesal."Penyesalan emang selalu datang belakangan. Tapi, setidaknya lo udah sadar di mana letak kesalahan lo. Saran gue ya, batasi pertemanan dengan lawan jenis, itu nggak sehat, kita udah dewasa udah menikah, kita punya kehidupan pribadi yang nggak seharusnya melibatkan orang lain. Suka main air, sesekali pasti basah, Bro.Bagian akademis lo paling depan. Masak memahami perasaan wanita lo nol besar. Wanita itu emang diciptakan penuh misteri, dengan segala teka-teki, untuk memecahkannya adalah tugas kita sebagai laki-laki."Dalam hati aku mengumpat diri sendiri, benar kata Riko, dalam akademis aku nomor satu, tapi menjaga perasaan wanita yang aku cintai aku gagal. GAGAL."Jadi, sekarang gue harus gimana?" tanyaku dengan pikiran yang mulai buntu. Kali ini aku akan mendengarkan apapun yang Riko perintahkan."Lo harus bisa tegas sama Tiara. Dia nggak bisa berlaku seenaknya sama lo,Dipt, atas alasan apapun. Enyahkan rasa tidak tegaan lo yang nggak jelas sama sekali. Lo udah memilih Luna buat jadi istri lo, Luna yang lebih berhak atas lo ketimbang siapapun. Suruh Tiara pulang, kalau lo masih mencintai Luna. Kalau lo masih menganggap Luna sebagai dunia lo. Pesan gue, jangan sampai lo nyesal, Dipt. Itu rumah tangga lo, keputusan ada di tangan lo, mau melanjutkan atau membuatnya hancur."Riko kembali menepuk-nepuk bahuku. Entah kenapa, mendengar kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya membuatku panas dingin."Gue cabut, ya. Jangan lupa ke ruangan Pak Handoko dan segera perbaiki hubungan lo dengan Luna."Riko beranjak meninggalkanku yang larut dalam rasa bersalah dan penyesalan. Serta rasa takut kehilangan Luna.Bersambung...Benar apa yang Riko bilang, aku telah salah mengartikan bentuk rasa terimakasih pada Tiara sehingga memasukkannya dalam kehidupan pribadiku dan mengabaikan Luna.Selama ini istriku malah terang-terangan menunjukkan apa yang dirasakan, tapi aku selalu berkilah dengan dalih persahabatan dan balas budi. Selama ini aku selalu memaksanya untuk mengerti posisiku. Sedangkan, posisi dan perasaannya selalu kunomorduakan. "Jadi, ini yang membuat kamu berubah? Kamu kenapa sih, Sayang seperti nggak suka sama Tiara? Tiara hanya tinggal sebentar di rumah kita, apa salahnya.Dia dan keluarganya sangat berjasa pada kita, harusnya kamu sadar itu dan berterimakasih pada Tiara. Bukan malah bersikap kekanakan seperti ini dan menuduhku yang bukan-bukan. Semalam itu nggak seperti yang kamu lihat, Luna. Aku hanya membantu Tiara ke kamarnya setelah terjatuh karena kepalanya sakit," Aku teringat perkataanku pada Luna, yang baru kusadari terdengar sangat egois dan menyakitkan. Oh Tuhan.Sekarang pertahanan
Ketika aku ingin mengucapkan kata maaf kenapa dia malah memilih pergi? Ataukah aku yang salah karena baru sadar saat dia sudah sangat lelah dan hendak beranjak dari sisi? Lalu, rasa ini hendak kubawa pada siapa? Sedangkan, hanya dia satu-satunya pemilik hati.Apa aku harus mengemis, demi dapat menebus kesalahan yang sangat fatal? Luka yang tergores terlalu dalam, bagaimana jika aku tidak mampu lagi menyembuhkannya? Bagaimana jika ada sosok lain yang menawarkan obat untuk hati yang baru saja kukoyak dengan brutal?Bagaimana?****Bismillah."Sayang!" panggilku beriringan dengan pintu yang mulai terbuka. Luna menoleh dengan beberapa pakaian miliknya yang berada di tangan, dan ada sebagian yang sudah berpindah ke dalam koper yang masih terbuka yang terletak di atas ranjang. "Aku tidak bermaksud mengaggu waktu Mas. Tapi, orangtuaku sedang dalam perjalanan kemari. Rasanya tidak etis jika mereka menjemputku saat tuan rumah tidak ada." Hatiku mencolos.Ada apa ini?Mengapa pemandangan y
Benar-benar perih aku melihat keadaan wanita yang begitu kucintai. .Sialnya, akulah sumber penyakit bagi hati dan mentalnya. Akulah sebab bekunya Luna seperti balok es. Aku kembali membawa jari-jemari mungil Luna dalam genggaman, agar berhenti memukul dadanya yang mungkin sesak membayangkan kelakuanku. Aku yang lebih pantas mendapat pukulan itu.Apa yang Luna rasakan selama ini, jauh lebih sakit ketimbang rasa cemburuku melihatnya bersama laki-laki lain tadi pagi. Aku kembali teringat beberapa kali sempat menegur Luna bahkan sampai memarahinya karena berlaku tidak sopan pada Tiara di belakangku. "Dipt, kenapa sih istri kamu selalu jutek sama aku kalau kamu nggak ada. Bahkan sering nyindir-nyindir aku sama Mbok Asih. Aku salah apa sih, Dipt sampai Luna membenciku." Setiap kali Tiara mengadu, aku langsung menemui Luna untuk menegurnya tanpa mau mendengar penjelasannya. Tanpa bertanya dari sudut pandangnya. "Sayang kamu kenapa sih selalu jahat sama Tiara. Tiara itu tamu di sini,
"Nggak, kamu nggak boleh pergi! Nggak ada yang bisa memisahkan kamu dariku," ujarku semakin erat memeluknya. Tok tok.Aku terlonjak saat ada yang mengetuk pintu kamar dari luar, begitu juga dengan Luna. Tubuhnya terasa menegang, tak lagi memberontak seperti tadi.Kutatap sendu tubuh kurus yang masih dalam dekapan. Lalu, kucium pucuk kepalanya, aroma shampo kesukaanku menguar. Ini memabukkan.Setelah beberapa saat, aku melepas pelukan dari tubuh Luna dan beranjak membuka pintu dengan perasaan tak bisa dijelaskan. Bagaimana kalau benar-benar ada yang mengambil istriku?Saat pintu terbuka, hatiku sedikit lebih baik melihat siapa yang berdiri di baliknya. Mbok Asih dalam keadaan menunduk, bukan mama atau papa Luna. Semoga saja apa yang Luna ucapkan mengenai kedatangan orangtuanya hanya akal-akalannya saja untuk mengancamku.Sungguh aku belum siap bertemu dengan mereka, mengingat apa yang sudah aku lakukan pada putrinya. Semoga Luna tidak menceritakan apapun. Jika tidak, mau dibawa ke m
Suara papa mertua kembali terdengar. Aku mengambil posisi agak jauh dari Kak Vincen, sembari menatap takut ke arah papa, wajah yang mulai penuh kerutan itu tampak sangat bersahaja. Beliau bisa mengontrol emosinya dengan baik, walau bagaimanapun mana ada orangtua yang tidak murka melihat anaknya diperlakukan seperti itu. Aku yakin sekali Luna sudah menceritakan semuanya, melihat bagaimana sikap Kak Vincen terlebih tatapannya ke arahku saat ini.Papa tampak beberapa kali membuang nafas kasar. Sementara Luna hanya menunduk meremas jemarinya, sedangkan mama mertua menatapku sinis dengan ekor matanya. Ya, beliau pantas melalukannya. Seketika aku merasa seperti akan menjalani hukuman gantung beberapa menit lagi, itu yang kurasakan saat ini. Tapi, apapun yang terjadi nanti, tekadku untuk memperjuangkan Luna sudah bulat.Mungkin ini memang konsekuensi yang harus kutanggung dari semua perbuatan dholimku pada Luna selama ini. Aku siap, asal bukan untuk melepaskannya."Kedatangan kami ke si
Lagi-lagi kecolongan *****Entah kenapa aku sangat merasa terganggu kali ini dengan kehadiran Tiara. "Dipta!"Penyesalan memang selalu datang terlambat. Aku melipat sajadah dan menaruhnya di tempat semula dan bergegas keluar untuk menemui Tiara.Aku harus melakukan ini, biarpun nanti aku kehilangan pekerjaan. Luna lebih penting dari itu semua. Semoga saja Tiara mengerti posisiku. *****"Dipt, ayo makan dulu! Aku bawain soto betawi kesukaan kamu nih," teriak Tiara yang terdengar dari ruang makan. Aku bergegas keluar menghampiri Tiara dengab ponsel di tangan yang mungkin akan selalu kubawa, bila perlu sampai ke kamar mandi. Untuk apalagi, kalau bukan menunggu balasan dari pesan-pesan yang kukirim untuk Luna. Centang dua tapi belum berubah warna jadi biru. Sepertinya, istriku belum mengecek ponselnya, padahal jika dihitung-hitung seharusnya mereka sudah tiba di rumah jam segini. Mengingat lokasi rumah mertuaku tidak terlalu jauh dari sini. Mungkin, Luna masih sibuk dan belum se
"Ja-di, kamu ... enggak mau lagi jadi sahabatku, Dipt?" tanya Tiara dengan raut wajah sendu.***"Maaf, Tiara! Kita bisa berinteraksi layaknya sesama teman kantor pada umumnya. Tidak sedekat sebelumnya." "Aku nggak bisa,Dipt. Kamu tega ngomong gitu sama sahabat sendiri. Aku ....""Sekali lagi maaf Tiara. Tolong jangan membuat keadaan semakin buruk. Keputusan aku nggak akan berubah, sekalipun ... aku kehilangan pekerjaan." Aku berkata pelan, Tiara tampak kaget mendengar apa yang baru saja kukatakan.Ya, aku sudah berpikir dengan matang. Apa yang baru saja aku ucapkan bukan hanya wacana. Aku sudah siap kehilangan semuanya, kecuali ... Luna. "Tinggallah di apartemen atau rumah teman-teman kamu yang cewek. Aku yakin banyak kok teman-teman kamu yang tinggal di kota ini." Semoga opsi kali ini berjalan, aku lumayan banyak kenal dengan teman-teman Tiara. Apalagi teman-teman satu angkatan. Tiara tidak menjawab ucapanku. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan terdengar terisak. Seme
HAPPY READING ❤️😊Aku yang bodoh karena telah mengubahnya seperti ini. Dan tugasku adalah membuatnya kembali lagi menjadi sosok yang begitu kucintai.Tunggu, apa aku masih punya kesempatan untuk itu? *****"Sayang, kita harus bicara! Please!" Semoga Luna luluh dengan ucapanku."Dipta, udah belom. Kita udah telat nih." Seketika aku kaget dan melihat Tiara yang sedang berjalan arah kami. Sementara, Luna menatapku ... sinis.Tubuhku seperti membeku saat Tiara berdiri di sampingku tanpa rasa canggung sama sekali. Aku hanya takut jika Luna salah paham lagi."Bisa lepasin nggak? Aku sedang buru-buru," ketus Luna sembari menatap ke arah lengannya yang tercekal oleh tanganku dengan ekor mata. Seolah jijik bersentuhan dengan suaminya sendiri. "Sayang, kita harus bicara. Ini tidak seperti yang kamu lihat." Aku terus mengiba pada Luna, tidak peduli jika kami sedang menjadi pusat perhatian orang-orang yang mulai berdatangan ke warung ini. Banyak yang menatap heran, juga menghadiahkan tatapa