Melihat cara mereka berinteraksi, sepertinya mereka sudah lama saling mengenal. Apa yang sedang mereka bicarakan, Luna bahkan sudah lama tidak menunjukkan wajah bahagia seperti itu saat bersamaku.
Melainkan tatapan kosong, dan senyum terpaksa yang selalu ditunjukkan.Kira-kira siapa pria itu? Apa saudara jauh Luna. Jika memang iya, Luna pasti akan memberitahuku jika ada tamu. Aku bahkan belum pernah melihat pria itu sebelumnya. Sekilas, wajahnya tampak sangat mirip Hamid Fadaei, seorang model Iran. Sangat tampan. Ah, aku tidak rela mengakuinya.Namun, karena dilanda rasa penasaran yang sangat besar, aku memilih berada di dalam mobil untuk melihat apa yang mereka lakukan.Dari sini aku bisa melihat dengan jelas mereka yang sedang berdiri di teras, sepertinya pria itu hendak pulang tapi, kenapa masih asik berbicara dengan istriku.Luna bahkan melihat ke sini, ke arah mobilku, berarti dia sudah tahu kalau aku sudah pulang, tapi mereka masih juga belum menyudahi.Mungkin, pria itu memang keluarga istriku. Aku harus segera keluar, mungkin mereka menungguku ke sana.Namun, saat ingin membuka pintu mobil. Tanganku seketika terhenti. Pria asing itu terlihat mengacak-ngacak rambut istriku. Seperti yang sering aku lakukan. Ada rasa sesak yang tiba-tiba menyeruak dalam dada.Tidak, bukan tindakannya yang membuatku berburuk sangka, walau merasa sangat risih. Tapi, tatapannya untuk Luna. Aku seorang pria jadi, tahu sekali arti tatapan yang pria itu berikan untuk istriku.Apa selama ini ... Luna bermain di belakangku? Rasanya tidak mungkin, istriku adalah wanita yang baik, walaupun tampak berubah akhir-akhir ini.Tapi, sebagai suami aku merasa terhina dengan apa yang pria itu lakukan.Seketika ingatanku melayang pada perkataan Luna pada Tiara tadi pagi. "Iya sekalian belajar ... menggantikan posisiku."Apakah itu ada hubungannya dengan apa yang sekarang aku lihat. Ah, memikirkannya saja, membuat tubuhku gemetar. Aku merasa takut jika hal yang tidak kuinginkan terjadi.Tidak, ini tidak boleh terjadi. Aku harus segera turun untuk memastikan. Dan mengingatkan pria itu untuk tidak berlaku seenaknya pada istri orang. Apalagi sampai menatap Luna seperti itu.Dalam, lama dan terdapat rasa sayang yang menggebu yang bisa kutangkap dari tatapannya. Lucunya, bukannya merasa risih atau malu, istriku malah tidak canggung sama sekali.Apa Lunaku yang lugu dan polos benar-benar sudah berubah.Saat pintu mobilku terbuka, pria itu sudah lebih dulu masuk ke dalam mobilnya dan pergi. Mereka bahkan sempat melambaikan tangan segala. Cih. Menyebalkan."Luna."Istriku yang sudah berbalik hendak masuk ke dalam menoleh ke arahku yang sudah berdiri di belakangnya.Lihatkan, padahal dia sudah melihat mobilku dari tadi, tapi tidak ada niatan untuk menyambut sama sekali."Iya, Mas," jawabnya datar.Tidak kutemukan raut kebahagiaan seperti saat berhadapan dengan pria itu, tadi. Tatapannya juga masih seperti semalam, dingin dan tidak bisa kujelaskan.Tingkah Luna benar-benar membuatku geram. Aku merasa kurang dihargai."Tadi, siapa?" tanyaku to the point."Oh itu, Emir ... sahabat lamaku." Luna tampak sangat santai. "Kebetulan dia sedang di Jakarta, jadi ingin mampir.""Apa?! Sahabat? Kamu berani menerima laki-laki lain saat suamimu tidak ada dengan status sahabat?!" bentakku emosi.Dadaku naik turun, aku semakin dibuat murka dengan sikapnya. Apa seperti ini kelakuan seorang istri di saat suaminya bekerja.Luna tersenyum sinis lalu menatapku dengan tatapan meremehkan."Aku hanya mengikuti apa yang imamku ajarkan. Ada yang salah?"Mengikuti imam? Apa maksud Luna? Raut wajahnya seperti menantangku. Apa dia ingin menguji kesabaranku.Belum sempat aku bersuara, Luna kembali melanjutkan perkataannya."Apa yang salah, Mas?! Aku hanya menerima sahabatku untuk sekedar bertamu dan berbincang di sofa. Bukan menyuruhnya menginap di rumah dan lebih banyak menghabiskan waktu dengannya dengan dalih pekerjaan! Apa yang salah?! Jawab, Mas jawab!" Luna membentakku dengan mata berkaca-kaca.Ada rasa tidak tega, tapi aku harus tegas untuk membuat istriku sadar."Jadi, kamu masi mempermasalahkan hal itu. Itu beda kasus Luna ....""Beda? Emir juga sahabatku sama seperti Tiara," sahutnya datar."Ya beda, aku dan Tiara murni berteman . Aku bisa melihat pria itu menatapmu dengan penuh cinta. Atau jangan-jangan kamu malah suka jika laki-laki itu memiliki rasa sama kamu."Aku benar-benar tidak tahan untuk tidak mengatakan apa yang aku lihat tadi. Aku kecewa dan ... cemburu."Suka? Tentu saja tidak, Mas ... tentu saja aku tidak suka karena baru mengetahuinya sekarang. Mungkin jika aku tahu Emir menyukaiku dari dulu, aku sudah bahagia bersamanya. Bukan malah terjebak dalam pernikahan menyakitkan ini. Apa kamu tahu Mas, menjadi istrimu adalah hal yang kusesali ...."PLAK.Tanganku bergetar.Rasa cemburu dan rasa sakit setelah mendengar perkataan Luna membuatku khilaf. Luna baru saja mengatakan menyesal hidup denganku. Perih."Sayang ... maaf! Mas tidak sengaja menyakitimu. Mas hanya tidak suka mendengar apa yang kamu katakan barusan. Maafin, Mas!"Namun, istriku tidak bergeming. Bekas tanganku tampak terlihat samar di pipinya. Ya Tuhan apa yang sudah aku lakukan. Belum pernah aku sekasar ini pada Luna.Saat ingin menyentuh pipinya yang tampak memerah, Luna memundurkan tubuhnya ke belakang. Dan berlari masuk ke dalam meninggalkanku dengan segenap rasa bersalah.Ya Tuhan apa yang baru saja kulakukan?Tanpa membuang waktu, aku bergegas menyusul Luna untuk meminta maaf. Tapi, sampai di depan kamar kami. Pintunya dikunci dari dalam. Istriku pasti sedang menangis karena ulahku."Sayang, buka pintunya!""Ayo kita bicara! Mas tidak bermaksud menamparmu. Lun!"Hampir setengah jam aku berdiri di depan pintu. Memanggil, menggedor. Tapi, tidak ada tanda-tanda Luna akan keluar.Tiba-tiba aiu teringat tujuan aku pulang ke rumah. Apa yang harus kulakukan?Aku tidak mungkin meninggalkan Luna dalam keadaan seperti ini. Tapi, nanti siang ada meeting dengan setiap kepala divisi dan aku yang bertugas untuk presentasi.Setelah berpikir keras, aku bergegas ke ruang kerja di lantai dua. Aku akan mencoba berbicara pada Luna setelah pulang dari kantor, nanti.Maafkan Mas, Luna!***Bersambung ...Tidak sesuai ekspektasi, Mimi—sang manager kepercayaan Denaya kembali ke rumah sakit dengan tangan kosong. Bahkan saat di jalan tadi, Mimi sempat khawatir membayangkan bagaimana bosnya akan mengamuk. Mengingat watak Denaya yang emosian dan tidak sabaran, Mimi sudah bisa membayangkan bagaimana hasilnya nanti.Watak yang kurang menyenangkan itu selama ini ditutupi oleh kecantikan, ketenaran dan kehormatan sebagai istri seorang Abinawa selama ini. Dan tentu saja mata Abinawa juga tertutup oleh cinta—sehingga buta dengan akhlak istrinya yang kurang terpuji. Namun, itu sebelum tabir terkuak. Sebelum Baby Shanum datang ke dunia ini dan segala misteri di balik kehadirannya. Sekarang mata Abinawa sudah terbuka lebar, pun hatinya yang tak lagi tersisa rasa cinta, melainkan kebencian yang tidak dapat dijelaskan dengan kata. Buktinya hampir saja Baby Shanum melayang ke sungai di malam yang lalu, andai saja gadis yang dianggapnya malaikat tidak datang menghampiri. Ruhi Ghumaisya. Menurut Ab
"Bibi sedang apa?" tanya Ruhi pada Bi Yuyu—asisten rumah tangga di rumah Abinawa. "Eh, Non Ruhi, ini Bibi ingin memasak untuk makan siang," jawab wanita paruh baya itu yang tampak cekatan mengeluarkan beberapa bahan makanan yang hendak diolah dari kulkas. Ruhi yang melihat Bi Yuyu tampak sibuk perlahan mendekat untuk membantu. Perkenalan mereka sudah dimulai beberapa saat yang lalu, saat Ruhi beranjak ke dapur untuk membuat susu Baby Shanum. Yang Bi Yuyu ketahui, Ruhi adalah pengasuh Baby Shanum seperti yang dijelaskan gadis itu. Meski Bi Yuyu sempat heran dan berpikir keras, bagaimana majikannya bisa menemukan seorang pengasuh secantik Ruhi.Karena memang tampak dari wajah dan penampilannya kalau Ruhi bukanlah orang susah yang perlu berkerja sebagai pengasuh bayi untuk bertahan hidup. Namun begitu, alasan sesungguhnya hanya Abinawa dan Ruhi yang tahu. Tidak. Abinawalah yang paling tahu penyebab gadis bernama lengkap Ruhi Ghumaisya berada di rumahnya saat ini. "Bibi mau masak apa
Tangan Ruhi mulai bergerak perlahan mengusap punggung laki-laki yang sedang menangis dalam dekapannya. Abinawa, ya. Laki-laki asing yang ditemuinya semalam dan sekarang akan berada di bawah atap yang sama dengannya. Pertemuan mereka bahkan belum sampai 24 jam. Namun, entah magnet apa yang menarik kedua untuk menjadi selengket itu."Dia pengkhianat. Kenapa setiap wanita yang kutemui semuanya jahat?" "Siapa bilang? Mamaku sangat setia dengan Papa. Percayalah, Pak, tidak semua wanita itu sama. Mungkin saja, mereka yang kemarin hadir dalam hidup Pak Abi hanya untuk jadi pembelajaran, atau bentuk teguran dari Tuhan atas kesalahan yang Bapak perbuat di masa lalu yang mungkin tidak Bapak sadari," jelas Ruhi dengan pelan. Berharap apa yang disampaikannya sampai ke otak laki-laki itu. Laki-laki yang sedang hancur itu. Entahlah, semalam bertemu dengan Abinawa sudah membuat Ruhi merasa sedikit lebih dewasa dari usianya. Menghadapi orang yang sedang tidak bisa berpikir jernih memang butuh ke
Degub jantung Ruhi semakin cepat saat jaraknya dengan Abinawa tinggal beberapa senti saja.Takut? Tentu saja. Namun, melihat raut wajah menyedihkan dan tatapan putus asa dari laki-laki berusia 30 tahun itu mendorong Ruhi untuk berbuat nekat.Ya. Nekat melakukan hal seperti yang biasa dilakukan pada Dipta, papanya. Deg. Seketika Abinawa menegang, saat Ruhi mulai memeluknya. Jarum jam seperti berhenti berdenting. Seolah dunia Abinawa terhenti beberapa saat. Itu gila. Tapi, seperti itulah pemandangannya. Akal sehat Abinawa tidak bisa berfungsi beberapa saat, pun degub jantungnya yang mulai mengencang.Seperti yang terjadi pada Ruhi, namun, gadis itu memilih bersikap tenang. Seiring dengan tangan mungilnya yang mulai bergerak menepuk-nepuk punggung tegap dalam balutan kemeja mahal itu. "Maaf." Gadis itu berucap lirih. Saat itulah kesadaran Abinawa mulai kembali sepenuhnya. Laki-laki itu sampai beberapa kali mengerjapkan matanya. "Maaf, sudah membuat Pak Abi sedih. Aku ... menyesal
"Maaf," cicit Ruhi dengan tatapan penuh rasa bersalah pada laki-laki yang masih berdiri di hadapannya. "Tidak masalah untuk kali ini. Tapi, lain kali jangan berniat meminta hal-hal di luar kemampuanku." Abinawa kini sudah duduk di samping Ruhi yang sedang menyusui Baby Shanum. Bayi itu tampak anteng dalam dekapan gadis berusia 21 tahun itu, bahkan mulai tertidur lagi. "Pak, dia mulai tertelap lagi," ujar Ruhi menoleh ke arah Abinawa."Bayi dengan usia segitu memang wajar jika terus tertidur. Selama dia masih tidur dalam keadaan normal dan tidak ada gangguan medis apapun kamu tidak perlu khawatir.""Gangguan seperti apa, Pak, misalnya?""Gangguan kesehatan, seperti penyakit kuning atau infeksi lainnya yang membuat bayi tertidur lebih lama," jelas Abinawa membuat Ruhi diam-diam mengaguminya. Jarang-jarang ada laki-laki yang tahu banyak hal tentang bayi.'Sepertinya Pak Abi memang sudah mempersiapkan dirinya sebaik mungkin untuk menjadi seorang ayah. Kasihan dia. Kenapa istrinya tega
Pagi hari.Setelah pamit pada Ruhi, Abinawa segera keluar dari apartemen untuk membeli beberapa keperluan Baby Shanum, seperti diaper, susu, baju ganti serta tissue basah. Karena tidak membawanya dari rumah saat pergi semalam.Tentu saja tidak membawanya, karena kepergian Abinawa semalam dengan membawa Baby Shanum dalam keranjang bayi adalah untuk membunuhnya. Siapa sangka jalan ceritanya telah berubah karena bertemu dengan Ruhi yang baru pulang dari membeli nasi goreng. Berniat membunuh bayi, Abinawa malah berakhir di apartemen seorang gadis. "Sepertinya sudah semua." Abinawa memeriksa isi dari beberapa kresek di tangannya. Setelah mendapatkan semua keperluan Baby Shanum, laki-laki itu segera melajukan mobilnya untuk kembali ke apartemen. Dia melajukan mobilnya sampai mengebut, karena mengetahui di sana Ruhi sudah menunggu kedatangannya sejak tadi. .Setelah menekan bel, dan pintu terbuka dari dalam. Abinawa terkejut melihat Baby Shanum yang menangis kencang dalam gendongan Ruhi