Share

6 Gegabah

Melihat cara mereka berinteraksi, sepertinya mereka sudah lama saling mengenal. Apa yang sedang mereka bicarakan, Luna bahkan sudah lama tidak menunjukkan wajah bahagia seperti itu saat bersamaku.

Melainkan tatapan kosong, dan senyum terpaksa yang selalu ditunjukkan.

Kira-kira siapa pria itu? Apa saudara jauh Luna. Jika memang iya, Luna pasti akan memberitahuku jika ada tamu.

Aku bahkan belum pernah melihat pria itu sebelumnya. Sekilas, wajahnya tampak sangat mirip Hamid Fadaei, seorang model Iran. Sangat tampan. Ah, aku tidak rela mengakuinya.

Namun, karena dilanda rasa penasaran yang sangat besar, aku memilih berada di dalam mobil untuk melihat apa yang mereka lakukan.

Dari sini aku bisa melihat dengan jelas mereka yang sedang berdiri di teras, sepertinya pria itu hendak pulang tapi, kenapa masih asik berbicara dengan istriku.

Luna bahkan melihat ke sini, ke arah mobilku, berarti dia sudah tahu kalau aku sudah pulang, tapi mereka masih juga belum menyudahi.

Mungkin, pria itu memang keluarga istriku. Aku harus segera keluar, mungkin mereka menungguku ke sana.

Namun, saat ingin membuka pintu mobil. Tanganku seketika terhenti.

Pria asing itu terlihat mengacak-ngacak rambut istriku. Seperti yang sering aku lakukan. Ada rasa sesak yang tiba-tiba menyeruak dalam dada.

Tidak, bukan tindakannya yang membuatku berburuk sangka, walau merasa sangat risih. Tapi, tatapannya untuk Luna. Aku seorang pria jadi, tahu sekali arti tatapan yang pria itu berikan untuk istriku.

Apa selama ini ... Luna bermain di belakangku? Rasanya tidak mungkin, istriku adalah wanita yang baik, walaupun tampak berubah akhir-akhir ini.

Tapi, sebagai suami aku merasa terhina dengan apa yang pria itu lakukan.

Seketika ingatanku melayang pada perkataan Luna pada Tiara tadi pagi. "Iya sekalian belajar ... menggantikan posisiku."

Apakah itu ada hubungannya dengan apa yang sekarang aku lihat. Ah, memikirkannya saja, membuat tubuhku gemetar. Aku merasa takut jika hal yang tidak kuinginkan terjadi.

Tidak, ini tidak boleh terjadi. Aku harus segera turun untuk memastikan. Dan mengingatkan pria itu untuk tidak berlaku seenaknya pada istri orang. Apalagi sampai menatap Luna seperti itu.

Dalam, lama dan terdapat rasa sayang yang menggebu yang bisa kutangkap dari tatapannya. Lucunya, bukannya merasa risih atau malu, istriku malah tidak canggung sama sekali.

Apa Lunaku yang lugu dan polos benar-benar sudah berubah.

Saat pintu mobilku terbuka, pria itu sudah lebih dulu masuk ke dalam mobilnya dan pergi. Mereka bahkan sempat melambaikan tangan segala. Cih. Menyebalkan.

"Luna."

Istriku yang sudah berbalik hendak masuk ke dalam menoleh ke arahku yang sudah berdiri di belakangnya.

Lihatkan, padahal dia sudah melihat mobilku dari tadi, tapi tidak ada niatan untuk menyambut sama sekali.

"Iya, Mas," jawabnya datar.

Tidak kutemukan raut kebahagiaan seperti saat berhadapan dengan pria itu, tadi. Tatapannya juga masih seperti semalam, dingin dan tidak bisa kujelaskan.

Tingkah Luna benar-benar membuatku geram. Aku merasa kurang dihargai.

"Tadi, siapa?" tanyaku to the point.

"Oh itu, Emir ... sahabat lamaku." Luna tampak sangat santai. "Kebetulan dia sedang di Jakarta, jadi ingin mampir."

"Apa?! Sahabat? Kamu berani menerima laki-laki lain saat suamimu tidak ada dengan status sahabat?!" bentakku emosi.

Dadaku naik turun, aku semakin dibuat murka dengan sikapnya. Apa seperti ini kelakuan seorang istri di saat suaminya bekerja.

Luna tersenyum sinis lalu menatapku dengan tatapan meremehkan.

"Aku hanya mengikuti apa yang imamku ajarkan. Ada yang salah?"

Mengikuti imam? Apa maksud Luna? Raut wajahnya seperti menantangku. Apa dia ingin menguji kesabaranku.

Belum sempat aku bersuara, Luna kembali melanjutkan perkataannya.

"Apa yang salah, Mas?! Aku hanya menerima sahabatku untuk sekedar bertamu dan berbincang di sofa. Bukan menyuruhnya menginap di rumah dan lebih banyak menghabiskan waktu dengannya dengan dalih pekerjaan! Apa yang salah?! Jawab, Mas jawab!" Luna membentakku dengan mata berkaca-kaca.

Ada rasa tidak tega, tapi aku harus tegas untuk membuat istriku sadar.

"Jadi, kamu masi mempermasalahkan hal itu. Itu beda kasus Luna ...."

"Beda? Emir juga sahabatku sama seperti Tiara," sahutnya datar.

"Ya beda, aku dan Tiara murni berteman . Aku bisa melihat pria itu menatapmu dengan penuh cinta. Atau jangan-jangan kamu malah suka jika laki-laki itu memiliki rasa sama kamu."

Aku benar-benar tidak tahan untuk tidak mengatakan apa yang aku lihat tadi. Aku kecewa dan ... cemburu.

"Suka? Tentu saja tidak, Mas ... tentu saja aku tidak suka karena baru mengetahuinya sekarang. Mungkin jika aku tahu Emir menyukaiku dari dulu, aku sudah bahagia bersamanya. Bukan malah terjebak dalam pernikahan menyakitkan ini. Apa kamu tahu Mas, menjadi istrimu adalah hal yang kusesali ...."

PLAK.

Tanganku bergetar.

Rasa cemburu dan rasa sakit setelah mendengar perkataan Luna membuatku khilaf. Luna baru saja mengatakan menyesal hidup denganku. Perih.

"Sayang ... maaf! Mas tidak sengaja menyakitimu. Mas hanya tidak suka mendengar apa yang kamu katakan barusan. Maafin, Mas!"

Namun, istriku tidak bergeming. Bekas tanganku tampak terlihat samar di pipinya. Ya Tuhan apa yang sudah aku lakukan. Belum pernah aku sekasar ini pada Luna.

Saat ingin menyentuh pipinya yang tampak memerah, Luna memundurkan tubuhnya ke belakang. Dan berlari masuk ke dalam meninggalkanku dengan segenap rasa bersalah.

Ya Tuhan apa yang baru saja kulakukan?

Tanpa membuang waktu, aku bergegas menyusul Luna untuk meminta maaf. Tapi, sampai di depan kamar kami. Pintunya dikunci dari dalam. Istriku pasti sedang menangis karena ulahku.

"Sayang, buka pintunya!"

"Ayo kita bicara! Mas tidak bermaksud menamparmu. Lun!"

Hampir setengah jam aku berdiri di depan pintu. Memanggil, menggedor. Tapi, tidak ada tanda-tanda Luna akan keluar.

Tiba-tiba aiu teringat tujuan aku pulang ke rumah. Apa yang harus kulakukan?

Aku tidak mungkin meninggalkan Luna dalam keadaan seperti ini. Tapi, nanti siang ada meeting dengan setiap kepala divisi dan aku yang bertugas untuk presentasi.

Setelah berpikir keras, aku bergegas ke ruang kerja di lantai dua. Aku akan mencoba berbicara pada Luna setelah pulang dari kantor, nanti.

Maafkan Mas, Luna!

***

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status