Benar apa yang Riko bilang, aku telah salah mengartikan bentuk rasa terimakasih pada Tiara sehingga memasukkannya dalam kehidupan pribadiku dan mengabaikan Luna.
Selama ini istriku malah terang-terangan menunjukkan apa yang dirasakan, tapi aku selalu berkilah dengan dalih persahabatan dan balas budi.Selama ini aku selalu memaksanya untuk mengerti posisiku. Sedangkan, posisi dan perasaannya selalu kunomorduakan."Jadi, ini yang membuat kamu berubah? Kamu kenapa sih, Sayang seperti nggak suka sama Tiara? Tiara hanya tinggal sebentar di rumah kita, apa salahnya.Dia dan keluarganya sangat berjasa pada kita, harusnya kamu sadar itu dan berterimakasih pada Tiara. Bukan malah bersikap kekanakan seperti ini dan menuduhku yang bukan-bukan. Semalam itu nggak seperti yang kamu lihat, Luna. Aku hanya membantu Tiara ke kamarnya setelah terjatuh karena kepalanya sakit,"Aku teringat perkataanku pada Luna, yang baru kusadari terdengar sangat egois dan menyakitkan.Oh Tuhan.Sekarang pertahananku mulai runtuh, andai saja aku bisa menarik kembali setiap ucapan yang menyakiti Luna. Andai saja aku sedikit lebih peka. Andai aku langsung pulang saat Luna memintanya melalui ujung telpon. Istriku tidak akan berubah, aku tidak akan kehilangan anak kami.Ck, lagi-lagi aku membenarkan perkataan Riko. Kenapa baru sekarang aku menyadari, alasan Tiara ingin tinggal di rumahku tidak masuk akal sama sekali. Lalu, atas alasan apa Tiara melakukan semua itu? Tapi, biarlah aku mencaritahu soal itu nanti. Sekarang aku ingin fokus bagaimana memperbaiki hubunganku dengan Luna.Semoga saja, dugaan Riko tidak benar, bahwa Tiara punya maksud tertentu.Karena dibutakan oleh bentuk rasa terimakasih dan pekerjaan, membuatku lebih banyak menghabiskan waktu bersama Tiara ketimbang istriku. Aku lebih mementingkan pekerjaan daripada kehamilannya. Lalu, menuduhnya membangkang ketika Luna protes.Memojokkannya dengan dalih hukum agama ketika Luna melawan kehendakku. Tapi, giliran aku yang terpojok, malah menganggap hukum Tuhan sebagai angin lalu. Betapa aku sangat berdosa selama ini.Betapa dangkalnya pikiranku yang mengira, bahwa ketika aku sudah mampu mencukupi Luna dengan materi, istriku sudah bahagia. Aku mengabaikan perasaannya yang entaj bagaimana, karena melihatku bersama wanita lain setiap hari.Aku benar-benar merasa gagal. Sialnya baru sekarang aku sadar. Lagi-lagi karena perkataan Riko yang terus menampar kebodohanku. Tidak seharusnya aku berteman dengan lawan jenis sampai berakhir seperti itu, padahal aku sudah menikah.Aku sudah memiliki Luna. Teman hidup yang paling inti dan akan selalu ada untuk membersamai dalam suka maupun duka. Yang selalu setia merawatku dengan tulus selama ini. Tapi, aku malah dengan tega menyebutkan besarnya jasa Tiara padaku di depannya. Di depan wanita yang telah menyerahkan seluruh hidupnya pada laki-laki asing sepertiku."Maafin Mas, Lun! Mulai sekarang Mas akan memperbaiki semuanya."Aku meremas rambut frustasi. Sembari menyakinkan diri, untuk menghadapi Luna apapun yang terjadi nanti. Dan memberi pengertian pada Tiara tentang statusku.Untuk satu hal yang aku pilih, tentu saja ada hal lainnya lagi yang harus kukorbankan bukan? Semoga Tiara mengerti, bahwa aku memilih untuk tetap mempertahankan rumah tanggaku.Aku mencintai Luna, tidak sanggup kehilangannya." Saran gue, setelah pembicaraan kita selesai, lo ke ruangan Direktur Utama!"Perkataan Riko menarikku ke alam sadar. Walaupun aneh, tidak ada salahnya aku melakukan apa yang temanku katakan. Setelah melirik arloji di tangan yang menunjukan jam kerja akan segera berakhir. Aku beranjak dari sofa dan keluar menuju ruangan Direktur Utama.Saat hendak masuk ke dalam lift menuju lantai di mana ruangan Pak Handoko berada, ada pesan masuk dari istriku.[Jika ada waktu pulanglah lebih awal hari ini. Maaf mengganggu! Kedepan, aku janji tidak akan melakukannya lagi.]Jleb.Aku senang Luna menyuruhku pulang. Tapi, isi pesannya membuatku sesak saat membacanya. Seolah ada tabir yang mulai dibentang, yang membuatku merasa sudah sangat jauh darinya.Luna istriku, tentu saja dia tidak perlu minta maaf untuk menghubungi suaminya, untuk menyuruhku pulang atau apapun. Luna bebas melakukannya.Apakah ini hasil dari kebodohanku selama ini? Ya Tuhan betapa aku sangat dholim sebagai suami.Tanpa membuang waktu lagi, aku segera masuk dalam lift untuk turun ke lantai satu. Biarlah masalah Pak Handoko aku tanyakan lagi pada Riko besok. Sekarang aku harus segera pulang untuk menemui Luna.Semoga istriku tidak marah lagi, semoga Luna mau memaafkanku."Maafin Mas, Lun! Mas sangat menyesal. Sayang, aku kita mulai semuanya dari awal! Aku mencintaimu.""Aku sudah memaafkan Mas. Tentu saja aku mau. Ayo kita perbaiki semuanya! Aku juga sangat mencintai suamiku."Dalam mobil aku sibuk membayangkan bagaimana aku dan Luna saling berpelukan dan dia memberiku kesempatan untuk memperbaiki hubungan kami. Sungguh itu manis sekali.Aku harus cepat-cepat sampai ke rumah, Luna pasti sudah menungguku.Tanpa sadar, aku semakin memperdalam injakan pada pedal gas untuk menambah kecepatan laju mobil. Rasa rindu pada Luna harus segera terobati. Aku sangat menyesal tanpa sadar telah mengabaikannya selama ini.*****Saat mobil memasuki halaman rumah. Aku bergegas turun dan masuk ke dalam mencari Luna.Ruang tamu tampak sepi, apa Luna masih di kamar semenjak aku pergi setelah menamparnya. Ya Tuhan, aku sangat menyesal telah melakukannya.Aku harus segera meminta maaf pada istriku.Tiba di depan kamar kami, aku memutar handel pintu perlahan. Alhamdulillah, ternyata tidak terkunci. Mungkin Luna sudah memaafkan kesalahanku, tadi. Dan sekarang istriku sedang menantiku di dalam sana.Bismillah."Sayang!" panggilku beriringan dengan pintu yang mulai terbuka.Luna menoleh dengan beberapa pakaian miliknya yang berada di tangan, dan ada sebagian yang sudah berpindah ke dalam koper yang masih terbuka yang terletak di atas ranjang."Aku tidak bermaksud mengaggu waktu Mas. Tapi, orangtuaku sedang dalam perjalanan kemari. Rasanya tidak etis jika mereka menjemputku saat tuan rumah tidak ada."Hatiku mencolos.Ada apa ini?Bersambung ...Ketika aku ingin mengucapkan kata maaf kenapa dia malah memilih pergi? Ataukah aku yang salah karena baru sadar saat dia sudah sangat lelah dan hendak beranjak dari sisi? Lalu, rasa ini hendak kubawa pada siapa? Sedangkan, hanya dia satu-satunya pemilik hati.Apa aku harus mengemis, demi dapat menebus kesalahan yang sangat fatal? Luka yang tergores terlalu dalam, bagaimana jika aku tidak mampu lagi menyembuhkannya? Bagaimana jika ada sosok lain yang menawarkan obat untuk hati yang baru saja kukoyak dengan brutal?Bagaimana?****Bismillah."Sayang!" panggilku beriringan dengan pintu yang mulai terbuka. Luna menoleh dengan beberapa pakaian miliknya yang berada di tangan, dan ada sebagian yang sudah berpindah ke dalam koper yang masih terbuka yang terletak di atas ranjang. "Aku tidak bermaksud mengaggu waktu Mas. Tapi, orangtuaku sedang dalam perjalanan kemari. Rasanya tidak etis jika mereka menjemputku saat tuan rumah tidak ada." Hatiku mencolos.Ada apa ini?Mengapa pemandangan y
Benar-benar perih aku melihat keadaan wanita yang begitu kucintai. .Sialnya, akulah sumber penyakit bagi hati dan mentalnya. Akulah sebab bekunya Luna seperti balok es. Aku kembali membawa jari-jemari mungil Luna dalam genggaman, agar berhenti memukul dadanya yang mungkin sesak membayangkan kelakuanku. Aku yang lebih pantas mendapat pukulan itu.Apa yang Luna rasakan selama ini, jauh lebih sakit ketimbang rasa cemburuku melihatnya bersama laki-laki lain tadi pagi. Aku kembali teringat beberapa kali sempat menegur Luna bahkan sampai memarahinya karena berlaku tidak sopan pada Tiara di belakangku. "Dipt, kenapa sih istri kamu selalu jutek sama aku kalau kamu nggak ada. Bahkan sering nyindir-nyindir aku sama Mbok Asih. Aku salah apa sih, Dipt sampai Luna membenciku." Setiap kali Tiara mengadu, aku langsung menemui Luna untuk menegurnya tanpa mau mendengar penjelasannya. Tanpa bertanya dari sudut pandangnya. "Sayang kamu kenapa sih selalu jahat sama Tiara. Tiara itu tamu di sini,
"Nggak, kamu nggak boleh pergi! Nggak ada yang bisa memisahkan kamu dariku," ujarku semakin erat memeluknya. Tok tok.Aku terlonjak saat ada yang mengetuk pintu kamar dari luar, begitu juga dengan Luna. Tubuhnya terasa menegang, tak lagi memberontak seperti tadi.Kutatap sendu tubuh kurus yang masih dalam dekapan. Lalu, kucium pucuk kepalanya, aroma shampo kesukaanku menguar. Ini memabukkan.Setelah beberapa saat, aku melepas pelukan dari tubuh Luna dan beranjak membuka pintu dengan perasaan tak bisa dijelaskan. Bagaimana kalau benar-benar ada yang mengambil istriku?Saat pintu terbuka, hatiku sedikit lebih baik melihat siapa yang berdiri di baliknya. Mbok Asih dalam keadaan menunduk, bukan mama atau papa Luna. Semoga saja apa yang Luna ucapkan mengenai kedatangan orangtuanya hanya akal-akalannya saja untuk mengancamku.Sungguh aku belum siap bertemu dengan mereka, mengingat apa yang sudah aku lakukan pada putrinya. Semoga Luna tidak menceritakan apapun. Jika tidak, mau dibawa ke m
Suara papa mertua kembali terdengar. Aku mengambil posisi agak jauh dari Kak Vincen, sembari menatap takut ke arah papa, wajah yang mulai penuh kerutan itu tampak sangat bersahaja. Beliau bisa mengontrol emosinya dengan baik, walau bagaimanapun mana ada orangtua yang tidak murka melihat anaknya diperlakukan seperti itu. Aku yakin sekali Luna sudah menceritakan semuanya, melihat bagaimana sikap Kak Vincen terlebih tatapannya ke arahku saat ini.Papa tampak beberapa kali membuang nafas kasar. Sementara Luna hanya menunduk meremas jemarinya, sedangkan mama mertua menatapku sinis dengan ekor matanya. Ya, beliau pantas melalukannya. Seketika aku merasa seperti akan menjalani hukuman gantung beberapa menit lagi, itu yang kurasakan saat ini. Tapi, apapun yang terjadi nanti, tekadku untuk memperjuangkan Luna sudah bulat.Mungkin ini memang konsekuensi yang harus kutanggung dari semua perbuatan dholimku pada Luna selama ini. Aku siap, asal bukan untuk melepaskannya."Kedatangan kami ke si
Lagi-lagi kecolongan *****Entah kenapa aku sangat merasa terganggu kali ini dengan kehadiran Tiara. "Dipta!"Penyesalan memang selalu datang terlambat. Aku melipat sajadah dan menaruhnya di tempat semula dan bergegas keluar untuk menemui Tiara.Aku harus melakukan ini, biarpun nanti aku kehilangan pekerjaan. Luna lebih penting dari itu semua. Semoga saja Tiara mengerti posisiku. *****"Dipt, ayo makan dulu! Aku bawain soto betawi kesukaan kamu nih," teriak Tiara yang terdengar dari ruang makan. Aku bergegas keluar menghampiri Tiara dengab ponsel di tangan yang mungkin akan selalu kubawa, bila perlu sampai ke kamar mandi. Untuk apalagi, kalau bukan menunggu balasan dari pesan-pesan yang kukirim untuk Luna. Centang dua tapi belum berubah warna jadi biru. Sepertinya, istriku belum mengecek ponselnya, padahal jika dihitung-hitung seharusnya mereka sudah tiba di rumah jam segini. Mengingat lokasi rumah mertuaku tidak terlalu jauh dari sini. Mungkin, Luna masih sibuk dan belum se
"Ja-di, kamu ... enggak mau lagi jadi sahabatku, Dipt?" tanya Tiara dengan raut wajah sendu.***"Maaf, Tiara! Kita bisa berinteraksi layaknya sesama teman kantor pada umumnya. Tidak sedekat sebelumnya." "Aku nggak bisa,Dipt. Kamu tega ngomong gitu sama sahabat sendiri. Aku ....""Sekali lagi maaf Tiara. Tolong jangan membuat keadaan semakin buruk. Keputusan aku nggak akan berubah, sekalipun ... aku kehilangan pekerjaan." Aku berkata pelan, Tiara tampak kaget mendengar apa yang baru saja kukatakan.Ya, aku sudah berpikir dengan matang. Apa yang baru saja aku ucapkan bukan hanya wacana. Aku sudah siap kehilangan semuanya, kecuali ... Luna. "Tinggallah di apartemen atau rumah teman-teman kamu yang cewek. Aku yakin banyak kok teman-teman kamu yang tinggal di kota ini." Semoga opsi kali ini berjalan, aku lumayan banyak kenal dengan teman-teman Tiara. Apalagi teman-teman satu angkatan. Tiara tidak menjawab ucapanku. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan terdengar terisak. Seme
HAPPY READING ❤️😊Aku yang bodoh karena telah mengubahnya seperti ini. Dan tugasku adalah membuatnya kembali lagi menjadi sosok yang begitu kucintai.Tunggu, apa aku masih punya kesempatan untuk itu? *****"Sayang, kita harus bicara! Please!" Semoga Luna luluh dengan ucapanku."Dipta, udah belom. Kita udah telat nih." Seketika aku kaget dan melihat Tiara yang sedang berjalan arah kami. Sementara, Luna menatapku ... sinis.Tubuhku seperti membeku saat Tiara berdiri di sampingku tanpa rasa canggung sama sekali. Aku hanya takut jika Luna salah paham lagi."Bisa lepasin nggak? Aku sedang buru-buru," ketus Luna sembari menatap ke arah lengannya yang tercekal oleh tanganku dengan ekor mata. Seolah jijik bersentuhan dengan suaminya sendiri. "Sayang, kita harus bicara. Ini tidak seperti yang kamu lihat." Aku terus mengiba pada Luna, tidak peduli jika kami sedang menjadi pusat perhatian orang-orang yang mulai berdatangan ke warung ini. Banyak yang menatap heran, juga menghadiahkan tatapa
Istriku benar-benar aneh sekarang. Luna belum pernah berkata sekasar ini padaku. "Sayang, kenapa kamu berkata seperti itu? Siapa yang mengajarimu?" Aku memegang kedua bahu Luna dan menatap ke dalam sepasang bola mata miliknya. Kosong. Tak lagi ada pendar cahaya, tak lagi ada cinta di dalam sana. Ini sungguh menakutkan, jika Luna tidak lagi mencintaiku."Sayang! Tolong jawab pertanyaan, Mas! Kamu akan kembali ke rumah 'kan? Ayo kita mulai semuanya dari awal!" "Maaf, tapi aku tidak suka berbagi tempat dengan orang lain. Jadi, ...."Sungguh kesabaranku benar-benar teruji. Semoga aku bisa menahan diri untuk tidak menyakiti istriku. Walau bagaimanapun aku yang sudah membuatnya seperti ini. Menghancurkan kepercayaan Luna demi orang lain. "Sayang, Tiara tidak akan lagi tinggal di rumah kita. Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa tanyakan sama dia.""Benar Luna. Dipta bahkan terpaksa mengusirku demi kamu. Hubungan kami yang sudah lama terjalin juga harus hancur karena keegoisan kamu." Kami