Share

Part5

"Oh, anu Mbak. Tadi Mama nitipin ini." Aku menyodorkan bagpapper yang aku bawa tadi.

"Apa ini? Kenapa Mama ngasi ke kamu?" Dia semakin terlihat tidak senang.

"Itu seragam buat kita dan juga Mas Raka, Mbak." Dia membongkar isi kantongan itu.

"Mama bicara apa lagi sama kamu?"

"Anu, itu, dia bilang...." Aku ragu-ragu mengatakannya. Takut Mbak Silvi tersinggung, dan malah terang-terangan menunjukkan sikap tak sukanya padaku.

"Mama bilang apa, Delima?" Dia terdengar tak sabaran.

"Mama bilang, Mbak Silvi sedang hamil. Selamat ya, Mbak. Akhirnya apa yang Mbak dan Mas Raka impikan akan segera terwujud," ucapku dengan tulus. Meski ada yang berdenyut di hati ini.

"Oh, itu, ya. Maaf, kalau Mbak belum cerita." Dia terlihat salah tingkah.

"Iya, Mbak. Delima ngerti. Sekali lagi selamat ya, Mbak."

"Iya, iya. Makasih," ucapnya begitu saja.

Usai mengganti pakaian di kamar tadi, aku langsung keluar seperti yang diperintahkan oleh Mbak Silvi. Lalu berkeliling mencari apa yang dia suruh tadi. 

Setelah menuruni anak tangga, aku menuju ruang keluarga. Namun dia tak ada. Lalu beralih ke dapur. Juga tak ada. Rumah Mama sangat besar. Aku jadi bingung mau ke mana lagi. Seperti orang linglung, bisa-bisanya dari dapur aku kembali lagi ke halaman belakang. Entah pintu yang mana saja tadi aku lewati.

"Mau ke mana, Delima?" tegur seorang pria padaku. Dia juga memakai batik seperti yang diberikan Mama tadi. Laki-laki berpostur tinggi tegap itu pasti juga salah satu anggota keluarga di sini.

"Eh, anu, Mas. Saya lagi nyari Mas Raka. Mas liat nggak?" tanyaku, sambil melihat ke sekeliling.

"Oh, tadi ada di halaman depan. Ngobrol sama yang lain. Mau dipanggilin?"

"Nggak usah, Mas. Biar saya aja."

"Oh, ya udah kalau begitu." 

Aku pun pamit. Heran juga melihatnya. Dia bisa langsung tahu kalau namaku Delima. Jadi, semua keluarga di sini sudah tahu, kalau aku ini istri mudanya Mas Raka.

"Mas," panggilku, saat sudah melihatnya di halaman depan. Dia mendekat.

"Ada apa, Dek?" sahut Mas Raka lembut.

"Dipanggil Mbak Silvi di kamar atas. Disuruh ganti baju."

"Oh, iya. Terima kasih ya, Dek." Mas Raka langsung menurut dan pergi begitu saja. Tanpa mengajak aku turut serta untuk jalan berdampingan bersamanya.

Semakin menyakitkan saja kelakuan suami istri itu padaku. Mungkin ada baiknya jika memang dia menceraikan aku saja. Percuma bertahan, jika hanya sebagai pajangan. Lagi pula, bukankah aku sudah tidak dibutuhkan lagi?

Untuk apa lagi mereka menunda-nunda untuk menceraikan aku? Apa karena merasa tidak enak pada keluarga besar ini? Apa Mbak Silvi dan Mas Raka masih memikirkan alasan yang tepat pada Mama?

"Kok melamun? Udah ketemu sama Mas Raka?" Laki-laki berbaju batik coklat tadi menyadarkan aku dari lamunan.

"Eh, enggak kok, Mas. Saya nggak melamun. Tadi juga udah ketemu sama Mas Raka," jawabku gugup.

"Oh, baguslah. Kirain belum. Nggak usah canggung begitu."

"Iya, Mas. Maaf. Mas ini siapanya Mas Raka? Kok kenal sama Delima." Akhirnya kuungkapkan juga rasa penasaranku tadi.

"Lho, kamu nggak ingat, ya. Mas kan juga datang pas nikahan kamu. Mas ini sepupunya Raka. Deni."

"Oh, begitu. Maaf, saya nggak ingat siapa aja yang datang waktu itu. Habis ramai sih."

"Iya, iya. Wajar lah. Kita kan baru aja, jadi keluarga."

"Iya, maaf. Delima nggak ngenalin." Aku jadi gak enak sendiri, merasa seperti orang yang sombong.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status