Share

Part6

"Kamu udah ganti baju, Delima? Wah, cantik banget mantu, Mama." Mama tiba-tiba datang sambil tersenyum pada kami.

"Makasih, Ma," ucapku membalas senyumannya.

"Kok kamu ditinggal terus? Mana Silvi sama Raka?"

"Lagi ganti baju, Ma."

"Panggilin sana! Acara sudah mulai ini," pintanya. Lalu pergi meninggalkan kami.

"Mas Deni, kalau begitu, Delima permisi dulu, ya."

Aku izin pamit dan meninggalkannya. Lalu menyusul kembali ke lantai dua. Lagi-lagi aku tak sengaja mendengarkan percakapan mereka dari balik pintu.

"Sabar, Sayang. Sabar. Kamu jangan marah-marah sama aku dong." Suara Mas Raka seperti sedang menenangkan.

"Sabar gimana? Belum apa-apa aja, Delima sudah dikasi kalung sama Mama."

Aku terperanjat. Lalu memegangi kalung yang sedang aku pakai saat ini. Ternyata Mbak Silvi sudah menyadari. Tapi kenapa tadi dia diam saja, dan tak bertanya?

"Kamu kan juga udah pernah dikasi, Sil. Berarti Mama berbuat adil, kan? Lagian, kamu sendiri yang memilih Delima untuk jadi menantunya. Kenapa sekarang malah nggak terima?"

"Tuh, kan kamu belain dia terus. Jangan-Jangan kamu emang udah suka sama dia." 

"Jangan sembarangan nuduh, Sil. Aku nggak suka. Kalau memang kamu mau nyuruh aku menceraikan dia, setelah pulang dari sini, malam ini juga aku akan menceraikan dia."

Deg!

Tak henti-hentinya aku mengucap istighfar di dalam hati. Tak kuasa lagi hati ini menahan sakit. Mereka berdua benar-benar kejam memperlakukan aku seperti ini.

"Tapi gimana kalau tiba-tiba Mama nanyakin, Mas? Kita harus bilang apa?"

"Terserah. Aku nggak peduli. Yang penting kamu nggak nuduh-nuduh aku lagi dan mikirin yang enggak-enggak. Aku nggak mau kamu stres dan berakibat buruk sama kehamilan kamu."

Aku tak dapat lagi menahan tangisan ini. Lalu kutinggalkan mereka tanpa melanjutkan niat untuk memanggilnya. Setelah selesai,  mereka juga pasti akan turun dengan sendirinya.

Aku hanya bisa bersembunyi di kamar mandi. Memuaskan diri dalam tangisan. Apa jadinya jika nanti aku sampai kembali ke kampung dalam keadaan menjanda secepat ini.

Pasti Bue akan merasa sangat malu pada segenap keluarga yang ada di sana. Lalu bagaimana dengan biaya sekolah Sidik yang mereka janjikan padaku saat itu. Apakah akan dilupakan begitu saja?

Lain lagi yang akan orang-orang kampung katakan padaku. Seorang wanita yang baru saja menikah, lalu kemudian dipulangkan kembali oleh suaminya. Bukankah itu merupakan suatu aib yang harus kutanggung?

Ya, Allah, berikanlah hamba jalan keluar yang terbaik ya Allah. Apa yang harus hamba lakukan saat ini? 

.

Malam harinya, kami pulang usai acara. Aku dari tadi hanya diam tanpa suara di kursi belakang mobil. Tak tahu lagi bagaimana harus bersikap.

Sementara Mbak Silvi dan Mas Raka juga masing-masing terlihat tegang. Aku tak tahu lagi, apa saja yang mereka bicarakan tadi. Tapi sepertinya, mereka benar-benar sudah punya rencana. Aku hanya bisa pasrah dan menyiapkan diri untuk menerima semua kemungkinan yang akan terjadi. Setidaknya sebelum perasaanku pada Mas Raka benar-benar tumbuh dan sulit untuk dipisahkan.

Namun tiba-tiba terdengar suara rintihan dari Mbak Silvi. Kulihat dia memegangi perutnya.

"Silvi? Kamu kenapa?" Mas Raka yang juga mendengar terlihat panik.

"Aduh, Mas sakit banget," rintihnya lagi. 

Aku memajukan sedikit tubuhku untuk mendekat. Kulihat dahi Mbak Silvi mengeluarkan keringat meski AC mobil sedang menyala. Dia pasti sedang menahan sakit.

Mas Raka yang terlihat panik langsung menepi dan menghentikan mobil.

"Apanya yang sakit, Sil? Kamu kenapa?" Mas Raka memegangi tangan istrinya penuh kelembutan.

"Perut aku, Mas. Sakit banget." Mbak Silvi terus saja merintih.

"Ya udah kita ke rumah sakit sekarang, ya. Delima, bantu Mbak Silvi pindah, Dek. Biar duduk di belakang aja sama kamu," perintah Mas Raka.

Aku pun dengan cepat turun membukakan pintu mobil, setelah Mas Raka membantu Mbak Silvi untuk masuk.

"Kamu yang tenang ya, Sayang," ucap Mas Raka dengan sangat lembut. Lagi-lagi aku harus manahan perih dan membuang semua pikiran itu.

"Ayo, Dek. Tolong jagain Mbak mu, ya."

Aku buru-buru masuk dan mobilpun melaju dengan kencang.

"Tahan sebentar ya, Mbak," ucapku menenangkan, sembari mengusap bahunya.

"Sakit banget, Delima." Wanita yang memakai pakaian yang sama denganku ini, semakin merintih.

Nggak tega juga aku melihat dia yang begitu kesakitan. Meski merasa terzolimi, namun aku tetap mendoakan, agar Mbak Silvi dan kandungannya baik-baik saja. Kalau rasa sakit yang dideritanya terjadi karena stres memikirkan keberadaanku seperti yang diucapkan Mas Raka di kamar tadi, aku benar-benar sudah siap untuk pergi.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status