Share

Part4

“Wah, kamu rajin sekali, Delima." Mama mertua tersenyum ramah padaku.

"Nggak papa, Ma. Dari pada bengong nggak ada kerjaan," sahutku dengan sopan.

"Sudah, bantu seadanya saja. Lagian ngapain kamu bengong-bengong. Mana Suami kamu sama Silvi? Kok dari tadi nggak keliatan. Bukannya bantu-bantu, malah ngilang."

"Ada kok, Ma. Tadi Delima lihat mereka di ruang keluarga."

"Oh, ya sudah. Ikut Mama, yuk. Mama mau ngasi sesuatu sama kamu."

"Iya, Ma." Lagi-lagi hanya itu yang aku ucapkan tanpa bertanya ke mana dan mau diberi apa.

Aku mengikuti Mama dari belakang. Melewati ruang keluarga dan kembali melirik ke arah mereka. Segera kualihkan pandangan begitu saja karena tak ingin merasakan sakit yang sama.

"Nanti ganti pakai seragam ini, ya. Berikan juga sama Silvi. Kemarin baru selesai dijahit. Jadi nggak sempat ngirim buat dicobain. Sekalian itu batik, kasi sama suamimu."

Aku menerima tumpukan baju berbahan brokat dari tangan Mama. Kainnya bagus dan terlihat mahal. Aku merasa tersentuh diperlakukan seperti ini. Setidaknya Mamanya Mas Raka lebih menghargai aku ketimbang anak dan menantunya.

"Makasih ya, Ma." Tanpa terasa air mataku menetes.

"Lho, lho, lho. Ada apa ini? Kok malah nangis?" 

"Mama baik sekali, memberikan semua ini sama Delima. Menganggap Delima seperti keluarga sendiri."

"Ngomong opo to, Nduk. Kamu ini ya memang keluarga. Istrinya Raka ya, anak Mama Juga. Piye to." Aku semakin sesenggukan mendengarnya.

"Iya, Ma. Sekali lagi terima kasih."

"Sudah, sudah. Jangan nangis. Ini ada satu lagi yang Mama mau kasi sama kamu. Hadiah pernikahan yang belum sempat Mama kasi." Aku menerima kotak kecil berwarna biru dongker yang diulurkannya.

Aku langsung membuka dan terkejut dengan isinya. Sebuah kalung berwarna putih dan bermata batu. Apa ini yang dinamakan berlian? Seumur hidup, baru kali ini aku melihat dan menyentuhnya secara langsung.

Bagaimana aku bisa berhenti menangis, sedang apa yang kudapatkan seperti mimpi saja rasanya.

"Sini, biar Mama pakaikan. Masa iya, Raka ndak ada beliin kalung dan juga perhiasan buat istrinya."

"Nggak papa kok, Ma. Delima memang nggak pernah minta dibelikan apa-apa."

"Kamu juga harus cepat-cepat hamil, Delima. Biar tahun depan cucu Mama bertambah dua." Mama tersenyum bahagia.

"Oh, maksudnya anaknya Lara ya, Ma?"

"Eh, bukan. Kalau Lara dua bulan lagi juga sudah melahirkan. Kalau tahun depan, ya anak kamu sama Silvi."

Aku terkejut mendengar ucapan Mama. Jadi Mbak Silvi sudah memberitahukan tentang kehamilannya? Ya, tentu saja. Mana mungkin dia mau berlama-lama menyimpan kabar bahagia ini.

Tapi, apa dia juga menyampaikan tentang rencana perceraian itu? 

"Kenapa, Delima? Kok kamu kelihatan kaget begitu. Apa jangan-jangan mereka belum memberi tahu kamu soal ini?" 

Benar. Memang aku tak diberitahu. Tapi aku sudah mendengarnya secara langsung. Dan anehnya, Mama tetap memperlakukan aku dengan baik. Apa jadinya jika dia tahu bahwa Mbak Silvi dan Mas Raka berniat menceraikan aku.

"Mungkin Mbak Silvi lupa, Ma."

"Oh, ya sudah. Sekalian saja kalian ganti baju, ya. Sebentar lagi acara akan segera di mulai."

"Iya, Ma." Aku kembali menyeka air mata.

.

Setelah keluar dari kamar Mama, tiba-tiba Mbak Silvi menarik tangan dan menyeretku menaiki tangga menuju lantai dua. Sampai di sana dia menyeretku masuk ke sebuah kamar dan mengunci pintu.

"Mbak Silvi? Ada apa, Mbak?" tanyaku heran dengan sikapnya yang seperti sedang tak bahagia.

"Delima. Kamu ngapain lama banget di kamar Mama?"

******

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status