Tatapan Bima pias, tampak kosong. Hari masih begitu pagi untuk dia melamun. Namun tampaknya Bima tidak peduli. Sembari pikirannya melayang ke banyak hal, Bima mengisi botol air panasnya ke dispenser.“Pak Bima, awas!” jerit salah satu karyawannya.“Argh!” Bima mengaduh kesakitan, melepaskan pegangan botolnya setelah sadar tangannya tersiram percikan air panas dari dispenser.“Bapak tidak apa-apa?” Karyawan wanita itu mendekat, mencoba menolong Bima.Bima dengan cepat menggeleng. “Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Terima kasih,”Raka mengawasi peristiwa itu dari kejauhan. Namun tidak ada tanda-tanda dia hendak ikut menolong. Dia terus memperhatikan Bima, dengan satu tangan kanan memegang gelas kopi dan tangan kiri masuk ke dalam saku celana.“Sampai kapan dia akan seperti ini?” gumam Raka, tak melepaskan pandangannya dari Bima.Tidak seperti sebelumnya, Raka sudah lebih melepaskan perasaan iri hati pada Bima. Setelah segala yang terjadi, apalagi dia berjanji pada Maya untuk tidak melakuk
Bima yang baru saja keluar dari ruang meeting, mengangkat telepon dari ibunya. “Halo, Ma…”“Bim, Mama cuma mau tanya, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Sulastri. Suaranya terdengar pelan, penuh perhatian. Di ujung sana, dia duduk di ruang tengah sambil memperhatikan Abi dan Angel bermain dari kejauhan.Bima menarik napas dalam. Dia menatap jendela kantor yang memperlihatkan langit siang yang terik. “Aku baik, Ma. Hanya butuh waktu saja untuk menerima semuanya,”Sulastri diam sejenak. “ Vina tadi sempat bicara. Dia mempertanyakan soal Abi. Tentang statusnya, dan kenapa masih ada di sini,”Bima terdiam. Hatinya berdenyut tak nyaman.“Aku tahu ini bukan hal yang mudah,” lanjut Sulastri. “Tapi Mama cuma mau memastikan kamu siap menghadapi semuanya, Bim. Termasuk pertanyaan orang-orang. Abi memang bukan darahmu, tapi dia tetap anak yang butuh kasih sayang. Yang dia tahu kamu adalah—”“Aku tahu,” potong Bima cepat. “Terima kasih sudah menjaga Abi, Ma. Tapi untuk sekarang, kurasa dia lebih am
Bima melangkah masuk ke ruang kerjanya di kantor yang sempat kosong selama beberapa hari. Beberapa staf menyambutnya dengan senyum kaku, tidak berani bertanya.“Selamat pagi, Pak Bima,” sapa para staf. Meski banyak diantara mereka yang cukup penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.Raka yang sedang sibuk di depan layar komputernya, mendongak terkejut ketika melihat Bima lewat di hadapannya sebelum melangkah masuk ke ruang kerja dengan tenang.“Mas Bima?” panggil Raka. Berdiri dari kursinya. “Kamu sudah masuk lagi?”Bima mengangguk kecil. “Terlalu banyak yang harus dibereskan di kantor,”Raka maju beberapa langkah, masih dengan ekspresi bingung. “Tapi … bagaimana kabar Nina?” bisiknya.Bima tersenyum tipis. “Kamu tahu dia sedang tidak bersamaku, kan?”Raka menatap kakaknya lama, sebelum akhirnya mengangguk ragu. “Kalau begitu, aku siap membantu apapun yang kamu butuhkan,”Bima menepuk bahu Raka pelan. “Kamu sudah membantu banyak,” timpalnya. “Bagaimana Abi? Apa dia mencariku?”“Di
Rumah besar itu sunyi, seolah kehilangan napas setelah semua kekacauan yang berlangsung tadi. Abi sudah tertidur di kamarnya, setelah susah payah Sulastri mencoba untuk mengalihkan fokusnya pada Nina.Bima duduk di ujung sofa, membungkuk. Wajahnya tertutup kedua tangan. Napasnya berat, seolah menahan beban yang sudah terlalu lama menghimpit dadanya. Setelah memastikan Abi benar-benar terlelap, Sulastri kembali ke ruang tengah dan menatap Bima yang kini tampak begitu rapuh.“Sekarang kamu sendirian di rumah ini, Bim,” tukas Sulastri. “Apa rencanamu selanjutnya?”Bima mengangkat wajahnya perlahan. “Ma, aku belum bisa. Aku belum sanggup menjaga Abi, setelah semua yang terjadi. Setelah mengetahui kebenarannya,” Suaranya parau. “Kumohon… bawa Abi… bawa Abi tinggal bersama Mama untuk sementara waktu, sampai—”“Kamu yakin?” sambar Sulastri. Bima mengangguk perlahan. Nyaris seperti orang yang sedang menahan tangis. “Aku hanya takut dia menjadi korban dari semua kekacauan dan kebohongan ini.
Bima berdiri di ujung tangga. Tatapannya terbelah dua—antara ibunya yang berdiri dengan tubuh bergetar karena marah, dan Nina yang berdiri kaku di dekat pintu. Matanya merah tapi rahangnya mengeras."Ada apa ini?" tanya Bima, matanya langsung menajam ke arah ibunya. "Ma, kenapa Mama teriak-teriak seperti ini?"Sulastri mengangkat wajah. “Bima... Mama tidak bisa diam lagi. Mama tidak bisa terus berpura-pura semua baik-baik saja,” Dia melangkah pelan mendekati anaknya, lalu menunjuk Nina. “Perempuan ini sudah menghancurkan hidupmu. Dia berselingkuh. Sama laki-laki itu—Femil!”Bima mengernyit, matanya bergeser ke Nina. "Apa?" gumamnya nyaris tidak terdengar.Nina buru-buru melangkah naik dua anak tangga. Mendekat pada Bima, mencoba meraih tangannya. “Sayang, jangan dengarkan Ibu! Dia salah! Dia hanya mau memecah kita!”Sulastri menepis tangan Nina sebelum sempat menyentuh putranya. “Kamu jangan sentuh anakku lagi!” bentaknya. “Femil sudah ditangkap karena mencoba membunuh Maya! Dan sebel
Pagi yang biasanya tenang di kantor Bima berubah tegang saat dua orang polisi berpakaian sipil datang dan langsung menuju ruangannya. Para pegawai saling bertukar pandang, bertanya-tanya dalam diam. Bima yang sedang duduk di balik meja, menatap tamunya dengan alis terangkat. Meski tetap menyambut dengan tenang.“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan.Salah satu polisi menunjukkan lencananya. “Kami dari satuan investigasi tindak kriminal ekonomi. Kami ingin meminta waktu Bapak sebentar untuk memberikan keterangan. Terkait kasus saudara Femil Arzeta,”Bima sempat terdiam, wajahnya mengeras. “Silakan duduk. Keterangan seperti apa yang Anda butuhkan?”Polisi itu mengeluarkan map dari tas dan meletakkannya di atas meja. “Femil menyebut nama Anda dan istri Anda, Nina, dalam pengakuannya. Dia mengatakan bahwa selama beberapa waktu terakhir, aktivitasnya—termasuk transaksi finansial—berkaitan dengan istri Anda. Bahkan ada dugaan bahwa dana milik Anda disalahgunakan untuk kepentingan priba