Home / Rumah Tangga / Ketika Istriku Balik Melawan / Bab 3 Membanggakan Namamu

Share

Bab 3 Membanggakan Namamu

Author: Dama Mei
last update Last Updated: 2024-12-10 11:07:42

Maya duduk di sofa ruang keluarga rumahnya, sambil memandangi cangkir teh di tangan. Kejadian tadi siang di rumah mertuanya terus membebani hati Maya. Saat Bima pulang, dia mendengar suara pintu depan terbuka. Diikuti langkah suaminya yang memasuki rumah dengan santai.

"Belum tidur?" sapa Bima singkat sambil melepas sepatu.

Maya memaksa tersenyum. "Aku menunggumu pulang,"

Bima duduk di kursi di hadapan Maya, tampak lelah. Maya menarik napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat.

"Tadi siang aku ke rumah orangtua kamu," ujar Maya, berusaha memulai percakapan.

"Oh ya?" Bima mengangguk tanpa terlalu memperhatikan. "Kenapa? Ada apa di sana?"

Maya merasakan keraguan menyelusup hatinya. Tapi dia tahu, dia harus mengatakan sesuatu. “Aku mencoba bawa hadiah untuk ibumu. Teh favoritnya, yang dia bilang dulu dia suka,”

Bima tersenyum samar. “Baguslah. Mama pasti suka,”

Maya menggeleng pelan, lalu menatap cangkir di tangannya. “Dia tidak ... benar-benar menghargai. Dia bahkan bilang kalau aku harusnya lebih tahu apa yang penting untuk keluarga ini,”

Bima mengangkat alis, tampak bingung. “Mungkin maksud Mama hanya bercanda,”

“Itu bukan bercanda, Sayang,” Maya memotong, suaranya bergetar. “Aku mencoba. Aku sudah berusaha untuk diterima oleh keluargamu. Tapi apa pun yang aku lakukan, rasanya selalu salah,”

Bima menghela napas, bersandar di kursinya. “Maya, kamu harus mengerti. Mama itu memang keras. Dia hanya ingin memastikan kamu cocok dengan standar keluarga kita,”

“Standar?” Maya menatapnya tajam. “Apa aku belum cukup? Aku sudah memberikan segalanya, tapi tetap saja aku dianggap kurang,”

Bukannya iba, ekspresi Bima malah berubah datar. “Ini bukan soal harta, May. Kamu harus berusaha lebih keras. Cobalah untuk lebih dekat dengan Papa Mama, lebih memahami apa yang mereka harapkan,”

Maya terdiam, tercengang mendengar jawaban Bima. “Berusaha lebih keras?” Dia mengulang dengan suara pelan tapi penuh emosi.

“Iya,” Bima menjawab tegas. “Kamu tidak bisa hanya mengeluh terus-terusan. Kalau kamu benar-benar peduli dengan hubungan kita, kamu harus bisa membuktikan kalau kamu mau beradaptasi,”

"Beradaptasi?" ulang Maya, nyaris tertawa sinis. "Sudah lima tahun aku beradaptasi, Bim. Lima tahun aku mencoba menjadi istri yang baik, menantu yang baik. Tapi tidak peduli seberapa keras aku mencoba, mereka tetap melihatku rendah. Dan sekarang, kamu malah menyalahkan aku?”

Bima menghela napas panjang, seperti sudah lelah dengan pembicaraan ini. “Aku tidak menyalahkanmu, May. Aku cuma bilang kalau kamu kurang berusaha,”

Kata-kata itu menghantam Maya lebih keras daripada yang dia bayangkan. Hatinya terasa hancur, tapi dia menahan air matanya agar tidak tumpah di depan Bima.

“Baik,” Suara Maya hampir seperti berbisik. “Kalau itu yang kamu pikirkan,”

Maya berdiri, meninggalkan ruang keluarga tanpa menoleh ke belakang. Dia masuk ke kamar tidur, menutup pintu dan akhirnya membiarkan air matanya mengalir.

***

Setelah puas menangis, Maya akhirnya keluar dari kamar. Wajahnya sedikit sembab, tetapi dia terlalu lelah untuk peduli. Rumah terasa sunyi, hanya terdengar suara TV yang masih menyala di ruang keluarga.

Maya melangkah pelan, mendapati Bima tertidur di sofa dengan posisi yang tidak nyaman. Laptopnya masih menyala di meja, menampilkan layar yang penuh angka dan grafik. Maya mendekat, merasa tergelitik untuk mematikannya agar baterai tidak habis.

Namun, saat dia melihat layar lebih dekat, sesuatu menarik perhatiannya. Angka-angka merah dan grafik menukik tajam memenuhi tabel di layar. Judul di bagian atas dokumen itu berbunyi: Laporan Keuangan Perusahaan PT Santoso Raya.

Maya tertegun. Perusahaan Bima? Bukankah selama ini Bima selalu membanggakan kesuksesan bisnisnya? Tapi angka-angka ini jelas menunjukkan kebalikannya—kerugian besar selama beberapa kuartal terakhir.

Tangan Maya gemetar saat dia menggulir dokumen itu lebih jauh. Setiap halaman memperlihatkan masalah yang sama. Hutang yang membengkak, penjualan yang menurun, dan investasi yang gagal.

Jantung Maya berdegup kencang. Pikirannya melayang kembali ke lima tahun lalu, saat Bima memohon padanya untuk meminjamkan uang warisan yang dia terima dari almarhum orang tuanya.

"Ini investasi besar, Maya," kata Bima waktu itu, dengan penuh semangat. "Aku janji, perusahaan ini akan sukses besar. Kita akan hidup nyaman, dan aku akan membanggakan namamu di depan keluargaku,"

Maya menatap Bima yang masih tertidur lelap. Wajah suaminya terlihat begitu damai, seolah tidak ada beban apa pun. Namun Maya tahu kenyataan tidak seperti itu. Dia bergegas mematikan laptop dan meletakkannya di meja. Pandangan Maya tetap pada Bima selama beberapa detik.

***

Harjono duduk di kursi kulitnya yang besar, mengamati laporan keuangan perusahaan yang tergeletak di atas meja. Wajahnya tampak tegang. Di seberangnya Raka duduk dengan santai, meski matanya menyiratkan kecemasan. Adik Bima itu menyesap kopi yang disediakan pelayan sebelum akhirnya memulai pembicaraan.

"Pa, ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama," kata Raka, mencondongkan tubuh ke depan. "Hutang perusahaan sudah hampir jatuh tempo. Kalau tidak ada suntikan dana segera, kita bisa kehilangan semuanya,"

Harjono mengangguk pelan, jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu jati. "Aku tahu. Dan aku sudah memikirkan solusinya,"

Raka menaikkan alis. "Apa? Pinjaman bank? Atau menjual sebagian saham?"

"Bukan," jawab Harjono tegas. "Itu terlalu berisiko. Saham kita sudah tertekan, dan bank pasti tidak akan memberikan pinjaman dengan kondisi seperti itu,"

Raka mengerutkan kening. "Lalu, apa rencana Papa?"

Harjono menghela napas panjang, lalu memandang Raka dengan tatapan tajam. "Aset terakhir Maya,"

Raka terdiam sejenak, mencoba mencerna maksud ucapan ayahnya. "Aset Maya? Maksud Papa ... tanah di kawasan Sentral itu?"

Harjono mengangguk. "Iya. Itu satu-satunya aset yang masih bernilai tinggi dan bisa dijual dengan cepat. Kalau Maya mau menjualnya, kita bisa menyelamatkan perusahaan,"

Raka menyandarkan tubuhnya ke kursi, berpikir keras. "Tapi Pa, itu kan warisan orang tua Maya. Apa dia mau menyerahkannya begitu saja?"

Harjono menyeringai kecil, tatapannya penuh perhitungan. "Maya itu lemah. Selama ini, dia selalu menurut pada keluarga kita, terutama pada Bima. Kita hanya perlu meyakinkan Bima untuk bicara padanya,"

Raka mengangguk pelan, meski ada sedikit keraguan di matanya. "Tapi kalau Maya menolak, bagaimana?"

"Dia tidak akan menolak," Harjono menjawab dengan percaya diri. "Dia selalu ingin diterima di keluarga ini. Kalau kita buat dia merasa ini adalah cara untuk membuktikan dirinya diterima, dia pasti akan setuju,"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 124 Hidupku

    Abi demam tinggi malam itu. Tubuh mungilnya menggigil meski sudah diselimuti rapat-rapat. Bima panik. Ia mondar-mandir di kamar, tak tahu harus melakukan apa. Tangan gemetar saat menyentuh kening Abi yang panas membara. Nafas anak itu terdengar berat, diselingi isakan kecil yang membuat dada Bima seperti diremas."Abi... bangun, Nak..." suara Bima bergetar, mencoba membangunkan Abi yang matanya terpejam namun gelisah. Tak ada jawaban. Panik sepenuhnya menguasainya.Tanpa pikir panjang, Bima menggendong Abi dan berlari menuju mobil. Tengah malam, hujan rintik-rintik membasahi jalanan. Tapi dia tak peduli. Hanya ada satu hal dalam pikirannya: selamatkan Abi.Sesampainya di rumah sakit, Bima nyaris menjatuhkan kunci mobil saat turun. Suster langsung menyambut dan membawa Abi ke ruang observasi. Bima mengejar, tak peduli dengan prosedur atau administrasi.Waktu terasa begitu lambat. Dia duduk di ruang tunggu dengan tangan mencengkeram ujung kursi. Kepalanya menunduk. Dalam hatinya, dia be

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 123 Demi Fantasi

    Langit mendung menggantung rendah ketika Maya melangkah melewati gerbang besi yang menjulang dingin. Bau logam dan lembab menyambutnya, seolah penjara itu tidak hanya mengurung tubuh manusia, tetapi juga menyimpan semua sisa dosa yang tak pernah sempat ditebus. Petugas mengantar Maya tanpa banyak kata. Di wajah wanita itu tak ada senyum, hanya ekspresi datar—dingin seperti batu nisan.Di balik dinding kaca dan jeruji, Nina duduk membungkuk, tubuhnya tampak lebih kecil daripada terakhir kali Maya melihatnya. Wajahnya pucat dengan luka memar masih membekas di pelipis. Rambutnya acak-acakan, matanya kosong, tapi berubah tegang saat menyadari siapa yang berdiri di seberang kaca.Maya duduk perlahan. Ia tidak mengucapkan salam. Tidak menanyakan kabar. Hanya menatap Nina seperti seseorang memandangi bangkai hewan di pinggir jalan—penuh jijik, tapi tidak cukup penting untuk ditangisi.“Kau kelihatan seperti bayangan dirimu sendiri,” ucap Maya akhirnya, suaranya tenang namun penuh ironi.Nina

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 122 Terbaik Untuknya

    Tatapan Bima pias, tampak kosong. Hari masih begitu pagi untuk dia melamun. Namun tampaknya Bima tidak peduli. Sembari pikirannya melayang ke banyak hal, Bima mengisi botol air panasnya ke dispenser.“Pak Bima, awas!” jerit salah satu karyawannya.“Argh!” Bima mengaduh kesakitan, melepaskan pegangan botolnya setelah sadar tangannya tersiram percikan air panas dari dispenser.“Bapak tidak apa-apa?” Karyawan wanita itu mendekat, mencoba menolong Bima.Bima dengan cepat menggeleng. “Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Terima kasih,”Raka mengawasi peristiwa itu dari kejauhan. Namun tidak ada tanda-tanda dia hendak ikut menolong. Dia terus memperhatikan Bima, dengan satu tangan kanan memegang gelas kopi dan tangan kiri masuk ke dalam saku celana.“Sampai kapan dia akan seperti ini?” gumam Raka, tak melepaskan pandangannya dari Bima.Tidak seperti sebelumnya, Raka sudah lebih melepaskan perasaan iri hati pada Bima. Setelah segala yang terjadi, apalagi dia berjanji pada Maya untuk tidak melakuk

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 121 Neraka

    Bima yang baru saja keluar dari ruang meeting, mengangkat telepon dari ibunya. “Halo, Ma…”“Bim, Mama cuma mau tanya, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Sulastri. Suaranya terdengar pelan, penuh perhatian. Di ujung sana, dia duduk di ruang tengah sambil memperhatikan Abi dan Angel bermain dari kejauhan.Bima menarik napas dalam. Dia menatap jendela kantor yang memperlihatkan langit siang yang terik. “Aku baik, Ma. Hanya butuh waktu saja untuk menerima semuanya,”Sulastri diam sejenak. “ Vina tadi sempat bicara. Dia mempertanyakan soal Abi. Tentang statusnya, dan kenapa masih ada di sini,”Bima terdiam. Hatinya berdenyut tak nyaman.“Aku tahu ini bukan hal yang mudah,” lanjut Sulastri. “Tapi Mama cuma mau memastikan kamu siap menghadapi semuanya, Bim. Termasuk pertanyaan orang-orang. Abi memang bukan darahmu, tapi dia tetap anak yang butuh kasih sayang. Yang dia tahu kamu adalah—”“Aku tahu,” potong Bima cepat. “Terima kasih sudah menjaga Abi, Ma. Tapi untuk sekarang, kurasa dia lebih am

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 120 Penuh Kebanggaan

    Bima melangkah masuk ke ruang kerjanya di kantor yang sempat kosong selama beberapa hari. Beberapa staf menyambutnya dengan senyum kaku, tidak berani bertanya.“Selamat pagi, Pak Bima,” sapa para staf. Meski banyak diantara mereka yang cukup penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.Raka yang sedang sibuk di depan layar komputernya, mendongak terkejut ketika melihat Bima lewat di hadapannya sebelum melangkah masuk ke ruang kerja dengan tenang.“Mas Bima?” panggil Raka. Berdiri dari kursinya. “Kamu sudah masuk lagi?”Bima mengangguk kecil. “Terlalu banyak yang harus dibereskan di kantor,”Raka maju beberapa langkah, masih dengan ekspresi bingung. “Tapi … bagaimana kabar Nina?” bisiknya.Bima tersenyum tipis. “Kamu tahu dia sedang tidak bersamaku, kan?”Raka menatap kakaknya lama, sebelum akhirnya mengangguk ragu. “Kalau begitu, aku siap membantu apapun yang kamu butuhkan,”Bima menepuk bahu Raka pelan. “Kamu sudah membantu banyak,” timpalnya. “Bagaimana Abi? Apa dia mencariku?”“Di

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 119 Bukan Salahmu

    Rumah besar itu sunyi, seolah kehilangan napas setelah semua kekacauan yang berlangsung tadi. Abi sudah tertidur di kamarnya, setelah susah payah Sulastri mencoba untuk mengalihkan fokusnya pada Nina.Bima duduk di ujung sofa, membungkuk. Wajahnya tertutup kedua tangan. Napasnya berat, seolah menahan beban yang sudah terlalu lama menghimpit dadanya. Setelah memastikan Abi benar-benar terlelap, Sulastri kembali ke ruang tengah dan menatap Bima yang kini tampak begitu rapuh.“Sekarang kamu sendirian di rumah ini, Bim,” tukas Sulastri. “Apa rencanamu selanjutnya?”Bima mengangkat wajahnya perlahan. “Ma, aku belum bisa. Aku belum sanggup menjaga Abi, setelah semua yang terjadi. Setelah mengetahui kebenarannya,” Suaranya parau. “Kumohon… bawa Abi… bawa Abi tinggal bersama Mama untuk sementara waktu, sampai—”“Kamu yakin?” sambar Sulastri. Bima mengangguk perlahan. Nyaris seperti orang yang sedang menahan tangis. “Aku hanya takut dia menjadi korban dari semua kekacauan dan kebohongan ini.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status