Maya duduk di sofa ruang keluarga rumahnya, sambil memandangi cangkir teh di tangan. Kejadian tadi siang di rumah mertuanya terus membebani hati Maya. Saat Bima pulang, dia mendengar suara pintu depan terbuka. Diikuti langkah suaminya yang memasuki rumah dengan santai.
"Belum tidur?" sapa Bima singkat sambil melepas sepatu.
Maya memaksa tersenyum. "Aku menunggumu pulang,"
Bima duduk di kursi di hadapan Maya, tampak lelah. Maya menarik napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat.
"Tadi siang aku ke rumah orangtua kamu," ujar Maya, berusaha memulai percakapan.
"Oh ya?" Bima mengangguk tanpa terlalu memperhatikan. "Kenapa? Ada apa di sana?"
Maya merasakan keraguan menyelusup hatinya. Tapi dia tahu, dia harus mengatakan sesuatu. “Aku mencoba bawa hadiah untuk ibumu. Teh favoritnya, yang dia bilang dulu dia suka,”
Bima tersenyum samar. “Baguslah. Mama pasti suka,”
Maya menggeleng pelan, lalu menatap cangkir di tangannya. “Dia tidak ... benar-benar menghargai. Dia bahkan bilang kalau aku harusnya lebih tahu apa yang penting untuk keluarga ini,”
Bima mengangkat alis, tampak bingung. “Mungkin maksud Mama hanya bercanda,”
“Itu bukan bercanda, Sayang,” Maya memotong, suaranya bergetar. “Aku mencoba. Aku sudah berusaha untuk diterima oleh keluargamu. Tapi apa pun yang aku lakukan, rasanya selalu salah,”
Bima menghela napas, bersandar di kursinya. “Maya, kamu harus mengerti. Mama itu memang keras. Dia hanya ingin memastikan kamu cocok dengan standar keluarga kita,”
“Standar?” Maya menatapnya tajam. “Apa aku belum cukup? Aku sudah memberikan segalanya, tapi tetap saja aku dianggap kurang,”
Bukannya iba, ekspresi Bima malah berubah datar. “Ini bukan soal harta, May. Kamu harus berusaha lebih keras. Cobalah untuk lebih dekat dengan Papa Mama, lebih memahami apa yang mereka harapkan,”
Maya terdiam, tercengang mendengar jawaban Bima. “Berusaha lebih keras?” Dia mengulang dengan suara pelan tapi penuh emosi.
“Iya,” Bima menjawab tegas. “Kamu tidak bisa hanya mengeluh terus-terusan. Kalau kamu benar-benar peduli dengan hubungan kita, kamu harus bisa membuktikan kalau kamu mau beradaptasi,”
"Beradaptasi?" ulang Maya, nyaris tertawa sinis. "Sudah lima tahun aku beradaptasi, Bim. Lima tahun aku mencoba menjadi istri yang baik, menantu yang baik. Tapi tidak peduli seberapa keras aku mencoba, mereka tetap melihatku rendah. Dan sekarang, kamu malah menyalahkan aku?”
Bima menghela napas panjang, seperti sudah lelah dengan pembicaraan ini. “Aku tidak menyalahkanmu, May. Aku cuma bilang kalau kamu kurang berusaha,”
Kata-kata itu menghantam Maya lebih keras daripada yang dia bayangkan. Hatinya terasa hancur, tapi dia menahan air matanya agar tidak tumpah di depan Bima.
“Baik,” Suara Maya hampir seperti berbisik. “Kalau itu yang kamu pikirkan,”
Maya berdiri, meninggalkan ruang keluarga tanpa menoleh ke belakang. Dia masuk ke kamar tidur, menutup pintu dan akhirnya membiarkan air matanya mengalir.
***
Setelah puas menangis, Maya akhirnya keluar dari kamar. Wajahnya sedikit sembab, tetapi dia terlalu lelah untuk peduli. Rumah terasa sunyi, hanya terdengar suara TV yang masih menyala di ruang keluarga.
Maya melangkah pelan, mendapati Bima tertidur di sofa dengan posisi yang tidak nyaman. Laptopnya masih menyala di meja, menampilkan layar yang penuh angka dan grafik. Maya mendekat, merasa tergelitik untuk mematikannya agar baterai tidak habis.
Namun, saat dia melihat layar lebih dekat, sesuatu menarik perhatiannya. Angka-angka merah dan grafik menukik tajam memenuhi tabel di layar. Judul di bagian atas dokumen itu berbunyi: Laporan Keuangan Perusahaan PT Santoso Raya.
Maya tertegun. Perusahaan Bima? Bukankah selama ini Bima selalu membanggakan kesuksesan bisnisnya? Tapi angka-angka ini jelas menunjukkan kebalikannya—kerugian besar selama beberapa kuartal terakhir.
Tangan Maya gemetar saat dia menggulir dokumen itu lebih jauh. Setiap halaman memperlihatkan masalah yang sama. Hutang yang membengkak, penjualan yang menurun, dan investasi yang gagal.
Jantung Maya berdegup kencang. Pikirannya melayang kembali ke lima tahun lalu, saat Bima memohon padanya untuk meminjamkan uang warisan yang dia terima dari almarhum orang tuanya.
"Ini investasi besar, Maya," kata Bima waktu itu, dengan penuh semangat. "Aku janji, perusahaan ini akan sukses besar. Kita akan hidup nyaman, dan aku akan membanggakan namamu di depan keluargaku,"
Maya menatap Bima yang masih tertidur lelap. Wajah suaminya terlihat begitu damai, seolah tidak ada beban apa pun. Namun Maya tahu kenyataan tidak seperti itu. Dia bergegas mematikan laptop dan meletakkannya di meja. Pandangan Maya tetap pada Bima selama beberapa detik.
***
Harjono duduk di kursi kulitnya yang besar, mengamati laporan keuangan perusahaan yang tergeletak di atas meja. Wajahnya tampak tegang. Di seberangnya Raka duduk dengan santai, meski matanya menyiratkan kecemasan. Adik Bima itu menyesap kopi yang disediakan pelayan sebelum akhirnya memulai pembicaraan.
"Pa, ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama," kata Raka, mencondongkan tubuh ke depan. "Hutang perusahaan sudah hampir jatuh tempo. Kalau tidak ada suntikan dana segera, kita bisa kehilangan semuanya,"
Harjono mengangguk pelan, jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu jati. "Aku tahu. Dan aku sudah memikirkan solusinya,"
Raka menaikkan alis. "Apa? Pinjaman bank? Atau menjual sebagian saham?"
"Bukan," jawab Harjono tegas. "Itu terlalu berisiko. Saham kita sudah tertekan, dan bank pasti tidak akan memberikan pinjaman dengan kondisi seperti itu,"
Raka mengerutkan kening. "Lalu, apa rencana Papa?"
Harjono menghela napas panjang, lalu memandang Raka dengan tatapan tajam. "Aset terakhir Maya,"
Raka terdiam sejenak, mencoba mencerna maksud ucapan ayahnya. "Aset Maya? Maksud Papa ... tanah di kawasan Sentral itu?"
Harjono mengangguk. "Iya. Itu satu-satunya aset yang masih bernilai tinggi dan bisa dijual dengan cepat. Kalau Maya mau menjualnya, kita bisa menyelamatkan perusahaan,"
Raka menyandarkan tubuhnya ke kursi, berpikir keras. "Tapi Pa, itu kan warisan orang tua Maya. Apa dia mau menyerahkannya begitu saja?"
Harjono menyeringai kecil, tatapannya penuh perhitungan. "Maya itu lemah. Selama ini, dia selalu menurut pada keluarga kita, terutama pada Bima. Kita hanya perlu meyakinkan Bima untuk bicara padanya,"
Raka mengangguk pelan, meski ada sedikit keraguan di matanya. "Tapi kalau Maya menolak, bagaimana?"
"Dia tidak akan menolak," Harjono menjawab dengan percaya diri. "Dia selalu ingin diterima di keluarga ini. Kalau kita buat dia merasa ini adalah cara untuk membuktikan dirinya diterima, dia pasti akan setuju,"
Tatapan Bima pias, tampak kosong. Hari masih begitu pagi untuk dia melamun. Namun tampaknya Bima tidak peduli. Sembari pikirannya melayang ke banyak hal, Bima mengisi botol air panasnya ke dispenser.“Pak Bima, awas!” jerit salah satu karyawannya.“Argh!” Bima mengaduh kesakitan, melepaskan pegangan botolnya setelah sadar tangannya tersiram percikan air panas dari dispenser.“Bapak tidak apa-apa?” Karyawan wanita itu mendekat, mencoba menolong Bima.Bima dengan cepat menggeleng. “Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Terima kasih,”Raka mengawasi peristiwa itu dari kejauhan. Namun tidak ada tanda-tanda dia hendak ikut menolong. Dia terus memperhatikan Bima, dengan satu tangan kanan memegang gelas kopi dan tangan kiri masuk ke dalam saku celana.“Sampai kapan dia akan seperti ini?” gumam Raka, tak melepaskan pandangannya dari Bima.Tidak seperti sebelumnya, Raka sudah lebih melepaskan perasaan iri hati pada Bima. Setelah segala yang terjadi, apalagi dia berjanji pada Maya untuk tidak melakuk
Bima yang baru saja keluar dari ruang meeting, mengangkat telepon dari ibunya. “Halo, Ma…”“Bim, Mama cuma mau tanya, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Sulastri. Suaranya terdengar pelan, penuh perhatian. Di ujung sana, dia duduk di ruang tengah sambil memperhatikan Abi dan Angel bermain dari kejauhan.Bima menarik napas dalam. Dia menatap jendela kantor yang memperlihatkan langit siang yang terik. “Aku baik, Ma. Hanya butuh waktu saja untuk menerima semuanya,”Sulastri diam sejenak. “ Vina tadi sempat bicara. Dia mempertanyakan soal Abi. Tentang statusnya, dan kenapa masih ada di sini,”Bima terdiam. Hatinya berdenyut tak nyaman.“Aku tahu ini bukan hal yang mudah,” lanjut Sulastri. “Tapi Mama cuma mau memastikan kamu siap menghadapi semuanya, Bim. Termasuk pertanyaan orang-orang. Abi memang bukan darahmu, tapi dia tetap anak yang butuh kasih sayang. Yang dia tahu kamu adalah—”“Aku tahu,” potong Bima cepat. “Terima kasih sudah menjaga Abi, Ma. Tapi untuk sekarang, kurasa dia lebih am
Bima melangkah masuk ke ruang kerjanya di kantor yang sempat kosong selama beberapa hari. Beberapa staf menyambutnya dengan senyum kaku, tidak berani bertanya.“Selamat pagi, Pak Bima,” sapa para staf. Meski banyak diantara mereka yang cukup penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.Raka yang sedang sibuk di depan layar komputernya, mendongak terkejut ketika melihat Bima lewat di hadapannya sebelum melangkah masuk ke ruang kerja dengan tenang.“Mas Bima?” panggil Raka. Berdiri dari kursinya. “Kamu sudah masuk lagi?”Bima mengangguk kecil. “Terlalu banyak yang harus dibereskan di kantor,”Raka maju beberapa langkah, masih dengan ekspresi bingung. “Tapi … bagaimana kabar Nina?” bisiknya.Bima tersenyum tipis. “Kamu tahu dia sedang tidak bersamaku, kan?”Raka menatap kakaknya lama, sebelum akhirnya mengangguk ragu. “Kalau begitu, aku siap membantu apapun yang kamu butuhkan,”Bima menepuk bahu Raka pelan. “Kamu sudah membantu banyak,” timpalnya. “Bagaimana Abi? Apa dia mencariku?”“Di
Rumah besar itu sunyi, seolah kehilangan napas setelah semua kekacauan yang berlangsung tadi. Abi sudah tertidur di kamarnya, setelah susah payah Sulastri mencoba untuk mengalihkan fokusnya pada Nina.Bima duduk di ujung sofa, membungkuk. Wajahnya tertutup kedua tangan. Napasnya berat, seolah menahan beban yang sudah terlalu lama menghimpit dadanya. Setelah memastikan Abi benar-benar terlelap, Sulastri kembali ke ruang tengah dan menatap Bima yang kini tampak begitu rapuh.“Sekarang kamu sendirian di rumah ini, Bim,” tukas Sulastri. “Apa rencanamu selanjutnya?”Bima mengangkat wajahnya perlahan. “Ma, aku belum bisa. Aku belum sanggup menjaga Abi, setelah semua yang terjadi. Setelah mengetahui kebenarannya,” Suaranya parau. “Kumohon… bawa Abi… bawa Abi tinggal bersama Mama untuk sementara waktu, sampai—”“Kamu yakin?” sambar Sulastri. Bima mengangguk perlahan. Nyaris seperti orang yang sedang menahan tangis. “Aku hanya takut dia menjadi korban dari semua kekacauan dan kebohongan ini.
Bima berdiri di ujung tangga. Tatapannya terbelah dua—antara ibunya yang berdiri dengan tubuh bergetar karena marah, dan Nina yang berdiri kaku di dekat pintu. Matanya merah tapi rahangnya mengeras."Ada apa ini?" tanya Bima, matanya langsung menajam ke arah ibunya. "Ma, kenapa Mama teriak-teriak seperti ini?"Sulastri mengangkat wajah. “Bima... Mama tidak bisa diam lagi. Mama tidak bisa terus berpura-pura semua baik-baik saja,” Dia melangkah pelan mendekati anaknya, lalu menunjuk Nina. “Perempuan ini sudah menghancurkan hidupmu. Dia berselingkuh. Sama laki-laki itu—Femil!”Bima mengernyit, matanya bergeser ke Nina. "Apa?" gumamnya nyaris tidak terdengar.Nina buru-buru melangkah naik dua anak tangga. Mendekat pada Bima, mencoba meraih tangannya. “Sayang, jangan dengarkan Ibu! Dia salah! Dia hanya mau memecah kita!”Sulastri menepis tangan Nina sebelum sempat menyentuh putranya. “Kamu jangan sentuh anakku lagi!” bentaknya. “Femil sudah ditangkap karena mencoba membunuh Maya! Dan sebel
Pagi yang biasanya tenang di kantor Bima berubah tegang saat dua orang polisi berpakaian sipil datang dan langsung menuju ruangannya. Para pegawai saling bertukar pandang, bertanya-tanya dalam diam. Bima yang sedang duduk di balik meja, menatap tamunya dengan alis terangkat. Meski tetap menyambut dengan tenang.“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan.Salah satu polisi menunjukkan lencananya. “Kami dari satuan investigasi tindak kriminal ekonomi. Kami ingin meminta waktu Bapak sebentar untuk memberikan keterangan. Terkait kasus saudara Femil Arzeta,”Bima sempat terdiam, wajahnya mengeras. “Silakan duduk. Keterangan seperti apa yang Anda butuhkan?”Polisi itu mengeluarkan map dari tas dan meletakkannya di atas meja. “Femil menyebut nama Anda dan istri Anda, Nina, dalam pengakuannya. Dia mengatakan bahwa selama beberapa waktu terakhir, aktivitasnya—termasuk transaksi finansial—berkaitan dengan istri Anda. Bahkan ada dugaan bahwa dana milik Anda disalahgunakan untuk kepentingan priba
Maya menoleh, melihat Reza berdiri di antara dirinya dan Femil yang kini terkapar di tanah. Wajah Reza merah padam, matanya menatap Femil dengan marah.Femil meringis, mencoba bangkit. Tapi Reza sigap menginjak lengannya, mencegahnya mengambil kembali pisaunya.“Kau pikir bisa lolos setelah mencoba membunuh Maya?” bentak Reza.Femil menyeringai, meski napasnya tersengal. “Aku tidak akan pernah berhenti,”Reza mengepalkan tinju, tapi Maya buru-buru menarik lengannya. “Jangan, Reza. Kita harus melaporkannya ke polisi,”Mata Reza masih penuh amarah, tapi dia mengangguk. Dia meraih ponselnya, bersiap menghubungi pihak berwenang.Tepat ketika Reza hendak menelepon polisi, Femil tiba-tiba bergerak cepat. Dengan kekuatan yang tak terduga, dia meraih pisaunya kembali dari tanah dan menyerang Reza.“Reza, awas!” teriak Maya panik.Reza sempat menoleh, tapi Femil sudah lebih dulu melayangkan pisaunya ke arah dada Reza.Reza menghindar ke samping, tapi pisau itu tetap berhasil menggores lenganny
Raka tampak semakin gelisah. Sejenak dia mengelus tengkuk, seakan mencoba untuk menata hati sebelum bicara."Maya, aku butuh perlindunganmu," ujar Raka.Maya mengernyit. "Perlindungan?"Raka mengangguk, ekspresinya tegang. "Aku akan mengungkap sebuah rahasia. Rahasia yang bisa membuatku dalam bahaya,"Jantung Maya berdegup lebih cepat. "Apa maksudmu? Rahasia apa?"Raka menatapnya dalam-dalam. Lalu menunduk sesaat seolah sedang mempertimbangkan kata-katanya. "Ini soal Nina… dan sesuatu yang lebih besar dari itu,"Maya bisa merasakan ketakutan dalam suara Raka. Dia bukan pria yang mudah takut. Tetapi kali ini, wajahnya menunjukkan kecemasan."Aku akan memberitahumu semuanya sekarang. Aku tahu sesuatu yang akan mengubah segalanya," lanjut Raka. "Dan aku butuh tempat yang aman. Aku tidak bisa pulang ke rumah. Femil sudah mengancam akan membunuh istri dan anakku jika aku buka mulut,"Maya mengepalkan tangannya di atas meja. “Apa yang kamu tahu?”Raka menarik napas dalam-dalam sebelum menja
Femil berdiri dengan santai. Senyum tipis penuh kemenangan terukir di wajahnya. Sementara Nina menyilangkan tangan di dada, memandang Maya dengan tatapan penuh kebencian.“Pergilah. Jika kau masih sayang nyawamu,” ancam Femil sekali lagi.Maya menatap keduanya dengan tajam sebelum menghembuskan napas panjang. Dia melangkah mundur, lalu berbalik menuju pintu keluar.Saat tangan Maya menyentuh kenop pintu, dia berhenti sejenak dan berkata tanpa menoleh. “Aku akan mendapatkan rumahku kembali, entah bagaimana caranya. Nikmati kemenangan sementara kalian,”Setelah itu, Maya membuka pintu dan melangkah keluar tanpa menoleh lagi.Begitu Maya benar-benar pergi, Nina berbalik dan langsung meraih tubuh Femil. Melingkarkan lengannya di leher pria itu. Senyum kemenangan terukir di wajahnya.“Kita berhasil menyingkirkannya,” pekik Nina, tubuhnya menempel erat pada Femil.Femil terkekeh, tangannya otomatis melingkari pinggang Nina. Menariknya lebih dekat. “Tentu saja. Aku akan melakukan apapun untu