Maya berusaha menahan air matanya saat kembali ke ruang pesta. Senyum tipis terpasang di wajah. Mencoba menyembunyikan badai yang sedang berkecamuk di hatinya. Tetapi setiap tawa dan percakapan Bima dan Nina yang dia dengar, masih menggema jelas di dalam kepala Maya.
Di sudut ruangan, Sulastri sibuk mengobrol dengan tamu-tamu lainnya, sementara Harjono berdiri di tengah ruangan, menerima ucapan selamat dari para tamu. Maya mendekat ke meja minuman, mengambil segelas air, dan mencoba menenangkan diri.
Dari kejauhan, Maya melihat Bima masuk ke ruangan bersama Nina. Mereka tampak akrab, berbicara dengan ekspresi santai. Seolah tidak ada yang salah dengan kedekatan mereka. Nina bahkan tertawa sambil memegang lengan Bima.
Maya meneguk airnya dengan cepat, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Mendadak kepalanya pusing dan penglihatannya mulai kabur.
“Maya?” Suara Sulastri terdengar sedikit nyaring. “Kenapa kamu berdiri saja di sana? Cepat bawa minuman untuk tamu-tamu di meja utama,” perintah ibu mertua itu.
Maya meletakkan gelasnya ke meja dengan cukup keras. Dia muak, namun tidak bisa melawan. Meski setengah hati, nyatanya Maya tetap berangkat memenuhi permintaan ibu mertuanya itu.
"Ah, ini menantu Harjono, ya?" tanya salah satu tamu, seorang pria paruh baya dengan setelan jas mahal sambil tersenyum kecil. "Beruntung sekali ya, menikah dengan anak pertama keluarga Santoso,"
Maya menahan napas, hanya membalas dengan senyuman hambar. Namun, di dalam hati, komentar itu menusuk lebih dalam dari yang dia duga. Apakah semua orang hanya melihat dirinya sebagai seseorang yang beruntung mendapatkan Bima? Sementara dialah yang menggadaikan harta warisan almarhum kedua orang tuanya demi membiayai kesuksesan Bima. Tanpa siapapun tahu.
"Maya," panggil Bima. "Ke sini sebentar,"
Maya menoleh, melihat Bima berdiri di dekat Nina yang masih tersenyum santai. Jantung Maya berdetak cepat, tapi dia memaksakan diri untuk mendekat.
“Kenalkan, ini Nina,” kata Bima sambil menoleh ke arah wanita di sampingnya. “Teman lama waktu di kampus dulu,”
Nina mengulurkan tangan dengan senyum manis. "Oh, jadi ini Maya? Senang akhirnya bisa bertemu. Bima sering cerita tentang kamu,"
Maya menatap tangan Nina, lalu perlahan menjabatnya. “Senang bertemu denganmu juga,” jawab Maya pelan. “Bima cerita banyak tentangku?”
“Oh, tentu saja,” Nina tertawa kecil, melirik ke arah Bima. “Dia bilang kamu istri yang baik,”
Maya hanya tersenyum tipis. “Bukankah semua istri harus baik?”
Nina melanjutkan pembicaraan, seolah-olah tidak ada hal yang salah. “Kamu tahu, Bima dulu sangat populer di kampus,” ujar Nina sambil tertawa kecil. “Banyak yang iri padaku karena kami dulu sangat dekat,”
Maya merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. “Benarkah?” Suaranya terdengar lebih datar dari yang dia harapkan.
“Ah, tapi itu dulu,” Nina menjawab cepat, melambai seolah-olah itu bukan hal besar. Meski jelas ada raut kecewa di wajahnya. “Sekarang aku hanya kagum melihat dia sudah punya keluarga yang bahagia,”
Maya melirik ke arah Bima, yang hanya tersenyum tipis tanpa memberi tanggapan. Semakin Maya amati, jarak Bima dan Nina semakin dekat. Seakan Ninalah pendamping Bima.
“Senang bertemu denganmu, Maya. Kita pasti harus ngobrol lebih banyak nanti,” tukas Nina. Meminta izin untuk bergabung kembali dengan tamu lain.
“Kenapa kamu tidak pernah cerita soal Nina?” tanyanya pelan, matanya menatap Bima dengan penuh tanya.
Bima mengangkat bahu, memasang ekspresi santai yang hanya membuat Maya semakin kesal. “Dia cuma teman lama,”
“Tapi kenapa kamu terlihat begitu akrab dengannya?” Suara Maya sedikit bergetar.
Bima mendesah, lalu menatap Maya dengan ekspresi lelah. “Kamu terlalu sensitif. Tidak semua hal harus jadi masalah,”
Maya berbalik, meninggalkan Bima tanpa menunggu jawaban. Dia berjalan menuju kamar kecil, berusaha keras menjaga air matanya agar tidak jatuh di depan orang lain.
***
Pagi itu Maya melangkah keluar dari mobil dengan sebuah bingkisan di tangan. Isinya adalah teh impor favorit Sulastri yang Maya pesan khusus dari luar negeri. Dia tahu hubungannya dengan ibu mertuanya itu selalu dipenuhi ketegangan, tetapi dia berpikir mungkin dia belum cukup berusaha.
Saat dia masuk ke teras depan, suara tawa dari ruang keluarga terdengar. Maya berhenti sejenak, mengatur napasnya sebelum melangkah masuk.
"Ibu," sapa Maya dengan senyum lembut, sambil mendekati Sulastri yang sedang duduk di sofa dengan Vina. "Aku bawa ini untuk Ibu. Ibu pernah bilang suka teh dari Jepang,"
Sulastri melirik bingkisan itu dengan alis terangkat, lalu mengambilnya tanpa senyum. “Teh, ya?” gumamnya sambil membuka kotak. Sulastri memandangi isinya sebentar, lalu meletakkannya di meja tanpa banyak komentar.
"Terima kasih, Maya," jawab Sulastri, tapi nadanya datar.
“Kak Maya perhatian sekali, ya, Bu,” seru Vina.
Namun, Sulastri hanya tersenyum kecil. "Tapi, ya... perhatian saja tidak cukup, kan?" kata Sulastri. Melirik Maya dengan lirikan menyindir. "Sudah lima tahun menikah, seharusnya dia sudah tahu apa yang paling penting bagi keluarga ini,"
Maya merasa wajahnya memanas. Tapi dia memaksakan untuk tetap tersenyum. Dia tahu maksud Sulastri—masalah anak. Topik itu lagi.
Belum sempat Maya menjawab, suara ketukan di pintu menggema di ruangan itu. Seorang pembantu segera membuka pintu.
"Selamat pagi, Tante Sulastri!" Nina masuk dengan membawa dua kotak besar di tangannya. Aroma harum masakan langsung memenuhi ruangan.
"Oh, Nina! Masuk, sayang," Sulastri langsung berdiri, wajahnya berubah cerah seketika. Ia berjalan mendekati Nina, membantu membawa salah satu kotak.
Maya hanya bisa berdiri diam di tempat, menyaksikan bagaimana Sulastri menyambut Nina dengan hangat.
“Aduh, apa ini? Harum sekali,” tanya Sulastri sambil membuka salah satu kotak.
“Aku yakin Tante sekeluarga pasti suka!” jawab Nina sambil tersenyum manis. “Aku ingat dulu waktu sering main ke sini, Tante suka sekali opor ayam buatanku. Jadi, kupikir, kenapa tidak masak untuk keluarga besar saja?”
“Kamu memang selalu tahu cara membuat orang senang!” Sulastri tertawa, menepuk bahu Nina. “Tidak seperti ... ya, tidak semua orang sepeka ini,”
Kalimat itu tidak diarahkan langsung pada Maya, tetapi jelas siapa yang dimaksud. Maya merasakan sesak di dadanya. Namun dia berusaha untuk tetap tersenyum.
“Kamu memang calon istri idaman, Nina,” celetuk Sulastri lagi. “Sayang sekali kamu belum menikah,”
“Siapa tahu ada yang berjodoh,” timpal Vina, melirik ke arah Sulastri yang tersenyum penuh arti.
Maya tahu dia tidak bisa lagi tinggal di ruangan itu. Dengan alasan ingin ke dapur untuk mengambil air, dia keluar tanpa suara.
Abi demam tinggi malam itu. Tubuh mungilnya menggigil meski sudah diselimuti rapat-rapat. Bima panik. Ia mondar-mandir di kamar, tak tahu harus melakukan apa. Tangan gemetar saat menyentuh kening Abi yang panas membara. Nafas anak itu terdengar berat, diselingi isakan kecil yang membuat dada Bima seperti diremas."Abi... bangun, Nak..." suara Bima bergetar, mencoba membangunkan Abi yang matanya terpejam namun gelisah. Tak ada jawaban. Panik sepenuhnya menguasainya.Tanpa pikir panjang, Bima menggendong Abi dan berlari menuju mobil. Tengah malam, hujan rintik-rintik membasahi jalanan. Tapi dia tak peduli. Hanya ada satu hal dalam pikirannya: selamatkan Abi.Sesampainya di rumah sakit, Bima nyaris menjatuhkan kunci mobil saat turun. Suster langsung menyambut dan membawa Abi ke ruang observasi. Bima mengejar, tak peduli dengan prosedur atau administrasi.Waktu terasa begitu lambat. Dia duduk di ruang tunggu dengan tangan mencengkeram ujung kursi. Kepalanya menunduk. Dalam hatinya, dia be
Langit mendung menggantung rendah ketika Maya melangkah melewati gerbang besi yang menjulang dingin. Bau logam dan lembab menyambutnya, seolah penjara itu tidak hanya mengurung tubuh manusia, tetapi juga menyimpan semua sisa dosa yang tak pernah sempat ditebus. Petugas mengantar Maya tanpa banyak kata. Di wajah wanita itu tak ada senyum, hanya ekspresi datar—dingin seperti batu nisan.Di balik dinding kaca dan jeruji, Nina duduk membungkuk, tubuhnya tampak lebih kecil daripada terakhir kali Maya melihatnya. Wajahnya pucat dengan luka memar masih membekas di pelipis. Rambutnya acak-acakan, matanya kosong, tapi berubah tegang saat menyadari siapa yang berdiri di seberang kaca.Maya duduk perlahan. Ia tidak mengucapkan salam. Tidak menanyakan kabar. Hanya menatap Nina seperti seseorang memandangi bangkai hewan di pinggir jalan—penuh jijik, tapi tidak cukup penting untuk ditangisi.“Kau kelihatan seperti bayangan dirimu sendiri,” ucap Maya akhirnya, suaranya tenang namun penuh ironi.Nina
Tatapan Bima pias, tampak kosong. Hari masih begitu pagi untuk dia melamun. Namun tampaknya Bima tidak peduli. Sembari pikirannya melayang ke banyak hal, Bima mengisi botol air panasnya ke dispenser.“Pak Bima, awas!” jerit salah satu karyawannya.“Argh!” Bima mengaduh kesakitan, melepaskan pegangan botolnya setelah sadar tangannya tersiram percikan air panas dari dispenser.“Bapak tidak apa-apa?” Karyawan wanita itu mendekat, mencoba menolong Bima.Bima dengan cepat menggeleng. “Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Terima kasih,”Raka mengawasi peristiwa itu dari kejauhan. Namun tidak ada tanda-tanda dia hendak ikut menolong. Dia terus memperhatikan Bima, dengan satu tangan kanan memegang gelas kopi dan tangan kiri masuk ke dalam saku celana.“Sampai kapan dia akan seperti ini?” gumam Raka, tak melepaskan pandangannya dari Bima.Tidak seperti sebelumnya, Raka sudah lebih melepaskan perasaan iri hati pada Bima. Setelah segala yang terjadi, apalagi dia berjanji pada Maya untuk tidak melakuk
Bima yang baru saja keluar dari ruang meeting, mengangkat telepon dari ibunya. “Halo, Ma…”“Bim, Mama cuma mau tanya, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Sulastri. Suaranya terdengar pelan, penuh perhatian. Di ujung sana, dia duduk di ruang tengah sambil memperhatikan Abi dan Angel bermain dari kejauhan.Bima menarik napas dalam. Dia menatap jendela kantor yang memperlihatkan langit siang yang terik. “Aku baik, Ma. Hanya butuh waktu saja untuk menerima semuanya,”Sulastri diam sejenak. “ Vina tadi sempat bicara. Dia mempertanyakan soal Abi. Tentang statusnya, dan kenapa masih ada di sini,”Bima terdiam. Hatinya berdenyut tak nyaman.“Aku tahu ini bukan hal yang mudah,” lanjut Sulastri. “Tapi Mama cuma mau memastikan kamu siap menghadapi semuanya, Bim. Termasuk pertanyaan orang-orang. Abi memang bukan darahmu, tapi dia tetap anak yang butuh kasih sayang. Yang dia tahu kamu adalah—”“Aku tahu,” potong Bima cepat. “Terima kasih sudah menjaga Abi, Ma. Tapi untuk sekarang, kurasa dia lebih am
Bima melangkah masuk ke ruang kerjanya di kantor yang sempat kosong selama beberapa hari. Beberapa staf menyambutnya dengan senyum kaku, tidak berani bertanya.“Selamat pagi, Pak Bima,” sapa para staf. Meski banyak diantara mereka yang cukup penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.Raka yang sedang sibuk di depan layar komputernya, mendongak terkejut ketika melihat Bima lewat di hadapannya sebelum melangkah masuk ke ruang kerja dengan tenang.“Mas Bima?” panggil Raka. Berdiri dari kursinya. “Kamu sudah masuk lagi?”Bima mengangguk kecil. “Terlalu banyak yang harus dibereskan di kantor,”Raka maju beberapa langkah, masih dengan ekspresi bingung. “Tapi … bagaimana kabar Nina?” bisiknya.Bima tersenyum tipis. “Kamu tahu dia sedang tidak bersamaku, kan?”Raka menatap kakaknya lama, sebelum akhirnya mengangguk ragu. “Kalau begitu, aku siap membantu apapun yang kamu butuhkan,”Bima menepuk bahu Raka pelan. “Kamu sudah membantu banyak,” timpalnya. “Bagaimana Abi? Apa dia mencariku?”“Di
Rumah besar itu sunyi, seolah kehilangan napas setelah semua kekacauan yang berlangsung tadi. Abi sudah tertidur di kamarnya, setelah susah payah Sulastri mencoba untuk mengalihkan fokusnya pada Nina.Bima duduk di ujung sofa, membungkuk. Wajahnya tertutup kedua tangan. Napasnya berat, seolah menahan beban yang sudah terlalu lama menghimpit dadanya. Setelah memastikan Abi benar-benar terlelap, Sulastri kembali ke ruang tengah dan menatap Bima yang kini tampak begitu rapuh.“Sekarang kamu sendirian di rumah ini, Bim,” tukas Sulastri. “Apa rencanamu selanjutnya?”Bima mengangkat wajahnya perlahan. “Ma, aku belum bisa. Aku belum sanggup menjaga Abi, setelah semua yang terjadi. Setelah mengetahui kebenarannya,” Suaranya parau. “Kumohon… bawa Abi… bawa Abi tinggal bersama Mama untuk sementara waktu, sampai—”“Kamu yakin?” sambar Sulastri. Bima mengangguk perlahan. Nyaris seperti orang yang sedang menahan tangis. “Aku hanya takut dia menjadi korban dari semua kekacauan dan kebohongan ini.