Maya menyesap secangkir latte sambil menatap layar laptop di hadapannya. Kafe kecil ini adalah tempat pelariannya. Di sini, dia bisa menjadi dirinya sendiri. Menghabiskan waktu dengan proyek desain kecil-kecilan yang dia kerjakan untuk menambah penghasilan. Meski proyek-proyek itu tidak terlalu besar, Maya merasa bahagia. Setidaknya, dia masih bisa menggunakan bakatnya di bidang desain grafis. Sesuatu yang sudah dia cintai sejak masa kuliah.
“Maya?” sapa seseorang tiba-tiba.
Maya mendongak. Seorang pria tinggi berpenampilan rapi menatapnya sedikit bimbang. Wajah pria itu langsung dikenali Maya, meski waktu telah berlalu.
“Reza?” Suara Maya terdengar ragu, tapi senyumnya segera mengembang. “Astaga, sudah lama sekali!”
Reza tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya yang rapi. "Ya Tuhan, aku tidak percaya ini kamu! Boleh duduk?" seru Reza, lebih antusias.
“Tentu,” jawab Maya, masih terkejut dengan kehadiran pria itu.
Reza Bastian. Seorang teman dekat Maya di kampus dan pernah mengungkapkan perasaannya pada Maya. Namun Maya yang saat itu sudah mulai dekat dengan Bima, memilih untuk tidak menanggapi perasaan Reza.
Mereka pun mulai berbincang, mengenang masa-masa kuliah. Reza kini telah berubah—lebih dewasa, lebih percaya diri, dan terlihat sangat sukses.
“Apa kabar? Sudah lama tidak mendengar kabarmu,” tanya Reza.
Maya tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan kegetiran dalam hidupnya. "Baik, kok. Aku sekarang lebih banyak di rumah, mengurus keluarga,"
“Oh, jadi ibu rumah tangga sekarang?” Reza tampak terkejut. “Bima memperlakukanmu dengan baik, ya?”
“Ya, begitulah,” jawab Maya singkat, lalu cepat mengalihkan pembicaraan. “Kamu sendiri bagaimana? Kelihatannya sangat sukses,”
Reza tertawa kecil. “Begitulah. Aku sekarang menjalankan perusahaan agensi kreatif. Kita fokus di bidang pemasaran digital, branding dan desain. Jadi, bisa dibilang aku masih berhubungan dengan dunia kreatif,”
Mata Maya berbinar mendengar penjelasannya. “Wow, luar biasa! Kamu memang selalu punya ide-ide kreatif sejak dulu,” komentarnya.
Reza tersenyum. “Terima kasih. Tapi aku yakin, kamu juga masih berbakat di bidang itu. Lihat saja, kamu lagi sibuk apa ini?” Dia menunjuk laptop Maya.
“Oh, cuma proyek kecil-kecilan,” seloroh Maya, merendah. “Kamu tahu aku suka desain grafis, jadi kadang ambil kerjaan freelance. Tidak besar, tapi cukup bikin senang,”
Maya tersenyum lebar, begitu manis. Sedetik kemudian, Reza merasa hatinya sedikit berdesir. Melihat Maya setelah sekian lama, bukanlah hal yang mudah untuknya.
“Kalau kamu tertarik, kenapa tidak coba kerja lagi secara profesional? Di perusahaanku, misalnya. Kami butuh orang berbakat sepertimu,” ucap Reza.
Maya terkejut. “Kamu serius?”
“Tentu saja,” balas Reza. “Kamu punya pengalaman, punya bakat, dan aku yakin kamu bisa membantu banyak di tim kami,”
Maya terdiam sejenak, memikirkan tawaran itu.
“Aku akan pikirkan,” Akhirnya Maya berkata dengan senyum tipis.
“Bagus,” kata Reza. “Kalau kamu sudah siap, beri tahu aku. Aku akan selalu terbuka untuk kamu,” Dia memberikan kartu namanya pada Maya.
***
(Beberapa hari kemudian … )
Maya duduk di meja makan besar keluarga Santoso, mengamati wajah-wajah yang sudah dikenalnya. Meski tidak pernah benar-benar merasa dekat dengan mereka. Makan malam itu seharusnya menjadi momen hangat bersama keluarga besar, tetapi Maya justru seperti terjebak dalam pusaran api.
“Maya,” kata Harjono sambil menatap langsung ke arah menantunya. “Kondisi perusahaan Bima sedang sulit. Kami sudah berdiskusi, dan menurutku, ini saatnya kamu menunjukkan dukungan pada suamimu,”
Maya mencoba tetap tenang. “Apa maksud Ayah?” tanyanya hati-hati.
Harjono melipat tangannya di dada. “Jual saja mobil yang kamu pakai itu. Dan kalau bisa, perhiasanmu juga. Uangnya bisa digunakan untuk menyelamatkan perusahaan Bima. Lagipula, mobil itu kan hanya kamu gunakan untuk keperluan sehari-hari,”
Maya membelalakkan matanya, terkejut dengan permintaan yang begitu terang-terangan. "Tapi Ayah, mobil itu satu-satunya kendaraan yang aku punya,"
Sebelum Maya sempat melanjutkan, suara Vina memotong dengan nada tajam. “Kalau kamu peduli dengan keluarga ini, harusnya kamu rela, Kak Maya. Ini soal bisnis keluarga, bukan cuma urusan pribadi. Jangan cuma bisa menikmati, tapi tidak mau berkorban,”
“Aku sudah banyak berkorban,” jawab Maya, suaranya sedikit bergetar. “Uang warisan dulu diberikan untuk mendirikan bisnis itu, dan—”
“Kamu masih berani bicara soal itu?” sambar Sulastri. Dia mendengus sinis. “Kamu benar-benar tidak tahu diri. Apa kamu lupa? Kamu yang beruntung menikah dengan Bima. Kalau bukan karena dia, kamu mungkin cuma jadi istri biasa yang tidak punya apa-apa!”
Ruangan terasa sunyi sejenak. Semua mata tertuju pada Maya, yang wajahnya kini memerah menahan amarah dan rasa malu. Pandangannya mencoba mencari sosok Bima yang duduk di depannya. Tapi Bima hanya menunduk, mengaduk makanan di piring seolah-olah tidak mendengar apapun.
***
Maya membuka pintu depan rumahnya dengan amat keras. Kejadian makan malam tadi sungguh membuat emosinya melonjak sampai tenggorokannya terasa sangat sakit.
“Kenapa kamu diam saja tadi? Kenapa kamu membiarkan orang tuamu bicara seperti itu kepada aku?” hardik Maya pada Bima.
Bima mendesah, tampak lelah. “Aku tidak mau memperkeruh suasana. Papa hanya ingin membantu. Kamu harusnya bisa mengerti,”
“Mereka mempermalukan aku di depan semua orang, dan kamu tidak melakukan apa-apa untuk membelaku. Apa aku ini hanya alat bagi kamu dan keluargamu? Aku sudah memberikan segalanya untuk bisnis itu, dan sekarang mereka ingin aku memberikan lebih?”
Bima menatap Maya dengan ekspresi datar. “Ini tentang keluarga, Maya. Kadang, kita harus berkorban untuk keluarga,”
Maya terkekeh sinis, air mata mulai menggenang di matanya. “Lalu, di mana kamu sebagai suami? Bukankah tugasmu melindungiku? Mendukungku? Tapi yang kamu lakukan hanya membiarkan aku dihina, dipermalukan!”
“Cukup, Maya!” Bima akhirnya berseru, suaranya meninggi. “Kamu terlalu sensitif. Mereka tidak bermaksud seperti itu. Kalau kamu mau membantu, bantu saja. Jangan banyak mengeluh!”
Tanpa menunggu jawaban, Maya berbalik dan pergi ke kamar. Meninggalkan Bima di ruang tamu. Dia membanting tasnya begitu saja ke lantai, dan isinya berserakan. Dengan mata yang buram karena tangisan, samar-samar Maya melihat secarik kartu nama Reza yang masih dia simpan di dalam tasnya. Maya membungkuk untuk mengambil kartu nama itu.
Andai saja aku memilih Reza. Apakah hidupku akan berubah bahagia?
Tatapan Bima pias, tampak kosong. Hari masih begitu pagi untuk dia melamun. Namun tampaknya Bima tidak peduli. Sembari pikirannya melayang ke banyak hal, Bima mengisi botol air panasnya ke dispenser.“Pak Bima, awas!” jerit salah satu karyawannya.“Argh!” Bima mengaduh kesakitan, melepaskan pegangan botolnya setelah sadar tangannya tersiram percikan air panas dari dispenser.“Bapak tidak apa-apa?” Karyawan wanita itu mendekat, mencoba menolong Bima.Bima dengan cepat menggeleng. “Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Terima kasih,”Raka mengawasi peristiwa itu dari kejauhan. Namun tidak ada tanda-tanda dia hendak ikut menolong. Dia terus memperhatikan Bima, dengan satu tangan kanan memegang gelas kopi dan tangan kiri masuk ke dalam saku celana.“Sampai kapan dia akan seperti ini?” gumam Raka, tak melepaskan pandangannya dari Bima.Tidak seperti sebelumnya, Raka sudah lebih melepaskan perasaan iri hati pada Bima. Setelah segala yang terjadi, apalagi dia berjanji pada Maya untuk tidak melakuk
Bima yang baru saja keluar dari ruang meeting, mengangkat telepon dari ibunya. “Halo, Ma…”“Bim, Mama cuma mau tanya, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Sulastri. Suaranya terdengar pelan, penuh perhatian. Di ujung sana, dia duduk di ruang tengah sambil memperhatikan Abi dan Angel bermain dari kejauhan.Bima menarik napas dalam. Dia menatap jendela kantor yang memperlihatkan langit siang yang terik. “Aku baik, Ma. Hanya butuh waktu saja untuk menerima semuanya,”Sulastri diam sejenak. “ Vina tadi sempat bicara. Dia mempertanyakan soal Abi. Tentang statusnya, dan kenapa masih ada di sini,”Bima terdiam. Hatinya berdenyut tak nyaman.“Aku tahu ini bukan hal yang mudah,” lanjut Sulastri. “Tapi Mama cuma mau memastikan kamu siap menghadapi semuanya, Bim. Termasuk pertanyaan orang-orang. Abi memang bukan darahmu, tapi dia tetap anak yang butuh kasih sayang. Yang dia tahu kamu adalah—”“Aku tahu,” potong Bima cepat. “Terima kasih sudah menjaga Abi, Ma. Tapi untuk sekarang, kurasa dia lebih am
Bima melangkah masuk ke ruang kerjanya di kantor yang sempat kosong selama beberapa hari. Beberapa staf menyambutnya dengan senyum kaku, tidak berani bertanya.“Selamat pagi, Pak Bima,” sapa para staf. Meski banyak diantara mereka yang cukup penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.Raka yang sedang sibuk di depan layar komputernya, mendongak terkejut ketika melihat Bima lewat di hadapannya sebelum melangkah masuk ke ruang kerja dengan tenang.“Mas Bima?” panggil Raka. Berdiri dari kursinya. “Kamu sudah masuk lagi?”Bima mengangguk kecil. “Terlalu banyak yang harus dibereskan di kantor,”Raka maju beberapa langkah, masih dengan ekspresi bingung. “Tapi … bagaimana kabar Nina?” bisiknya.Bima tersenyum tipis. “Kamu tahu dia sedang tidak bersamaku, kan?”Raka menatap kakaknya lama, sebelum akhirnya mengangguk ragu. “Kalau begitu, aku siap membantu apapun yang kamu butuhkan,”Bima menepuk bahu Raka pelan. “Kamu sudah membantu banyak,” timpalnya. “Bagaimana Abi? Apa dia mencariku?”“Di
Rumah besar itu sunyi, seolah kehilangan napas setelah semua kekacauan yang berlangsung tadi. Abi sudah tertidur di kamarnya, setelah susah payah Sulastri mencoba untuk mengalihkan fokusnya pada Nina.Bima duduk di ujung sofa, membungkuk. Wajahnya tertutup kedua tangan. Napasnya berat, seolah menahan beban yang sudah terlalu lama menghimpit dadanya. Setelah memastikan Abi benar-benar terlelap, Sulastri kembali ke ruang tengah dan menatap Bima yang kini tampak begitu rapuh.“Sekarang kamu sendirian di rumah ini, Bim,” tukas Sulastri. “Apa rencanamu selanjutnya?”Bima mengangkat wajahnya perlahan. “Ma, aku belum bisa. Aku belum sanggup menjaga Abi, setelah semua yang terjadi. Setelah mengetahui kebenarannya,” Suaranya parau. “Kumohon… bawa Abi… bawa Abi tinggal bersama Mama untuk sementara waktu, sampai—”“Kamu yakin?” sambar Sulastri. Bima mengangguk perlahan. Nyaris seperti orang yang sedang menahan tangis. “Aku hanya takut dia menjadi korban dari semua kekacauan dan kebohongan ini.
Bima berdiri di ujung tangga. Tatapannya terbelah dua—antara ibunya yang berdiri dengan tubuh bergetar karena marah, dan Nina yang berdiri kaku di dekat pintu. Matanya merah tapi rahangnya mengeras."Ada apa ini?" tanya Bima, matanya langsung menajam ke arah ibunya. "Ma, kenapa Mama teriak-teriak seperti ini?"Sulastri mengangkat wajah. “Bima... Mama tidak bisa diam lagi. Mama tidak bisa terus berpura-pura semua baik-baik saja,” Dia melangkah pelan mendekati anaknya, lalu menunjuk Nina. “Perempuan ini sudah menghancurkan hidupmu. Dia berselingkuh. Sama laki-laki itu—Femil!”Bima mengernyit, matanya bergeser ke Nina. "Apa?" gumamnya nyaris tidak terdengar.Nina buru-buru melangkah naik dua anak tangga. Mendekat pada Bima, mencoba meraih tangannya. “Sayang, jangan dengarkan Ibu! Dia salah! Dia hanya mau memecah kita!”Sulastri menepis tangan Nina sebelum sempat menyentuh putranya. “Kamu jangan sentuh anakku lagi!” bentaknya. “Femil sudah ditangkap karena mencoba membunuh Maya! Dan sebel
Pagi yang biasanya tenang di kantor Bima berubah tegang saat dua orang polisi berpakaian sipil datang dan langsung menuju ruangannya. Para pegawai saling bertukar pandang, bertanya-tanya dalam diam. Bima yang sedang duduk di balik meja, menatap tamunya dengan alis terangkat. Meski tetap menyambut dengan tenang.“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan.Salah satu polisi menunjukkan lencananya. “Kami dari satuan investigasi tindak kriminal ekonomi. Kami ingin meminta waktu Bapak sebentar untuk memberikan keterangan. Terkait kasus saudara Femil Arzeta,”Bima sempat terdiam, wajahnya mengeras. “Silakan duduk. Keterangan seperti apa yang Anda butuhkan?”Polisi itu mengeluarkan map dari tas dan meletakkannya di atas meja. “Femil menyebut nama Anda dan istri Anda, Nina, dalam pengakuannya. Dia mengatakan bahwa selama beberapa waktu terakhir, aktivitasnya—termasuk transaksi finansial—berkaitan dengan istri Anda. Bahkan ada dugaan bahwa dana milik Anda disalahgunakan untuk kepentingan priba