"Maaf, saya benar-benar harus pergi. Terima kasih untuk makan malamnya," ucap Maya, bersiap untuk pergi.
"Maya, tunggu. Jangan pergi, kumohon," cegah Reza. "Maya, tolong dengarkan aku. Aku tidak ingin kamu salah paham. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan," pinta Reza.
Maya tersenyum pahit. “Semuanya sudah jelas,” balasnya singkat.
"Maya, jangan buru-buru pergi. Kami sangat senang kamu ada di sini. Aku tahu situasi ini membuatmu tidak nyaman, tapi semuanya bisa dibicarakan dengan baik," bujuk Amara. Ekspresinya tampak begitu bersalah saat memandang Maya.
"Tante, terima kasih atas kebaikannya. Tapi saya rasa … saya harus pergi," Suara Maya bergetar.
"Maya, kumohon,” desak Reza, sedikit frustasi. &ldqu
Reza berdiri, menatap Viona dengan kilat kemarahan. “Aku minta kamu pergi sekarang juga! Kamu sudah cukup merusak malam ini!” bentak Reza murka.Viona terkekeh pelan. "Aku hanya ingin membantu Om dan Tante melihat kenyataan. Kalau aku salah, maafkan aku, Sayang. Tapi aku rasa aku tidak salah," tantangnya. Dia melotot lebar ke arah Reza.Viona lantas mengambil tasnya dan pergi dari ruang makan dengan langkah angkuh. Amara memandang Maya cemas, sementara suaminya hanya bisa menghela napas panjang.Suasana di ruang makan berubah menjadi sangat canggung setelah kepergian Viona. Semua orang tampak tenggelam dalam pikiran masing-masing, dan ketegangan terasa menyelimuti ruangan.Sekuat tenaga Maya menahan air matanya, sambil mengepalkan tangan kuat. Dia tidak ingin kecewa lagi. Dia harus bertahan.Reza menghela napas panjang. "Maafkan aku, tapi aku harus mengatakan ini, Ayah, Mama,” ucapnya, mengedarkan pandangan pada kedua orang tuanya. “Apa yang dilakukan Viona tadi sama sekali tidak bisa
Maya menghapus air matanya cepat-cepat sebelum menurunkan kaca jendela. “Pulanglah. Aku cuma butuh waktu sendiri," ucapnya, menghindari tatapan Reza.“Aku tidak akan pergi sebelum kamu keluar dari mobil,” tandas Reza, begitu keras kepala.Maya mendesah panjang, merasa bimbang. Akhirnya, dia membuka pintu mobil dan keluar. Air hujan yang dingin menyentuh wajahnya yang masih sembab oleh air mata.“Kenapa kamu harus lari?” Reza mengencangkan suaranya demi menyamai suara hujan. “ Aku bisa jelaskan semuanya. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan,”Maya menatap Reza dengan mata berkaca-kaca. “Apa kamu tidak lihat? Kehadiranku hanya memperumit semuanya. Aku tidak ingin membuat hidupmu sulit, Za,”
Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang lembut. Reza mengulum bibir Maya, memejamkan mata demi menikmati setiap detil yang terasa. Untuk sesaat, waktu terasa berhenti. Hujan di luar seperti menghilang, meninggalkan mereka dalam kehangatan momen itu.Hening menyelimuti mereka di dalam mobil. Hujan deras di luar menciptakan ritme yang menenangkan. Maya menatap ke luar jendela, mencoba menyembunyikan perasaan berdebar. Tapi pandangan Reza tetap tertuju padanya. Seakan tidak ada hal lain yang lebih penting dibandingkan Maya saat ini.“Aku tidak akan pernah membiarkan kamu sendirian lagi, May,” ucap Reza pelan.Maya terdiam, hatinya berkecamuk. Dia hanya bisa menelan ludah. Dan perlahan menoleh ke arah Reza yang masih menatapnya tanpa berkedip."Aku takut, Reza ...
Reza melangkah masuk ke butik Viona dengan langkah tegas. Seorang asisten butik langsung menyambutnya. Tetapi Reza mengangkat tangan, menolak dengan halus."Aku mau bicara dengan Viona. Di mana dia?" tanya Reza, memasang wajah ketus."Oh, sebentar, Pak Reza. Saya panggilkan Ibu Viona," jawab asisten itu.Tidak lama kemudian, Viona muncul dari ruang belakang dengan senyum girang. Wanita itu selalu tampil sempurna, dengan gaun maxi yang membungkus tubuh indahnya. Viona tidak menyangka Reza akan datang untuk menemuinya."Reza ... Apa kabar? Tumben sekali kamu datang ke sini," sapa Viona dengan mata berbinar.Reza tak membalas senyuman itu. Tatapannya tajam, membuat Viona sedikit tertegun.
Nina duduk di ruang tamu rumah Bima, yang kini lebih sering dikunjungi oleh Sulastri. Dengan rambut yang tergerai rapi dan wajah yang terlihat segar, Nina asyik menikmati segelas jus sambil berselancar di media sosial. Di sudut lain, terdengar suara tangisan bayi yang menggema dari kamar. Sulastri terlihat mondar-mandir dengan bayi di gendongan, berusaha menenangkan cucu barunya."Ini anak kenapa lagi sih, Nin? Kayaknya popoknya harus diganti," Suara Sulastri terdengar dari arah kamar.Namun Nina hanya melirik sekilas. "Iya, Ibu. Ibu kan yang lebih mengerti cara mengurus bayi," jawab Nina santai, bahkan tanpa sedikitpun rasa segan. Dia menyeruput jus dengan santai, seolah tanggung jawab itu bukan miliknya.Sulastri keluar dari kamar dengan wajah lelah. Masih menggendong bayi yang kini mulai tenang. "Nina, kamu ini i
Nina berdiri dengan tatapan tajam, menatap langsung ke arah Viona. Dia tidak menerima uluran tangan Viona. Sementara Sulastri terlihat canggung diantara dua wanita itu, seperti tidak tahu harus berbuat apa.Nina meletakkan kantong plastik berisi makanan yang dibawanya ke atas meja. Wajahnya dingin. Senyum tipis yang terlihat di bibirnya sama sekali tidak menunjukkan keramahan."Jadi, kamu ini siapa sebenarnya? Dan ada urusan apa sampai repot-repot mampir ke sini?" tanya Nina tanpa basa-basi.Viona mengangkat alis, seolah tidak menyangka Nina akan bertanya begitu frontal. Namun, dia tetap tenang. Dengan gerakan anggun, dia menarik kembali uluran tangannya dan tersenyum tipis.“Saya Viona. Kebetulan, saya mengenal Bima," jawab Viona singkat.
Nina melangkah masuk ke kantor Bima dengan langkah cepat. Wajahnya tegang, kedua tangannya mengepal erat. Ada sorot kemarahan bercampur kecemasan di matanya. Saat dia mencapai pintu ruang kerja Bima, tanpa mengetuk dia langsung mendorong pintu hingga terbuka lebar.“Bima!” seru Nina. Langsung menarik perhatian Bima yang sedang duduk di balik meja kerjanya.Bima yang tengah sibuk menandatangani dokumen, menegakkan tubuhnya dengan alis terangkat. “Ada apa? Kenapa kamu datang ke sini?” tanyanya bingung.Nina mendekat, tangannya bersilang di dada. Matanya menatap tajam ke arah pria itu. “Aku mau tanya sesuatu, dan kamu harus jawab dengan jujur,” katanya, tanpa basa-basi.Bima mendesah pelan, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “B
Suasana ruang kantor Arman terasa tenang, tetapi ketegangan mulai terasa begitu Bima masuk. Sebagai penasihat keuangan sekaligus sahabat dekat Bima, Arman sering menjadi tempat curhat Bima. Tapi kali ini ekspresi Bima terlihat jauh lebih serius daripada biasanya.“Arman, aku butuh bantuanmu,” kata Bima sambil menatap lurus.Arman mengangkat alis, meletakkan pulpen ke atas meja. Lalu bersandar di kursinya.“Bantuan soal apa? Dari nada suaramu, sepertinya ada sesuatu yang besar,” tebak Arman.Bima menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan emosinya sebelum bicara. “Ini soal rumah itu. Aku dengar dari Nina, rumah itu sekarang secara resmi kembali menjadi milik Maya. Dan, ya, perceraian kami sudah selesai, tapi aku tidak bisa kehilangan rumah itu. Itu satu-satunya tempat tinggal untuk Nina dan anakku. Aku mau kamu bantu aku mencari cara agar rumah itu tetap jadi milikku,”Arman mengerutkan dahi, lalu menyandarkan siku di atas meja. “Bim, aku mengerti situasimu. Tapi kamu tahu dari aw
Bima melangkah masuk ke ruang kerjanya di kantor yang sempat kosong selama beberapa hari. Beberapa staf menyambutnya dengan senyum kaku, tidak berani bertanya.“Selamat pagi, Pak Bima,” sapa para staf. Meski banyak diantara mereka yang cukup penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.Raka yang sedang sibuk di depan layar komputernya, mendongak terkejut ketika melihat Bima lewat di hadapannya sebelum melangkah masuk ke ruang kerja dengan tenang.“Mas Bima?” panggil Raka. Berdiri dari kursinya. “Kamu sudah masuk lagi?”Bima mengangguk kecil. “Terlalu banyak yang harus dibereskan di kantor,”Raka maju beberapa langkah, masih dengan ekspresi bingung. “Tapi … bagaimana kabar Nina?” bisiknya.Bima tersenyum tipis. “Kamu tahu dia sedang tidak bersamaku, kan?”Raka menatap kakaknya lama, sebelum akhirnya mengangguk ragu. “Kalau begitu, aku siap membantu apapun yang kamu butuhkan,”Bima menepuk bahu Raka pelan. “Kamu sudah membantu banyak,” timpalnya. “Bagaimana Abi? Apa dia mencariku?”“Di
Rumah besar itu sunyi, seolah kehilangan napas setelah semua kekacauan yang berlangsung tadi. Abi sudah tertidur di kamarnya, setelah susah payah Sulastri mencoba untuk mengalihkan fokusnya pada Nina.Bima duduk di ujung sofa, membungkuk. Wajahnya tertutup kedua tangan. Napasnya berat, seolah menahan beban yang sudah terlalu lama menghimpit dadanya. Setelah memastikan Abi benar-benar terlelap, Sulastri kembali ke ruang tengah dan menatap Bima yang kini tampak begitu rapuh.“Sekarang kamu sendirian di rumah ini, Bim,” tukas Sulastri. “Apa rencanamu selanjutnya?”Bima mengangkat wajahnya perlahan. “Ma, aku belum bisa. Aku belum sanggup menjaga Abi, setelah semua yang terjadi. Setelah mengetahui kebenarannya,” Suaranya parau. “Kumohon… bawa Abi… bawa Abi tinggal bersama Mama untuk sementara waktu, sampai—”“Kamu yakin?” sambar Sulastri. Bima mengangguk perlahan. Nyaris seperti orang yang sedang menahan tangis. “Aku hanya takut dia menjadi korban dari semua kekacauan dan kebohongan ini.
Bima berdiri di ujung tangga. Tatapannya terbelah dua—antara ibunya yang berdiri dengan tubuh bergetar karena marah, dan Nina yang berdiri kaku di dekat pintu. Matanya merah tapi rahangnya mengeras."Ada apa ini?" tanya Bima, matanya langsung menajam ke arah ibunya. "Ma, kenapa Mama teriak-teriak seperti ini?"Sulastri mengangkat wajah. “Bima... Mama tidak bisa diam lagi. Mama tidak bisa terus berpura-pura semua baik-baik saja,” Dia melangkah pelan mendekati anaknya, lalu menunjuk Nina. “Perempuan ini sudah menghancurkan hidupmu. Dia berselingkuh. Sama laki-laki itu—Femil!”Bima mengernyit, matanya bergeser ke Nina. "Apa?" gumamnya nyaris tidak terdengar.Nina buru-buru melangkah naik dua anak tangga. Mendekat pada Bima, mencoba meraih tangannya. “Sayang, jangan dengarkan Ibu! Dia salah! Dia hanya mau memecah kita!”Sulastri menepis tangan Nina sebelum sempat menyentuh putranya. “Kamu jangan sentuh anakku lagi!” bentaknya. “Femil sudah ditangkap karena mencoba membunuh Maya! Dan sebel
Pagi yang biasanya tenang di kantor Bima berubah tegang saat dua orang polisi berpakaian sipil datang dan langsung menuju ruangannya. Para pegawai saling bertukar pandang, bertanya-tanya dalam diam. Bima yang sedang duduk di balik meja, menatap tamunya dengan alis terangkat. Meski tetap menyambut dengan tenang.“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan.Salah satu polisi menunjukkan lencananya. “Kami dari satuan investigasi tindak kriminal ekonomi. Kami ingin meminta waktu Bapak sebentar untuk memberikan keterangan. Terkait kasus saudara Femil Arzeta,”Bima sempat terdiam, wajahnya mengeras. “Silakan duduk. Keterangan seperti apa yang Anda butuhkan?”Polisi itu mengeluarkan map dari tas dan meletakkannya di atas meja. “Femil menyebut nama Anda dan istri Anda, Nina, dalam pengakuannya. Dia mengatakan bahwa selama beberapa waktu terakhir, aktivitasnya—termasuk transaksi finansial—berkaitan dengan istri Anda. Bahkan ada dugaan bahwa dana milik Anda disalahgunakan untuk kepentingan priba
Maya menoleh, melihat Reza berdiri di antara dirinya dan Femil yang kini terkapar di tanah. Wajah Reza merah padam, matanya menatap Femil dengan marah.Femil meringis, mencoba bangkit. Tapi Reza sigap menginjak lengannya, mencegahnya mengambil kembali pisaunya.“Kau pikir bisa lolos setelah mencoba membunuh Maya?” bentak Reza.Femil menyeringai, meski napasnya tersengal. “Aku tidak akan pernah berhenti,”Reza mengepalkan tinju, tapi Maya buru-buru menarik lengannya. “Jangan, Reza. Kita harus melaporkannya ke polisi,”Mata Reza masih penuh amarah, tapi dia mengangguk. Dia meraih ponselnya, bersiap menghubungi pihak berwenang.Tepat ketika Reza hendak menelepon polisi, Femil tiba-tiba bergerak cepat. Dengan kekuatan yang tak terduga, dia meraih pisaunya kembali dari tanah dan menyerang Reza.“Reza, awas!” teriak Maya panik.Reza sempat menoleh, tapi Femil sudah lebih dulu melayangkan pisaunya ke arah dada Reza.Reza menghindar ke samping, tapi pisau itu tetap berhasil menggores lenganny
Raka tampak semakin gelisah. Sejenak dia mengelus tengkuk, seakan mencoba untuk menata hati sebelum bicara."Maya, aku butuh perlindunganmu," ujar Raka.Maya mengernyit. "Perlindungan?"Raka mengangguk, ekspresinya tegang. "Aku akan mengungkap sebuah rahasia. Rahasia yang bisa membuatku dalam bahaya,"Jantung Maya berdegup lebih cepat. "Apa maksudmu? Rahasia apa?"Raka menatapnya dalam-dalam. Lalu menunduk sesaat seolah sedang mempertimbangkan kata-katanya. "Ini soal Nina… dan sesuatu yang lebih besar dari itu,"Maya bisa merasakan ketakutan dalam suara Raka. Dia bukan pria yang mudah takut. Tetapi kali ini, wajahnya menunjukkan kecemasan."Aku akan memberitahumu semuanya sekarang. Aku tahu sesuatu yang akan mengubah segalanya," lanjut Raka. "Dan aku butuh tempat yang aman. Aku tidak bisa pulang ke rumah. Femil sudah mengancam akan membunuh istri dan anakku jika aku buka mulut,"Maya mengepalkan tangannya di atas meja. “Apa yang kamu tahu?”Raka menarik napas dalam-dalam sebelum menja
Femil berdiri dengan santai. Senyum tipis penuh kemenangan terukir di wajahnya. Sementara Nina menyilangkan tangan di dada, memandang Maya dengan tatapan penuh kebencian.“Pergilah. Jika kau masih sayang nyawamu,” ancam Femil sekali lagi.Maya menatap keduanya dengan tajam sebelum menghembuskan napas panjang. Dia melangkah mundur, lalu berbalik menuju pintu keluar.Saat tangan Maya menyentuh kenop pintu, dia berhenti sejenak dan berkata tanpa menoleh. “Aku akan mendapatkan rumahku kembali, entah bagaimana caranya. Nikmati kemenangan sementara kalian,”Setelah itu, Maya membuka pintu dan melangkah keluar tanpa menoleh lagi.Begitu Maya benar-benar pergi, Nina berbalik dan langsung meraih tubuh Femil. Melingkarkan lengannya di leher pria itu. Senyum kemenangan terukir di wajahnya.“Kita berhasil menyingkirkannya,” pekik Nina, tubuhnya menempel erat pada Femil.Femil terkekeh, tangannya otomatis melingkari pinggang Nina. Menariknya lebih dekat. “Tentu saja. Aku akan melakukan apapun untu
Maya menekan bel. Butuh beberapa saat sebelum pintu terbuka, dan sosok yang muncul di hadapannya adalah seseorang yang sudah tidak asing lagi—Nina.“Maya?” Nina terdengar terkejut, alisnya berkerut. Jelas, dia tidak menyangka Maya akan datang.Maya menatap Nina tanpa gentar. “Aku datang untuk mengambil kembali rumahku,”Nina tertawa sinis, menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu dengan tangan terlipat di dada. “Rumahmu? Rumah ini milik Bima sekarang. Kau tidak punya hak lagi di sini,”Maya menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan amarahnya. “Rumah ini masih atas orang tuaku. Aku tidak pernah menyerahkannya secara legal pada siapa pun. Jadi, aku akan mengambilnya kembali,”Mata Nina membulat. “Kau pikir semudah itu? Bima yang tinggal di sini, aku istrinya, jadi—”“Tidak ada hubungannya,” potong Maya tajam. Nina terdiam, rahangnya menegang. Sejenak ekspresi panik terlihat di wajahnya. Sebelum dia kembali memasang senyum liciknya.“Dengar, Maya. Aku tidak peduli. Yang jelas, rumah ini s
“Saya ingin bertemu dengan Ibu Maya Anindita. Tolong sampaikan bahwa ini terkait dengan Pak Bima,” Arman menyebutkan nama dan tujuannya.Resepsionis itu mengangguk, lalu menghubungi seseorang melalui telepon internal. Tak lama, seorang asisten menghampiri Arman. Dan mempersilakannya masuk ke ruangan Maya.Ketika pintu terbuka, Arman melihat Maya yang sedang duduk di balik meja. Mengenakan blus putih dan blazer krem, tampak anggun seperti biasa.Maya mendongak, sedikit terkejut melihat kedatangan Arman. “Arman? Ada apa?”Arman melangkah masuk dan menutup pintu sebelum duduk di kursi di hadapan Maya. Dia menatap wanita itu dengan serius, lalu meletakkan map di atas meja.“Aku datang atas permintaan Bima,” kata Arman tanpa basa-basi.Maya menghela napas, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Bima… bagaimana keadaannya?”“Dia sudah lebih baik. Tapi dia masih dalam pemulihan,” jawab Arman. “Dan salah satu hal pertama yang dia ingin selesaikan adalah soal rumah ini,”Maya mengerutkan kening.