Bab 10. Papa Embun Sudah Di Tangan
*****
“Tuh, kan, cuman iseng. Mama, sih, udah parno duluan,” sergahku terkekeh. Sakit hati ini, kututupi dengan terkekeh. Sudut mataku bahkan berair, ternyata pengkhianatan mereka tetap berlanjut. Tak hanya di kamar kos-kosan wanita itu, tapi juga di sofa kantor. Kantorku sendiri.
“lho, kamu kok, enggak marah?” tanya Mama tiba-tiba tersadar.
“Ngapain marah? Mereka cuma iseng, begitu kata mereka, kan, Ma? Lalu kenapa aku marah?”
“Tapi, matamu berair? Kamu nangis?”
“Oh, enggak, ini karena aku tertawa tadi, abis, mama lucu, orang iseng dianggap serius.”
“Iya, sih. Tapi, si Sandra keterlaluan, Dia sedang berusaha merayu suamimu.”
“Enggak akan tergoda suami saya, Ma. Mas Ray itu, suami paling setia. Percaya, deh!”
“Bagus kalau kamu percaya padanya. Tapi, mengenai pembantu-pembantumu itu, Mama enggak yakin! Bagaimana kalau pas kamu enggak di rumah, atau di malam hari, saat kau tertidur, dia main gila dengan Ray? Kamu pulangkan aja, deh. Biar Mama yang bayar ganti rugi ke yayasan.”
“Ih, Mama, ponaan sendiri dicurigain, kek gitu?”
“Mama serius, Embun, udah, biar Mama yang bicara dengan mereka, ya?” Wanita itu berdiri.
“Stop, Ma!” teriakku tegas. Dia terkejut.
“Kamu berani berteriak sama Mama?” tanyanya tak percaya.
Kuulas senyum semanis mungkin.
“Maaf, enggak sengaja teriak, tapi, Embun mohoooon banget, tolong Mama pulang aja! Jangan campuri urusan rumah tangga saya, ya!” ucapku mendorong tubuhnya keluar. Senyum manis masih tersungging di bibirku.
“Sekarang kau malah ngusir Mama?” sergahnya semakin kaget.
“Eh, iya. Embun ngusir Mama, karena Embun mau pergi ke kampus, terus ke salon.”
“Kamu tetap mau kuliah lagi?”
“Iya, dan terima kasih atas komentar Mama tentang penampilan saya. Karena dengan komen Mama, aku jadi terpikir deh, mau ke salon, mau permak penampilan,” ketusku.
“Embuuuun! Kau memang keras kepala!”
“Maaf, Ma. Taksi pesanan saya udah datang, tuh. Maaf, ya, Ma. Lain kali kita sambung ngobrolnya!” kudorong dia menuju mobilnya. Mobil dari hasil perusahaan Mama kandungku tentu saja
“Raya! Mama pergi, ya, Nak! Kalau nanti Papa tanya Mama ke mana, bilang Mama ke salon, ya!” teriakku.
***
POV Siska
Gila tuh anak, kenapa si Embun bisa berubuh begitu ya? Tiga tahun ini dia nurut aja semua yang kami perbuat. Begitu menikah dia langsung bisa kami kuasai. Ray begitu pintar, dia berhasil membuat Embun langsung hamil. Perempuan itu sibuk dengan masa mabuk dan ngidam. Begitu melahirkan, dia sibuk mengurus bayi. Sengaja aku tak mengizinkan dia menggunakan jasa pembantu. Kutakut-takuti dia dengan banyaknya kasus pembantu selinguh dengan majikan. Perempuan lugu itu pun percaya.
Kulakukan itu agar dia tidak punya waktu untuk memikirkan perusahaan miliknya. Ya, sebetulnya aku menyesal menikahi papanya. Kukira dia Bos Tajir. Tak tahunya Bodong. Ternyata bukan dia pemilik perusahaan besar dan terkenal itu. Melainkan milik mantan istrinya. Perempuan yang telah kusingkirkan dengan sangat manis.
Ah, tidak usah diingat masalah kematian perempuan itu, aku jadi merasa berdosa. Ngeri membayangkan dosa yang harus kupikul nanti. Jadi, gak usah dipikiran aja. Bila nanti tujuanku sudah tercapai, baru aku akan bertobat. Banyak-banyak istiqfar dan berbuat amal, hehehehe …. Secara, nanti hartaku kan udah banyak, jadi aku bisa beramal sebanyak-banyaknya untuk menebus dosa-dosaku, iya, kan?
Tetapi, sepertinya sekarang usahaku agak terhambat. Embun kembali menjadi penghalang. Kenapa anak itu selalu menghalangi tujuanku? Hah, rasanya sudah bosan aku menunggu. Tiga tahun, lho. Tiga tahun sudah aku megabdi kepada si Rahmad, suami enggak guna itu. Tapi yang kudapat apa, hah!
Sekarang Embun mulai bertingkah lagi. Ngambil pembantu empat di rumahnya, mau kuliah segala lagi. Apa tujuannya, coba? Pasti dia mau terjun ke kantor, kan? Gawat, dong! Ray bisa tak berkutik kalau istrinya terjun ke perusahaan. Ray, juga lemot banget jadi suami. Kenapa dia tak bisa menaklukkan hati istrinya?
Eh, bukankah selama ini Ray sudah berhasil menaklukkan Embun? Dia bisa merubah perempuan itu menjadi istri sejati. Hari-harinya disibukkan dengan mengurus rumah dan dua orang anak. Lalu, kenapa sekarang Embun berubah? Ada apa sebenarnya?
Malam ini, semoga Ray berhasil menjalankan tugasnya. Semoga dia berhasil membuat Embun hamil lagi. Hanya itu jalan satu-satunya untuk menaklukkan kembali perempuan itu. Ray … kerja keras, ya, Nak! Bujuk istrimu yang sesungguhnya perempuan bodoh itu, ya!
“Sayang … kenapa dari tadi melamun aja?”
Aku tersentak, Mas Rahmad menepuk bahuku dari belakang.
“Eh, Mas … maaf, aku enggak sadar kalau Mas udah selesai mandinya,” sahutku sambil memandangi pantulan tubuh lelaki tua ini di cermin, di depanku.
Daging berlebih di tubuhnya menggelantung di sana sini. Perut bengkak seperti balon, pipi, mata, hidung, alis, ah … semuanya sudah jelek. Tak ada lagi sesuatu yang menarik di tubuh tua ini. Apalgi penyakit gula dan riwayat sakit jantung yang di deritanya. Sebenarnya, kalau tujuanku sudah tercapai, aku ingin segera mengakhiri pernikahan menyebalkan ini.
Lihat diriku, aku memang sudah berumur, empat puluh tahun usiaku. Tapi, penampilanku masih wah! Tubuhku seksi, wajah cantik. Pemuda setampan apapun masih bisa kudapat kalau aku mau. Ngapain aku berlama –lama bersandiwara di depan laki-laki ini? Pura-pura cinta, pura-pura sayang, pura-pura setia. Kalau bukan demi hartanya.
Susah payah aku melenyapkan istri tercintanya, supaya bisa menjadi istri satu-satunya. Ternyata aku sial. Harta itu semuanya ternyata milik istrinya. Entah bagaimana bisa, semua sudah diwariskan kepada Embun. Tidak ada cara lain, selain segera melenyapkan Embun juga, bukan. Tapi, niat itu tak terlaksana.
Si Ray tiba-tiba datang memohon-mohon agar jangan ganggu Embun. Dia cinta mati sama perempuan itu. Terpaksa aku mengalah. Harapanku, dia bisa aku peralat. Kupaksa dia menguasai dan membuat Embun menurut padanya. Awalnya berhasil, sebulan lagi, perusahaan besar itu akan jatuh ke tangan Ray, keponakanku. Ray yang memimpin perusahaan, tapi di bawah kendaliku. Sebulan lagi, lho. Eh, tiba-tiba Embun berubah.
Perempuan itu memang belum mengatakan apa-apa. Dia masih saja tersenyum dan berkata dengan sopan dan halus. Tapi, kehadiran empat pembantu di rumahnya, keinginannya untuk kuliah lagi? Wah, ini benar-benar signal yang tidak bagus.
“Siska, Sayang. Masa, Mas dibiarkan telanjang seperti ini, bisa masuk angin, lho! Mana piyama tidurku, em?”
Kembali Mas Rahmad mengagetkanku. Tangan lembeknya kini mengalung di leher. Wajah itu menempel di kepala, menciumi rabut dan tengkuk.
“Oh, iya, Mas. Lupa, sebentar,” ucapku melepas tangannya dengan lembut. Aku harus bersikap hati-hati. Jangan sampai dia tersinggung sedikitpun. Meski aku tak suka, pura-pura baik-baik saja.
“Ini, Sayang, pakailah! Terus, kita minum obat, ya! Aku tungu di meja makan,” titahku sembari berlalu setelah meraih ponsel di atas meja rias.
Suami tuaku yang penyakitan memang harus rutin minum obat. Obat gula dan jantung. Aku tak ubahnya seperti perawat saja. Enak, ya, dia, dapat perawat cantik, bisa melayani dia dalam segala hal. Hah, aku harus bersabar, sebentar lagi, bukankah janjinya mengangkat dan menyerahkan perusahaan pada Ray sebulan lagi?
*****
Mohon dukungannya untuk memberi ulasan agar bintangnya nyala, ya. Mohon sumbangannya gemnya, juga. terima kasih.
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili