*****
Kuhenyakkan tubuh di kursi meja makan, setelah meletakkan dua jenis obat di atas meja itu. Aku harus menelpon Ray, agar dia tidak lupa dengan tugasnya. Jangan sampai Embun menjadi penghalang rencana ini.
“Iya, Tan?” sahutnya begitu telepon terhubung.
“Jangan lupa tugasmu! Ingat, harus hamil! Paham, kan, maksud Tante? Perlu, Tante ajari lagi caranya?” perintahku agak berbisik. Kuatir terdengar oleh Mas Rahmad dari kamar.
“Ngerti, Tan. Gak usah diajari! Kayak anak kecil aja! Tuh, udah ada dua cucu Tante buktinya!”
“Bagus, kalau ngerti! Pokoknya jangan gagal, ya!”
“Iya, Tan. Tapi, kenapa empat pembantu itu masih ada di rumah ini, sih? Tadi Tante bilang, akan mengusirnya?”
“Iya, Tante gagal. Embun agak berubah sekarang. Mulai berani ngelawan. Seyum, diam, tapi menghanyutkan. Kita harus berhati-hati padanya mulai sekarang.”
“Iya, Tan. Sekarang aja dia belum pulang. Kutanya Raya, katanya Mamanya ke salon, aneh, kan?”
“Mana mungkin itu! Gak benar! Embun itu perempuan lugu, enggak akan tahu salon-salonan. Paling dia sibuk ngurusi kuliahnya itu. Kamu tunggu aja, ya! Laksanakan tugasmu!”
“Baik, Tan! Tante juga, dong, bujuk Papa mertuaku!”
“Beres. Mertuamu ada di tanganku.”
“Ok, Tan.”
Kuakhiri percakapan itu, meski hati berdebar tak karuan. Entah mengapa, seharian ini aku tak tenang. Sikap Embun membuatku gelisah dan was-was.
“Mertuamu ada di tanganku? Maksudnya apa itu tadi, Sayang?”
Aku tersentak. Mas Rahmad rupanya sudah berdiri di belakangku. Astaga, apakah dia mendengar pembicaraanku tadi dengan Ray? Gawat ini!
“Mas … kamu sudah selesai berpakaiannya? Sini duduk, Sayang, kita minum obat dulu, ya?” ucapku lembut seraya menarik kursi di sampingku untuknya.
Aku harus berusaha menetralkan suasana, semoga dia tak curiga.
“Ngobrol sama siapa tadi, Sayang? Ray, ya?”
“Iya, menantumu, kan, memang hanya, Ray. Dia nanya, Mas udah minum obat apa belum. Menantumu itu, lho, kadang jengkelin. Selalu ribet nanyain kesehatanmu. Takut banget kalau sampai aku lupa memberi kamu obat.”
Huh! Semoga dia percaya dengan kalimat karanganku ini.
“Oh, kirain apa. Kok aku berada di tanganmu, hehehehe ….”
“Pasti Mas berpikir yang bukan-bukan, iya, kan?”
“Iya, jadi enggak sabar mau ke kamar lagi.”
“Mau ngapain? Tidur?”
“Bukan, pengen agar, anu … itu, aku berada di tangamu, Sayang?”
“Apanya, Mas?” tanyaku pura-pura tak paham. Padahal aku sangat tahu apa yang sedang diinginkannya.
“Siska, kamu jangan pura-pura gitu, dong! Mana obatnya, biar kita cepat ke kamar!”
“Ini, Sayang! Minumlah!”
Mas Rahmad benar-benar menuntut keinginannya. Tanpa menolak kepenuhi segera. Tapi, saatnya aku juga melancarkan rencanaku yang sebenarnya.
“Mas, Ray itu sebenarnya sangat perhatian, lho, sama kamu,” tuturku mulai mengarahkan pembicaraan, sambil berjalan menuju kamar.
“Iya, aku percaya, Sayang.” Mas Rahmad memeluk bahuku.
“Dia khawatir banget tentang kesehatanmu, masalah di kantor itu sering tak terduga, kan, Mas. Gimana kalau tiba-tiba kamu kaget, lalu kena serangan? Bukankah sebaiknya, kamu cuti aja! Biarkan Ray yang menghandle semuanya! Kita di rumah aja, menghabiskan waktu berdua, jalan-jalan ke mana yang kita mau. Ke rumah Embun, nengokin cucu, iya, kan?”
“Iya, Sayang. Indah sekali itu, hehehe … tapi aku ragu.”
“Ragu kenapa?”
“Apa kamu enggak bosan dua puluh empat jam melihatku di rumah, melayaniku setiap saat? Kalau aku di kantor, kita ketemunya, cuma malam hari seperti ini, jadi ada rasa kangen, gitu, iya, kan?”
“Mas, aku itu enggak ada bosannya sama kamu. Maunya sih, selalu di dekat kamu. Buktinya, apa pernah aku nolak keinginanmu, enggak, kan?”
“Jadi, malam ini boleh, nih?”
“Boleh.”
Lelaki tua ini semringah. Tanganya mulai bergerilya di tubuhku.
“Tunggu dulu, dong, sabar!” rengekku.
“Katanya boleh, enggak akan pernah nolak?”
“Iya, tapi jawab dulu, mengenai yang tadi!”
“Tentang Ray?”
“Iya, Mas.”
“Ok, Sayang. Akan segera Mas penuhi. Mas akan cuti saja.”
“Kapan? Jangan sebulan lagi, dong! Kelamaan. Aku mau ngajakin Mas bulan madu ke dua. Teman arisan aku aja jalan-jalan sama suaminya ke luar negeri. Aku juga mau, Mas.”
“Iya, sebulan lagi, kan, janji Embun akan mengangkat Ray jadi direktur?”
“Kelamaan. Kamu papanya, kamu harus tegas juga, dong. Mas selalu aja, apa-apa Embun! Apa-apa Embun!”
“Ya, udah, minggu depan, ya, seminggu ini akan aku persiapkan segala sesuatunya, agar Ray semakin matap dan siap memimpin perusahaan.”
“Gitu, dong, Mas. Terima kasih, Sayang. Hayuk!”
Saat indah itu kini mulai membayang. Embun bukan penghalang kalau Papanya sudah di tangan.
Lelaki tua itu terkulai lemah. Hanya sesaat, dia sudah tertidur pulas. Kugeser tangan keriput itu yang masih memeluk pinggang. Kuletakkan dengan pelan. Persis seperti menidurkan bayi, dibelai-belai, dielus-elus langsung terkulai.
Rahmad … Rahmad. Letoy begini, kok mengharap aku setia? Tidak mungkin bukan? Perempuan mana yang tahan menghadapi suami sepertimu? Istri mana yang bisa setia bila nafkahnya tak terpenuhi, ha! Maaf, aku bukan malaikat yang tak punya napsu. Bukan pula perempuan alim yang rela berbakti pada suami tanpa memikirkan kepuasan diri. Sorry, aku harus keluar lagi.
Beringsut aku turun dari atas ranjang. Mengganti baju tidur dengan simple cap dress yang terbuka di bagian lengan. Mengoles make up tak terlalu tebal, lalu mematut diri di depan cermin. Hemm, cantik sekali. Penampilanku tak kalah jauh dengan gadis-gadis pada umumnya.
Kulirik Mas Rahmad sekali lagi, memastikan dia telah benar-benar lelap. Menyambar kunci mobil, lalu melenggang menuju garazi. Rasanya sudah tak sabar, ingin cepat sampai di tempat tujuan. Sebuah café, tempat yang dijanjikan oleh seorang pemuda tampan. Sang pujaan hati yang teramat kurindukan.
Darry, lelaki impian semua wanita, termasuk anak tiriku Embun. Ya, Darry adalah mantan kekasih Embun. Dengan susah payah, aku berhasil memisahkan mereka. Embun akhirnya bisa menikah dengan Ray, ponakanku
Jujur, aku memang sangat menyukai Darry. Kami bertemu pertama kali, ketika dia datang ke rumah menemui Embun. Sejak itu aku bertekad, Embun tak akan pernah memilikinya.
Setelah sekian tahun menghilang, tiba-tiba dia ingin bertemu denganku. Sudah begitu lama aku menanti, tiba-tiba tadi sore dia menghubungi.
“Maaf, Tante. Ini Tante Siska, bukan?” tanyanya tadi sore. Sumpah, hampir saja aku pingsan mendengarnya. Serasa ini mimpi saja. Nomor itu tetap kusimpan, kubuat namanya ‘Imut’ di daftar kontak. Nomor yang tak pernah mau mengangkat, setiap aku hubungi. Pemuda tampan yang tiada pernah terganti, meski bertahun dia telah menghindar.
Tadi sore, tiada angin tiada badai, tiba-tiba dia menghubungi. Kukira dia telah membuang nomorku, ternyata dia masih menyimpan juga, sama sepertiku.
“Benar, Darry. Ini Tante. Kamu masih menyimpan nomor Tante, setelah bertahun-tahun tak pernah bisa Tante hubungi?” tanyaku setelah menetralkan detub jantung di dada ini.
“Maaf, Tante. Nomor Tante menang sengaja kublokir. Tapi hari ini aku ingin bertemu Tante, makanya aku menghubungi Tante,” jawabnya dari seberang sana.
“Jahat kamu, Sayang! Kenapa kamu blokir nomor Tante, coba?” tanyaku dengan nada merajuk manja.
“Maaf, Tante. Tolong jangan panggil aku dengan kata Sayang. Enggak enak di dengar orang,” protesnya.
“Enggak apa-apa, dong, Sayang. Karena Tante memang sayang banget sama kamu. Oh, iya, ada apa nelpon Tante? Kangen, ya?”
“Aku mau bertemu Tante malam ini.”
“Ha, Malam ini?” teriakku tak percaya.
“Iya, Tante, malam ini.”
***
Bab 12. Darry Telah Kembali*****“Boleh, saya datang ke rumah, kan, Tante. Tapi, tolong rahasiakan pertemuan kita dari Embun!”“Iya, pasti. Embun tak boleh tak tahu kita bertemu, Tapi, jangan ke rumah Tante, dong. Kan, ada Papa Embun, suami Tante. Kita bertemu di luar aja, ya?”usulku, hati gembira bukan kepalang.“Kalau ketemu Om Rahmad, saya enggak apa-apa, Tante. Saya enggak pernah bermasalah dengannya, kan? Justru saya telah memenuhi perintahnya untuk menjauhi Embun. Jadi, kenapa saya harus menghindarinya? Justru saya mau bertemu dengannya.”“Oh, jangan! Kesehatannya sedang buruk. Enggak boleh bertemu orang asing sekarang. Jadi, bertemu Tante saja, ya?”“Okelah, kalau memang begitu. Saya nemui Tante di mana?”Kusebutkan nama café langgananku. Pemuda itu menyetujuinya. Bukan main girang hati i
Bab 13. Mas Darry Tak MengenalkuPOV EmbunEntah berapa lama aku terlelap, lalu terbangun saat tangis Radit memekakkan telinga. Ketukan di pintu terdengar samar. Ingatan belum sepenuhnya normal. Peristiwa tadi malam, kembali melintas. Mas Ray terjungkang ke lantai karena terjanganku. Lalu aku gegas pindah kamar. Ya, aku ingat sekarang, bagaimana aku berada di kamar tamu ini bersama bayiku.“Bu, Radit nangis. Buka pintunya, biar saya bawa ke luar!” Itu suara Rika, babysitterku.“Ya,” sahutku bangkit dan memutar anak kunci yang menempel di lubang pintu.“Maaf, kenapa Ibu dan Radit tidur di kamar ini?” Rika langsung mengambil Radit dan menenangkannya.“Iya, jam berapa ini?” tanyaku menutup mulut karena menguap. Rasa kantuk belum hilang.“Pukul tujuh, Bu. Bapak sudah berangkat
Bab 14. Tatapan Sandra*****Aku tengah berdiri di depan gerbang kampus menunggu taksi online pesanan, ketika sebuah mobil menepi, berhenti tak jauh dariku. Semula kukira itu adalah Dea, yang sebelumnya menawarkan jasa untuk mengantarku tapi kutolak.Namun, dugaanku salah. Saat kaca mobil samping dia turunkan, terlihat lelaki sombong itu ada di dalam. Sedang apa dia di situ? Tak hendak hati menyapa, meski jarak kami hanya semeter saja. Dia bersikap sombong, aku harus lebih sombong tentu saja. Aku tahu dia memperhatikanku dari kaca spion samping mobilnya. Kuhela napas lega, saat taksi pesananku telah tiba.Aku turun dari taksi, langsung menuju ruangan Papa. Sengaja memenuhi panggilannya siang tadi. Tidak biasanya dia menyuruhku datang ke kantor.Hampir semua karyawan kantor menundukkan kepala dengan sopan, saat melihatku. Syukurlah, mereka masih menghargaiku.
Bab 15. Dosen killer Itu Cinta Lamaku*****Wanita itu kaget. Mungkin dia tak menduga aku berani memerintahnya.“Saya masih bicara dengan Atasan saya, Bu,” ucapnya balik menyergah.Berani dia melawan perintahku. Oh, iya, saat ini aku memang bukan siapa-siapanya. Aku hanya istri dari laki-laki selingkuhannya. Bagaimana mungkin dia mau menuruti perintahku. Kurasakan ada nada menantang dari ucapannya. Oh, dia memang benar-benar sudah menganggap aku adalah seorang musuh.“Sudah … sudah, kamu kembali sana! Laksanakan permintaanku tadi, ya!” kata Papa menengahi.“Baik, Pak, permisi!” Sandra melenggang pergi.“Sebentar!” ucapku menghentikan langkahnya. Gadis itu berbalik, menatapku tidak senang.“Tidak jadi!” ucapku mengurungkan niat.Kemar
Bab 16. Perempuan yang hadir di Pemakaman Mama*****Jam pulang kantor, aku dan Dian berpisah. Setelah dia membenahi pekerjaannya, kami berjalan bersama menuju lif. Kulirik ruangan Mas Ray, sepertinya dia belum pulang. Tas Sandar juga masih tergeletak di mejanya.“Kamu naik apa?” tanya Dian menekan tombol lift.“Taksi,” jawabku sekali lagi menatap ke arah ruangan suamiku.“Kenapa enggak bareng Pak Ray?” Dian menekan tombol lif lagi untuk menutup dan memilih lantai dasar.“Dia mungkin pulang malam, lembur. Aku enggak bisa nunggu,” jawabku asal. Jujur, semobil saja dengannya aku sudah tak niat.“Terus, kamu mau mengalah, ke mana-mana naik taksi? Calon direktur kok! Kamu harus nyetir sendiri, Embun. Apalagi kamu sibuk banget. Hari ini aku antar kamu pulang, yuk. Naik
Bab 17. Kurebut Mobil Mamaku*****Aku tak sabar lagi, gegas aku berjalan menuju kamar Papa. Menggenggam kasar handel pintu , lalu mendorongnya kuat. Sia-sia, ternyata pintu dikunci dari dalam. Kenapa Papa mengunci pintu kamarnya? Bukankah dia sendirian di dalam sana? Bagaimana kalau sesuatu terjadi padanya, siapa yang akan menolongnya, begitu pikirku.“Papa! Pa … buka pintunya! Papa baik-baik saja?” teriakku menggedor pintu berulang-ulang.“I-iya, Sayang. Sebentar!” Kutarik napas lega. Setidaknya Papa baik-baik saja. Aku bisa menanyakan tentang perempuan yang bernama Siska itu sekarang juga.Namun, kenyataan yang kulihat justru membuatku tak bisa berkata-kata. Saat pintu kamar terkuak, bukan Papa yang membuka. Perempuan dengan daster berantakan, rambut acak-acakan. Siska. Ya, kata Bik Iyan, perempuan ini bernama Siska. Ngapain di di kamar Papa? Malam-malam begin
Bab 18. Jangankan Masuk Surga, Mencium Baunya Saja, Haram Bagimu, Embun!****“Embun! Embuuuuun! Di mana kau, Embuuun!”Seisi rumah tersentak kaget. Suara menggelegar Mas Ray memekakkan gendang telinga. Raya berlari memeluk kakiku, sementara Radit mengoar di dalam box. Rika, sang babysitter langsung menenangkannya.“Jangan takut, Sayang! Sana sama Mbak Rani!” perintahku menyerahkan tangannya kepada Mbak pengasuhnya.Melangkah agak terburu, aku menyambut lelaki kesurupan itu ke arah pintu. Dia baru saja tiba di rumah, malam-malam begini, lho! Begitu sibukkah pekerjaan di kantor hingga harus lembur setiap hari?”“Embuuuun!” teriaknya sekali lagi sambil melemparkan tas kerjanya ke atas sofa di ruang tamu.“Aku di sini, Mas. Ini rumah, lho, bukan hutan? Penghuninya manusia, bukan binat
Bab 19. Bukti Pertama Untuk menjatuhkan Mas Ray*****Berbagai prasangkan berkecamuk di benak. Dugaanku tertuju pada Rika, babysitter yang sudah bertingkah menjengkelkan sejak awal masuk kerja. Pasti dia yang telah diam-diam mendekati Mas Ray. Karena hanya dia yang paling kepo tentang masalah rumah tanggaku. Apalagi sejak aku pisah ranjang dengan Mas Ray. Sepertinya dia sengaja memancing di air keruh.Jangan-jangan benar kata mama Siska, bahwa jaman sekarang ini banyak pembantu yang merayu majikan. Dia tahu mas Ray sedang kesepian, dia sengaja cari kesempatan. Tapi, masa iya, sih, mas Ray mau dengan Rika? Gadis itu tak ada menarik-menariknya. Mana mungkin mas Ray mau selingkuh dengannya.Kalau tidak, terus mereka ngapain? Apa yang sedang mereka bicarakan? Sepertinya serius banget.Segera aku bersembunyi di balik tiri jendela samping, ketika mas Ray berjalan meninggalkan si perempuan.