Beranda / Romansa / Ketika Istriku Minta Talak / Bab 11. Maaf, Mas, Aku Pergi Dulu

Share

Bab 11. Maaf, Mas, Aku Pergi Dulu

last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-19 07:17:11

*****

Kuhenyakkan tubuh di kursi meja makan, setelah meletakkan dua jenis obat di atas meja itu. Aku harus menelpon Ray, agar dia tidak lupa dengan tugasnya. Jangan sampai Embun menjadi penghalang rencana ini.

“Iya, Tan?” sahutnya begitu telepon  terhubung.

“Jangan lupa tugasmu! Ingat, harus hamil! Paham, kan, maksud Tante? Perlu, Tante ajari lagi caranya?” perintahku agak berbisik. Kuatir terdengar oleh Mas Rahmad dari kamar.

“Ngerti, Tan. Gak usah diajari!  Kayak anak kecil aja! Tuh,  udah ada  dua cucu Tante buktinya!”

“Bagus, kalau ngerti! Pokoknya jangan gagal, ya!”

“Iya, Tan. Tapi, kenapa empat pembantu itu masih ada di rumah ini, sih? Tadi Tante bilang, akan mengusirnya?”

“Iya, Tante gagal.  Embun agak berubah sekarang. Mulai berani ngelawan. Seyum, diam, tapi menghanyutkan. Kita harus berhati-hati padanya mulai sekarang.”

“Iya, Tan. Sekarang aja dia belum pulang. Kutanya Raya, katanya Mamanya  ke salon, aneh, kan?”

“Mana mungkin itu! Gak benar! Embun itu perempuan lugu, enggak akan tahu salon-salonan. Paling dia sibuk ngurusi kuliahnya itu. Kamu tunggu aja, ya! Laksanakan tugasmu!”

“Baik, Tan! Tante juga, dong, bujuk Papa mertuaku!”

“Beres. Mertuamu ada di tanganku.”

“Ok, Tan.”

Kuakhiri percakapan itu, meski hati berdebar tak karuan. Entah mengapa, seharian ini aku tak tenang. Sikap Embun membuatku gelisah dan was-was.

“Mertuamu ada di tanganku? Maksudnya apa itu tadi, Sayang?”

Aku tersentak. Mas Rahmad rupanya sudah berdiri di belakangku. Astaga, apakah dia mendengar pembicaraanku tadi dengan Ray? Gawat ini!

“Mas … kamu sudah selesai berpakaiannya? Sini duduk, Sayang, kita minum obat dulu, ya?” ucapku  lembut seraya menarik kursi di sampingku untuknya.

Aku harus berusaha menetralkan suasana, semoga dia tak curiga.

“Ngobrol sama siapa tadi, Sayang? Ray, ya?”

“Iya, menantumu, kan, memang hanya, Ray.  Dia nanya, Mas udah minum obat apa belum. Menantumu itu, lho, kadang jengkelin. Selalu ribet nanyain kesehatanmu. Takut banget kalau sampai aku lupa memberi kamu obat.”

Huh! Semoga dia percaya dengan kalimat karanganku ini.

“Oh, kirain apa. Kok aku berada di tanganmu, hehehehe ….”

“Pasti Mas berpikir yang bukan-bukan, iya, kan?”

“Iya, jadi enggak sabar mau ke kamar lagi.”

“Mau ngapain? Tidur?”

“Bukan, pengen agar, anu … itu, aku berada di tangamu, Sayang?”

“Apanya, Mas?” tanyaku pura-pura tak paham. Padahal aku sangat tahu apa yang sedang diinginkannya.

“Siska, kamu jangan pura-pura gitu, dong! Mana obatnya, biar kita cepat  ke kamar!”

“Ini, Sayang! Minumlah!”

Mas Rahmad benar-benar menuntut keinginannya. Tanpa menolak kepenuhi segera. Tapi, saatnya aku juga melancarkan rencanaku yang sebenarnya.

“Mas, Ray itu sebenarnya sangat perhatian, lho, sama kamu,” tuturku mulai mengarahkan pembicaraan, sambil berjalan menuju kamar.

“Iya, aku percaya, Sayang.” Mas Rahmad memeluk bahuku.

“Dia khawatir banget tentang kesehatanmu, masalah di kantor itu sering tak terduga, kan, Mas. Gimana kalau tiba-tiba kamu kaget, lalu kena serangan?  Bukankah sebaiknya, kamu  cuti aja! Biarkan Ray yang menghandle semuanya! Kita di rumah aja, menghabiskan waktu berdua, jalan-jalan ke mana yang kita mau. Ke rumah Embun, nengokin cucu, iya, kan?”

“Iya, Sayang. Indah sekali itu, hehehe … tapi aku ragu.”

“Ragu kenapa?”

“Apa kamu enggak bosan  dua puluh empat jam melihatku di rumah, melayaniku setiap saat? Kalau aku di kantor, kita ketemunya, cuma malam hari seperti ini, jadi ada rasa kangen, gitu, iya, kan?”

 “Mas, aku itu enggak ada bosannya sama kamu. Maunya sih, selalu di dekat kamu. Buktinya, apa pernah aku nolak keinginanmu, enggak, kan?”

“Jadi, malam ini boleh, nih?”

“Boleh.”

Lelaki tua ini semringah. Tanganya mulai bergerilya di tubuhku.

“Tunggu dulu, dong, sabar!” rengekku.

“Katanya boleh, enggak akan pernah nolak?”

“Iya, tapi jawab dulu, mengenai yang tadi!”

“Tentang Ray?”

“Iya, Mas.”

“Ok, Sayang. Akan segera Mas penuhi. Mas akan cuti saja.”

“Kapan? Jangan sebulan lagi, dong! Kelamaan. Aku mau ngajakin Mas bulan madu ke dua. Teman arisan aku aja jalan-jalan sama suaminya ke  luar negeri. Aku juga mau, Mas.”

“Iya, sebulan lagi, kan, janji Embun akan mengangkat Ray jadi direktur?”

“Kelamaan. Kamu papanya, kamu harus tegas juga, dong. Mas  selalu aja, apa-apa Embun! Apa-apa Embun!”

“Ya, udah, minggu depan, ya, seminggu ini akan aku persiapkan segala sesuatunya, agar Ray semakin matap dan siap memimpin perusahaan.”

“Gitu, dong, Mas. Terima kasih, Sayang. Hayuk!”

Saat indah itu kini mulai membayang. Embun bukan penghalang kalau Papanya sudah di tangan.

Lelaki tua itu terkulai lemah. Hanya sesaat, dia sudah tertidur pulas.  Kugeser tangan keriput itu yang masih memeluk pinggang. Kuletakkan dengan pelan. Persis seperti menidurkan bayi, dibelai-belai, dielus-elus langsung terkulai. 

Rahmad … Rahmad. Letoy begini, kok mengharap aku setia? Tidak mungkin bukan? Perempuan mana yang tahan menghadapi suami sepertimu? Istri mana yang bisa setia bila nafkahnya tak terpenuhi, ha! Maaf, aku bukan malaikat yang tak punya napsu. Bukan pula perempuan alim yang rela berbakti pada suami tanpa memikirkan kepuasan diri. Sorry, aku harus keluar lagi.

Beringsut aku turun dari atas ranjang. Mengganti baju tidur dengan simple cap dress yang terbuka di bagian lengan. Mengoles make up tak terlalu tebal, lalu mematut diri di depan cermin. Hemm, cantik sekali. Penampilanku tak kalah jauh dengan gadis-gadis pada umumnya.

Kulirik Mas Rahmad sekali lagi, memastikan dia telah benar-benar lelap.  Menyambar kunci mobil, lalu melenggang menuju garazi. Rasanya sudah tak sabar, ingin cepat sampai  di tempat tujuan. Sebuah café, tempat yang dijanjikan oleh seorang pemuda tampan. Sang pujaan hati yang teramat kurindukan.

Darry, lelaki impian semua wanita, termasuk anak tiriku Embun. Ya, Darry adalah mantan kekasih Embun. Dengan susah payah, aku berhasil  memisahkan mereka. Embun akhirnya bisa menikah dengan Ray, ponakanku

Jujur, aku memang sangat menyukai Darry.  Kami bertemu pertama kali, ketika dia datang ke rumah menemui  Embun. Sejak itu aku bertekad, Embun tak akan pernah memilikinya.

Setelah sekian tahun menghilang, tiba-tiba dia  ingin bertemu denganku. Sudah begitu lama aku menanti,  tiba-tiba tadi sore dia menghubungi.

“Maaf, Tante. Ini Tante Siska, bukan?” tanyanya tadi sore. Sumpah, hampir saja aku pingsan mendengarnya.  Serasa ini mimpi saja. Nomor itu tetap kusimpan, kubuat namanya ‘Imut’ di daftar kontak. Nomor yang tak pernah mau mengangkat, setiap aku hubungi. Pemuda tampan yang tiada pernah terganti, meski bertahun dia telah  menghindar.

Tadi sore, tiada angin tiada badai, tiba-tiba dia  menghubungi. Kukira dia telah membuang nomorku, ternyata dia masih  menyimpan juga, sama sepertiku.

“Benar, Darry. Ini Tante. Kamu masih menyimpan nomor Tante, setelah bertahun-tahun tak pernah bisa  Tante hubungi?” tanyaku setelah menetralkan detub jantung di dada ini.

“Maaf, Tante. Nomor Tante menang sengaja kublokir. Tapi hari ini aku ingin bertemu Tante, makanya aku menghubungi Tante,” jawabnya dari seberang sana. 

“Jahat kamu, Sayang! Kenapa kamu blokir nomor Tante, coba?” tanyaku  dengan nada merajuk manja.

“Maaf, Tante. Tolong jangan panggil aku dengan kata Sayang. Enggak enak di dengar orang,” protesnya.

“Enggak apa-apa, dong, Sayang. Karena  Tante memang sayang banget sama kamu. Oh, iya, ada apa  nelpon Tante? Kangen, ya?”

“Aku mau bertemu Tante malam  ini.”

“Ha, Malam  ini?” teriakku tak percaya.

“Iya, Tante, malam  ini.”

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Wagirin
Berarti klo ada wanita mau menikahi lelaki tua, ada udang di balik batu ya..
goodnovel comment avatar
ATHIKA RAHMA
koinya mahal sekali
goodnovel comment avatar
Shinta Sea
pingin baca ne cerita eh malah pakai koin,,,lama delet buang ne Aplikasi...bikin berat hp aja,,,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Ketika Istriku Minta Talak   Bab 206. Tamat

    Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la

  • Ketika Istriku Minta Talak   Bab 204. Kunjungan Suami Pertamaku

    Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs

  • Ketika Istriku Minta Talak   Bab 204. Sambutan Calon Mertua Layla

    Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala

  • Ketika Istriku Minta Talak   Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara Bahagia

    Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te

  • Ketika Istriku Minta Talak   Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)

    Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka

  • Ketika Istriku Minta Talak   Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa

    Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t

  • Ketika Istriku Minta Talak   Bab 200. Rencana Lamaran Papa

    Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di

  • Ketika Istriku Minta Talak   Bab 199. Embun Hamil?

    Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a

  • Ketika Istriku Minta Talak   Bab 198. Asmara Di Dalam Mobil

    Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status