Share

Bab 11. Maaf, Mas, Aku Pergi Dulu

*****

Kuhenyakkan tubuh di kursi meja makan, setelah meletakkan dua jenis obat di atas meja itu. Aku harus menelpon Ray, agar dia tidak lupa dengan tugasnya. Jangan sampai Embun menjadi penghalang rencana ini.

“Iya, Tan?” sahutnya begitu telepon  terhubung.

“Jangan lupa tugasmu! Ingat, harus hamil! Paham, kan, maksud Tante? Perlu, Tante ajari lagi caranya?” perintahku agak berbisik. Kuatir terdengar oleh Mas Rahmad dari kamar.

“Ngerti, Tan. Gak usah diajari!  Kayak anak kecil aja! Tuh,  udah ada  dua cucu Tante buktinya!”

“Bagus, kalau ngerti! Pokoknya jangan gagal, ya!”

“Iya, Tan. Tapi, kenapa empat pembantu itu masih ada di rumah ini, sih? Tadi Tante bilang, akan mengusirnya?”

“Iya, Tante gagal.  Embun agak berubah sekarang. Mulai berani ngelawan. Seyum, diam, tapi menghanyutkan. Kita harus berhati-hati padanya mulai sekarang.”

“Iya, Tan. Sekarang aja dia belum pulang. Kutanya Raya, katanya Mamanya  ke salon, aneh, kan?”

“Mana mungkin itu! Gak benar! Embun itu perempuan lugu, enggak akan tahu salon-salonan. Paling dia sibuk ngurusi kuliahnya itu. Kamu tunggu aja, ya! Laksanakan tugasmu!”

“Baik, Tan! Tante juga, dong, bujuk Papa mertuaku!”

“Beres. Mertuamu ada di tanganku.”

“Ok, Tan.”

Kuakhiri percakapan itu, meski hati berdebar tak karuan. Entah mengapa, seharian ini aku tak tenang. Sikap Embun membuatku gelisah dan was-was.

“Mertuamu ada di tanganku? Maksudnya apa itu tadi, Sayang?”

Aku tersentak. Mas Rahmad rupanya sudah berdiri di belakangku. Astaga, apakah dia mendengar pembicaraanku tadi dengan Ray? Gawat ini!

“Mas … kamu sudah selesai berpakaiannya? Sini duduk, Sayang, kita minum obat dulu, ya?” ucapku  lembut seraya menarik kursi di sampingku untuknya.

Aku harus berusaha menetralkan suasana, semoga dia tak curiga.

“Ngobrol sama siapa tadi, Sayang? Ray, ya?”

“Iya, menantumu, kan, memang hanya, Ray.  Dia nanya, Mas udah minum obat apa belum. Menantumu itu, lho, kadang jengkelin. Selalu ribet nanyain kesehatanmu. Takut banget kalau sampai aku lupa memberi kamu obat.”

Huh! Semoga dia percaya dengan kalimat karanganku ini.

“Oh, kirain apa. Kok aku berada di tanganmu, hehehehe ….”

“Pasti Mas berpikir yang bukan-bukan, iya, kan?”

“Iya, jadi enggak sabar mau ke kamar lagi.”

“Mau ngapain? Tidur?”

“Bukan, pengen agar, anu … itu, aku berada di tangamu, Sayang?”

“Apanya, Mas?” tanyaku pura-pura tak paham. Padahal aku sangat tahu apa yang sedang diinginkannya.

“Siska, kamu jangan pura-pura gitu, dong! Mana obatnya, biar kita cepat  ke kamar!”

“Ini, Sayang! Minumlah!”

Mas Rahmad benar-benar menuntut keinginannya. Tanpa menolak kepenuhi segera. Tapi, saatnya aku juga melancarkan rencanaku yang sebenarnya.

“Mas, Ray itu sebenarnya sangat perhatian, lho, sama kamu,” tuturku mulai mengarahkan pembicaraan, sambil berjalan menuju kamar.

“Iya, aku percaya, Sayang.” Mas Rahmad memeluk bahuku.

“Dia khawatir banget tentang kesehatanmu, masalah di kantor itu sering tak terduga, kan, Mas. Gimana kalau tiba-tiba kamu kaget, lalu kena serangan?  Bukankah sebaiknya, kamu  cuti aja! Biarkan Ray yang menghandle semuanya! Kita di rumah aja, menghabiskan waktu berdua, jalan-jalan ke mana yang kita mau. Ke rumah Embun, nengokin cucu, iya, kan?”

“Iya, Sayang. Indah sekali itu, hehehe … tapi aku ragu.”

“Ragu kenapa?”

“Apa kamu enggak bosan  dua puluh empat jam melihatku di rumah, melayaniku setiap saat? Kalau aku di kantor, kita ketemunya, cuma malam hari seperti ini, jadi ada rasa kangen, gitu, iya, kan?”

 “Mas, aku itu enggak ada bosannya sama kamu. Maunya sih, selalu di dekat kamu. Buktinya, apa pernah aku nolak keinginanmu, enggak, kan?”

“Jadi, malam ini boleh, nih?”

“Boleh.”

Lelaki tua ini semringah. Tanganya mulai bergerilya di tubuhku.

“Tunggu dulu, dong, sabar!” rengekku.

“Katanya boleh, enggak akan pernah nolak?”

“Iya, tapi jawab dulu, mengenai yang tadi!”

“Tentang Ray?”

“Iya, Mas.”

“Ok, Sayang. Akan segera Mas penuhi. Mas akan cuti saja.”

“Kapan? Jangan sebulan lagi, dong! Kelamaan. Aku mau ngajakin Mas bulan madu ke dua. Teman arisan aku aja jalan-jalan sama suaminya ke  luar negeri. Aku juga mau, Mas.”

“Iya, sebulan lagi, kan, janji Embun akan mengangkat Ray jadi direktur?”

“Kelamaan. Kamu papanya, kamu harus tegas juga, dong. Mas  selalu aja, apa-apa Embun! Apa-apa Embun!”

“Ya, udah, minggu depan, ya, seminggu ini akan aku persiapkan segala sesuatunya, agar Ray semakin matap dan siap memimpin perusahaan.”

“Gitu, dong, Mas. Terima kasih, Sayang. Hayuk!”

Saat indah itu kini mulai membayang. Embun bukan penghalang kalau Papanya sudah di tangan.

Lelaki tua itu terkulai lemah. Hanya sesaat, dia sudah tertidur pulas.  Kugeser tangan keriput itu yang masih memeluk pinggang. Kuletakkan dengan pelan. Persis seperti menidurkan bayi, dibelai-belai, dielus-elus langsung terkulai. 

Rahmad … Rahmad. Letoy begini, kok mengharap aku setia? Tidak mungkin bukan? Perempuan mana yang tahan menghadapi suami sepertimu? Istri mana yang bisa setia bila nafkahnya tak terpenuhi, ha! Maaf, aku bukan malaikat yang tak punya napsu. Bukan pula perempuan alim yang rela berbakti pada suami tanpa memikirkan kepuasan diri. Sorry, aku harus keluar lagi.

Beringsut aku turun dari atas ranjang. Mengganti baju tidur dengan simple cap dress yang terbuka di bagian lengan. Mengoles make up tak terlalu tebal, lalu mematut diri di depan cermin. Hemm, cantik sekali. Penampilanku tak kalah jauh dengan gadis-gadis pada umumnya.

Kulirik Mas Rahmad sekali lagi, memastikan dia telah benar-benar lelap.  Menyambar kunci mobil, lalu melenggang menuju garazi. Rasanya sudah tak sabar, ingin cepat sampai  di tempat tujuan. Sebuah café, tempat yang dijanjikan oleh seorang pemuda tampan. Sang pujaan hati yang teramat kurindukan.

Darry, lelaki impian semua wanita, termasuk anak tiriku Embun. Ya, Darry adalah mantan kekasih Embun. Dengan susah payah, aku berhasil  memisahkan mereka. Embun akhirnya bisa menikah dengan Ray, ponakanku

Jujur, aku memang sangat menyukai Darry.  Kami bertemu pertama kali, ketika dia datang ke rumah menemui  Embun. Sejak itu aku bertekad, Embun tak akan pernah memilikinya.

Setelah sekian tahun menghilang, tiba-tiba dia  ingin bertemu denganku. Sudah begitu lama aku menanti,  tiba-tiba tadi sore dia menghubungi.

“Maaf, Tante. Ini Tante Siska, bukan?” tanyanya tadi sore. Sumpah, hampir saja aku pingsan mendengarnya.  Serasa ini mimpi saja. Nomor itu tetap kusimpan, kubuat namanya ‘Imut’ di daftar kontak. Nomor yang tak pernah mau mengangkat, setiap aku hubungi. Pemuda tampan yang tiada pernah terganti, meski bertahun dia telah  menghindar.

Tadi sore, tiada angin tiada badai, tiba-tiba dia  menghubungi. Kukira dia telah membuang nomorku, ternyata dia masih  menyimpan juga, sama sepertiku.

“Benar, Darry. Ini Tante. Kamu masih menyimpan nomor Tante, setelah bertahun-tahun tak pernah bisa  Tante hubungi?” tanyaku setelah menetralkan detub jantung di dada ini.

“Maaf, Tante. Nomor Tante menang sengaja kublokir. Tapi hari ini aku ingin bertemu Tante, makanya aku menghubungi Tante,” jawabnya dari seberang sana. 

“Jahat kamu, Sayang! Kenapa kamu blokir nomor Tante, coba?” tanyaku  dengan nada merajuk manja.

“Maaf, Tante. Tolong jangan panggil aku dengan kata Sayang. Enggak enak di dengar orang,” protesnya.

“Enggak apa-apa, dong, Sayang. Karena  Tante memang sayang banget sama kamu. Oh, iya, ada apa  nelpon Tante? Kangen, ya?”

“Aku mau bertemu Tante malam  ini.”

“Ha, Malam  ini?” teriakku tak percaya.

“Iya, Tante, malam  ini.”

***

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Wagirin
Berarti klo ada wanita mau menikahi lelaki tua, ada udang di balik batu ya..
goodnovel comment avatar
ATHIKA RAHMA
koinya mahal sekali
goodnovel comment avatar
Shinta Sea
pingin baca ne cerita eh malah pakai koin,,,lama delet buang ne Aplikasi...bikin berat hp aja,,,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status