Share

Bab 9. Kuusir Mama Tiriku

Bab 9. Kuusir Mama Tiriku

POV Embun

“Hallo! Om Ramlan di mana sekarang?” tanyaku melalui sambungan  telepon seluler.

Om Ramlan adalah manager keuangan di kantor. Aku harus segera membereskan masalah ini. Sebelum Mas Ray tiba  dan mengamuk kepadanya di kantor, karena telah membocorkan rahasia keuangan.

“Saya, masih di rumah, kenapa, Bu?” tanya Om Ramlan terkejut.

“Dian ada?” tanyaku lagi.

“Ada, dia belum berangkat ke kampus, tapi, sepertinya sudah siap-siap itu, motornya udah nyala.”

“Om cegah dia kekampus hari ini! Tolong saya, ya, Om,” pintaku memohon.

“Ada apa, Bu Embun, apa yang bisa kami bantu?” Suara Om Ramlan terdengar ikut gugup.

“Om pindah aja ke kantor cabang yang di Marindal! Suruh Dian menggantikan posisi Om di kantor pusat. Saya akan hubungi Bu Ning bagian administrasi. Segera, ya, Om, sebelum Mas Ray sampai di kantor!”

“Baik, Bu. Akan kami laksanakan segera. Tapi, Dian belum ada pengalaman tentang  keuangan perusahaan kita, Bu?”

“Om bantulah dia! Tetap Om yang saya andalkan, tapi sementara Om pindah dulu!” titahku lagi.

“Ok, baik, Bu.”

“Terima kasih, Om.”

Mobil yayasan penyalur tenaga kerja khusus asisten rumah tangga dan babysitter memasuki halaman yang memang sengaja  tak kututup lagi, setelah Mas Ray berangkat ke kantor tadi. Empat orang wanita turun dan melangkah menuju teras. Sebuah map dan tas berisi pakaian mereka tenteng, lalu masuk ke dalam  rumah setelah kupersilahkan.

“Bik Anik bertugas mengurus dapur, cuci pakaian dan setrika, ya! Kalau Mas Ray suami saya pulang kantor, kebetulan saya tidak di rumah, Bibik tanya apakah dia mau mandi air hangat. Kalau iya, Bibik sediakan, Bibik paham?” tanyaku kepada Wanita yang paling dewasa. Usianya sebaya dengan Mama kandungku, yang telah tiada, empat tahun lalu.

“Baik, Bu,” jawabnya patuh.

“Bik Las, tugasya bersih-bersih rumah, ngepel, bersih-bersih taman, halaman, juga buka tutup gerbang. Sesekali, kalau Mas Ray minta cucikan mobilnya, Bibik bersedia, kan? Kadang dia malas nyuci mobil di doorsmeer,” kataku kepada wanita yang lebih muda. Tubuhnya tinggi tegap, sepertinya kuat berlari di halaman  bila Mas Ray pulang kantor.

“Baik, Buk, saya bisa kok, nyuci mobil, motor, enggak masalah sama saya, mah udah biasa,” jawabnya tersenyum meyakinkan.

“Dan kalian  berdua, khusus ngurus anak-anak, ya. Si Raya ini hiper aktif anaknya. Harus diawasi dua puluh empat jam. Gak ada diamnya. Sedang di Radit, masih Asi, tapi kalau misal saya sibuk banget, gak sempat nyusuin dia, kalian buat gantinya dengan  susu formula, jam untuk makannya sudah saya tempelkan di dinding kamar anak-anak, kalian bisa, ya?” tanyaku menatap kedua baby sitter. Mereka serempak mengangguk.

Keduanya gadis muda, semoga saja Mas Ray tidak tergoda. Tapi, aku tidak ragu, toh ada Bik Adik dan Bik Las yang mengawasi mereka.

“Silahkan,  kamar kalian di belakang, ya! Istirahat, dulu, sarapan juga sudah saya siapkan tadi. Selanjutnya urusan rumah ini saya serahkan pada kalian berempat, ya. Saya mau ke luar, ada urusan.”

“Baik, Bu.”

Kampusku  yang dulu, itulah tujuan pertamaku. Semoga cuti kuliah yang kuajukan tiga tahun lalu  masih berlaku, dan semoga kini bisa kusambung kembali. Aku harus mengambil alih perusahaan. Mas Ray yang kuharap telah mengkhianati kepercayaanku.

Tiga tahun aku sudah memberinya kesempatan,  rencanaku akan meminta Papa mengangkatnya menjadi direktur bulan depan. Tidak masalah aku mengabdi sebagai ibu rumah tangga saja, mengurus rumah sambil membesarkan anak-anak.

Tetapi, dia telah berkhianat. Jika cintanya saja rela dia bagi buat perempuan serendah Sandra, konon  lagi  perusahaan yang jelas bukan miliknya. Mama telah bersusah payah mengembangkannya dari nol, hingga sebesar sekarang. Bahkan Papa saja tak bisa diharap menjaganya, apalagi Mas Ray, yang jelas-jelas bukan  siapa-siapa. Kebetulan saja dia orang yang dijodohkan Papa padaku, karena bujukan istri mudanya, Tante Siska.

Awalnya aku setuju saja. Memberikan kepercayaan utuh  pada nya. Tak kupersoalkan meski dia tak jujur dari awal masalah gajinya.  Jatah bulanan  bagianku untuk segala keperluan rumah, dan anak-anak, hanya  mencukupi setengahnya saja. Selalu kututupi dengan uang pribadiku. Mungkin orang tuanya memang lebih membutuhkan, begitu pikirku. Tapi, setelah malam itu, tak ada lagi kepercayaan yang tersisa. Luruh sudah dengan pengkhinatannya.

Aku baru saja bersiap-siap hendak berangkat. Taksi online yang kupesan lewat aplikasi belum datang. Tiba-tiba Mama tiriku datang. Seperti biasa, senyum penuh kepalsuan tersungging di  bibirnya.

“Cantik banget, mau ke mana, Sayang?” tanyanya begitu keluar dari mobil.

“Mau ke kampus, Ma,” jawabku memeluk setelah mencium tangannya seperti biasa.

“Ke kampus? Ngapain emak-emak ke kampus? Enggak malu? Liat dandananmu, liat rambutmu, pakaianmu, ih, ini mah cocoknya di dapur aja, masak! Entar di kira mahasiswa sana , kamu itu tukang catering, deh! Udah, ah! Jangan ngawur! Masuk, yuk, mama kangen sama cucu-cucu mama.” Ditariknya tanganku dengan paksa kembali masuk ke rumah.

Wanita ini mulai lagi, kan? Kalimat  sindiran dari mulutnya membuat darahku mendidih.  Tapi, aku harus sabar, kukulum senyum manis, seperti biasa.  Sebuah rencana baru  tiba-tiba timbul di benak.  Pulang dari kampus, aku akan segera ke salon. Salon langgananku dulu, pasti masih mengingatku.

“Buatkan Mama jus, dong! Aus, nih. Pagi-pagi udah gerah aja, nih, cuacanya,” perintahnya langsung menghenyakan tubuh di sofa, di ruang tamu.

“Bik Anik!” teriakku memanggil pembantu baruku.

“Iya, Bu?” Bik Anik muncul tergopoh-gopoh.

“Buatkan jus buah buat Mama, ya? Ini Mamaku, kalau dia sering datang ke sini nanti, kalian harus sudah tahu kebiasaannya. Dia gak suka makanan pedas, ya,Bik,” tuturku.

“Baik, Bu.” Bik Anik berlalu. Mama melotot ke  arahku.

“Kamu udah punya pembantu?”

“Udah, Ma. Empat, hehehe ….”

“Kamu ngawur!”

“Kenapa?”

“Enggak takut kalau Ray selingkuh? Sekarang lagi viral pembantu merayu majikan?”

“Mas Ray type suami setia, Ma. Saya percayaaaaa banget sama dia. Seratus persen! Dia sangat mencintai saya. Tiga tahun kami sudah berumah tangga, saya udah hapal  watak ponakan Mama itu luar dalam. Jangan khawatir, Ma! Dijamin pokoknya.”

“Tapi, Embun, kamu enggak tahu dia seperti apa? Di kantor aja tadi, ya, mama pergokin dia lagi ciuman di sofa, di ruangannya.”

“Oh, ya? Mama salah liat kali? Mas Ray, enggak mungkin kek gitu.”

Panas hati dan telinga mendengarnya. Dia membuka aib ponakannya sendiri, Tante macam apa dia coba?

“Serius! Mama gak salah liat.”

“Iya kah, Ma? Siapa ceweknya?” tanyaku.

“Si Sandra. Si Sandra itu, ya, ternyata ganas banget, Mama liat dia yang nyerang  Ray dengan penuh napsu.”

“Terus terus!” kataku menyemangati agar dia membongkar semuanya.

“Mama marah, dong. Eh, katanya cuman iseng.”

*****

Mohon dukungannya untuk memberi ulasan agar bintangnya nyala, ya. Mohon sumbangannya gemnya, juga. terima kasih.

  

Komen (13)
goodnovel comment avatar
Dyah Astri Andriyani
antara judul n isinya nggak nyambung hahaha....mana adegan ngusirnya coba??!
goodnovel comment avatar
Maya
Wah mantap, musuh dalam selimut ceritanya si mama tiri yah, keren ceritanya Thor
goodnovel comment avatar
Dyahsuslam Triluki
lucu ajah orang sekeren embun pemilik perusahaan mau ditipu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status