"Aku benar-benar harus segera menceraikan dia. Udah cukup rasanya selama ini aku bertahan sama sikap Lia yang udah kurang ajar banget sama kita." Bu Lasmi menghela nafas. Ia telah memikirkan soal perceraian itu sejak lama. Otak liciknya telah mempelajari konsekuensi apabila Yoga benar-benar bercerai. Ada alasan tersendiri baginya untuk menunda terlebih dahulu perceraian itu. "Sudah ibu katakan sama kamu, sebaiknya jangan cerain Lia sekarang." tutur Bu Lasmini. "Terus apa yang harus aku lakukan, Bu? Selain dari segera menceraikan wanita itu? Aku nggak bisa terus-terusan hidup bersama wanita yang nggak bisa ngehargain aku dan keluargaku. Aku juga nggak bisa terus-terusan ngelihat dia nyakitin hati ibu! Aku nggak bisa banget melihat ibu nangis kayak gini." tutur Yoga mengutarakan alasan dan suara hatinya. Bu Lasmi berpikir keras, bagaimana ia tak ingin putra tercintanya tersebut menceraikan Lia dengan harus menguras isi kan
Yoga menatap buku kecil yang diserahkan oleh Lia padanya. "Aku tak butuh buku itu, Lia!" ucap Yoga. "Aku sudah bosan menjelaskan sama kamu soal duit dus juta yang kamu kasih setiap bulan. Kamu pikir duit dua juta itu cukup untuk semua kebutuhan? Berulang kali aku jelasin sama kamu tapi kamu kagak ngerti juga. Oleh karena itu, sekarang aku udah males ngomong buat jelasin duitmu yang seuprit. Biar buku itu aja yang jelasin sama kamu, dapat apa sih duit kamu yang dua juta itu? Kalo perlu, sekarang lebih baik kamu gantian kasih ibu kamu dua juta sebulan, terus suruh dia atur semua kebutuhan kalian dalam sebulan. Kamu bisa lihat nantinya duit itu cukup atau enggak." Tanpa menunggu jawaban dari Yoga, usai berkata Lia langsung bergegas meninggalkan rumah dengan mengendarai sepeda motornya. Yoga kembali dibuat kesal dengan tingkah sang istri. Ia melirik jam tangan."Haduuh!" Jam sudah menunjukkan hampir
Sibuk mengotak-atik isi lemari, bell depan rumah berbunyi. "Siapa itu? Coba aku lihat? Jangan-jangan Mbak Lia!" Melisa melangkah ke depan. Dilihatnya Riana datang tergopoh-gopoh. Melisa beryukur ternyata bukan Lia yang datang. "Udah pulang, Mbak?" Riana menggangguk. Wajah itu terlihat berbeda. Bu Lasmi prihatin melihat air muka Riana yang terlihat lesu dan tak bersemangat. "Duduk dulu, Nak. Biar Ibu ambilkan air putih dulu, ya. Kayaknya kamu sedang ada masalah nih. Lesu banget. Nanti cerita sana ibu, ya!" Bu Lasmi menghentikan aktivitasnya bersama Melisa. Tangan yang mulai keriput meraih tangan Riana lalu membimbing Gadis itu untuk duduk. Riana menurut.Sebelumnya, Bu Lasmi mengisyaratkan Melisa untuk segera menghentikan usaha pencarian mereka terlebih dahulu. Bu Lasmi melangkah ke dapur dan kembali dengan segelas air putih di tangan. Riana meneri
Menjelang sore, semua pekerjaan rumah selesai. Riana memutuskan untuk istirahat barang sejenak. Riana mengelap sisa-sisa peluh yang bercucuran di dahi. Tenaganya benar-benar terkuras dengan seabrek pekerjaan rumah. "Riana, kamu nggak usah terlalu memaksakan diri untuk beres-beres di rumah ini, Nak. Ibu nggak pernah maksain kamu, kok. Ibu juga nggak mau kalo nanti ujung-ujungnya kamu malah sakit." ujar Bu Lasmi menghampiri "Nggak apa-apa, Bu. Anggap aja ini sedikit dari bakti aku sama ibu dan juga sama Mas Yoga." Riana berucap berdalih. Bu Lasmi menghirup nafas dalam-dalam, rajinnya Riana hari ini begitu membuat Bu Lasmi terkesan. "Masyaallah, kamu beneran calon istri yang oantes buat Yoga, Nak. Ibu yalin Yoga pasti makin cinta sama kamu. Tapi kamu nggak boleh terlalu capek juga." "Nggak apa-apa, Bu." Riana kembali tersenyum. "Hmm... Baiklah kalo gitu, Sayang. Sekarang sebaiknya kamu istirahat dulu, bia
"Apa kamu bilang? Apa aku nggak salah dengar? Jangan sesekali kamu katakan kalau Riana pantes nust dijadiin pembantu!" mendadak raut muka Bu Lasmi marah besar. "Hahaha...! Kagak usah marah-marah dong, Bu! Kadihan nanti wajah ibu makin keriput, tambah cepet tua! Masa cuma gara-gata aku bilang Riana cocok jadi pembantu aja Ibu udah marah-marah. Emangnya kalau Riana jadi pembantu, apa Ibu merasa rugi? Nggak, kan? Kok ibu yang malah kelihatan sewot banget. Nggak usah terlalu kebawa perasaan, Bu!" "Siapa yang kebawa perasaan? Aku cuma enggak rela kalo kamu sebut-sebut Riana seperti ngatain asisten, Riana mah orangnya lebih berkelas daripada kamu, lebih berpendidikan, anak kuliahan, berasal dari keluarga terhormat, dan yang pastinya dia tahu gimana caranya menjadi wanita yang baik dan bisa dibanggain oleh mertua. Kalo kamu mah nggak ada yang bisa dibanggain. Beda jauh sama Riana. Ibarat langit dan bumi!" sanjungan demi sanjungan tak bosan-bosannya Bu
Jleb! Riana langsung tersedak. Bagaimana tidak, Lia mengatakan hal seperti itu dengan aman ringan. Mana diucapkan di depan Bu Lasmi dan Yoga lagi. Nampak sekali jika tidak ada keraguan sedikitpun pada ekspresi Lia ketika berkata demikian. Bagi Riana, itu tindakan yang amat berani. Dalam hati Riana sangat berharap Yoga akan menampar Lia di hadapannya. Tetapi tetnyata tidak. Yoga tidak melakukan itu. "Apa Lia benar-benar sudah tidak ada rasa takut kepada Yoga? Apa dia tidak takut Yoga akan menceraikannya karena bicara sembarangan? Atau, atau Yoga yang justru takut sama Lia? Kenapa Yoga gak namparin ajah tuh muka istrinya yang kampungan ini?" batin Riana bertanya-tanya. Namun dibalik rasa tidak enak dan rasa kecewa pada sikap Yoga yang dianggapnya kurang tegas, masih ada sedikit rasa syukur di hati Riana. Sebab dengan Lia berkata sembarangan seperti itu, Riana berharap Yoga akan semakin memupuk rasa benci terhadap istrinya tersebut. Dengan menumpukny
"Bagaimana ini, Bu? Apa yang harus kita lakukan? Apa lebih baik aku telpon ajah Mbak Lianya sekarang? Biar kita tanya langsung tuh orang!" Melisa berkata dengan binar mata yang terlihat khawatir. "Jangan dulu, Mel. Lebih baik kita telpon ajah kakakmu terlebih dahulu. Kalo kita buru-buru nelpon Lia, mana mungkin wanita g*la itu mau ngaku. Palingan juga ngeles kalo dia bener-bener bawa tuh surat menyurat. Mana ada maling yang mau ngaku." ujar Bu Lasmi. Pikirannya memang gercep kalau mrngingat hal-hal seperti itu. Melisa mengangguk-angguk. Ia mengelus dagu. "Ibu bener jugak sih." "Okey, kalo gitu aku telpon Kak Yoga dulu." Melisa merogoh saku depan. Sebuah benda pipih sekarang telah berada di genggaman. Sejenak Melisa sibuk mencari nomor ponselnya. "Halo, Kak?" "Ya, ada apa, Mel? Tumben nelpon? Kan kakak sedang kerja nih. Ntar nisa dimarah sana atasan, lho
"Naaah, kayak gini Bu, cara ngebukain brankasnya." Yoga tersenyum lebar.Yoga puas, ternyata membuka brankas itu tak sesulit seperti yang ia coba beberapa hari belakangan. Ia mencoba berpikir positif, mungkin saja kemarin ia salah tekhniknya, seperti yang Lua ucapkan."Ooooh, gitu toh cara ngebukainnnya." mata Bu Lasmi berbinar."Pantesan." sela Melisa."Kamu pinter banget, Nak. Kalo kamu nyimpennya di sini, sudah pasti Lia nggak bakalan tahu." Bu Lasmi tertawa."Iya dong, Bu. Lia sih mana tahu soal brankas. Dia kampungan. Jangankan brankas, kode ponselku ajah dia nggak tahu." Yoga berkata membusungkan dada."Keluarin isinya sini? Mana surat sertifikat rumah kalian. Itu yang pertama yang harus segera kita amankan!" Bu Lasmi segera mengeluarkan perintah."Aman, Bu!" Yoga mengeluarkan satu persatu lembaran-lembaran dari dalam brankas."Ini, Bu!"Bu Lasmi begitu sumringah melihat apa yang dari tadi mereka cari sekarang suda