Sementara itu, di sebuah gedung yang cukup mewah, sebuah pesta pernikahan di adakan. Dengan dekorasi yang menawan dan elegan, pesta perayaan itu terlihat begitu megah.Di deretan parkir, deretan mobil mewah berjejer, menunjukkan bahwa sebagian besar tamu yang hadir di sana bukanlah orang biasa.Benar-benar luar biasa.Yoga yang kebetulan baru saja datang ke kota Jakarta dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan lebih baik, untuk pertama kalinya harus puas dengan menyandang tugas sebagai satpam di acara pernikahan tersebut."Mewah banget acara pernikahannya ya." celetuk teman Yoga."Iya bener, baru sekali ini sih aku melihat pesta pernikahan semewah ini. Wajar kalau bayaran kita gede. Ternyata sesuai sih sama kemewahan pestanya." Yoga menimpali."Ya iyalah, mereka bayarin kita gede. Toh kedua mempelainya memang berasal dari keluarga kaya semua, kok. Masa keluarga konglomerat bayarin kita kecil. Tuh liat tamu-tamu mereka! Rata-rata pakai mobil bagus kan. Tamu-tamu Mereka emang orang pen
Beberapa tahun kemudian, setelah sekian lama hidup dalam jeruji besi, Bu Lasmi dan Yoga keluar dalam keadaan menanggung kemiskinan.keadaan jauh lebih sulit. Tak ada rumah untuk Bernaung dan tak ada tempat untuk pekerjaan.Sedangkan Melissa, sekarang anak itu harus meringkuk di sudut ruangan sempit di pojok ruang kontrakan. Tak ada lagi yang bisa di harapkan dari gadis itu. Penyakit HIV yang menyerangnya membuatnya tak bisa melakukan apa-apa. Penyakit yang menggerogoti Melissa juga membuat orang-orang menjauh dari mereka. Mereka di kucilkan.Sementara Bu Lasmi yang juga sudah menua dan tulang punggung yang membungkuk juga tak bisa melakukan apa-apa. Keadaan yang benar-benar menyedihkan. Seiring usia tua yang menyongsong hidupnya, telinga Bu Lasmi tak bisa lagi berfungsi dengan baik, begitupun dengan indera penglihatan yang ia miliki. Wanita yang dulu selalu mau menang sendiri tersebut harus menerima takdirnya sebagai wanita tua yang tuli dan hampir buta.Akhirnya dengan segala perti
Bab 1"Lia! Tolong buatkan aku teh!" terdengar suara Mas Yoga dari ruang depan. "Ya, Mas. Bentar! Ini Chika lagi rewel." sahutku sambil menyusun packingan-packingan pesanan para pelanggan. "Cepetan!" teriakan Mas Yoga kembali terdengar. "Ya, Mas. Bentar, aku urus Chika dulu!" sahutku. Sebentar kemudian tidak terdengar lagi suara Mas Yoga. Aku sibuk menggendong dan mengayunkan Chika yang dari tadi menangis dan rewel. Aku khawatir. Bocah empat tahun itu nampak pucat. "Lia...! Apa kau dengar apa kataku barusan?" tiba-tiba terdengar teriakan Mas Yoga terulang lagi. Aku terkejut. Bahkan Cika yang berada di gendonganku pun turut tersentak. Aku kesal, sebab anakku baru saja ingin memejamkan mata, eh malah di kejutkan kembali oleh suara keras ayahnya. "Iya, Mas!" sahutku. Tak ingin mengundang
Bab 2"Ini apaan? Sayur sama tempe doang?" Mas Yoga menatap tak suka pada menu yang kusajikan di atas meja."Itu masih untung aku mau masakin, Mas.""Kamu kok ngomongnya gitu? Memang kamu udah nggak mau masakin aku? Sampe-sampe masaknya sembarangan begini. Coba masak tuh yang enak dikit." celoteh Mas Yoga."Bukannya aku nggak mau masak enak. Tapi uangnya yang nggak ada buat beli yang enak-enak." jawabku ketus."Uang yang aku kasih bulan kemarin kamu kemanakan?" tanyanya.Aku geleng-geleng kepala mendengar pertanyaan Mas Yoga."Uang yang Mas kasih bulan kemarin udah habis seminggu yang lalu." jawabku."Uang habis, uang habis, itu aja yang selalu kau sebut. Di otakmu cuma ada uang, uang, dan uang. Lama-lama bosan aku mendengarnya."Mas Yoga merogoh kantong dan mengeluarkan dompet. Entah apa yang akan dia lakukan."Nih! Uang dua ratus ribu untuk seminggu! Awas ajah kalau sampai masih b
Bab 3 "Lia! Darimana aja kamu? Ditelpon nggak diangkat-angkat. Apa Kamu sengaja mengabaikan panggilanku?" Baru saja aku menginjakkan kaki di rumah, sudah di sambut dengan teriakan Mas Yoga. Ya, aku baru saja pulang setelah membawa Chika ke dokter. Aku lupa, tadi karena terlalu sibuk dengan Bu Lasmi yang merongrong, aku terlupa akan ponsel. "Jawab aku Lia! Jangan cuma bisa diem gitu! Apa kamu sedang berpikir buat cari-cari alasan?" Mas Yoga membentak. "Bukan aku nggak mau mengangkat panggilan dari Mas, tapi ponselku memang ketinggalan di rumah." jawabku. "Ooh, jangan-jangan kamu emang sengaja ninggalin ponselmu, ya? Dengan begitu kamu bisa mengelak? Iya?" tanya Mas Yoga membabi buta. "Mengelak? Mengelak dari apa, Mas?" Aku benar-benar bingung. "Nah kan! itu saja kamu masih berpura-pura?" &nbs
Bab 4"Apa? Kamu nyuruh aku makan di rumah Ibu? sedangkan aku punya istri? Apakah pantas seorang istri berucap kayak begitu?" Mas Yoga mencerca. "Sebaliknya aku yang tanya sama Mas, apakah pantes seorang suami yang nggak menafkahi istrinya, tapi banyak menuntut?" Mendengarkan sanggahan demi sanggahan yang meluncur dari mulutku, sepertinya emosi Mas Yoga semakin menjadi. Kulihat Mas Yoga mengangkat tangan kanannya. Tangan itu mengepal. Aku sedikit bergidik.Dugaanku benar, sejenak kemudian tangan itu melayang ke arah wajahku. Eitt! Secepat kilat aku mengelak. Tentu saja aku tak ingin menjadi sasaran pukulan tangan kekarnya.Akibat pengelakanku, kepalan tangan Mas Yoga hanya mengenai dinding. Kulihat Mas Yoga mengaduh. Dalam hati ingin rasanya aku berteriak, "Rasain!" "Keterlaluan kamu m
Bab 5Keesokan harinya, ketika hari masih begitu pagi, kulihat sebuah status dari kontak Melisa.[Emang enak ya, punya kakak seorang pejabat gede. Jadi kalo pengen apa-apa ya tinggal bilang. Thanks kakak tersayang.] status itu di iringi oleh Melisa yang pamer tas dan high hills baru. Kutaksir harganya tak terlalu mahal, tapi memang cukup menguras kantong untuk ukuran masyarakat kelas menengah.Aku cuma melengos. Baru segitu ajah noraknya minta ampun. Terlihat benar mereka seperti lagak orang kaya baru. Apa-apa di upload. Oh ya, aku baru ingat, kemarin kan Mas Yoga habis gajian. Pantasan.Baru saja aku meletakkan ponsel, sebuah pesan dari Melisa muncul di layar ponselku.[Mbak, tolong masakin kami kari ayam dong! Katanya ibu lagi selera sama tuh lauk. Sebentar lagi kami otewe ke rumah Kak Yoga. Jangan lupa ya, Mbak. Nih perut udah laper. Mau masak sendiri udah nggak sempet.]Huuh... Enak saja menyuruhku memasak buat mereka. K
Bab 6Mas Yoga sama sekali tak bisa menyembunyikan kegugupannya padaku. Aku menyodorkan air putih ke hadapannya."Cuma air putih?" matanya menatap tak suka."Ya, cuma ini yang ada. Oh ya, gimana dengan pertanyaanku tadi, Mas?"Mas Yoga mendelik tak suka melihatku. Ih dia pikir aku takut sana sorot matanya yang sengaja ia pelototi? "Suami baru pulang bukannya disuguhkan dengan makanan atau minuman yang layak. Malah ditodong dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh. Pertanyaan nggak penting. Dari pada banyak tanya, mending kamu hidangkan makan atau minum seger gitu kan. Bukan cuma air putih tok." timpal Mas Yoga. Terlihat sekali jika ia sedang menghindari pertanyaanku tadi. "Habis mau menyuguhi Mas dengan makanan atau minuman enak, di rumah ini nggak punya keduanya. Jadi tidak ada yang bisa kusuguhkan untuk menyambut kepulangan Mas." jawabku."Ucapanmu cuma buat kepalaku semakin pusing. Punya istri seperti gak punya istri