POV HABIB…Sepanjang perjalanan pulang aku melamun penuh tanda tanya, sejak kapan Sheila hamil? Apakah hasil perbuatanku yang terakhir itu? Apakah aku yang tulus menginginkan nya baru bisa membuatnya hamil, tapi lalu mengapa sampai saat ini Fanny belum hamil padahal selama ini selalu aku yang meminta untuk seperti itu, dan bahkan ia juga sering menolakku dengan alasan lelah.Aku benar-benar menyesal sekarang, kalau taunya jadi begini aku pasti akan minta rujuk oleh Sheila daripada menikahi Fanny. Aku menghela napas dengan kasar, rasanya hidupku benar-benar penuh penyesalan."Kamu kenapa Mas?" tanya Fanny di boncengan."Gak apa-apa," sahutku."Gak usah dipikiran banget deh Mas, nikmati aja dulu masa-masa kita berdua. Lagipula punya anak itu repot, aku belum bisa ngurusnya.""Mulutmu dijaga ya Fan, aku menikahimu karena ingin punya anak. Sejak dulu aku memang menginginkan anak, jangan-jangan kamu belum hamil juga ini gara-gara ucapanmu!" bentakku kesal."Apaan sih Mas, memang belum dika
POV Orang Ketiga"Aku turut prihatin dengan masalah yang menimpa keluargamu," tutur Sheila kepada Darwis sembari menundukkan kepalanya. Sementara Darwis sendiri tampak canggung dan diam seketika saat mendengar ucapan Sheila."Emm maaf kalau aku salah bicara," ucap Sheila lagi."Gapapa kok Mbak, aku malah senang liat Mbak perhatian kepadaku," goda Darwis cengengesan."Apaan sih kamu!" seru Sheila dengan ketus.Suasana tampak canggung beberapa menit, tidak ada pembicaraan di antara mereka berdua tampak dari gelagat Sheila yang memainkan jari-jarinya."Mbak tau dari mana masalah keluargaku?" tanya Darwis memecahkan keheningan."Oh itu aku tau dari cerita Umi, masalah kakakmu yang memiliki nasib sepertiku. Kamu tidak perlu khawatir ya walaupun aku memiliki nasib seperti kakakmu, tapi aku tidak akan mengambil jalan pintas kok." Spontan saja Sheila bicara secara terang-terangan kepada Darwis, lalu ia pun berkata lagi "kamu tidak perlu perhatiin aku lagi karena memiliki nasib yang sama denga
Sejak saat itu Habib berubah menjadi orang yang lebih pendiam dan dewasa, ia tidak banyak bicara dan lebih sering tersenyum. Pernikahannya dengan Fanny kandas begitu saja, saat Habib mengetahui penghianatan Fanny yang diam-diam meminum pil KB di belakangnya. Tidak sedikit wanita yang mencoba mendekatinya selama ia sendiri, tidak heran karena Habib memang tampan dan juga mapan. Akan tetapi, Habib selalu menolak wanita yang mendekatinya dengan alasan ia sudah beristri. Tidak dipungkiri Habib masih sangat berharap Sheila mau menerimanya kembali di kemudian hari.Tidak jarang Habib sering lewat dari depan rumah Umi, bukan karena kebetulan. Akan tetapi, ia sengaja untuk melihat apakah Sheila sudah kembali. Namun usahanya sia-sia ia tidak pernah menemukan tanda-tanda kepulangan sheila, bahkan ia malah sering terkena omelan dan cacian dari Aisyah yang kesal melihat Habib selalu mondar-mandir di depan rumahnya."Sudah empat bulan lebih aku menunggu mu kembali, tetapi mengapa kamu masih belum
"Dari lubuk hati terdalam, Habib ingin rujuk dengan Sheila. Akan tetapi, aku sadar bahwa kesalahanku terlalu besar pada Sheila. Sekarang aku hanya bisa pasrah dan menerima apapun keputusan yang nanti akan diambil," sahutku penuh keyakinan."Baiklah, kalau begitu kita tunggu jawaban Sheila nanti. Abi tidak dapat berbuat apa-apa, semua keputusan ada di tangan kalian. Kami sebagai orang tua hanya bisa membimbing dan mendoakan yang terbaik saja untuk kalian berdua," ujar Abi lagi. Aku hanya manggut-manggut saja menanggapi ucapannya. Beliau memang sungguh bijaksana bagiku, tidak pernah mau ikut campur dalam mengambil keputusan dan selalu memasrahkan kepada kami berdua. Beliau sungguh orang tua yang luar biasa, walaupun ia bukan orang tua kandung Sheila dan Aisyah. Akan tetapi, kasih sayangnya sungguh tanpa batas untuk kedua anak angkatnya.Tidak lama setelah kami berbincang-bincang, kedua orang tuaku datang dengan senyuman sumringah. Ibu langsung memeluk Sheila dengan erat, dan bahkan berk
"Aku mau rujuk denganmu, tapi dengan satu syarat." Ucapan sheila sontak membuatku terhenyak, aku langsung bangkit dan bertanya,"apa itu syaratnya? Aku pasti akan kabulkan.""Aku ingin semua asetmu atas nama anak kita, agar sewaktu-waktu Abang tidak sembarangan mengusirku saat kita bertengkar," ujar Sheila lagi."Aku sanggup, aku sanggup! Apa pun itu akan aku kabulkan asal kita bisa bersama lagi."Semua ini terasa bagaikan mimpi, aku tidak percaya Sheila mau menerima aku kembali. Berkali-kali aku bersujud syukur kepada Allah, karena telah mengembalikan berlianku yang sempat aku sia-siakan. Kedua orang tuaku ikut senang dengan keputusan yang diambil Sheila, termasuk juga Abi dan Umi tampak senyuman sumringah terukir jelas di wajahnya. Sementara Aisyah hanya menyunggingkan senyuman getir di bibirnya, ia pun berjalan mendekatiku lalu menepuk pundakku pelan."Kali ini dapat kesempatan, jangan sia-siakan Sheila lagi atau perkakasmu akan habis aku mutilasi!" bisiknya di telingaku pelan, aku
"Ada lagi Mas?" tanyanya dengan ramah."Gak ada Mbak, ini aja.""Kita ada lagi diskon untuk cokelatnya loh Mas, kalau Mas nya beli dua gratis satu. Mana tau Mas mau kasih pacarnya cokelat," ujarnya menawarkan. Tentu saja aku menolak karena Sheila setahuku tidak terlalu suka dengan coklat."Tidak Mbak, ini saja. Lagipula saya tidak punya pacar Mbak, Ist…" Belum lagi aku menyelesaikan ucapanku wanita itu sudah menyela."Ah, masa ganteng-ganteng gak punya pacar. Pasti Masnya banyak milih ni!" "Uda cepetan tolong di hitung Mbak, saya buru-buru soalnya.""Oh iya, totalnya jadi 245 ribu Mas."Aku langsung menyerahkan uang sebesar 250 ribu dan pergi berlalu begitu saja sambil membawa belanjaanku, rasanya aku ingin segera menghilang dari hadapan gadis tersebut."Mas, kembaliannya lima ribu lagi." Teriaknya dari kejauhan."Buat Mbaknya aja," sahutku juga setengah berteriak.Aku menghela nafas lega, kini aku bisa bernapas lebih tenang daripada di dalam supermarket itu tadi. "Besok-besok gak ke
"Iya pampers untuk bayi ada gak Mbak?""Oh ya, di sebelah sana Mas. Mari saya antarkan," ujarnya berjalan mendahuluiku, dengan langkah perlahan aku pun mengikutinya dari arah belakang. Ia kemudian menunjukan deretan pampers dengan berbagai merek, aku yang tidak mengerti di dunia perbayian pun meminta saran padanya."Boleh nanya gak Mbak, merek mana yang paling bagus?""Untuk bayi umur berapa bulan ya Mas?""Sekitar satu bulanan gitu," sahutku."Oh, yang ini aja Mas biar gak iritasi. Untuk adiknya ya Mas?" tanyanya lagi."Saya anak tunggal Mbak, gak punya adik. Ini untuk anak saya."Seketika wajah wanita itu berubah drastis, senyumnya yang sejak tadi mengembang kini hilang. Matanya juga berkaca-kaca dan wajahnya memerah, aku tidak tahu pasti apa penyebabnya. Mungkin ia kecewa karena telah mengetahui aku sudah memiliki anak. Duh, kasiannya!Aku pun pulang sambil membawa pampers yang sangat banyak, Sheila pasti sangat suka karena ini bisa untuk stok berbulan-bulan lamanya. Aku memang Aya
"Shel, kenapa setelah punya Hafiz kamu gak pernah minta jatah lagi?" tanya Bang Habib, seolah ingin mencari tahu. Seperti biasa malam itu kami sedang melakukan sunah rosul, karena ini malam jumat. Akan tetapi, itu adalah permintaan Mas Habib bukan permintaanku seperti dulu lagi."Uda gak nafsu Sheila sama Abang," sahutku bergurau, ia tampak menatapku seperti ingin marah, tetapi lagi-lagi ia menghela nafas panjang untuk meredakan amarahnya."Apa Abang uda gak ganteng lagi di mata Sheila?" tanya Bang Habib dengan mata berbinar.Aku terkekeh saat melihat raut wajahnya, ia sangat menggemaskan dan mirip sekali dengan Hafiz. Bang Habib terasa seperti bayi besar bagiku."Kok malah ketawa sih? Abang tanya serius tau, kalau di mata Sheila Abang gak ganteng lagi Abang sih gak percaya. Soalnya masih banyak cewek-cewek yang terpesona kalau liat Abang!" seru Bang Habib dengan pedenya, rasanya aku bergidik ngeri melihat tingkahnya sekarang. Ia sangat berbeda dengan dulu, ia sangat bucin padaku bahk