"Bagus ya, pantesan aja aku diceraikan oleh Mas Habib. Ternyata kamu dalangnya! Kamu yang sudah merebut Mas Habib dariku!" seru Fanny dengan suara lantang, matanya melotot menatapku seolah tidak suka."Ada perlu apa kamu kesini?" tanyaku datar yang langsung pada intinya saja, aku tidak ingin menanggapi wanita gila yang tidak punya sopan santun. Umurnya masih sangat muda dan jauh di bawahku, tapi cara bicaranya seperti sudah lebih tua dariku."Suka-suka aku lah mau ngapain, apa urusannya denganmu? Yang jelas aku kesini mau ketemu dengan suamiku!""Suami mu siapa? Gak ada suamimu disini," sahutku sedikit terkekeh."Mas Habib itu suamiku!" Spontan aku tertawa keras, bisa-bisanya ia mengakui Bang Habib sebagai suaminya. Bukankah sudah jelas mereka resmi bercerai, dan bahkan surat cerainya juga sudah keluar dari pengadilan agama."Sudah lah, kalau tidak ada yang penting lebih baik kamu pulang. Aku dan anakku mau istirahat," titahku yang hendak menutup pintu, spontan dia langsung menahanny
"Emangnya malem-malem gini ada topeng monyet ya?" tanya Bang Habib heran sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Ada, mantan istri Abang itu lah yang jadi topeng monyetnya!""Ha... Maksud kamu sih Fanny datang kesini? Mau ngapain lagi dia?""Entah, mau minta harta gono-gini kali, atau mau minta aku balikin Abang ke dia!""Ah, ada-ada saja kamu ini Dek. Sudahlah, mari kita masuk. Lebih baik kita bicarakan keadaan Aisyah daripada membicarakan wanita gila itu!""Walau gila begitu, dia juga pernah buat Abang jadi klepek-klepek," cibir ku yang mengekori Bang Habib berjalan masuk kedalam rumah.Bang Habib tidak menghiraukan perkataanku, ia langsung menyambar handuk di kamar dan bergegas untuk mandi. Ia pasti sangat lelah hari ini, karena satu harian belum juga istirahat dan bahkan ia belum ada makan sesuap nasi pun malam ini.Aku menunggu Bang Habib sampai selesai mandi dikamar sambil menyusui Hafiz. "Dek, Hafiz disambung susu formula aja deh kayaknya. Kamu kan lagi hamil emangnya gap
"Abi pergi kerja dulu ya sayang, Hafiz jaga Umi dirumah." Bang Habib berpamitan pada Hafiz."Papapapa," sahut Hafiz yang terus mengoceh sambil memainkan kerincingan di tangannya. Bang Habib pun mencium pipi Hafiz dengan lembut, lalu menyodorkan tangannya padaku. Dengan sigap aku mencium punggung tangannya, lalu ia mencium dahiku seperti biasanya."Adek baik-baik dirumah ya," ujarnya seraya memakai helm."Iya, Abang hati-hati dijalan," sahutku tersenyum tipis.Baru saja Bang Habib hendak menjalankan kuda besi kesayangannya, tiba-tiba saja entah dari mana asal datangnya Fanny, ia berlari memeluk Bang Habib dari belakang. Aku saling berpandangan dengan Bang Habib, spontan ia langsung bangkit dan mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Fanny."Apa-apaan sih Fan, lepasin gak!" seru Bang Habib menepis tangan Fanny, tetapi wanita itu semakin mengeratkan pelukannya. Aku yang tidak terima suamiku dipeluk wanita lain pun ikut turun tangan menariknya, tetapi tetap saja tidak berhasil."Mas Habib
POV HABIB…Aku bingung setengah mati menghadapi dua perempuan yang ada di hadapanku, bukannya ingin membela Fanny. Akan tetapi, aku takut jika tindakan kekerasan yang dilakukan Sheila malah membuatnya dituntut. Aku malah berpikir bahwa ini semua adalah jebakan dari Fanny, karena satupun kata-katanya memang tidak ada yang dapat dipercaya. Wanita itu tidak mungkin meminta kembali padaku karena cinta, pasti ada maksud tertentu yang ingin dituju. Aku hafal betul sifatnya, yang ada di kepala Fanny hanyalah uang dan uang."Sheila lepaskan tanganmu!" titahku dengan tegas."Apa? Kamu mau membela wanita ini!" teriaknya melototkan mata. ini baru pertama kalinya Sheila menentang perkataanku, apalagi melototkan matanya ia tidak pernah berani seperti ini sebelumnya. Entah mengapa semenjak aku pernah menyakitinya, ia sangat sensitif dengan masalah kami yang menyangkut wanita lain."Bukan, aku bukan bermaksud membelanya, tapi tolong lepaskan dan dengar penjelasanku terlebih dahulu," pintaku merendah
"Bang, jaga Hafiz sebentar ya. Sheila mau ke warung beli sayuran." Suara itu membuatku terhenyak, tidak salah dengar lagi kan telingaku sekarang? Itu benar-benar Sheila yang memanggilku?"Iya sayang," sahutku senang, dan langsung bangkit berjalan menuju ke dalam rumah. Aku menatap tetangga kami dengan senyuman mengejek, ia terlihat tidak suka sambil menaikan bibir atasnya dan langsung masuk kedalam rumah. Hahahah, aku tertawa di dalam hati. Sangat puas rasanya bisa membalas perkataan tetangga rese tanpa harus berdebat."Adek uda gak marah sama Abang?" tanyaku menggoda Sheila sambil menoel dagunya."Siapa bilang uda gak marah? Aku cuma gak enak aja jadi bahan gosipan tetangga kalau kita ribut!" sahutnya dengan ketus."Ah yang bener?" godaku lagi."Abang mau Sheila kunci lagi?" ancam Sheila."Enggak, enggak!""Ya udah masuk!""Iya, iya." Aku tertunduk lemas berjalan masuk kedalam rumah, rasanya sakit sekali di galakin Sheila seperti ini. Apa mungkin ini yang dia rasakan dulu? Aku malah
"Mbak Sheila apa kabar?" sapanya dengan ramah sambil mencium punggung tangan istriku."Alhamdulilah sehat," sahut Sheila diiringi senyuman ramah.Aku menggertakan gigi menatapnya, disini Aisyah yang sakit mengapa ia malah menanyakan kabar istriku? Benar-benar mencari masalah ini bocil."Hafiz, sini Om gendong!" Ia mengambil alih Hafiz dari gendongan Sheila,dan Hafiz juga tampak sangat senang saat di gendong oleh Darwis. Kepalaku mendidih melihat pemandangan ini, ingin sekali aku memukul wajah bocil itu yang selalu cari muka di depan istriku, tapi aku masih tetap diam meredam amarah karena menghargai Umi disana."Kamu kok langsung kesini pulang sekolah Wis? Bukannya pulang kerumah, ganti baju dulu," kata Sheila."Aku memang nginep di sini Mbak, jagain Mbak Aisyah," sahut Darwis."Loh, kan ada Umi?" tanya Sheila heran."Gantian sama Umi Mbak, kasian kalau Umi nonstop dirumah sakit terus," sahut Darwis lagi. Sheila hanya manggut-manggut menandakan bahwa ia mengerti dengan maksud Darwis.
Tidak lama kemudian Dokter Revan keluar dari ruangan Aisyah, beliau tersenyum ramah menyapa kami dan menanyakan kabar Hafiz. Bahkan ia menyempatkan diri sebentar untuk menggendong Hafiz sebelum ia pergi untuk melanjutkan tugas-tugasnya yang begitu padat.Setelah kepergian Dokter Revan, kami pun masuk ke dalam ruangan untuk melihat Aisyah. Ia terbaring di tempat tidurnya tidak berdaya, sungguh malang nasibnya sampai harus mengalami kelumpuhan untuk waktu yang tidak bisa ditentukan."Sebenarnya bagaimana kamu bisa sampai kecelakaan seperti ini Ais?" tanyaku memecahkan keheningan di dalam ruangan ini. "Ntah lah Bib, yang jelas aku ini korban tabrak lari. Soalnya ada mobil yang sengaja menabrak motorku dari arah belakang," sahut Aisyah menjelaskan. "Apa kamu tidak sempat melihat orang yang ada di mobil itu?" tanyaku lagi semakin penasaran."Aku pingsan Habib, manalah aku tahu. Aku saja terpental cukup jauh sampai ke trotoar jalan, mungkin kalau terpentalnya di tengah jalan aku sudah ma
Aku menggebrak meja dari arah belakang mereka, sontak saja hal ini membuat aku menjadi pusat perhatian setiap orang disana. Aku tidak peduli, dan langsung menarik tangan mantan istri Om Habib dengan kasar. "Katakan padaku, kamu lah dalang dari kecelakaan yang menimpah Mbak Aisyah kan?" tanyaku dengan intonasi tinggi. Nyali Fanny seketika menciut dan tingkahnya mulai tampak gusar meminta pertolongan pada kekasihnya. "Lepaskan dia!" teriak lelaki yang bersamanya dan hendak memukulku dari belakang, untung saja selain tampan aku juga jago bertarung. Dengan sigap aku menangkap tangannya, lalu memelintirnya hingga ia meminta ampun. "Sakit... Sakit… Tolong lepasin aku!" Pria itu terus saja memohon hingga membuatku tidak tega dan langsung melemparnya, tetapi tidak dengan Fanny, aku tidak akan melepaskannya begitu saja hingga ia mengakui perbuatannya. "Jawab aku, sebelum aku mematahkan tanganmu!" ancamku sembari sedikit meremas tangannya hingga ia kesakitan, tetapi tetap saja ia tidak mau