"Mas!" ujar Senja saat Adit baru saja akan melewati pintu keluar. "Iya?" Adit menoleh. Senja menatapnya nanar. "Besok-besok jangan ke sini lagi. Aku benar-benar butuh waktu untuk sendiri. Nanti aku kabari kalau sudah merasa baikan," tegasnya. . . Sudah pernah Senja katakan, menjadi wanita simpanan dari seorang Aidt bukan lah jalan yang ia inginkan. Dia memiliki alasan, dan ketika alasan itu hilang, Senja pun ingin menghilang dari lelaki itu. Namun, apakah Adit setuju?
Lihat lebih banyak***
Senja berlari tergesa menuju pintu utama rumah sakit Pelita Hati setelah turun dari ojek yang mengantarnya ke sana. "Maaf!" ujarnya saat tak sengaja menabrak tubuh seorang lelaki hingga dirinya terduduk ke lantai.
Airmata mengalir di pipi wanita Dua Puluh Tujuh tahun itu, membuat lelaki yang bertabrakan dengannya merasa khawatir. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya dengan tangan yang mengantung mendekati bahu Senja. Lelaki itu tak bermaksud menyentuhnya.
Senja mendongak, bola matanya yang dipenuhi dengan airmata bertatapan dengan lelaki itu. Namun, tak lama sebab si lelaki segera berpaling. Melihat pakaian yang dikenakan lelaki itu, Senja sadar yang tak sengaja tubuhnya tabrak adalah seorang gus muda.
Dengan cepat Senja bediri lalu menangkupkan kedua tangannya. "Sekali lagi saya minta maaf. Saya nggak apa-apa. Assalamu'alaikum." Kemudian berlalu begitu saja. Meninggalkan kebingungan di kening sang gus muda.
Senja berlari lagi. "Andra," lirihnya. Tak lama setelah itu, ia bertemu dengan dokter yang merawat Andra. Percakapan pun terjadi di antara mereka hingga Senja dikejutkan oleh kenyataan pahit yang menimpa Andra.
"Apa?"
"S-seratus juta?" Wanita berusia Dua Puluh Tujuh tahun itu terbata menyebut angka fantastis untuk biaya pengobatan anaknya. "Apa saya tidak salah dengar, dok?" tanyanya memastikan.
Dokter Kinan menggeleng menjawab pertanyaan wanita itu. "Tidak Bu Senja, biaya pengobatan untuk Andra memang mahal karena penyakit langka yang dia derita," terangnya.
Senja terduduk lemas. Ke mana ia harus mencari uang seratus juta? Sedang rumah saja dirinya mengontrak bersama Andra, anaknya.
"Lebih baik Ibu pikirkan semuanya, karena jujur saya tidak bisa membantu banyak. Rumah sakit memiliki prosedur yang ketat," ucap dokter Kinan merasa perihatin.
Senja tahu dokter Kinan tak tega padanya dan Andra. Senja juga tak bisa menyalahkan mengingat selama ini dokter Kinan telah banyak membantu mereka. "Tolong jangan biarkan rumah sakit ini mengusir Andra, dok. Saya janji akan segera mendapatkan uang tersebut!" mohonnya.
Dokter Kinan berjanji akan menjamin Andra untuk sementara waktu, sedangkan Senja mulai memikirkan cara untuk mendapatkan uang seratus juta.
Senja pulang ke kontrakannya. Merenung, mencari cara tercepat mendapatkan uang. Ia lalu meraih ponsel bututnya, menghubungi satu persatu teman yang dikenalnya. Berharap dari mereka dia bisa mendapatkan pinjaman. Namun, tak ada yang merespon permintaannya. Mereka bahkan menghinanya.
"Tika! Mungkin dia bisa membantuku mendapatkan pekerjaan tambahan!" Dengan cepat Senja menelpon Tika. Senja ingat dulu sewaktu pengangguran Tika pernah menawarinya sebuah pekerjaan, tapi belum sempat Senja menerimanya, ia sudah lebih dulu mendapat kabar dari rumah makan tempatnya bekerja sekarang untuk menjadi pelayan. Alhasil, Senja tak lagi mengubris tawaran Tika.
"Halo? Tika? Ini Senja, kamu masih ingat aku?" tanya Senja khawatir Tika melupakannya karena mereka jarang berkomunikasi sejak saat itu.
Dari seberang Tika menyahuti. "Ohh masih. Ada apa, Nja?" tanyanya. Senja pun menjelaskan maksud dan tujuannya menelpon Tika. Ia juga menceritakan tentang Andra yang sakit-sakitan dan butuh biaya.
"Ada sih. Tapi yakin kamu mau kerja seperti aku?" Tika bertanya.
Tanpa berpikir Dua kali Senja langsung mengiakan. Padahal, dia tak tahu seperti apa pekerjaan Tika yang sebenarnya.
"Nanti malam langsung aku kenalkan pada Mas Adit ya. Kebetulan dia klien baru. Masih fresh," ucap Tika masih melalui telepon.
Senja agak mengernyitkan dahi mendengar kata fresh dari mulut Tika. Namun, sekali lagi ia mengabaikan semua tanda tanya dalam benaknya. "Baik Tik, jam berapa kita bertemu?" tanyanya.
"Jam Delapan malam." Maka pada pukul Delapan malam di hari yang sama, Senja dan Tika betul-betul bertemu.
Dengan setelan seperti ingin melamar pekerjaan Senja menghampiri Tika yang sudah menunggunya. Senja tak heran melihat penampilan Tika yang terlihat serba terbuka. Sejak awal mengenal Tika, pakaiannya memang tergolong seksi.
"Nja, kamu ganti baju dulu deh. Aku udah siapin dress buat kamu!" ujar Tika setelah memperhatikan penampilan Senja yang terlalu formal.
"Untuk apa, Tik? Baju ini cocok untuk aku yang mau melamar pekerjaan,"
Tck!
"Nurut aja Nja kalau kamu niat nyari duit seperti yang aku lakukan," ucap Tika.
Sewaktu menelpon Tika siang tadi, Senja memang sudah menceritakan kesulitannya. Tika tahu Senja membutuhkan uang yang tidak sedikit. Jalan ini mungkin terjal serta berduri, tapi jika memang Senja menginginkan uang dengan cepat, maka jalan ini menjadi satu-satunya.
Senja menuruti Tika. Ia berganti pakaian di toilet. Setelah selesai ia kembali menghampiri Tika. "Dress ini kekecilan ya Tik. Tubuh bagian depanku tampak menonjol, membuat nggak nyaman saja," ucapnya ketika sampai di depan Tika.
"Kamu cantik, Nja! Yakin deh cepat dapat uang seratus jutanya," Tanpa peduli pada ucapan Senja, Tika justru memuja Senja dan mengungkit kembali soal uang seratus juta yang Senja butuhkan.
Tak sempat Senja membalas ucapan Tika, seorang lelaki berumur Tiga Puluh tahun menghampiri meja mereka. Tika dengan cepat menyambutnya.
"Senja, ini Mas Adit. Dan, Mas Adit ini Senja. Wanita yang aku ceritakan tadi siang," ucap Tika memperkenalkan keduanya.
Adit mengulurkan tangan. Dengan canggung Senja menyambutnya. Ada yang aneh saat tangan mereka bersentuhan. Senja seolah merasa lelaki di depannya itu memperhatikan tubuh bagian depannya yang membusung dengan intens. Membuatnya merasa tidak nyaman.
"Sabar Mas, nanti juga bisa dieksekusi,"
Terlebih ketika Tika menegur pandangan itu dengan cara yang... Entahlah, Senja tak bisa menjelaskan. Namun, dalam hati Senja curiga, pekerjaan yang Tika berikan tak seperti bayangannya.
Sementara itu, Adit tampak mengusap kepala bagian belakangnya setelah melepas tautan tangan dengan Senja. "Dia cantik, Tik. Saya suka!" ujarnya.
Tika bertepuk tangan. "Soal harga gimana, Mas? Aman kan?" tanyanya tampak girang.
"Aman. Tapi, malam ini saya coba dulu," balas Adit sambil mengedikan dagu ke arah Senja.
Mendengar percakapan absurd itu membuat Senja terus mengerutkan dahi. Tak ingin menambah tanya semakin banyak, Senja akhirnya menarik Tika menjauh dari Adit. Ia perlu penjelasan soal pekerjaan yang Tika berikan.
"Tik, pekerjaan seperti apa yang kamu berikan ini? Kenapa aku merasa ada yang aneh sejak tadi?"
"Serius kamu belum paham, Nja?" Tika membola. Dari pertanyaannya Tika tak ada maksud menipu Senja. Sejujurnya ia tulus membantu wanita itu meski mereka bukan teman dekat.
Senja mengangguk. "Tentang apa ini Tika?" tanyanya.
"Aduh gimana aku jelasinnya ya Nja. Ehm, semacam kupu-kupu malam, tapi kalau Mas Adit suka, kamu bisa jadi simpanannya,"
Pupil mata Senja melebar. Tak menyangka apa yang dirinya pikirkan ternyata benar. "P-pelacur?" teriaknya. Untung mereka sedikit menjauh dari keramaian sehingga tak ada yang mendengar percakapan itu.
"Kamu gila, Tik!"
"Memangnya kamu pikir apa, Senja? Uang Seratus Juta itu bukan sedikit. Mana mungkin bisa didapatkan dalam waktu yang singkat, kecuali kamu anak konglomerat!" ujar Tika membalas Senja.
Senja terdiam.
"Sekarang terserah kamu mau lanjut apa enggak. Kalau kamu benar-benar memikirkan keselamatan anakmu, sebaiknya terima saja kencan dengan Mas Adit malam ini karena dia berani bayar mahal dirimu meskipun kamu sudah bukan perawan lagi!"
Remuk hati Senja. Namun, jika ia pergi begitu saja, maka nasib Andra akan dipertaruhkan. Mungkin saja dokter Kinan tak sanggup menjamin keberadaan Andra lagi besok pagi.
"Senja? Jangan berpikir terlalu lama. Mas Adit nanti nggak betah!" desak Tika.
"Tapi ... "
"Sudah! Ayo ketemu Mas Adit lagi." Tanpa memberi Senja waktu untuk berpikir, Tika langsung menarik tangannya. Mereka kembali menghampiri Adit yang tampak gelisah karena menunggu cukup lama.
Wajah lelaki itu terlihat kesal menatap Tika, membuat Tika khawatir Adit membatalkan traksaksi mereka. "Maaf Mas, tadi ada yang mau Senja tanyakan," kekehnya.
Adit berdecak. "Jadi gimana?" tanyanya tak sabaran.
"Aman. Senja sudah bisa dibawa," jawab Tika sembari mendorong tubuh Senja ke arah Adit. Dengan cepat lelaki itu menangkapnya. Membuat tubuh Senja bergidik begitu saja. Tika tersenyum. "Nja, aku pulang dulu ya. Besok aku telepon kamu," pamitnya.
Tidak ada yang bisa Senja lakukan selain menganggukan kepala. Malam ini ia akan menjadi wanita jalang yang melayani Adit, lelaki yang baru saja dirinya kenal dari Tika. Senja memejamkan mata, semua demi uang pengobatan Andra sebanyak seratus juta.
.
.
Bersambung.
*** Ditemani Aisyah, Senja masuk menemui Umi. Sekali lagi air mata membasahi pipi saat Senja bersimpuh sambil memeluk lengan Umi. "Mohon maafkan aku, Umi. Maaf sebab telah menyeret keluarga ini ke dalam masalahku," ucapnya tergugu. "Umi tidak perlu khawatir lagi, aku akan pergi diam-diam agar gus Isam bisa menikahi ustadzah Hafa," "Siapa bilang Umi ingin Isam menikah dengan Hafa?" tanya Umi sembari mengusap lembut rambut Senja. Membuat Senja bertanya-tanya apakah maksudnya. "Mulai hari ini restu Umi sepenuhnya untukmu dan Abrisam. Kalian berhak bahagia dengan pilihan kalian," Seketika Senja mendongakkan kepalanya, menatap Umi yang juga sedang memandangnya. "M-maksud Umi apa?" tanyanya terbata. Sungguh, Senja tak ingin berharap. Umi memaafkannya saja sudah sangat beruntung, tetapi apa kata Umi tadi? Umi sepenuhnya merestui? Umi Laila tersenyum tipis. Matanya berkaca-kaca menatap Senja. "Iya, kamu yang Umi pilih sebagai menantu. Maafkan Umi ya karena terlalu keras. Padahal hidupmu
***"Berhenti!" Sejak tadi Abrisam hanya diam memperhatikan. Dia menunggu saat yang tepat untuk menghentikan lelaki yang lancang membawa calon istrinya pergi. Bagaimana gus Isam bisa ada di sini? Sedangkan tadi dia membawa Umi ke rumahnya. Jawabannya ada pada Asiyah. Sejak kedatangan Aditya, Asiyah berlari ke rumah gus Isam. Memberi kabar kedatangan lelaki asing yang tampak memihak Senja. Gus Isam bersyukur uminya telah kembali sadar dari pingsan. Dia pun lebih leluasa menemui Senja. "Jangan pernah berpikir untuk membawa Senja pergi dari tempat ini," ucap gus Isam yang kali ini menahan tangan Aditya. Benar, bukan tangan Senja yang lelaki itu genggam. Namun, dia menahan tangan Adit agar tertahan. "Gus," lirih Senja. Perasaannya campur aduk. Cemas dan juga lega, sebab gus Isam menghalangi kepergiannya. "Gus untuk apa lagi gus menghalangi mbak Senja? Biarkan dia pergi bersama mas Adit," ucap Hafa mencoba menyadarkan gus Isam yang menurutnya telah dibutakan oleh Senja tersebut. "K
***Umi Laila yang baru saja mendengar pernyataan tentang Senja tampak sangat syok. Wanita itu menatap Senja tak percaya. "Umi, sekarang Umi tahu kan seperti apa mbak Senja?" Hafa mendekat saat melihat Umi menatap Senja dengan berkaca-kaca. "Dia itu wanita simpanan. Apakah Umi tega membiarkan gus Isam yang sempurna bersanding dengan wanita murahan itu?" tanyanya berapi-api. Umi Laila mengalihkan perhatiannya dari Senja, menatap sedih ke arah Hafa. Kepalanya menggeleng entah karena menjawab Hafa atau yang lainnya. Tak mendapatkan respon yang diinginkan dari Umi Laila, Hafa beralih pada gus Isam. Tiba-tiba dia menangis. "Gus Isam pasti terkejut, kan? Mbak Senja wanita murahan. Rela menjadi simpanan, merusak rumah tangga orang," ucapnya. "Gus tahu apa yang selama ini aku rasakan? Aku memendam semuanya, gus. Aku takut menyakiti orang lain, tapi aku nggak sanggup melihat gus tertipu oleh perempuan murahan itu!" Mendengar Hafa menghina Senja membuat Abrisam mengepalkan tangannya. Hafa
***Jujur saja Adit terbebani mendengar ucapan Nayra beberapa jam yang lalu. Oleh karena itu, sekarang dia berada tepat di depan gerbang pesantren. Namun, dia menahan diri untuk masuk sebab tak ada alasan yang tepat baginya menembus gerbang. Tentu Adit menghormati sebuah batasan. Dia bukan lelaki yang tak tahu aturan. Kecuali mendesak. Adit hanya akan memantau untuk sementara waktu. Lalu, setelah tiga puluh menit berada di sana, Adit pun menghidupkan mesin mobilnya. Roda berputar meninggalkan gerbang pesantren. Di sisi lain, Hafa baru saja turun dari angkot. Tergopoh-gopoh melewati gerbang pesantren. Mulutnya manyun karena kesal akibat ketiduran sampai lupa waktu. Dia malu karena lagi-lagi meminta Aisyah menggantikan tugasnya mengajar anak-anak. Sialnya, angkot yang tadi dia naiki terkena macet hingga dia benar-benar ketinggalan kelas. Terpaksa semua diborong Aisyah."Astaghfirullahal'adzim!" Hafa hampir saja terjatuh andai seseorang tak menggenggam tangannya. Waktu bagai berhenti
***"Jadi, kapan kalian akan menikah?" tanya Kyai setelah Abrisam dan Senja mendudukkan diri di kursi ruang tamu. Nyai Laila terpaksa berhenti berdebat, terapi dia juga akan tetap mengutarakan pendapatnya kepada Isam nanti. "Kalau Isam inginnya minggu ini juga Bi, tapi entah bagaimana dengan Senja," jawab Abrisam. Kyai menunggu jawaban Senja. "Bagaimana Nak Senja? Kamu setuju?" Senja menautkan jari-jemarinya. Pertanyaan ini terlalu mendadak, tetapi dia sudah punya jawabannya. "Boleh setelah lebaran saja Kyai?" tanyanya. "Sebaiknya kamu tanyakan langsung pada calon suamimu," ucap Kyai tenang. Mendengar calon suami membuat pipi Senja memerah tanpa kompromi. Sesungguhnya dia masih tidak percaya gus Isam ingin menikahinya. Ini benar-benar seperti mimpi. Senja melirik gus Isam sekilas. Abrisam tersenyum tipis. Tergelitik hatinya melihat pipi Senja memerah. "Nggak masalah. Lebaran juga tersisa seminggu lagi," ucapnya. "Umi juga setuju! Tunda saja sampai selesai lebaran," sahut Nya
***"Assalamu'alaikum," sebuah salam membuat ketiga wanita yang sedang berada di gazebo pesantren itu menolehkan kepala. Hafa adalah yang pertama berdiri dari duduknya. Disusul Aisyah lalu Senja. "Wa'alaikumsalam. Gus Isam sudah pulang?" tanya Hafa dengan wajah yang sumbringah. Dia senang sekali melihat gus Isam berada di pesantren. Dengan begitu dirinya akan leluasa memberitahukan soal siapa Senja sebenarnya. Gus Isam mengangguk singkat. Tanpa menatap mata, pandangannya tertuju kepada Senja, wanita yang beberapa hari ini ingin sekali dia ketahui kabarnya. Sebuah kejutan bagi gus Isam kala melihat penampilan Senja yang baru. Gamis semata kaki, lalu kerudung menutup dada itu telah merubah Senja seutuhnya. Dan, kalau boleh gus Isam berkomentar, Senja teramat cantik dalam balutan busana syar'i tersebut. Senja menunduk dalam. Ia malu, tetapi juga rindu. Entah bagaimana mengungkapkannya. Namun, diperhatikan gus Isam seperti itu membuatnya salah tingkah. Ingin sekali memberi sedikit sa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen