Share

Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah
Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah
Penulis: Pena Asmara

1. Awal Perkenalan

KETIKA KEPALA PREMAN MENIKAHI USTAZAH

PART 1

Zalikha terus saja memperhatikan, gambaran wajah seorang pria dalam sebuah photo yang dikirimkan oleh salah seorang jamaah-nya setengah jam yang lalu, selepas Salat Isya tadi.

Gambar photo melukiskan sosok wajah pria yang terbilang tampan untuk ukuran sosok laki-laki dewasa. Berwajah bersih, dengan alis tebal dan rahang kekar, hidungnya bangir juga sorot mata yang tajam. Berkharisma, kesimpulan yang diambil Zalikha saat pertama kali melihat photo pria tersebut via aplikasi pesan berlogo hijau.

"Mohon maaf Ustazah. Jika Ustazah berkenan, saya ingin melamar Ustazah untuk putra pertama saya?" Pertanyaan dari seorang Ibu anggota pengajian yang berpakaian bagus cukup membuat Zalikha terkejut.

"Alhamdulillah ... Ibu Daisah bisa saja." Zalikha tersenyum saat siang tadi di halaman sebuah masjid selepas memberikan tazkiah di salah satu majelis taklim wanita Masjid Ar- Rahmah tempatnya mengajar rutin seminggu sekali di setiap hari Kamis dalam dua bulan terakhir ini.

Ibu Daisah, wanita paruh baya yang selalu rutin mengikuti pengajian yang di pimpinnya di salah satu tempat pinggiran Kota Jakarta. Wanita baik dengan senyum tulus, setiap menghadiri pengajian selalu dikawal oleh dua orang pria yang hanya menunggu di halaman depan masjid.

Sekali lagi Zalikha melihat photo tersebut, ada desir halus di hatinya, lalu cepat-cepat dia tutup kembali. Wajahnya tiba-tiba berasa hangat, dan ini pertama kalinya Zalikha merasakan hal yang berbeda terhadap lawan jenisnya. Padahal hanya sebuah photo dalam handphone.

"Saya serius Ustazah, saya tidak bercanda," ujar Ibu Daisah siang tadi, terus mencecarnya. Sementara dua orang pengawalnya terus saja memperhatikan dari kejauhan. Zalikha menatap Ibu Daisah dengan lembut, senyum tak pernah lepas dari wajahnya.

"Putra ibu apa mau dengan saya yang yatim piatu dan miskin ini, Bu ...," jawab Zalikha pelan. Apalagi setiap kali mengaji, perempuan paruh baya tersebut selalu diantar dengan mobil yang sangat mewah, tetapi tidak pernah menunjukkan sifat sombong dan tinggi hati pada dirinya. Sejujurnya Zalikha mengagumi sosok santun dan baik budi dari Ibu Daisah.

"Insya Allah, putra saya tidak akan pernah menolak permintaan saya," jawab Ibu Daisah yakin. Matanya menatap Zalikha lebih tajam.

"Saya tidak cantik, Ibu ...," ucap Zalikha lembut.

"Ustazah cantik kok, luar dalam. Hati saya menilainya seperti itu."

"Alhamdulillah ... terima kasih Ibu ... jangan lupa untuk lebih memuji Allah pencipta saya ya, Bu, Pencipta kita semua," jawab Zalikha mengingatkan.

"Insya Allah, Ustazah ... jadi Ustazah mau ya dengan putra saya? Namanya Sadewa. Saya yakin dan percaya, Nak Zalikha akan membawa putra saya menjadi sosok manusia yang jauh lebih baik nantinya," ucapnya, dan baru kali ini Ibu Daisah memanggil Zalikha dengan sebutan "Nak".

"Insya Allah ... jika memang berjodoh, akan Allah permudah jalannya," jawab Zalikha.

"Aamiin ya Allah. Nanti saya kirim photo putra saya lewat W* ya, Nak. Alhamdulillah, ibu sudah punya nomor Nak Zalikha dari Bu Hajah Rosna."

Percakapan siang tadi dengan ibu dari pria yang di photo bernama Sadewa kembali terngiang di benak Zalikha. Ibu Daisah, salah satu anggota majelis taklim di bawah asuhannya yang menurut cerita ibu-ibu yang lain sering menjadi donatur terbesar dalam acara-acara keagamaan yang diadakan di Masjid Ar-Rahmah. Baik itu acara Isra Mi'raj, ataupun Maulid Nabi.

Ibu Hajah Daisah sama seperti jamaah yang lainnya, berbaur tanpa melihat status sosial, mengingat tempat Zalikha mengajar adalah sebuah perkampungan pinggir kota yang padat penduduk. Ibu Daisah memang tidak tinggal di kampung ini, tapi di sebuah perumahan elite yang tidak jauh dari kampung ini. Memilih untuk ikut mengaji di majelis taklim tempatnya mengajar, karena di lingkungan tempat tinggalnya tidak ada pengajian seperti ini, mengingat karena kompleks tempatnya tinggal lebih banyak didominasi dari non muslim.

 Zalikha memang tinggal sendiri di pinggiran kota besar ini. Dia kost di salah satu rumah yang tidak jauh dari Masjid tempatnya mengajar. Keberadaannya di kota ini karena ditempatkan oleh sebuah lembaga keagamaan yang menganggap kelurahan tempatnya mengajar ini membutuhkan tenaga pengajar untuk gadis dan wanita dewasa. Jadi, segala biaya untuk tempatnya tinggal dan uang untuk kebutuhan hidupnya ditanggung oleh lembaga keagamaan tersebut. Tidak besar memang, tapi bukan uang yang Zalikha cari. Ilmu yang dia dapatkan di sebuah pesantren dengan biaya dari panti asuhan tempatnya tinggal, itu yang ingin Zalikha amalkan.

Sebenarnya, selain Zalikha, ada lagi seorang guru mengaji juga sepertinya, Ustazah Rosmini, seorang warga asli kampung ini, tetapi selalu saja Zalikha mendengar ada sesuatu yang terkesan kurang baik tentang perilaku beliau dalam bersosialisasi dengan warga, maupun aturan dalam pengajian yang dipimpinnya. Seperti seragam pengajian yang harus beli dengannya dan berharga mahal, ataupun besaran infak dan shadaqah yang dia tetapkan sendiri menurut maunya.

Zalikha tidak mencari-cari informasi tentang beliau tersebut, hanya ucapan-ucapan selintas sempat terdengar di telinganya. Makanya ada sebagian jamaah yang berterima kasih dengan kehadirannya ikut mengajar di perkampungan pinggir kota ini, dan dari kabar yang terdengar jika saat ini semakin banyak jamaah pengajian Ustazah Rosmini yang pindah dan mengikuti pengajian Zalikha, terutama yang berpenghasilan pas-pasan, dan itu cukup membuat Zalikha tidak enak hati jika bertemu dengan Ustazah Rosmini, yang malah terkadang jadi bersikap acuh terhadapnya.

"Mbak Ika ...!" salah seorang kawan satu kost-nya, seorang karyawan pabrik, Rodiah, memanggilnya dari depan pintu kamar. Mengagetkan lamunannya dan cepat-cepat Zalikha membukakan.

"Ada apa, Yah?" tanya Zalikha, tepat saat dia ada di depan pintu kamarnya.

"Ada yang mencari Mbak tuh di depan rumah," jawab Rodiah, sembari mengambil potongan otak-otak di piring kecil yang ada di tangannya, memberi kode seperti menawarkan, tetapi Zalikha dengan santun menolaknya.

"Siapa, Yah?" 

"Nggak tahu, Mbak. Lihat saja sendiri, di depan teras rumah," ujar Rodiah, sembari terus mengunyah otak-otak, dan langsung kembali ke ruang depan. Zalikha segera mengambil dan memakai hijabnya, lalu segera menuju ke teras depan rumah. Kost-kostan tempat dia tinggali ini memang berbentuk satu rumah dengan empat kamar yang disewakan dan khusus wanita. Sementara pemiliknya tinggal di rumah sebelahnya.

Dari ruang tamu Zalikha segera membuka pintu utama, dan terkejut dengan apa yang dilihatnya. Bertepatan saat orang yang hendak menemuinya itu menatap ke arahnya.

"Ma-mas Sadewa," sebut Zalikha terbata, dan pria itu jauh lebih terkejut.

"Mbak kok bisa tahu nama saya?" Matanya menatap tajam, dan Zalikha mulai merasa gemetar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status