Share

2. Kesan Pertama

Author: Pena Asmara
last update Last Updated: 2022-03-21 04:27:59

 

"A-apa, Mas?" Zalikha masih dalam keadaan gugup, melihat Sadewa yang tiba-tiba datang mengunjunginya. Dan putra dari Ibu Daisah itu masih menatap tajam, membuat Zalikha menunduk, menghindari bertatapan langsung. Jantungnya berdegup lebih kencang.

 

"Ko Mbak tahu, jika nama saya Sadewa?"

 

"Ohh ... itu, dari Ibu Mas yang memberi tahu."

 

"Maksudnya?" tanya Sadewa lagi menyelidik.

 

"I-iya, tadi siang, beliau bilang jika punya putra pertama bernama Sadewa, dan mengirimkan photo Mas kepada saya."

 

"Buat apa Ibu mengirimkan photo," gumam Sadewa, bertanya ke dirinya sendiri.

 

"Apa, Mas?" tanya Zalikha, memperjelas, karena dia pikir Sadewa sedang berbicara dengannya.

 

"Tidak, tidak ada apa-apa," jelas Sadewa. Mengalihkan pandangannya ke taman kecil depan rumah. 

 

"Tampanan aslinya," gumam Zalikha keceplosan, lalu buru-buru menutup mulutnya. Wajahnya terasa memanas, menyadari kebodohannya bicara tanpa sadar, dan Zalikha yakin jika Sadewa juga mendengar. Akan tetapi Sadewa sepertinya acuh saja.

 

"Ibu ingin bertemu. Siapa nama kamu?" tanya Sadewa, datar saja.

 

"Saya Zalikha," jawab Zalikha memperkenalkan dirinya, gadis itu mulai mampu menguasai dirinya.

 

"Saya Sadewa Fahreza," ucap Sadewa, juga memperkenalkan dirinya, sembari menyodorkan tangan ingin bersalaman dengan Zalikha. Ustazah muda itu menolaknya secara halus, dan hanya menakupkan kedua tangan di depan dadanya. Paras wajah Sadewa terlihat seperti tidak nyaman dengan penolakan Zalikha.

 

"Saya sehat kok, tidak mengandung penyakit, jadi tidak usah takut bersalaman dengan saya," sindirnya ketus, dan sekarang Zalikha yang mulai tidak nyaman mendengar ucapan Sadewa.

 

"Mohon maaf Mas, bukan bermaksud untuk membuat Mas Sadewa tersinggung, hanya memang dalam keyakinan kita dilarang untuk bersentuhan yang bukan mahramnya," jelas Zalikha pelan. Sadewa kembali terlihat tidak nyaman.

 

"What ever lah," jawabnya acuh. Zalikha hanya menanggapinya dengan tersenyum.

 

"Ayu cepat, kamu ikut saya, Ibu saya ingin bertemu." 

 

"Bertemu buat apa?" tanya Zalikha.

 

"Kamu ribet amat sih, tinggal ikut saja, nanti juga tahu jika sudah bertemu Ibu," jawab Sadewa ketus, dan itu membuat Zalikha sedikit tersinggung, tapi dia memilih untuk diam saja.

 

"Jika bukan karena disuruh Ibu, aku juga tidak mau disuruh menjemput wanita sok jual mahal seperti kamu." Santai saja Sadewa berucap pedas, sembari merapihkan jaket hitam yang dikenakannya. Sepertinya Sadewa masih kesal saat Zalikha menolak bersentuhan dengannya. Zalikha terus beristighfar di dalam hatinya, berusaha untuk mengendalikan amarahnya.

 

"Maaf yah Mas Sadewa, bukannya saya sok jual mahal, toh saya pun tidak sedang memperdagangkan diri. Apa saya salah kalau bertanya, jika Ibu Mas Sadewa ingin bertemu saya ada urusan apa? Lagipula Mas Sadewa hanya datang sendiri. Saya pun belum mengenal Mas Sadewa loh ... wajar jika saya merasa takut."

 

"Kamu ini benar-benar dibikin ribet yah, tinggal ikut saja susah amat sih," ucap Sadewa, sedikit memaksa.

 

"Saya tidak mau! Sekarang silahkan Mas Sadewa pergi dari rumah ini, permisi." Zalikha benar-benar sudah kesal melihat sikap Sadewa yang sepertinya meremehkan wanita. Bergegas dia langsung masuk ke dalam dan menutup pintu rumah. 

 

Sadewa diam termangu, tidak menyangka dia, jika gadis bertubuh kecil itu berani mengusirnya, bahkan langsung pergi meninggalkannya. Tidak pernah dia diperlakukan seperti itu, sikap Zalikha membuat Sadewa menjadi serba salah.

 

"Resee ...!" umpatnya, kesal. Lantas mengambil handphone dari saku jaketnya. Menghubungi nomor yang ingin ditujunya, dan langsung terhubung.

 

--Assalamualaikum, Ibu.

 

--Waalaikum salam ... bagaimana Sadewa, Nak Zalikha sudah sama kamu?

 

--Zalikha tidak mau ikut Sadewa, Bu.

 

--Ini pasti salah kamu, Sadewa, yang sudah bicara kasar dengan Nak Zalikha. Ibu tahu watak kamu, ketus sama perempuan.

 

--Nggak, Bu, Sadewa sudah bicara baik-baik, kok.

 

--Pokoknya Ibu mau ketemu Zalikha!

 

--Tapi, Bu-- 

 

Pembicaraan langsung terputus, Bu Daisah menutup hubungan telepon dengan putranya, dan Sadewa kembali dibuat pusing. Dia tidak ingin mengecewakan ibunya, wanita kuat yang sudah merawat dan mengurusinya sedari kecil, beserta kedua adiknya, dari saat ayahnya mati terbunuh  oleh saingan bisnisnya, saat Sadewa berusia tujuh tahun.

 

Sadewa terduduk lemas di kursi teras rumah, untuk kembali menemui Zalikha dia merasa malu, karena tadi sempat diusir oleh gadis muda itu, dan semua karena sikapnya yang ketus dan meremehkan. 

 

Hampir dua puluh menit, Sadewa hanya terduduk saja di teras rumah kost yang Zalikha tempati. Beberapa kali duduk dan berdiri, berjalan mendekati pintu, Ingin kembali memanggil gadis sok jual mahal itu, tetapi rasa gengsinya tidak bisa menerima. Bisa jatuh harga dirinya jika sampai memohon-mohon agar Zalikha mau ikut dengannya. Sadewa benar-benar dibuat suntuk sendiri.

 

Tidak beberapa lama, datang seorang gadis yang sepertinya berusia lebih muda dari Zalikha, dan langsung mengetuk pintu rumah kost tersebut.

 

"Kamu ngapain Ratih?" tanya Sadewa kepada gadis itu yang ternyata adik bungsunya. Belum sempat Ratih menjawab, tiba-tiba Zalikha keluar dari dalam rumah, dan terlihat sudah berganti pakaian.

 

"Ratih, kan?" tanya Zalikha menegur.

 

"Teh Zalikha, 'kan?" tanya balik Ratih, dan Zalikha mengangguk.

 

"Ayuk Teh, mobil Ratih di depan," ajak Ratih, sembari menggandeng tangan Zalikha, berjalan melewati Sadewa yang hanya bisa diam terduduk di kursi, karena seperti dianggap tidak ada, baik itu oleh Zalikha, atau pun oleh adiknya, Ratih. Sadewa benar-benar ditinggalkan sendiri. Hatinya semakin mendongkol.

 

"Shitt ...!" Sampai akhirnya Sadewa mengikuti keduanya dari belakang, menunggu sampai Zalikha, Ratih, masuk ke dalam mobil. Saat mobil yang dibawa adiknya meninggalkan lokasi, Sadewa lantas seperti memberikan kode, dan tiba-tiba ada dua motor berboncengan, mulai mengikuti mobil Ratih dari belakang. Tidak beberapa lama, Sadewa pun pergi menyusul Ratih dan Zalikha. Diikuti satu kendaraan roda empat lagi di belakang mobil Sadewa.

 

Sebelumnya, waktu yang sama di lain tempat.

 

Daisah mematikan handphone-nya sembari menggerutu, Dia sangat yakin, jika penolakan yang dilakukan Zalikha pasti karena sikap kaku yang ditunjukkan putranya Sadewa. Daisah sangat paham sifat Sadewa jika berhadapan dengan wanita, dan suara gerutuannya terdengar oleh putri bungsunya Ratih yang sedang duduk bersamanya di sofa ruang utama.

 

"Kenapa sih, Buk?" tanya si bungsu Ratih.

 

"Itu abangmu Sadewa pasti membuat ulah, hingga Nak Zalikha tidak mau ikut dengannya."

 

"Zalikha siapa, Bu?"

 

"Ustazah muda, guru ngaji ibu di majelis taklim."

 

"Ibu menyuruh Abang menjemput guru ngaji Ibu kemari sendiri?"

 

"Iya ...."

 

"Ya jelas nggak mau lah, Ibu. Abang, 'kan bukan mahram-nya."

 

"Astagfirullah ... kok ibu sampai lupa, yah." Ratih tertawa, begitupun ibunya.

 

"Coba Ibu telepon langsung guru ngaji Ibu, bilang jika Ratih yang akan jemput. Faidah mengangguk-angguk, lantas mulai menghubungi Zalikha, dan tidak lama langsung mematikan sambungan telepon-nya.

 

"Bagaimana, Buk?" 

 

"Nak Zalikha mau. Kamu sekarang cepat jemput dia yah, di tempat kostnya, yang tidak jauh dari Masjid Ar- Rahmah lewat sedikit, yang di depannya tepat toko kue Kikan Kitchen. Pintu gerbang rumahnya warna hijau."

 

"Sekarang, Buk?" tanya Ratih, masih asyik menonton drama Korea di TV kabel.

 

"Iya Ratih, sekarang," pinta Daisah, sembari menyerahkan handphone miliknya kepada putrinya jika nanti ingin menghubungi Zalikha.

 

"Ibu mengundang guru ngaji Ibu kemari, memangnya ada apa, Buk?" tanya Ratih, sembari mengambil kunci mobilnya yang dia letakkan di depan televisi.

 

"Ibu mau jodohkan sama Abang kamu, Sadewa," 

 

"Ibu serius?" tanya Ratih, tidak begitu yakin.

 

"Serius lah, Abangmu, 'kan sudah cukup umur buat berumah tangga."

 

"Memang ada Buk, wanita yang mau menikah sama es balok?" tanya Ratih lagi, sembari tertawa geli. Dan Ratih langsung berlari cepat keluar rumah, saat mata sang Ibu sudah hampir keluar memelototinya.

 

'Sadewa seperti itu karena tanggung jawabnya yang besar terhadap keluarga kita' ucap lirih Ibu Hajah Daisah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   34. Tamat

    "SAYA HANYA INGIN NYAWAMU!" geram Sadewa. Api berkobar di dalam matanya yang tajam. Gamal terdiam, saat mendengar jika Sadewa menginginkan kematiannya. Sedikit pun, tidak ada rasa ketakutan yang terlihat pada wajahnya. Masih terlihat tenang. "Apa yang kamu dapat setelah berhasil membunuhku." "Dendam. Dendam saya terbayarkan. Perbuatanmu sudah merusak masa kecil saya, menghancurkan kehidupan keluarga saya. Hanya dengan membunuhmu, maka semua terbayarkan lunas." Gamal masih melihat ke arah Sadewa, lalu mengambil sebungkus rokok miliknya di atas meja. Membakarnya dan mengembuskannya secara perlahan, sambil bersandar di bangkunya. Benar-benar terlihat tenang sekali. "Jika kau berhasil membunuhku, apa akan membuat ayahmu hidup kembali?" Sadewa terpaku, matanya masih menatap Gamal dengan penuh kebencian. "Sudah siap kau hidup di penjara? Menghancurkan hidup dan masa depanmu?" Sadewa masih terdiam. Di dalam hatinya masih tersimpan bara dendam. "Tanpa kau bunuh pun, nanti aku akan mat

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   33. Dendam Yang Tak Pernah Padam

    "Sudah Ri, ini urusan pribadi gue. Tugas lu memastikan kepada Gamal, jika gue pasti datang. Sekarang lebih baik lu pergi dulu.""Gue boleh tahu 'kan urusan pribadi antara lu dengan musuh bebuyutan kita." Sadewa menatap Fahri tajam, raut wajahnya tergambar jelas jika Sadewa tidak suka dengan keingintahuan Fahri tentang masalahnya."Baik, Wa," jawab Fahri pasrah, dia sangat tahu jika Sadewa sudah memiliki keinginan, maka tidak ada yang bisa melarang. "Nanti gue kabari, jika lu ingin bertemu Gamal malam ini juga." Fahri langsung berdiri, dan meninggalkan kamar Sadewa.Selepas Isya, Sadewa mulai meninggalkan kediamannya, sendiri, tanpa pengawalan. Lewat WA, Fahri mengabarkan jika Gamal akan menemuinya di tempat yang sudah disepakati. Sadewa ingin jika masalah antara dirinya dan ayah dari Zhalika harus segera diselesaikan. Dia sudah tidak berpikir lagi tentang keselamatannya, yang terpenting dendamnya harus terbalaskan, meski taruhannya nyawa.Hati dan pikirannya sedang bimbang, antara ci

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   32. Musuh Dalam Selimut

    Mungkin hampir sejam, Gojali, panggilan premannya Gamal, kepala geng Serigala Api yang terkenal kejam, terdiam berzikir dan bertafakur di dalam masjid. Dua orang anak buahnya yang menemani hanya memperhatikannya dari jarak jauh, hanya mengawasi jika ada yang mengganggu. Kesan heran terlihat pada mimik wajah mereka berdua, atas sikap bos besar yang di luar kebiasaannya.Gamal berjalan pelan keluar dari masjid, dan kedua anak buahnya segera menghampiri."Abang jadi ke rumah putri Abang lagi?" tanya seorang dari mereka. Gamal menoleh, lalu terdiam. Wajahnya terlihat tenang, mungkin sedang berpikir."Tidak usah, kita kembali saja ke rumah," ajak Gamal, sembari berjalan menuju kendaraannya. Dan mobil mereka mulai meninggalkan halaman masjid."Adul!" panggil Gamal kepada salah seorang anak buahnya yang duduk di depan."Iya, Bang.""Buat pertemuan dengan Sadewa. Bilang padanya, jika saya ingin bertemu secara pribadi, dan tidak ada urusannya dengan bisnis dan kekuasaan.""Baik Bang, akan saya

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   31. Siapa Ayah Sebenarnya

    Belum begitu lama, Zhalika dan Sadewa ijin pamit dari rumah Gojali. Dua orang anak buahnya, yang terus saja memperhatikan mereka berdua dari jarak jauh mulai mendekati bos mereka, dan kemudian meminta izin untuk bicara dengan atasannya tersebut."Nanti saja, gue mau mandi dulu," jawab Gojali, langsung menuju ke kamarnya, dan kedua pengawalnya tersebut tidak berani membantah, langsung kembali ke depan teras rumah.Satu jam setelah Gojali selesai mandi dan makan, dengan menggunakan baju santai, kepala preman tersebut kemudian menemui kedua orang kedua orang anak buahnya dan langsung duduk di bangku kayu teras rumah, diikuti oleh kedua orang anak buahnya. Tidak beberapa lama, seorang pelayan datang membawakan segelas kopi hitam dan meletakkannya di atas meja, tepat di depan Gojali. Lalu pelayan tersebut segera undur diri.Gojali menyalahkan rokok miliknya, setelah sebelumnya menghirup kopi yang sudah disediakan pelayannya tadi. Sementara kedua pengawalnya hanya diam memperhatikan."Kalia

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   30. Kabar Mengejutkan

    "Mas Dewa jahat! Tidak punya hati!" teriak Ratih, sembari berdiri dari sofa. Merasa kecewa dengan keputusan sepihak yang diambil Sadewa. Zhalika menangis dalam diam, terjerat rasa penasaran, mengapa Sadewa tiba-tiba berubah pikiran."Ceritakan apa yang terjadi, Mas? Ibu dan Mbak Zhalika berhak tahu, mengapa Mas Sadewa bisa memutuskan sesuatu yang membuat sakit hati Ibu, Ratih, dan Mbak Zhalika?" tanya Bisma tenang, dan ketiga perempuan lain masih menangis. Sadewa diam membeku.Zhalika yang sedari awal diam saja, mulai mencoba bicara."Saya akan mengikuti apapun keputusan Mas Dewa, jika memang ini yang terbaik menurut, Mas. Tetapi saya berhak tahu salah saya, sehingga Mas Dewa membatalkan rencana pernikahan kita?" tanya Zhalika pelan, tersenyum tipis sambil mengusap pipinya yang basah dengan air mata. Dan Sadewa masih terdiam."Jika kamu masih menganggap aku adalah ibumu, katakan apa yang sudah terjadi Sadewa!" teriak Daisah, berdiri dari tempat duduknya. Terlihat emosi ibu Hajah terse

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   29. Menyakiti Hati Ibu

    "Sekarang kita makan bersama dulu," ajak Gamal, kepada Zhalika dan Sadewa, tetapi Sadewa berucap cepat, walaupun suaranya bergetar."Tidak usah Pak, terima kasih, sebelum kemari kami makan dulu tadi. Dan lagi pula, masih ada keperluan yang harus kami selesaikan," jawab Sadewa. Zhalika diam saja, tidak memprotes keputusan calon suaminya itu. Sementara Gamal menatap wajah Sadewa lekat."Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Gamal, seperti mengingat-ingat. Sadewa diam saja, tidak menjawab. Kembali mengepal tangannya keras, sampai bergetar, karena menahan amarahnya agar jangan sampai meluap."Mungkin Bapak salah orang," jawab Sadewa, sembari mengangguk kepada Zhalika, untuk segera pergi meninggalkan rumah ini, dan Zhalika mengerti maksud dari Sadewa. Lalu mereka pun segera berdiri dari tempat duduknya, diikuti oleh Gamal dan Claudia."Saya pamit pulang dahulu, Pak. Mungkin dalam waktu tiga minggu ke depan, acara pernikahan kami akan dilaksanakan," ujar Zhalika, lalu berdiri, dan m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status