Esoknya aku bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Selesai mereka sarapan masing-masing berangkat sekolah, kecuali Sari yang memang tidak bersekolah. Bersama Mbak Romlah, dia turut membantu membersihkan piring-piring bekas sarapan tadi.
Sebelum berangkat ke toko, pagi ini aku berencana untuk belanja kain pesanan seragaman untuk acara akad nikah langganan. Sekalian kulakan barang-barang yang telah habis juga. Biar bisa sekalian angkutnya.
Kesibukan seharian membuat hari terasa begitu pendek. Tiba-tiba sudah sore lagi, dan waktunya pulang ke rumah.
Telepon pintarku berdering.
"Assalamu'alaikum, Nak." Terdengar suara wanita renta yang melahirkanku dari seberang sana.
"W*'alaikumsalam ... iya Bu, ini Aira masih di jalan."
"Gak apa-apa, cuma mau bilang. Ibu sudah sampai di rumahmu. Tadi minta antar Mas Rudi naik mobil carterannya."
"Owh, syukurlah, kalau gitu. Nanti biar Aira telpon Mas Rudi soal ongkosnya."
"Ya ... Ibu cuma mau bilang itu. Ya sudah, Assalamu'alaikum ...."
"W*'alaikumsalam ...," balasku lalu menutup sambungan telepon.
Kulirik suamiku yang masih serius di belakang kemudi mobilnya.
"Kenapa? Kok begitu tatapannya? Aku ganteng, ya?" candanya usil.
"Ish, siapa bilang."
"La itu kamu, kenapa pandangannya sampai begitu?"
"Ibu datang ke rumah kita. Beliau juga mau menginap di rumah," ucapku.
"Dek ... Dek, gitu aja kok repot. Di rumahkan masih banyak kamar. Lagian Ibu itu juga orang tuaku. Apalagi yang bikin pusing?"
"Rumah jadi kaya penampungan," gerutuku pelan.
"Jangan bicara begitu. Banyak orang lebih rame, jadi ga sepi rumah kita."
Kembali Mas Alif fokus ke jalanan yang semakin padat, karena jam pulang kantor. Aku merasa lega mendengar ucapan suamiku barusan. Benar kata Mas Alif, banyak orang bikin rame. Semoga juga, Allah ikut memberi kami kelebihan rezeki. Aamiin.
~~~~~
Suara lengkingan si Bungsu terdengar di sana-sini. Vian asyik menggoda adiknya dengan mobil-mobilan yang pura-pura dia sembunyikan. Sementara ketiga gadis beliaku, terlihat sedang sibuk membantu Mbak Romlah menyiram tanaman.
Mereka juga mencabuti rumput liar yang tumbuh. Kulihat Sari dan Yanti juga saling bekerja sama memindah pot-pot yang telah disiram dan diberi tambahan pupuk.
Sedikit kutepis pikiran yang berkecamuk dari semalam. Melihat gelagat mereka yang tampak baik-baik saja. Membuat diri ini merasa bersalah, karena sudah berprasangka yang bukan-bukan.
'Allah, jagalah selalu hatiku dengan kebaikan dariMu.'
"Buk."
Panggil Mbak Romlah sukses membuatku terkejut.
"Sampai kaget aku, Mbak," ucapku sambil mengelus dada.
"He ... he ... ma'af."
"Saya mau pamit pulang, tadi uang tinggalan yang 10 ribu buat beli bubur, Buk Lah."
"Iya, gak pa pa sudah. Kamu pulang sana. Terima kasih, ya."
"Eh anu, gak jadi sudah, Bu."
Aku mengernyitkan dahi melihat sikap Mbak Romlah yang tampak kebingungan. Mau bertanya lagi, sudah keburu dia berlalu.
"Ibu sudah makan, Bu?" sapaku begitu melintasi ruang tamu. Kulihat beliau sedang melihat acara masak-memasak di televisi.
"Sudah Nak, tadi minta dibelikan bubur sama, Mbak Romlah."
"Ya, sudah kalau gitu. Ibu kalau perlu apa-apa, bilang aja sama anak-anak. Aku mau mempersiapkan makan dulu," pamitku ke belakang.
Setelah membersihkan diri, lekas kupersiapkan makanan. Sedikit heran ketika kubuka tudung saji.
'Kenapa Mbak Romlah hanya menggoreng ayam tak lebih dari tujuh jumlahnya? Tempe dan tahu pun tinggal beberapa potong yang tersaji.'
Niatku hendak menggoreng lagi, karena tadi pagi sengaja aku membeli ayam hingga dua kilo. Karena anak-anak paling suka ayam goreng laos bikinanku. Kucari-cari di kulkas besar tidak ada, kucari lagi di kulkas kecil juga tidak ada di sana.
Begitu juga dengan stok tempe dan tahu. Kenapa hanya tersisa yang sudah matang di meja saja? Padahal tadi aku beli agak banyak. Biar sekalian untuk besok pagi buat sarapan. Ah, sudahlah. Mungkin sudah habis buat digoreng sama anak-anak.
Ketika semua sudah siap, kupanggil mereka semua. Tak lupa menyuruh membersihkan diri terlebih dahulu. Kami makan bersama-sama. Sesekali hanya terdengar decakan mulut yang sedang mengunyah makanan. Ibu terlihat tertawa melihat ulah anak-anak yang sedang makan.
Vian tampak mengunyah ayam goreng dengan lahapnya. Ayahnya sampai geleng-geleng melihat ulah anak ke-duaku itu.
Ketika Yanti hendak mengambil ayam lagi di meja. Vian tampak menyerobotnya lebih dulu. Aku pura-pura melebarkan mataku padanya.
"Bagianku kan biasanya dua, Ma. Lagian tadi, Mbak Yanti sudah makan sama teman-temannya lebih dulu," sanggah Vian. Kulihat Firda sulungku memberi kode pada adiknya. Aku semakin bingung melihat ulah mereka.
Yanti terlihat hanya tertawa saja, sedang Sari tetap asyik makan. Suamiku juga nampak melanjutkan lagi menyuap nasi yang tersisa. Setelah tadi sempat terjeda untuk beberapa saat.
Selera makanku langsung turun, berasa sudah kenyang. Melihat keganjilan yang sedang terjadi. Ada apa sebenarnya? Aku bangkit lebih dulu dari meja makan. Disusul Mas Alif suamiku.
Dia tampak mengekoriku ke dalam kamar kami. Mengganti pakaian yang dipakainya dengan sarung dan baju koko. Mengambil peci lalu ke musala yang terletak di lantai atas.
Semua anak-anak telah bersiap juga, melakukan salat jama'ah. Kecuali aku, yang sedang dapat tamu istimewah.
~~~~~
"Mas ...." panggilku ketika kami tinggal berdua di kamar. Sementara, Mas Alif sedang mengotak-atik lampu rias yang kebetulan sedang rusak.
"Ya, kenapa?" tanyanya. Tangannya masih sibuk dengan tespen dan kabel.
"Kok, tiba-tiba ayam yang baru aku beli tadi pagi habis semua, ya?"
"Ya, dimakan Dek, sama anak-anak tadi siang mungkin," sanggah suamiku masih tetap fokus sama pekerjaannya.
"Ish, gak mungkinlah. La wong bali telur ama daging kemarin masih ada. Cukup buat sampai sore pun. Nyatanya ikut habis juga," gerutuku.
Mas Alif menghentikan pekerjaannya, lalu menatapku sesaat.
"Serius dengan apa yang kamu bilang?" tanyanya menyelidik.
"Ya seriuslah, masa aku mau bohongin kamu. Ibuku juga gak makan daging. Kamu tahu sendiri."
"Mbak Romlah sudah kamu tanya?"
"Itu tadi, pas mau pulang. Dia seperti ada mau cerita, tetapi gak jadi. Tidak tahu kenapa."
"Coba besok tanya Mbak Romlah, sebab dia yang seharian di rumah. Tanya pelan-pelan, Dek. Jangan sampai membuatnya tersinggung," ingat suamiku.
"Siap, Pak Bos!" jawabku dengan gaya genit.
"Kamu ini, sengaja menggodaku sepertinya," ujarnya sambil menggelitik pinggangku.
"Mamaaaaa ... gak boleh!"
Tiba-tiba si bungsu sudah menerobos masuk ke kamar. Dia memukul Ayahnya yang sedang menggelitikiku. Tawa kami seketika berderai melihat tingkahnya yang lucu.
Segera kubersihkan tubuhnya, lalu membuatkan susu. Ikut membaringkan tubuh di samping tubuh mungil itu. Melepas segala penat dan juga menyegarkan pikiran agar esok bangun dalam keadaan sehat dan lebih bugar.
Kulihat suamiku pun turut berbaring di sampingku. Sesaat kemudian telah terdengar dengkuran halusnya.
"Klontang ...."
Samar terdengar benda jatuh dari dapur, karena sudah ngantuk. Aku pun mengabaikannya. Biarlah apa kata besok saja.
Terima kasih buat yang sudah baca. Jangan lupa subcribe dan vote bintang limanya ya ....Salam sayang buat kalian dari Author yang maniez 😊"Harusnya langsung rumah sakit jiwa saja," ujar Alif datar. Semua yang ada di ruangan itu terlihat membolakan matanya, tanpa terkecuali Aira."Apa? Rumah Sakit Jiwa? Apa tidak bisa di tempat lain gitu, Mas? Misalnya di Panti Rehabilitasi dulu? Kok langsung ke ...." Serentetan pertanyaan dan kecemasan Aira ungkapkan kepada suaminya itu. Terlihat sekali wanita dengan wajah kalem itu mengkhawatirkan beberapa hal. Alif menanggapi kecemasan istrinya dengan senyuman, lelaki itu terlihat begitu datar menanggapi pertanyaan Aira."Semuanya juga belum pasti, Dek. Tapi tidak menutup kemungkinan demikian. Nanti setelah ditangani Dokter Heru, baru dapat kepastiannya bagaimana.""Kalau begitu, sekarang saja Mas yang hubungi Dokter Heru. Aku juga ingin tahu, bagaiamana tanggapan beliau.""Baiklah ....."Tak lama kemudian terlihat Alif sudah menghubungi dokter Heru, dokter kenalannya yang kebetulan memiliki background sebagai dokter syaraf.●Selepas Subuh, Aira bersama suaminya menuju klinik Dok
"Jadi bagaimana, Ra?" tanya Murni tanpa malu.Aira tampak masih bergeming, sementara raut wajah Alif kini memerah. Lelaki dengan wajah tampan itu, tiba-tiba berdiri di hadapan kedua tamunya."Silakan kalian keluar dari rumah ini! Pintunya ada di sana, jangan pernah kembali ke sini lagi!" tegas Alif sambil menudingkan telunjuknya ke arah pintu keluar.Sesaat kedua tamunya terkesiap, tak menyangka reaksi yang akan mereka hadapi bisa seperti ini. Ikhsan tampak terlihat geram melihat ulah Murni. Tangannya terlihat mengepal seakan ingin meninju mulut lancang wanita berbibir tebal itu."Ma-maaf Lif, kalau ucapan istriku yang tak tahu diri ini membuat kalian tersinggung. Terima kasih sudah membantu kami sebelumnya. Masalah yang tadi diomongkan Murni, tolong abaikan saja. Saya mohon dengan sangat padamu. Jika tidak pada kalian, pada siapa lagi kami akan meminta tolong," rengek Ikhsan merendah dengan kedua tangannya yang menangkup di dada.Sesaat Alif memperhatikan Ikhsan, Aira nampak menyuruh
Baru saja kaki ini menjejak masuk ke dalam rumah. Sella bilang kalau ada telepon, entah dari siapa. Segera saja kuambil ponselku yang sedari tadi tengah kucharger.Setelah kuaktifkan, ada beberapa panggilan dari Kak Tika. Tiba-tiba saja, firasatku mengatakan ada yang tidak beres."Kamu kemana saja Murni? Dari tadi aku telpon kok gak diangkat?"Tanpa salam, Kak Tika memberondongku dengan berbagai pertanyaan."Dari belanja ikan, Kak. Tadi ponselku sengaja kutinggal karena baterainya habis. Ada apa, Kak? Kok sepertinya penting banget?"Hening sesaat tak ada jawaban dari Kak Tika, hanya terdengar helaan napas panjangnya."Ponakanmu, si Yanti. Sepertinya dia perlu kita bawa ke rumah sakit.""Lho, memangnya Yanti sakit apa? Habis jatuh apa bagaimana?""Bukan, sepertinya dia sedikit terguncang.""Astaghfirrullah ... Kakak apa tidak salah?""Tidak, secepatnya aku akan bawa dia ke rumah sakit. Mumpung belum terlambat, Mur.""Ya sudah, nanti aku akan izin Mas Ikhsan dulu untuk balik ke kampung.
Tika dan Yanti telah kembali ke kampung. Begitu tiba di rumah kediaman mendiang Ibunya, Tika segera ke rumah paman Asrul untuk memberitahu kejadian yang mereka alami.Siang itu, di teras paman Asrul. Tika bercerita panjang lebar tentang perihal yang menimpa Yanti."Jadi begitu Paman, mau tidak mau, kita harus berlapang dada menerima kejadian ini.""Yanti bagaimana, Tik? Apa anak itu baik-baik saja?" "Malah sekarang dia tampil lebih ceria, Yanti juga terlihat senyum-senyum di depan ponselnya. Sepertinya, dia sudah punya gandengan baru, Paman.""Kamu gak salah menilai 'kan, Tik?" "Ah, Paman ini. Salah menilai dari mana? La wong, Yantinya juga sering telponan sama manggil-manggil sayang gitu.""Ya sudah, asal bukan senyum-senyum yang lain saja."Tika sedikit bingung mendengar perkataan pamannya itu. Dahinya sampai mengerut, mencoba mencerna kalimat tersebut. Setelah berterima kasih pada pamannya, karena telah merawat Sari selama dia di kota, Tika pun pamit untuk pulang ke rumahnya.Bar
"Jadi kamu sudah memanfaatkan anak saya?!" Rena menatap tajam gadis di depannya itu dengan murka.Sementara Yanti pura-pura tidak memperhatikan Rena, yang terus menatapnya dengan kemarahan. Kedua bibinya turut seperti yang Yanti lakukan. Benar-benar keluarga kompak."Kalian menunggu saya usir atau pergi sendiri?" lanjut Rena lagi. Gadis itu melirik ke arah Anwar, lalu berpindah ke Imam dan Pak RT. Sedetik kemudian, kakinya menghentak diiringi tubuhnya yang berlalu dari hadapan keluarga Anwar diikuti kedua bibinya."Benar-benar keterlaluan mereka," gerutu Rena.Belum juga sampai meninggalkan tempat itu, di depan sana sudah ramai orang saling menjerit. Rena diiringi Imam, Anwar dan Pak RT berlari ke depan. Di luar pagar, terlihat Kumala tengah mencengkeram kepala Yanti. Badan gadis itu sampai terhuyung mengikuti gerakan Kumala yang menyeret tubuhnya hingga di depan rumahnya."Sekalian saja kita selesaikan sekarang. Cepat kembalikan uang saya! Kalau tidak, kamu akan lihat sendiri perl
Namun, Murni dan Tika dapat mendengar ucapan Rena dengan seksama."Jangan mengancam kami! Sebaiknya panggil Anwar juga. Biar semua jelas dan terang benderang," gerutu Tika tak mau kalah.Rena pura-pura tidak menanggapi permintaan mereka. Sementara, Imam terlihat hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan tamunya itu berseteru dengan istrinya."Ngapain lagi kamu ke sini?!" teriak Anwar yang muncul tiba-tiba di teras. Terlihat sekali kekesalan dan luapan kemarahannya begitu melihat Yanti. Rambutnya yang acak-acakan karena baru bangun tidur, hanya disugarnya kasar dengan kelima jarinya."Nak Anwar kamu tidak bisa begitu?" ucap Murni seperti dilembut-lembutkan nadanya.Bibir Rena berjingjat sebelah, demi melihat adegan itu. Seakan tidak terima dengan apa yang dilakukan tamunya tersebut.Yanti nampak berjalan menghampiri Anwar."Sayang, kamu masih marah padaku? Pliiis, ma'afin aku ya. Aku janji bakal berubah. Seperti yang kamu inginkan," rayunya pada Anwar. Tangannya dengan tanpa malu be