Share

3. Waktu Untuk Arumi

REVISI

Semalaman Arumi tak bisa tidur, air matanya tak jua berhenti membasahi wajah Arumi, sehingga matanya sudah tampak bengkak akibat kelamaan menangis. Afif semalam tak pulang ke rumah, Arumi mengerti jika semalam adalah malam pertama mereka dan saat membayangkan semua itu hatinya menjerit, meronta, meraung-raung agar waktu bisa diulang kembali. Bahkan jika mengikuti bisikan setan, Arumi pasti sudah mendatangi rumah mertuanya itu dan mengacaukan semuanya sehingga malam pertama mereka menjadi gagal. Namun hati nuraninya melarang untuk melakukan itu, ia tak mau mertuanya semakin benci kepadanya. Pun juga tak mau menjatuhkan harga dirinya, ia harus berusaha untuk ikhlas walau terkadang keikhlasan itu tampak begitu mustahil di fikirannya.

Biasanya setiap pagi dengan begitu semangatnya ia membuatkan sarapan untuk suami tercintanya sebelum suaminya itu berangkat ke kantor, tapi untuk hari ini Arumi merasa tubuhnya begitu lemas, ia enggan untuk beranjak dari tempat tidur walau pun ia sendiri tak bisa memejamkan matanya itu. Bahkan untuk ke kamar mandi pun ia begitu malas.

Matahari mulai merangkak naik, membuat teriknya semakin menyengat dikala bersentuhan dengan kulit. Arumi? perempuan itu tetap pada posisinya, bahkan ia melewati sarapannya. Tak ada secuilpun makanan atupun minuman yang masuk ke tubuhnya.  Ia kehilangan semangat hidupnya, ia telah rapuh, ia merasa putus asa. Rasa pusing yang sedari semalam menderanya kini semakin menjadi-jadi, bahkan ia sampai menjambak rambutnya berharap rasa sakit di kepalanya bisa menghilang dengan cara seperti itu, tapi nihil, rasa sakit itu semakin membuatnya tersiksa bahkan ia sampai menjerit merasakan sakit itu. Sebuah cairan yang terasa hangat keluar dari hidung Arumi yang dirasanya itu adalah ingus karena ia tengah menangis. Namun saat ia mengelapnya, ternyata cairan itu berupa darah yang keluar dari hidungnya. 'Mimisan' pikirnya. Bukan cuma sekarang ia mengalami seperti ini, sudah lebih dari lima kali ia mengalami hal seperti ini, tetapi dia mengabaikan saja karena dia berfikir bahwa dia hanya kelelahan sehingga menyebabkan dirinya mimisan. Ia beranjak dari tempat tidurnya untuk membersihkan bekas darah yang ada di hidungnya.

****

Siang ini, Afif berencana pulang kerumah Arumi, setelah semalaman ia menghabiskan waktunya dengan Dinda, adik angkatnya sekaligus istri mudanya. Sudah sejak pagi Afif ingin menemui istri pertamanya itu, karena ia tahu pasti istrinya itu sangat membutuhkan dirinya, istrinya itu butuh perhatian lebih darinya, mengingat luka yang begitu dalam telah ia torehkan kepada wanita yang selama delapan tahun ini mengarungi bahtera rumah tangga dengannya, bahkan wanita itu adalah cinta pertamanya. Namun mamanya berusaha menghalangi Afif dengan segala cara agar Afif tidak bisa menemui Arumi, dengan alasan hari ini adalah waktunya berbahagia bersama Dinda karena mereka masih pengantin baru.

Saat Afif tiba dirumah yang selama ini ia tempati bersama Arumi, ia segera masuk kedalam dan menuju ruang makan karena sekarang adalah waktunya makan siang, langkah Afif terhenti mendapati meja makan masih bersih dan kosong tidak ada satupun makanan disana, ia memasuki dapur mengira istrinya sedang memasak, tapi lagi-lagi ia mendapati dapur itu masih bersih seperti tak terpakai, bahkan bekas sarapan pun tak ada di sana. Bergegas Afif menaiki tangga dan menuju kamarnya, saat membuka pintu l, Afif mendapati istrinya sedang meringkuk di balik selimut tebal yang membungkus istrinya sampai ke leher. Ia segera menghampiri istrinya itu dan menaiki ranjang seraya membawa Arumi kedalam dekapannya. Pandangannya tak lepas dari wajah Arumi yang tampak pucat dengan bekas air mata yang terlihat baru mengering dan tak luput mata Arumi yang tampak begitu bengkak menandakan ia telah lama menangis. Bahkan disaat tertidurpun tiba-tiba air mata Arumi membasahi hidung mancungnya.

"Sayang, sebegitu sakitkah hatimu sehingga kau tak henti-hentinya menangis, bahkan dalam tidurmu pun kau tetap saja menangis. Bahkan wajahmu tampak sangat pucat, apakah kau tak makan dari kemarin? Arumi, maafkan mas yang telah menciptakan luka yang begitu dalam dihatimu, maafkan mas sayang. Ya, Tuhan! betapa jahatnya aku kepada istriku yang selama ini selalu setia berada di sampingku." Afif semakin mengeratkan pelukannya dan tak lupa ia mengecup kening serta kedua mata Arumi yang begitu bengkak itu. Air mata Afif turun begitu saja membasahi pipinya.

Merasa begitu sesak untuk bernafas, Arumi membuka matanya dan mendapati dirinya tengah berada dalam pelukan suaminya. lagi-lagi air mata itu mengalir begitu mudahnya membasahi wajah serta bantalnya. Tiba-tiba tangan Afif bergerak menghapus air mata Arumi.

"Sayang, shhuutt sudah ya nangisnya, nanti cantiknya hilang loh."

"Sejak kapan mas disini?"

"Sejak kamu tertidur dengan pulas nya, tanpa berniat untuk bangun dan membuatkan suamimu ini makan siang,"

"Maaf, mas. Aku kira selama beberapa hari kedepan mas gak akan pulang," lirih Arumi.

"Terus kamu berniat gak mau masak gitu?" pertanyaan Afif hanya di jawab dengan anggukan oleh Arumi

"Sayang, apakah tadi pagi kamu masak buat sarapan?" Arumi menggelengkan kepalanya.

"Jadi kamu gak sarapan, dan bahkan sekarang sudah jam makan siang dan kamu gak mau masak?" Arumi menggeleng lagi

"Tunggu-tunggu! wajahmu terlihat sangat pucat apakah dari kemaren perutmu tak kamu isi?" lagi-lagi Arumi menggelengkan kepalanya.

"Arumi, lihatlah mata, mas! gak mungkin mas gak akan pulang kerumah ini dalam waktu berhari-hari. Mas akan tetap pulang kesini, kamu tetap istri mas, istriku tercinta. Mas gak akan melalaikan tanggung jawab mas kepada kamu, sayang."

"Tak usah bilang istri tercinta, jika akhirnya engkau mendua,"

"Sayang, maafkan mas, Arumi. Mas gak bermaksud menyakiti hati kamu."

"Tapi kenyataannya memang begitu, mas."

Afif membawa Arumi kedalam pelukannya, sungguh istrinya kini sangat rapuh, wanita yang selama ini begitu ceria, kini sinar itu telah redup. Hati Afif begitu sakit melihat keadaan istrinya.

"Maaf, maafkan mas sayang." berkali kali Afif mengecup kening Arumi berharap luka dihati istrinya itu sedikit terobati walau dirinya sendirilah yang menciptakan luka itu.

"Sakit, mas sakit! Harus aku apakan rasa sakit ini agar menghilang, mas?"

Afif tak bisa menjawab, sungguh hatinya ikut terluka. Ia terdiam tak tahu harus berucap apa.

"Mas, bolehkah aku menyerah?"

deg

Afif terkejut bukan main mendengar pertanyaan istrinya itu, ia menggelengkan kepalanya dan semakin mengeratkan pelukannya kepada Arumi.

"Tidak, tidak, dek! tolong jangan katakan itu lagi, jangan, jangan tinggalin mas, mas sangat mencintaimu, Arumi! Mas mencintaimu sayang!" Afif kini menangis dalam pelukan Arumi, sungguh ia tak ingin kehilangan istrinya itu.

***

"Dinda, kemana suamimu? sudah malam kok gak pulang-pulang?" tanya mama Ina.

"Bang Afif pulang kerumah mbak Arumi, ma."

"apa??? Kenapa kamu Izinin dia, Dinda. Seharusnya dia itu sekarang ada disini bersama kamu menikmati malam pengantin baru kalian,"

"Ma, mbak Arumi juga istri mas Afif, dan juga pasti mbak Arumi sekarang masih terluka, biarkan mas Afif malam ini bersama mbak Arumi, ma. Biarkan mas Afif bersikap adil kepada kami,"

"Tidak bisa, perempuan itu harus mengerti kalau sekarang adalah masa-masa kamu bersama Afif. Huh, dasar perempuan sundal."

"Ma, berhenti mengatai mbak Arumi, bagaimana pun mbak Arumi juga mantu mama dan istri dari mas Afif. Dinda gak mau nanti di akhirat mas Afif masuk neraka gara-gara gak bisa adil."

"Huft, serah kamu lah. Mama mau istirahat."

Mama Ina pergi meninggalkan Dinda yang sedang nonton televisi.

****

🙏🙏🙏

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dewi Ansyari
Arumi yg sabar ya............ Sakit banget lihat suaminya menikah lagi.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status