REVISI
Semalaman Arumi tak bisa tidur, air matanya tak jua berhenti membasahi wajah Arumi, sehingga matanya sudah tampak bengkak akibat kelamaan menangis. Afif semalam tak pulang ke rumah, Arumi mengerti jika semalam adalah malam pertama mereka dan saat membayangkan semua itu hatinya menjerit, meronta, meraung-raung agar waktu bisa diulang kembali. Bahkan jika mengikuti bisikan setan, Arumi pasti sudah mendatangi rumah mertuanya itu dan mengacaukan semuanya sehingga malam pertama mereka menjadi gagal. Namun hati nuraninya melarang untuk melakukan itu, ia tak mau mertuanya semakin benci kepadanya. Pun juga tak mau menjatuhkan harga dirinya, ia harus berusaha untuk ikhlas walau terkadang keikhlasan itu tampak begitu mustahil di fikirannya.
Biasanya setiap pagi dengan begitu semangatnya ia membuatkan sarapan untuk suami tercintanya sebelum suaminya itu berangkat ke kantor, tapi untuk hari ini Arumi merasa tubuhnya begitu lemas, ia enggan untuk beranjak dari tempat tidur walau pun ia sendiri tak bisa memejamkan matanya itu. Bahkan untuk ke kamar mandi pun ia begitu malas.
Matahari mulai merangkak naik, membuat teriknya semakin menyengat dikala bersentuhan dengan kulit. Arumi? perempuan itu tetap pada posisinya, bahkan ia melewati sarapannya. Tak ada secuilpun makanan atupun minuman yang masuk ke tubuhnya. Ia kehilangan semangat hidupnya, ia telah rapuh, ia merasa putus asa. Rasa pusing yang sedari semalam menderanya kini semakin menjadi-jadi, bahkan ia sampai menjambak rambutnya berharap rasa sakit di kepalanya bisa menghilang dengan cara seperti itu, tapi nihil, rasa sakit itu semakin membuatnya tersiksa bahkan ia sampai menjerit merasakan sakit itu. Sebuah cairan yang terasa hangat keluar dari hidung Arumi yang dirasanya itu adalah ingus karena ia tengah menangis. Namun saat ia mengelapnya, ternyata cairan itu berupa darah yang keluar dari hidungnya. 'Mimisan' pikirnya. Bukan cuma sekarang ia mengalami seperti ini, sudah lebih dari lima kali ia mengalami hal seperti ini, tetapi dia mengabaikan saja karena dia berfikir bahwa dia hanya kelelahan sehingga menyebabkan dirinya mimisan. Ia beranjak dari tempat tidurnya untuk membersihkan bekas darah yang ada di hidungnya.
****
Siang ini, Afif berencana pulang kerumah Arumi, setelah semalaman ia menghabiskan waktunya dengan Dinda, adik angkatnya sekaligus istri mudanya. Sudah sejak pagi Afif ingin menemui istri pertamanya itu, karena ia tahu pasti istrinya itu sangat membutuhkan dirinya, istrinya itu butuh perhatian lebih darinya, mengingat luka yang begitu dalam telah ia torehkan kepada wanita yang selama delapan tahun ini mengarungi bahtera rumah tangga dengannya, bahkan wanita itu adalah cinta pertamanya. Namun mamanya berusaha menghalangi Afif dengan segala cara agar Afif tidak bisa menemui Arumi, dengan alasan hari ini adalah waktunya berbahagia bersama Dinda karena mereka masih pengantin baru.
Saat Afif tiba dirumah yang selama ini ia tempati bersama Arumi, ia segera masuk kedalam dan menuju ruang makan karena sekarang adalah waktunya makan siang, langkah Afif terhenti mendapati meja makan masih bersih dan kosong tidak ada satupun makanan disana, ia memasuki dapur mengira istrinya sedang memasak, tapi lagi-lagi ia mendapati dapur itu masih bersih seperti tak terpakai, bahkan bekas sarapan pun tak ada di sana. Bergegas Afif menaiki tangga dan menuju kamarnya, saat membuka pintu l, Afif mendapati istrinya sedang meringkuk di balik selimut tebal yang membungkus istrinya sampai ke leher. Ia segera menghampiri istrinya itu dan menaiki ranjang seraya membawa Arumi kedalam dekapannya. Pandangannya tak lepas dari wajah Arumi yang tampak pucat dengan bekas air mata yang terlihat baru mengering dan tak luput mata Arumi yang tampak begitu bengkak menandakan ia telah lama menangis. Bahkan disaat tertidurpun tiba-tiba air mata Arumi membasahi hidung mancungnya.
"Sayang, sebegitu sakitkah hatimu sehingga kau tak henti-hentinya menangis, bahkan dalam tidurmu pun kau tetap saja menangis. Bahkan wajahmu tampak sangat pucat, apakah kau tak makan dari kemarin? Arumi, maafkan mas yang telah menciptakan luka yang begitu dalam dihatimu, maafkan mas sayang. Ya, Tuhan! betapa jahatnya aku kepada istriku yang selama ini selalu setia berada di sampingku." Afif semakin mengeratkan pelukannya dan tak lupa ia mengecup kening serta kedua mata Arumi yang begitu bengkak itu. Air mata Afif turun begitu saja membasahi pipinya.
Merasa begitu sesak untuk bernafas, Arumi membuka matanya dan mendapati dirinya tengah berada dalam pelukan suaminya. lagi-lagi air mata itu mengalir begitu mudahnya membasahi wajah serta bantalnya. Tiba-tiba tangan Afif bergerak menghapus air mata Arumi.
"Sayang, shhuutt sudah ya nangisnya, nanti cantiknya hilang loh."
"Sejak kapan mas disini?"
"Sejak kamu tertidur dengan pulas nya, tanpa berniat untuk bangun dan membuatkan suamimu ini makan siang,"
"Maaf, mas. Aku kira selama beberapa hari kedepan mas gak akan pulang," lirih Arumi.
"Terus kamu berniat gak mau masak gitu?" pertanyaan Afif hanya di jawab dengan anggukan oleh Arumi
"Sayang, apakah tadi pagi kamu masak buat sarapan?" Arumi menggelengkan kepalanya.
"Jadi kamu gak sarapan, dan bahkan sekarang sudah jam makan siang dan kamu gak mau masak?" Arumi menggeleng lagi
"Tunggu-tunggu! wajahmu terlihat sangat pucat apakah dari kemaren perutmu tak kamu isi?" lagi-lagi Arumi menggelengkan kepalanya.
"Arumi, lihatlah mata, mas! gak mungkin mas gak akan pulang kerumah ini dalam waktu berhari-hari. Mas akan tetap pulang kesini, kamu tetap istri mas, istriku tercinta. Mas gak akan melalaikan tanggung jawab mas kepada kamu, sayang."
"Tak usah bilang istri tercinta, jika akhirnya engkau mendua,"
"Sayang, maafkan mas, Arumi. Mas gak bermaksud menyakiti hati kamu."
"Tapi kenyataannya memang begitu, mas."
Afif membawa Arumi kedalam pelukannya, sungguh istrinya kini sangat rapuh, wanita yang selama ini begitu ceria, kini sinar itu telah redup. Hati Afif begitu sakit melihat keadaan istrinya.
"Maaf, maafkan mas sayang." berkali kali Afif mengecup kening Arumi berharap luka dihati istrinya itu sedikit terobati walau dirinya sendirilah yang menciptakan luka itu.
"Sakit, mas sakit! Harus aku apakan rasa sakit ini agar menghilang, mas?"
Afif tak bisa menjawab, sungguh hatinya ikut terluka. Ia terdiam tak tahu harus berucap apa.
"Mas, bolehkah aku menyerah?"
deg
Afif terkejut bukan main mendengar pertanyaan istrinya itu, ia menggelengkan kepalanya dan semakin mengeratkan pelukannya kepada Arumi.
"Tidak, tidak, dek! tolong jangan katakan itu lagi, jangan, jangan tinggalin mas, mas sangat mencintaimu, Arumi! Mas mencintaimu sayang!" Afif kini menangis dalam pelukan Arumi, sungguh ia tak ingin kehilangan istrinya itu.
***
"Dinda, kemana suamimu? sudah malam kok gak pulang-pulang?" tanya mama Ina.
"Bang Afif pulang kerumah mbak Arumi, ma."
"apa??? Kenapa kamu Izinin dia, Dinda. Seharusnya dia itu sekarang ada disini bersama kamu menikmati malam pengantin baru kalian,"
"Ma, mbak Arumi juga istri mas Afif, dan juga pasti mbak Arumi sekarang masih terluka, biarkan mas Afif malam ini bersama mbak Arumi, ma. Biarkan mas Afif bersikap adil kepada kami,"
"Tidak bisa, perempuan itu harus mengerti kalau sekarang adalah masa-masa kamu bersama Afif. Huh, dasar perempuan sundal."
"Ma, berhenti mengatai mbak Arumi, bagaimana pun mbak Arumi juga mantu mama dan istri dari mas Afif. Dinda gak mau nanti di akhirat mas Afif masuk neraka gara-gara gak bisa adil."
"Huft, serah kamu lah. Mama mau istirahat."
Mama Ina pergi meninggalkan Dinda yang sedang nonton televisi.
****
🙏🙏🙏
KETIKA LUKA MENYAPA4. Tinggal seatap dengan maduPagi ini, Arumi memasak ayam kecap kesukaan Afif, suaminya, karena sekarang adalah waktunya Afif untuk pulang kerumah Arumi. Setelah kemaren suaminya itu menghabiskan waktunya bersama adik madunya tersebut. Kini saatnya Afif menghabiskan waktunya bersama Arumi. Setelah hampir sebulan ia harus rela berbagi suami, kini dihatinya ada setitik keikhlasan untuk berbagi suami. Tak ada lagi tetesan air mata yang keluar karena Afif tak disisinya saat malam menjelang.Arumi begitu asyik berkutat dengan alat alat dapur, ia sangat mahir dalam memasak. Ia kini memasak seorang diri, karena dirumah itu tak ada art untuk membantu pekerjaan rumah, sebenarnya Afif sudah mengusulkan agar mereka memasang art, tapi Arumi menolak dengan alasan agar ia tak bosan dirumah. Sebenarnya Arumi memiliki sebuah salon kecantikan. Namun karena permintaan Afif, agar Arumi berdiam saja dirumah, akhirnya Arumi menyerahkan kepengurusan salonnya kepa
KETIKA LUKA MENYAPA5. Sebuah Harapan"Selamat pagi, Nona." sapa para karyawan saat Arumi tiba di salon miliknya.Ia memasuki salon dan senyum cerah terbit di wajahnya dikala melihat betapa banyak pengunjung salon miliknya ini. Semua karyawan tampak sibuk memberikan pelayanan kepada para pengunjung."pagi juga," jawab Arumi sambil memberikan seulas senyum."dimana Maya?" tanya Arumi"Ada di ruangannya, Nona." jawab salah satu karyawan."baiklah, aku masuk dulu,"Arumi berlalu dari hadapan mereka menuju ruangan Maya asisten pribadinya. Saat tida di depan ruangan Asistennya, Arumi langsung saja masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu."Kalau mau mas....... Eh, Nona Arum, ma-maaf saya tidak tahu kalau Nona yang datang," gugup Maya"tak apa, May. Aku kesini cuma mau ngomongin sesuatu,""Ada apa, Nona? tak biasanya Anda datang kemari kecuali untuk perawatan. Oh, apakah anda ingin perawatan, kalau begitu saya
KETIKA LUKA MENYAPA6. Kejamnya TakdirArumi terbangun di pagi hari saat merasakan sakit yang teramat sangat dikepalanya, ia mengerang mencoba menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Saat menoleh kesamping tempat tidur, Arumi tak mendapati Afif ada disana, padahal ini masih sangat pagi, dan malam ini harusnya Afif bersama Arumi. Arumi tersenyum kecut, ternyata suaminya mengibuli dirinya, fikirnya.tes tessetetes dua tetes darah keluar dari hidung Arumi, bersamaan dengan sakit kepala yang semakin menjadi-jadi."ya, Tuhan! Ada apa denganku? arrgh sakit!"Dalam sakit yang kian mendera, satu nama terlintas dipikirannya 'Andra' sahabat sekaligus dokter spesialis penyakit dalam.Arumi berusah mendial nomor Andra, dan syukurlah segera diangkat oleh pemuda itu."halo Ndra," sapa Arumi dengan suara lemah menahan rasa sakit."hei, Ar. Tumben Lo hubungin gue, ada apa?" sahut Andra diseberang sana."gue butuh bantuan L
KETIKA LUKA MENYAPA7. MAMA INADinda yang saat ini sedang memasak menyiapkan makan siang, aktivitasnya terhenti di saat terdengar suara bel pertanda ada tamu. Dinda bergegas keruang tamu untuk membuka pintu, saat pintu di buka ternyata yang datang adalah mama Ina."eh, mama," sapa Dinda sambil mencium tangan mama Ina."kayaknya rumah ini sepi deh, kemana wanita sundal itu?" tanya mama Ina sambil masuk dan menelusuri isi rumah."iya, ma, mbak Arumi sedang pergi ke salon,""terus kamu di tinggal sendirian di rumah ini?""emangnya Dinda mau kemana ma, kalau nggak diam di rumah?""iya juga sih,""eh, ma, Dinda tinggal ke dapur dulu ya, Dinda lagi masak buat makan siang soalnya, ntar kalau udah selesai kita makan siang bersama,""kamu masak sendirian?""iya ma, ya udah aku ke dapur dulu,""iya,""mama istirahat dulu gih,"setelah itu, Dinda melanjutkan masaknya ia memasak ayam Kentucky kesu
Ada perasaan menghangat di hati Arumi saat mendengar cerita dari Dinda, ternyata suaminya terpaksa menikah lagi karena kelicikan sang mertua, tapi bersamaan rasa itu, ada juga rasa sakit yang mendera takut jika suaminya akan mencintai Dinda, cepat atau lambat. Ah, atau mungkin sekarang Afif sudah mulai mencintai madunya ini? sehingga Afif mengajak Dinda tinggal bertiga dengannya."mbak," panggilan menghentikan lamunan Arumi"ah, iya?""apakah kita tidak bisa untuk akur seperti semula?" Tanya Dinda penuh harap."maaf, Din, mbak masih butuh waktu," lirih Arumi"huft, baiklah mbak, aku mengerti,""terimakasih," tak lupa senyuman yang begitu tulus Arumi berikan kepada Dinda."aku ke kebawah dulu, mbak," pamit Dinda yang di jawab anggukan oleh Arumi.selepas
Sebelum mereka keluar, Arumi cepat-cepat turun agar mereka gak tahu kalau Arumi tanpa sengaja mendengar perbincangan mereka. Tak lama setelah Arumi duduk di kursi, keduanya sudah turun dan duduk berseberangan dengannya."kok lama banget?" tanya Arumi pura-pura gak tahu."eh, ehm, ma-maaf mbak,""lah, aku nanya kenapa lama kok malah minta maaf sih,""tadi mas masih minta Dinda buat pasangin dasi, mas,""oh,""maaf, mbak,""gapapa kok, justru bagus dong, agar mas Afif gak selalu bergantung padaku, agar saat aku pergi...ups," Arumi menutup mulutnya saat ia keceplosan mengatakan pergi."apa maksud kamu bicara seperti itu, dek?""ah, nggak mas, maksud aku kalau aku terburu-buru pergi salon, jadinya ada yang gantiin aku ngurus kam
Hari ini adalah hari keberangkatan Afif dan Dinda untuk melakukan bulan madu. Sungguh Arumi sangat iri pada Dinda yang bisa melakukan bulan madu, karena dirinya dulu tak pernah di ajak bulan madu oleh Afif, karena waktu itu, keadaan ekonomi tak seperti sekarang, yang serba kecukupan bahkan berlebihan. Sedangkan kedua orang tua Afif yang memang sudah kaya sejak awal, mereka enggan untuk sekedar membelikan tiket bulan madu untuk Afif dan Arumi.Yah, kedua orang tua Afif memang tak merestui hubungan mereka sejak awal, pernikahan mereka terjadi karena Afif meng iming imingi kedua orang tuanya dengan cucu, Afif berjanji akan segera memberikan kedua orang tuanya seorang cucu. Dengan terpaksa kedua orang tua Afif memberikan mereka izin untuk menikah, dengan syarat mereka harus memberikan seorang cucu dalam waktu satu tahun. Afif dan Arumi sangat bahagia karena restu sudah mereka dapatkan dari kedua orang tua Afif. Pernikahan pun terjadi, dan Afif serta Arumi
Berulang kali Andra berusaha menghubungi Arumi, akan tetapi, panggilannya selalu di tolak dan pesannya pun di abaikan oleh Arumi. Andra sangat khawatir kepada Arumi, karena hari seharusnya jadwalnya untuk kemo, tapi Arumi tak kunjung bisa di hubungi. Bahkan dari deringan yang kesekian kalinya, nomor Arumi sudah tak aktif."Arumi, ku mohon datanglah! aku gak mau kehilangan kamu, Ar."Sedangkan Arumi kini tengah meringkuk di bawah selimut dengan air mata yang tak hentinya mengalir, hatinya di selimuti kecemburuan yang begitu besar. Apalagi seseorang selalu mengiriminya foto kemesraan Afif dan Dinda. Sungguh ia tak kuat dan tak mau jika harus berbagi suami, ia sangat mencintai Afif, ia hanya ingin Afif menjadi miliknya satu-satunya.Terhitung sudah lima hari Afif dan Dinda berbulan madu, dan selama itu pula, Arumi tak pernah beranjak dari tempat tidurnya. Ia begitu menikmati rasa sakit pada jiwa da