Home / Romansa / Ketika Luka Menyapa / 3. Waktu Untuk Arumi

Share

3. Waktu Untuk Arumi

last update Last Updated: 2021-08-14 11:15:38

REVISI

Semalaman Arumi tak bisa tidur, air matanya tak jua berhenti membasahi wajah Arumi, sehingga matanya sudah tampak bengkak akibat kelamaan menangis. Afif semalam tak pulang ke rumah, Arumi mengerti jika semalam adalah malam pertama mereka dan saat membayangkan semua itu hatinya menjerit, meronta, meraung-raung agar waktu bisa diulang kembali. Bahkan jika mengikuti bisikan setan, Arumi pasti sudah mendatangi rumah mertuanya itu dan mengacaukan semuanya sehingga malam pertama mereka menjadi gagal. Namun hati nuraninya melarang untuk melakukan itu, ia tak mau mertuanya semakin benci kepadanya. Pun juga tak mau menjatuhkan harga dirinya, ia harus berusaha untuk ikhlas walau terkadang keikhlasan itu tampak begitu mustahil di fikirannya.

Biasanya setiap pagi dengan begitu semangatnya ia membuatkan sarapan untuk suami tercintanya sebelum suaminya itu berangkat ke kantor, tapi untuk hari ini Arumi merasa tubuhnya begitu lemas, ia enggan untuk beranjak dari tempat tidur walau pun ia sendiri tak bisa memejamkan matanya itu. Bahkan untuk ke kamar mandi pun ia begitu malas.

Matahari mulai merangkak naik, membuat teriknya semakin menyengat dikala bersentuhan dengan kulit. Arumi? perempuan itu tetap pada posisinya, bahkan ia melewati sarapannya. Tak ada secuilpun makanan atupun minuman yang masuk ke tubuhnya.  Ia kehilangan semangat hidupnya, ia telah rapuh, ia merasa putus asa. Rasa pusing yang sedari semalam menderanya kini semakin menjadi-jadi, bahkan ia sampai menjambak rambutnya berharap rasa sakit di kepalanya bisa menghilang dengan cara seperti itu, tapi nihil, rasa sakit itu semakin membuatnya tersiksa bahkan ia sampai menjerit merasakan sakit itu. Sebuah cairan yang terasa hangat keluar dari hidung Arumi yang dirasanya itu adalah ingus karena ia tengah menangis. Namun saat ia mengelapnya, ternyata cairan itu berupa darah yang keluar dari hidungnya. 'Mimisan' pikirnya. Bukan cuma sekarang ia mengalami seperti ini, sudah lebih dari lima kali ia mengalami hal seperti ini, tetapi dia mengabaikan saja karena dia berfikir bahwa dia hanya kelelahan sehingga menyebabkan dirinya mimisan. Ia beranjak dari tempat tidurnya untuk membersihkan bekas darah yang ada di hidungnya.

****

Siang ini, Afif berencana pulang kerumah Arumi, setelah semalaman ia menghabiskan waktunya dengan Dinda, adik angkatnya sekaligus istri mudanya. Sudah sejak pagi Afif ingin menemui istri pertamanya itu, karena ia tahu pasti istrinya itu sangat membutuhkan dirinya, istrinya itu butuh perhatian lebih darinya, mengingat luka yang begitu dalam telah ia torehkan kepada wanita yang selama delapan tahun ini mengarungi bahtera rumah tangga dengannya, bahkan wanita itu adalah cinta pertamanya. Namun mamanya berusaha menghalangi Afif dengan segala cara agar Afif tidak bisa menemui Arumi, dengan alasan hari ini adalah waktunya berbahagia bersama Dinda karena mereka masih pengantin baru.

Saat Afif tiba dirumah yang selama ini ia tempati bersama Arumi, ia segera masuk kedalam dan menuju ruang makan karena sekarang adalah waktunya makan siang, langkah Afif terhenti mendapati meja makan masih bersih dan kosong tidak ada satupun makanan disana, ia memasuki dapur mengira istrinya sedang memasak, tapi lagi-lagi ia mendapati dapur itu masih bersih seperti tak terpakai, bahkan bekas sarapan pun tak ada di sana. Bergegas Afif menaiki tangga dan menuju kamarnya, saat membuka pintu l, Afif mendapati istrinya sedang meringkuk di balik selimut tebal yang membungkus istrinya sampai ke leher. Ia segera menghampiri istrinya itu dan menaiki ranjang seraya membawa Arumi kedalam dekapannya. Pandangannya tak lepas dari wajah Arumi yang tampak pucat dengan bekas air mata yang terlihat baru mengering dan tak luput mata Arumi yang tampak begitu bengkak menandakan ia telah lama menangis. Bahkan disaat tertidurpun tiba-tiba air mata Arumi membasahi hidung mancungnya.

"Sayang, sebegitu sakitkah hatimu sehingga kau tak henti-hentinya menangis, bahkan dalam tidurmu pun kau tetap saja menangis. Bahkan wajahmu tampak sangat pucat, apakah kau tak makan dari kemarin? Arumi, maafkan mas yang telah menciptakan luka yang begitu dalam dihatimu, maafkan mas sayang. Ya, Tuhan! betapa jahatnya aku kepada istriku yang selama ini selalu setia berada di sampingku." Afif semakin mengeratkan pelukannya dan tak lupa ia mengecup kening serta kedua mata Arumi yang begitu bengkak itu. Air mata Afif turun begitu saja membasahi pipinya.

Merasa begitu sesak untuk bernafas, Arumi membuka matanya dan mendapati dirinya tengah berada dalam pelukan suaminya. lagi-lagi air mata itu mengalir begitu mudahnya membasahi wajah serta bantalnya. Tiba-tiba tangan Afif bergerak menghapus air mata Arumi.

"Sayang, shhuutt sudah ya nangisnya, nanti cantiknya hilang loh."

"Sejak kapan mas disini?"

"Sejak kamu tertidur dengan pulas nya, tanpa berniat untuk bangun dan membuatkan suamimu ini makan siang,"

"Maaf, mas. Aku kira selama beberapa hari kedepan mas gak akan pulang," lirih Arumi.

"Terus kamu berniat gak mau masak gitu?" pertanyaan Afif hanya di jawab dengan anggukan oleh Arumi

"Sayang, apakah tadi pagi kamu masak buat sarapan?" Arumi menggelengkan kepalanya.

"Jadi kamu gak sarapan, dan bahkan sekarang sudah jam makan siang dan kamu gak mau masak?" Arumi menggeleng lagi

"Tunggu-tunggu! wajahmu terlihat sangat pucat apakah dari kemaren perutmu tak kamu isi?" lagi-lagi Arumi menggelengkan kepalanya.

"Arumi, lihatlah mata, mas! gak mungkin mas gak akan pulang kerumah ini dalam waktu berhari-hari. Mas akan tetap pulang kesini, kamu tetap istri mas, istriku tercinta. Mas gak akan melalaikan tanggung jawab mas kepada kamu, sayang."

"Tak usah bilang istri tercinta, jika akhirnya engkau mendua,"

"Sayang, maafkan mas, Arumi. Mas gak bermaksud menyakiti hati kamu."

"Tapi kenyataannya memang begitu, mas."

Afif membawa Arumi kedalam pelukannya, sungguh istrinya kini sangat rapuh, wanita yang selama ini begitu ceria, kini sinar itu telah redup. Hati Afif begitu sakit melihat keadaan istrinya.

"Maaf, maafkan mas sayang." berkali kali Afif mengecup kening Arumi berharap luka dihati istrinya itu sedikit terobati walau dirinya sendirilah yang menciptakan luka itu.

"Sakit, mas sakit! Harus aku apakan rasa sakit ini agar menghilang, mas?"

Afif tak bisa menjawab, sungguh hatinya ikut terluka. Ia terdiam tak tahu harus berucap apa.

"Mas, bolehkah aku menyerah?"

deg

Afif terkejut bukan main mendengar pertanyaan istrinya itu, ia menggelengkan kepalanya dan semakin mengeratkan pelukannya kepada Arumi.

"Tidak, tidak, dek! tolong jangan katakan itu lagi, jangan, jangan tinggalin mas, mas sangat mencintaimu, Arumi! Mas mencintaimu sayang!" Afif kini menangis dalam pelukan Arumi, sungguh ia tak ingin kehilangan istrinya itu.

***

"Dinda, kemana suamimu? sudah malam kok gak pulang-pulang?" tanya mama Ina.

"Bang Afif pulang kerumah mbak Arumi, ma."

"apa??? Kenapa kamu Izinin dia, Dinda. Seharusnya dia itu sekarang ada disini bersama kamu menikmati malam pengantin baru kalian,"

"Ma, mbak Arumi juga istri mas Afif, dan juga pasti mbak Arumi sekarang masih terluka, biarkan mas Afif malam ini bersama mbak Arumi, ma. Biarkan mas Afif bersikap adil kepada kami,"

"Tidak bisa, perempuan itu harus mengerti kalau sekarang adalah masa-masa kamu bersama Afif. Huh, dasar perempuan sundal."

"Ma, berhenti mengatai mbak Arumi, bagaimana pun mbak Arumi juga mantu mama dan istri dari mas Afif. Dinda gak mau nanti di akhirat mas Afif masuk neraka gara-gara gak bisa adil."

"Huft, serah kamu lah. Mama mau istirahat."

Mama Ina pergi meninggalkan Dinda yang sedang nonton televisi.

****

🙏🙏🙏

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dewi Ansyari
Arumi yg sabar ya............ Sakit banget lihat suaminya menikah lagi.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ketika Luka Menyapa   12. Selesai

    "Kamu mencintaiku?"DegKedua mata Hilmi membola mendengar pertanyaan Arfan yang to the point. Jantungnya berdentam dentam dengan tubuh yang menegang."Apa maksudmu menanyakan itu, Mas?"Arfan merutuki dirinya yang bicara tanpa basa-basi hingga membuat ia salah tingkah sendiri. Ia menggaruk pelipisnya yang tak gatal lalu tersenyum canggung pada Hilmi."Ehm, anu, itu, maksudku gini, mengingat apa yang sudah pernah terjadi diantara kita, tentang semua yang pernah kita lewati, tentu hal itu tak mungkin terlewati begitu saja. Pasti ada sebuah rasa yang tertanam dan ada sebuah kisah yang terkenang. Apakah selama pernikahan kita ini kamu mulai ada rasa padaku?""Untuk apa mas menanyakan itu padaku?"Hilmi tak mengerti kenapa Arfan membahas masalah perasaan terhada

  • Ketika Luka Menyapa   11. Memperjuangkan Kesetiaan

    Arfan terpaku dengan kepala yang dipenuhi pikiran akan segala hal. Penjelasan Fika entah kenapa membuat hatinya merasa tidak tenang. Harusnya dia senang karena Fika mau adopsi anak dari panti, dan dirinya akan terbebas dari Hilmi. Namun, kenapa justru ada rasa tak rela jika harus berpisah dari Hilmi?"Kamu beneran mau adopsi anak dari panti?""Beneran, Mas. Dari pada milih wanita lagi untuk jadi istrimu, lebih baik milih anak saja buat di adopsi. Aku kapok ngerasain cemburu dan sakit hati!""Kenapa nggak dari dulu kamu setuju, sayang? Jika setuju dari dulu, pasti kita sudah menemani anak kita belajar berjalan.""Aku kira mudah membawa wanita lain ke rumah ini dan jadi istri keduamu sampai dia memberikan kita anak, tapi nyatanya nggak mudah, bahkan sangat sulit. Setiap saat aku dilanda cemburu akibat ulahku sendiri dan aku gak mau merasakan itu lagi,"Mungkin hati Arfan sudah terb

  • Ketika Luka Menyapa   10. NEGATIF

    "Ini sudah tespack ke tujuh dan hasilnya tetap sama, garis satu!" "Kapan aku punya cucunya, kalau kamu belum hamil juga! Padahal udah dua bulan lebih!" "Apa kalian hanya mengelabui mama tidur satu kamar, tapi tak melakukan itu?" "Atau jangan-jangan kamu mengonsumsi pil KB agar kamu nggak cepat hamil?" Serentet omelan mama Agni membuat suasana pagi ini menjadi suram. Ia tak hentinya mengomel karena Hilmi belum juga hamil padahal sudah dua bulan sejak Hilmi tinggal disini. Sangat besar harapannya setiap kali benda pipih panjang itu ia pegang, tapi harapan itu selalu patah karena hasil yang di tampilkan setelah selesai digunakan itu menunjukkan satu garis saja. Setiap sepekan sekali mama Agni akan melakukan tes kehamilan pada Hilmi, dan tentu mama Agni tak akan hanya diam menunggu di luar kamar mandi, mama Agni akan ikut ke dalam dan bahkan mama Agni sendiri yang memegang benda panjang pipih itu untuk dicelupkan pada urine yang sudah tertampung dalam wadah. Hal itulah yang membuat Hi

  • Ketika Luka Menyapa   9. Menunggu kepulangan Arfan

    Arfan kini sudah siap-siap untuk pulang. Ia menyimpan kembali berkas-berkas yang berserakan ke rak di belakang meja kerjanya. Niatnya Arfan akan langsung menuju rumah sakit untuk menjemput Hilmi sekalian menjenguk adik iparnya.Baru separuh perjalanan, Fika menelpon dan meminta Arfan untuk datang guna menemaninya ke acara pernikahan teman satu profesinya. Akhirnya Arfan memutar haluan menuju kediamannya bersama istri pertamanya."Mas, akhirnya kamu datang. Baru kemaren di tinggal rasanya aku sudah kangen banget," ujar Fika yang memang sudah menunggu Arfan di teras sambil memeluk Arfan dengan erat.Arfan mengecup pucuk kepala Fika dan merangkulnya membawa ke dalam rumah,"Mas juga kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik saja 'kan? Kerjaan kamu lancar?""Aku baik, Mas. Pekerjaanku juga lancar. Bahkan tadi managerku bilang ada yang menawarkan kontrak kerja sama untuk peluncuran produk barunya, dan aku jadi modelnya, t

  • Ketika Luka Menyapa   8. Pengusiran

    "Apa benar kamu menikah dengan seorang pria yang sudah beristri?""Benar kamu jadi orang ketiga demi uang?""Jadi kamu nggak pulang beberapa bulan ini karena kamu sudah hidup enak di atas penderitaan wanita lain?""Kamu membohongi kami dengan mengatakan kerja jadi pembantu, nyatanya kamu jadi duri dalam rumah tangga orang lain!""Ayo jawab! Benarkah kamu jadi pelakor, Mi?"Pertanyaan-pertanyaan itu menghentikan aktifitas Hilmi yang hendak membuka kunci pintu rumah peninggalan orang tuanya yang sudah beberapa bulan ini ia tinggalkan. Dadanya berdentam dengan keras, serta tubuhnya yang gemetar merasakan takut dan syok yang luar biasa. Kenapa mereka menanyakan itu? Dari mana mereka tahu kalau Hilmi jadi istri kedua?"Duh, ibu-ibu, masih tanya lagi soal kebenarannya yang nyatanya sudah terp

  • Ketika Luka Menyapa   7. Terbangun Dari Tidur Panjang

    Hilmi terbangun dari tidurnya, ia ingin segera beranjak, tapi tubuhnya terasa begitu remuk redam. Wajahnya memerah ketika mengingat kejadian tadi malam, di saat baru pertama kalinya dirinya melakukan hubungan badan dengan Arfan. Sungguh Hilmi merasa sangat malu karena Arfan sudah melihat seluruh tubuhnya tanpa terlewat seinci pun."Sudah bangun?"Suara Arfan yang tiba-tiba membuat Hilmi terlonjak kaget, refleks tangannya menarik selimut menutupi tubuhnya yang polos hingga ke leher. Hilmi perlahan menoleh, dan mendapati Arfan yang masih menggunakan handuk sepinggul serta rambut yang masih meneteskan air menatap kearahnya."Ma-mas,""Kenapa merah gitu mukanya?" tanya Arfan menarik turunkan alisnya."Ng-nggak papa,""Apa kamu kepanasan? Kalau kepanasan buka selimutnya bukan malah makin mer

  • Ketika Luka Menyapa   6. Malam Yang ....

    "Mas, jangan lupa kabari kalau sudah sampai di rumah mama," pinta Fika saat dirinya mengantarkan Arfan sampai depan pintu."Iya sayang, kamu hati-hati di rumah ya,"Fika melambaikan tangannya saat mobil Arfan perlahan meninggalkan halaman rumah mereka. Sungguh hatinya sakit di kala harus mengantarkan suami sampai depan pintu untuk pergi ke tempat madunya. Hatinya sungguh tak rela melepas kepergian Arfan untuk menemui Hilmi. Namun, apa boleh buat, ini adalah konsekuensi dari apa yang sudah ia lakukan.Ingin rasanya Fika menyalahkan takdir yang membuatnya menjadi wanita yang tak sempurna. Wanita yang tak bisa melahirkan keturunan untuk suaminya. Namun, apa boleh buat, takdir tetaplah takdir yang tak bisa di ubah maupun di negosiasikan. Dirinya memang seorang wanita karier, dirinya memang seorang model, tapi Fika bukanlah wanita yang gila karier, yang tidak mau di atur dan tidak mau punya anak karena takut tubuhnya rusak. F

  • Ketika Luka Menyapa   5. Keputusan Fika

    "Jadi, gimana? Apakah kau sudah membuat keputusan?" tanya mama Agni menatap Fika yang sudah berhenti menangis.Arfan dan Hilmi sama-sama cemas menanti jawaban dari Fika. Namun, pikiran mereka berbeda. Arfan cemas akan nasib Hilmi selanjutnya jika Fika memintanya menceraikan Hilmi. Arfan pun memikirkan tentang perasaan Hilmi yang seperti di permainkan oleh mereka. Sedangkan Hilmi cemas memikirkan biaya pengobatan adiknya selanjutnya jika Fika memutuskan untuk menceraikan Hilmi dan Arfan. Sekalipun tadi ada rasa putus asa yang begitu dalam di hatinya, dan memilih untuk mengakhiri hidup, tapi Hilmi masih memiliki harapan yang begitu besar akan kesembuhan adiknya. Ia sangat ingin melihat adiknya sembuh dan kembali berjuang mengarungi kehidupan berdua sampai keduanya menemukan kebahagiaan mereka masing-masing."Aku, aku ingin punya anak, tapi bukan anak angkat." jawab Fika lirih."Maksud kamu?" tanya Arfan"Hilmi tetap akan hamil anakmu, Mas, tapi, tunggu aku siap. Aku belum siap lihat kal

  • Ketika Luka Menyapa   4. Pasrah

    "Aku bukan takut untuk marah, Mas. Aku bukan takut untuk melawan kalian. Aku bukan wanita yang akan begitu bersabar ketika tersakiti. Aku bukan wanita yang akan pasrah begitu saja saat di buat terluka. Aku nggak sekuat itu, Mas, tapi, jika aku melawan, jika aku komplain, apakah adikku akan tetap baik-baik saja? Apakah adikku akan tetap dibiayai setelah aku melawan kalian? Apakah adikku akan tetap menjalani pengobatan jika aku membuat kalian marah? Itu yang aku takutkan, Mas. Aku diam saja demi adikku. Hanya dia satu-satunya yang aku punya, Mas. Aku akan lakukan apa saja demi adikku.""Aku tak peduli rasa sakit yang ku dapat dari kalian, asalkan adikku tetap terjamin pengobatannya. Aku nggak apa-apa, Mas. Tak usah merasa bersalah kepada wanita hina ini, wanita yang rela menjual dirinya demi uang, sungguh, aku tak apa. Adikku mendapatkan perawatan yang layak saja aku sudah bersyukur, Mas. Aku tak berharap lebih dari sekedar kesemb

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status