Home / Romansa / Ketika Luka Menyapa / 4. Tinggal Seatap Dengan Madu

Share

4. Tinggal Seatap Dengan Madu

last update Last Updated: 2021-08-31 06:43:20

KETIKA LUKA MENYAPA

4. Tinggal seatap dengan madu

Pagi ini, Arumi memasak ayam kecap kesukaan Afif, suaminya, karena sekarang adalah waktunya Afif untuk pulang kerumah Arumi. Setelah kemaren suaminya itu menghabiskan waktunya bersama adik madunya tersebut. Kini saatnya Afif menghabiskan waktunya bersama Arumi. Setelah hampir sebulan ia harus rela berbagi suami, kini dihatinya ada setitik keikhlasan untuk berbagi suami. Tak ada lagi tetesan air mata yang keluar karena Afif tak disisinya saat malam menjelang.

Arumi begitu asyik berkutat dengan alat alat dapur, ia sangat mahir dalam memasak. Ia kini memasak seorang diri, karena dirumah itu tak ada art untuk membantu pekerjaan rumah, sebenarnya Afif sudah mengusulkan agar mereka memasang art, tapi Arumi menolak dengan alasan agar ia tak bosan dirumah. Sebenarnya Arumi memiliki sebuah salon kecantikan. Namun karena permintaan Afif, agar Arumi berdiam saja dirumah, akhirnya Arumi menyerahkan kepengurusan salonnya kepada Maya, asisten pribadinya serta kepercayaan Arumi.

Selesai memasak, Arumi segera menghidangkan hasil masakannya di meja makan, lalu ia beranjak keatas menuju kamarnya untuk mandi.

" Assalamualaikum," terdengar suara salam dari bawah saat Arumi baru selesai mandi. Suara yang dari tadi pagi selalu ditunggu-tunggu oleh Arumi.

"waalaikumsalam," jawab Arumi sedikit berteriak. Arumi bergegas memakai bajunya dan menambahkan sedikit polesan make up kewajahnya, setelah itu, ia lantas turun menghampiri suaminya. Senyum yang awalnya merekah kini perlahan memudar saat melihat bahwa suaminya tak datang seorang diri melainkan Afif membawa serta adik madunya tersebut.

"Mas," panggil Arumi

"Dek,"

Dengan sedikit kikuk Afif menghampiri Arumi yang tertegun dengan kehadiran Dinda. Pasalnya selama hampir sebulan ini, Arumi tak pernah bertemu dengan Dinda. Jika dulu Arumi begitu bahagia dikunjungi adik iparnya itu, beda halnya dengan sekarang entah rasa apa yang tengah Arumi rasakan sehingga ia begitu enggan menyapa adik ipar yang berubah menjadi adik madunya itu.

"Kita bicara di atas dulu, ya."  pamit Afif kepada Dinda yang dijawab dengan anggukan oleh Dinda. Gadis itu sebenarnya merasa sungkan untuk datang kemari, tapi karena paksaan dari Afif, mau tak mau ia harus ikut kerumah ini.

***

"Kenapa membawa dia kemari, mas?" tanya Arumi to the point, saat mereka baru masuk ke kamar mereka

"Dek, mas ingin dia tinggal disini, kita tinggal bertiga disini,"

deg

Apakah suaminya itu tak memikirkan perasaannya, sehingga dengan mudahnya ia membawa madunya untuk tinggal dalam satu rumah. Kenapa suaminya ini sekarang begitu egois, selalu mengambil keputusan sepihak tanpa mau meminta pendapatnya terlebih dahulu. Kini setitik keikhlasan yang Arumi tanam dihatinya sudah hilang, berganti dengan rasa sakit dan tidak ikhlas dengan takdirnya kini.

"Mas, kenapa gak ngomong dulu ke aku? kenapa kau langsung membawa dia kemari? kenapa kau tidak meminta pendapatku terlebih dahulu, mas?"

"Dek, mas hanya ingin membuat kalian akur seperti dulu,"

"Apakah aku tak lagi kau anggap mas? sehingga kau selalu memutuskan sebelah pihak tanpa mau mendengarkan keputusanku."

"Dek, bukan begitu maksud mas. Mas hanya ingin kalian akur, tolong mengertilah sayang!"

"Mas, kau memintaku mengerti, tapi kau tak mau mengerti perasaanku. Luka ini masih belum sembuh mas, walau di sudut hati ini ada setitik keikhlasan untuk menerima kenyataan, tapi aku masih tak sudi jika harus melihat kalian bermesraan di hadapanku. Jika dulu ku melihat kalian bermanja-manja mungkin aku turut bahagia karena kalian kakak adek walau hanya saudara angkat, tak ada rasa cemburu sedikitpun. Tapi sekarang beda mas, dia adik maduku, dia istri lain dari suamiku, aku tak sanggup mas, jika harus tinggal bersamanya, ku mohon mas, mengertilah!"

"Sek, kenapa sesulit ini kamu menerima dia sebagai adik madumu?" lirih Afif.

"kau bertanya kenapa aku begitu sulit menerima dia dalam rumah tangga kita? jawabannya karena aku mencintai kamu, mas. wanita mana yang tak sakit dan cemburu melihat orang yang dicintainya bersama wanita lain?"

Afif bungkam tak bisa menjawab perkataan Arumi.

"Sekarang aku bertanya kepadamu, mas. Apakah rasa cinta di hatimu itu sudah hilang sehingga kau dengan mudahnya membawa orang lain dalam rumah tangga kita?"

"Sayang, jangan berbicara seperti itu, rasa cintaku kepadamu tetap sama seperti dulu, gak ada yang berkurang sedikitpun,"

Arumi memalingkan wajahnya saat suaminya berkata seperti itu, bagaimana bisa Afif berkata seperti itu, sedangkan kenyataannya cinta untuknya sudah terbagi pada wanita lain. Ingin ia menjawab, tapi ia begitu lelah harus berdebat dengan suaminya itu, percuma ia mengeluarkan semua unek-unek, pada kenyataanya akan tetap seperti ini, dan tak bisa terulang seperti dulu lagi.

"Terserah kamu lah, mas. Aku lelah berdebat denganmu, silahkan saja dia tinggal disini, asalkan jangan menghalangiku untuk kembali mengambil alih kepengurusan salonku,"

"Nggak, bukankah kamu sudah memasrahkan salonmu kepada Maya? Kamu cukup diam dirumah jangan ada niatan untuk kembali bekerja!"

"Aku nggak mau, terserah aku, aku cuma bilang ajah sama kamu bukan minta izin kamu!"

"Dek, kenapa kamu jadi kasar begini?"

"Mas, kenapa kamu menghianatiku?"

Tak ada jawaban dari keduanya, mereka sama sama diam dengan pikiran mereka masing-masing.

Arumi memutuskan keluar terlebih dahulu, ia berniat untuk sarapan dan bergegas ke salon. Ya, hari ini Arumi memutuskan pergi kesalon miliknya.

"Mau kemana, dek?" tanya Afif

"Sarapan!"

Afif segera menyusul istrinya turun kebawah, ia melihat Arumi sudah duduk di meja makan tanpa berniat untuk mengajak Dinda dan Afif turut sarapan bersama.

"Dek, bolehkah kita ikut sarapan?"

"Hm,"

Mereka pun sarapan bertiga dengan diam, Dinda mengambilkan makanan untuk Afif serta untuk dirinya, setelah itu mereka makan dengan diam. Hal itu tak luput dari mata milik Arumi, hatinya terasa sakit melihat suaminya dilayani oleh perempuan lain walaupun Dinda juga istri dari suaminya tersebut. Arumi menghentikan makannya, lalu ia bergegas pergi kekamarnya untuk bersiap siap pergi ke salon.

"Mbak, mau kemana?" tanya Dinda hati-hati

"Bukan urusanmu!"

"Arumi! Bukankan selama ini aku sudah bersikap adil, kenapa kamu masih bersikap seperti ini?" Tanpa Afif sadari ia sudah meninggikan suaranya dan itu membuat air mata Arumi jatuh tanpa aba-aba. Selama ia mengenal Afif, baru kali ini Afif berani membentaknya.

"Mas, bukankah selama ini aku sudah menuruti semua perintahmu, bukankah selam ini aku menjalankan hak dan kewajiban ku dengan baik, bukankan selama ini aku melayanimu dengan benar, lantas kenapa kau mengkhianatiku?"

Afif bungkam, ia merasa bersalah telah membentak Arumi, lagi-lagi ia membuat istrinya itu terluka.

"Aku pergi, assalamualaikum!"

Setelah kepergian Arumi, Afif meminta Dinda untuk istirahat saja, ia pamit untuk mengejar Arumi.

"Mas, maafin Dinda udah membuat mas dan bak Arumi seperti ini,"

"Ini bukan salah kamu, ini salah mas, ya sudah mas berangkat dulu, Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam,"

Tak lupa Dinda mencium tangan suaminya dan sebuah kecupan dari Afif mendarat di kening Dinda. Itu sudah menjadi rutinitas mereka semenjak menikah.

****

🙏🙏🙏🙏

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Tari Emawan
cerita yg absurd..
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
Suamo goblok ,pe'a
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ketika Luka Menyapa   12. Selesai

    "Kamu mencintaiku?"DegKedua mata Hilmi membola mendengar pertanyaan Arfan yang to the point. Jantungnya berdentam dentam dengan tubuh yang menegang."Apa maksudmu menanyakan itu, Mas?"Arfan merutuki dirinya yang bicara tanpa basa-basi hingga membuat ia salah tingkah sendiri. Ia menggaruk pelipisnya yang tak gatal lalu tersenyum canggung pada Hilmi."Ehm, anu, itu, maksudku gini, mengingat apa yang sudah pernah terjadi diantara kita, tentang semua yang pernah kita lewati, tentu hal itu tak mungkin terlewati begitu saja. Pasti ada sebuah rasa yang tertanam dan ada sebuah kisah yang terkenang. Apakah selama pernikahan kita ini kamu mulai ada rasa padaku?""Untuk apa mas menanyakan itu padaku?"Hilmi tak mengerti kenapa Arfan membahas masalah perasaan terhada

  • Ketika Luka Menyapa   11. Memperjuangkan Kesetiaan

    Arfan terpaku dengan kepala yang dipenuhi pikiran akan segala hal. Penjelasan Fika entah kenapa membuat hatinya merasa tidak tenang. Harusnya dia senang karena Fika mau adopsi anak dari panti, dan dirinya akan terbebas dari Hilmi. Namun, kenapa justru ada rasa tak rela jika harus berpisah dari Hilmi?"Kamu beneran mau adopsi anak dari panti?""Beneran, Mas. Dari pada milih wanita lagi untuk jadi istrimu, lebih baik milih anak saja buat di adopsi. Aku kapok ngerasain cemburu dan sakit hati!""Kenapa nggak dari dulu kamu setuju, sayang? Jika setuju dari dulu, pasti kita sudah menemani anak kita belajar berjalan.""Aku kira mudah membawa wanita lain ke rumah ini dan jadi istri keduamu sampai dia memberikan kita anak, tapi nyatanya nggak mudah, bahkan sangat sulit. Setiap saat aku dilanda cemburu akibat ulahku sendiri dan aku gak mau merasakan itu lagi,"Mungkin hati Arfan sudah terb

  • Ketika Luka Menyapa   10. NEGATIF

    "Ini sudah tespack ke tujuh dan hasilnya tetap sama, garis satu!" "Kapan aku punya cucunya, kalau kamu belum hamil juga! Padahal udah dua bulan lebih!" "Apa kalian hanya mengelabui mama tidur satu kamar, tapi tak melakukan itu?" "Atau jangan-jangan kamu mengonsumsi pil KB agar kamu nggak cepat hamil?" Serentet omelan mama Agni membuat suasana pagi ini menjadi suram. Ia tak hentinya mengomel karena Hilmi belum juga hamil padahal sudah dua bulan sejak Hilmi tinggal disini. Sangat besar harapannya setiap kali benda pipih panjang itu ia pegang, tapi harapan itu selalu patah karena hasil yang di tampilkan setelah selesai digunakan itu menunjukkan satu garis saja. Setiap sepekan sekali mama Agni akan melakukan tes kehamilan pada Hilmi, dan tentu mama Agni tak akan hanya diam menunggu di luar kamar mandi, mama Agni akan ikut ke dalam dan bahkan mama Agni sendiri yang memegang benda panjang pipih itu untuk dicelupkan pada urine yang sudah tertampung dalam wadah. Hal itulah yang membuat Hi

  • Ketika Luka Menyapa   9. Menunggu kepulangan Arfan

    Arfan kini sudah siap-siap untuk pulang. Ia menyimpan kembali berkas-berkas yang berserakan ke rak di belakang meja kerjanya. Niatnya Arfan akan langsung menuju rumah sakit untuk menjemput Hilmi sekalian menjenguk adik iparnya.Baru separuh perjalanan, Fika menelpon dan meminta Arfan untuk datang guna menemaninya ke acara pernikahan teman satu profesinya. Akhirnya Arfan memutar haluan menuju kediamannya bersama istri pertamanya."Mas, akhirnya kamu datang. Baru kemaren di tinggal rasanya aku sudah kangen banget," ujar Fika yang memang sudah menunggu Arfan di teras sambil memeluk Arfan dengan erat.Arfan mengecup pucuk kepala Fika dan merangkulnya membawa ke dalam rumah,"Mas juga kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik saja 'kan? Kerjaan kamu lancar?""Aku baik, Mas. Pekerjaanku juga lancar. Bahkan tadi managerku bilang ada yang menawarkan kontrak kerja sama untuk peluncuran produk barunya, dan aku jadi modelnya, t

  • Ketika Luka Menyapa   8. Pengusiran

    "Apa benar kamu menikah dengan seorang pria yang sudah beristri?""Benar kamu jadi orang ketiga demi uang?""Jadi kamu nggak pulang beberapa bulan ini karena kamu sudah hidup enak di atas penderitaan wanita lain?""Kamu membohongi kami dengan mengatakan kerja jadi pembantu, nyatanya kamu jadi duri dalam rumah tangga orang lain!""Ayo jawab! Benarkah kamu jadi pelakor, Mi?"Pertanyaan-pertanyaan itu menghentikan aktifitas Hilmi yang hendak membuka kunci pintu rumah peninggalan orang tuanya yang sudah beberapa bulan ini ia tinggalkan. Dadanya berdentam dengan keras, serta tubuhnya yang gemetar merasakan takut dan syok yang luar biasa. Kenapa mereka menanyakan itu? Dari mana mereka tahu kalau Hilmi jadi istri kedua?"Duh, ibu-ibu, masih tanya lagi soal kebenarannya yang nyatanya sudah terp

  • Ketika Luka Menyapa   7. Terbangun Dari Tidur Panjang

    Hilmi terbangun dari tidurnya, ia ingin segera beranjak, tapi tubuhnya terasa begitu remuk redam. Wajahnya memerah ketika mengingat kejadian tadi malam, di saat baru pertama kalinya dirinya melakukan hubungan badan dengan Arfan. Sungguh Hilmi merasa sangat malu karena Arfan sudah melihat seluruh tubuhnya tanpa terlewat seinci pun."Sudah bangun?"Suara Arfan yang tiba-tiba membuat Hilmi terlonjak kaget, refleks tangannya menarik selimut menutupi tubuhnya yang polos hingga ke leher. Hilmi perlahan menoleh, dan mendapati Arfan yang masih menggunakan handuk sepinggul serta rambut yang masih meneteskan air menatap kearahnya."Ma-mas,""Kenapa merah gitu mukanya?" tanya Arfan menarik turunkan alisnya."Ng-nggak papa,""Apa kamu kepanasan? Kalau kepanasan buka selimutnya bukan malah makin mer

  • Ketika Luka Menyapa   6. Malam Yang ....

    "Mas, jangan lupa kabari kalau sudah sampai di rumah mama," pinta Fika saat dirinya mengantarkan Arfan sampai depan pintu."Iya sayang, kamu hati-hati di rumah ya,"Fika melambaikan tangannya saat mobil Arfan perlahan meninggalkan halaman rumah mereka. Sungguh hatinya sakit di kala harus mengantarkan suami sampai depan pintu untuk pergi ke tempat madunya. Hatinya sungguh tak rela melepas kepergian Arfan untuk menemui Hilmi. Namun, apa boleh buat, ini adalah konsekuensi dari apa yang sudah ia lakukan.Ingin rasanya Fika menyalahkan takdir yang membuatnya menjadi wanita yang tak sempurna. Wanita yang tak bisa melahirkan keturunan untuk suaminya. Namun, apa boleh buat, takdir tetaplah takdir yang tak bisa di ubah maupun di negosiasikan. Dirinya memang seorang wanita karier, dirinya memang seorang model, tapi Fika bukanlah wanita yang gila karier, yang tidak mau di atur dan tidak mau punya anak karena takut tubuhnya rusak. F

  • Ketika Luka Menyapa   5. Keputusan Fika

    "Jadi, gimana? Apakah kau sudah membuat keputusan?" tanya mama Agni menatap Fika yang sudah berhenti menangis.Arfan dan Hilmi sama-sama cemas menanti jawaban dari Fika. Namun, pikiran mereka berbeda. Arfan cemas akan nasib Hilmi selanjutnya jika Fika memintanya menceraikan Hilmi. Arfan pun memikirkan tentang perasaan Hilmi yang seperti di permainkan oleh mereka. Sedangkan Hilmi cemas memikirkan biaya pengobatan adiknya selanjutnya jika Fika memutuskan untuk menceraikan Hilmi dan Arfan. Sekalipun tadi ada rasa putus asa yang begitu dalam di hatinya, dan memilih untuk mengakhiri hidup, tapi Hilmi masih memiliki harapan yang begitu besar akan kesembuhan adiknya. Ia sangat ingin melihat adiknya sembuh dan kembali berjuang mengarungi kehidupan berdua sampai keduanya menemukan kebahagiaan mereka masing-masing."Aku, aku ingin punya anak, tapi bukan anak angkat." jawab Fika lirih."Maksud kamu?" tanya Arfan"Hilmi tetap akan hamil anakmu, Mas, tapi, tunggu aku siap. Aku belum siap lihat kal

  • Ketika Luka Menyapa   4. Pasrah

    "Aku bukan takut untuk marah, Mas. Aku bukan takut untuk melawan kalian. Aku bukan wanita yang akan begitu bersabar ketika tersakiti. Aku bukan wanita yang akan pasrah begitu saja saat di buat terluka. Aku nggak sekuat itu, Mas, tapi, jika aku melawan, jika aku komplain, apakah adikku akan tetap baik-baik saja? Apakah adikku akan tetap dibiayai setelah aku melawan kalian? Apakah adikku akan tetap menjalani pengobatan jika aku membuat kalian marah? Itu yang aku takutkan, Mas. Aku diam saja demi adikku. Hanya dia satu-satunya yang aku punya, Mas. Aku akan lakukan apa saja demi adikku.""Aku tak peduli rasa sakit yang ku dapat dari kalian, asalkan adikku tetap terjamin pengobatannya. Aku nggak apa-apa, Mas. Tak usah merasa bersalah kepada wanita hina ini, wanita yang rela menjual dirinya demi uang, sungguh, aku tak apa. Adikku mendapatkan perawatan yang layak saja aku sudah bersyukur, Mas. Aku tak berharap lebih dari sekedar kesemb

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status