Satu jam berikutnya, Arumi sudah sadar dari pingsannya. Perlahan ia membuka mata dan menatap sekeliling, secara perlahan kesadarannya terkumpul penuh. Kejadian-kejadian sebelum ia pingsan mulai muncul di pikirannya hingga tanpa sadar air matanya kembali mengalir. Sungguh hatinya teramat sakit menyaksikan suaminya mengikrarkan janji suci untuk yang kedua kalinya. Hatinya begitu perih, jiwanya begitu terguncang mendapati kenyataan yang begitu menyakitkan ini.
Disini, di dalam kamar ini, ia hanya hanya seorang diri, tak ada satupun orang yang menemaninya. Lagi dan lagi hal ini membuat air matanya mengalir semakin deras. Ia tersenyum miris.
'Ah,kenapa ini begitu menyakitkan? Tuhan, kuatkah aku menjalani hari-hariku berikutnya!'
Pikirannya kembali melayang pada saat dulu ia pingsan dalam jangka waktu yang lama gara-gara kepergian mamanya di saat usia pernikahannya yang ke empat. Saat itu ketika tersadar ia mendapati Afif berada di sisinya sedang ketiduran sambil menggenggam tangannya. Merasakan ada pergerakan Afif terbangun dan sinar khawatir bercampur bahagia terpancar jelas di wajahnya.
"Sayang, kamu sudah sadar? Apa ada yang sakit? Mau makan atau mau minum? Mas ambilin ya?"
Arumi tersenyum mendapatkan suaminya begitu khawatir kepadanya, kemudian ia berkata "Nggak mas, aku gak mau apa-apa dan nggak apa-apa."
"Ehm, berapa lama aku pingsan, Mas?"
Afif kemudian melihat kearah jam tangannya, dan menghitung berapa lama istrinya itu pingsan.
"Sekitar tiga jam-an."
"Terus mas belum mandi? Ini kayaknya udah sore deh,"
"Nggak sayang, mas mau disini terus nemeni kamu, mas takut kamu kenapa-napa. Mas khawatir banget sama kamu, sayang." Kata Afif kala itu seraya mengelus kepala Arumi dan mencium keningnya.
Alangkah begitu bahagianya dan bersyukur Arumi mendapatkan seorang suami yang sangat mencintai dan menyayanginya. Tapi sekarang.... Ah Arumi menggelengkan kepalanya, ia tersadar dari lamunannya. Ia harus ikhlas jika cinta dan kasih sayang suaminya sudah tidak lagi utuh untuknya.
Ia merasakan tenggorokannya kering, kemudian ia bangun dan hendak meraih segelas air di atas nakas, selesai minum Arumi meletakkan kembali gelas yang sudah kosong itu di atas nakas. Saat ia mendudukkan dirinya di pinggir tempat tidur, pintu kamarnya terbuka dan suaminya muncul seorang diri dari balik pintu. Tak lupa Afif menutup pintu itu rapat-rapat.
"Eh, dek. kamu sudah sadar?" kata Afif sambil duduk di samping Arumi.
Hanya anggukan yang Arumi berikan sebagai jawaban dari pertanyaan suaminya. Bahkan ia tak melihat kearah Afif sedikitpun. Hatinya masih terlalu sakit dengan perlakuan suaminya.
Afif kemudian menaikkan satu kakinya keatas kasur hingga ia kini menghadap Arumi dan Afif juga membalikkan badan Arumi agar menghadap kearahnya juga. Arumi memalingkan wajahnya seiring dengan air mata
"Sayang, coba lihat mas!" kata Afif sambil membingkai wajah Arumi. Arumi menghadap ke Afif tapi tidak dengan matanya.
Dengan lembut Afif menghapus air mata Arumi dan mencium kedua mata milik Arumi. Hal itu bukan membuat Arumi berhenti menangis melainkan isakan-isakan kecil semakin jelas terdengar di telinga Afif, isakan itu terdengar begitu pilu menyayat hati.
"Maaf, mas tadi gak ada saat kamu sadar. Mas tadi masih istirahat agar nanti malam...." Afif menghentikan penjelasannya menyadari itu akan semakin membuat Arumi terluka, ia merutuki mulutnya yang tak bisa dikendalikan itu.
"Maafkan, mas, sayang. Maaf, maaf."
"..."
"Maaf sudah membuat kamu terluka."
Arumi menggelengkan kepalanya tanpa berniat untuk membuka suaranya. Entah pertanda apa itu gelengan, menolak maaf dari Afif atau untuk yang lain? hanya Arumi lah yang tahu betapa sakit dan hancur hatinya saat ini.
"Dek, mas janji mas akan berbuat adil kepada kamu dan Dinda, mas tak akan menelantarkan kamu, mas akan selalu ada saat kamu butuh," penjelasan Afif semakin membuat Arumi terluka. Baru beberapa jam ia berpoligami, di saat Arumi pingsan justru Afif tak ada di sisinya dan dengan santainya suaminya itu mengatakan kalau dia sedang istirahat. Apakah itu yang dikatakan bahwa Afif akan selalu ada untuk dirinya?
"Dek, bicaralah, jangan diam seperti ini, mas mohon bicaralah. Maafkan mas, dek."
"Apa yang harus aku katakan mas?"
"Terserah, sayang. Bicaralah! Keluarkan semua yang ada di hatimu, ungkapkan semua rasa sakitmu kepadaku, kalau perlu pukullah aku jika itu bisa membuatmu tenang!"
Kalau aku mengatakan segala yang berkecamuk di dalam hati ini, apakah semua akan kembali seperti sedia kala? Apakah aku akan kembali menjadi wanitamu satu-satunya? Apakah cinta dan kasih sayangmu itu akan kembali sepenuhnya milikku? Dan apakah kita akan kembali hidup hanya berdua dan seperti nasehatmu dulu bahwa aku harus bersabar menantikan buah hati kita? Apakah akan seperti itu jika aku mengutarakan semua isi hatiku? Jika memang akan kembali seperti sedia kala, maka dengan senang hati akan aku utarakan semua isi hatiku," Semakin jatuh berderai air matanya mengucapkan semua itu. Afif bungkam mendapatkan semua pertanyaan itu, sungguh ia menyadari betapa terlukanya istrinya saat ini.
Kemudian Arumi kembali melanjutkan perkataannya dengan lirih "Tapi itu semua mustahil akan kembali, keadaannya sekarang sudah berbeda, aku bukan lagi satu-satunya prioritasmu, cinta dan kasih sanyangmu tak lagi utuh untukku, dan mungkin kamu akan lebih sering bersamanya demi memenuhi keinginanmu untuk segera mempunyai buah hati. Aku berusaha ikhlas, mas. Tapi, ini begitu sulit untukku, mas." tubuh Arumi semakin terguncang karena menangis.
Afif memeluk tubuh istrinya itu dengan begitu erat, ia ikut meneteskan air matanya, sungguh ia merasa sebagai lelaki terjahat yang telah menciptakan luka sedemikian rupa di hati istrinya. Hanya berulang kali kata maaf yang Afif lontarkan, ia tak bisa menampik semua perkataan istrinya.
"Mas, kenapa sesakit ini, mas? kenapa, kenapa mas?" lirih Arumi
"Dek, maafkan, mas, sayang. Maafkan suamimu yang begitu jahat ini. Maafkan mas yang tak bisa selalu menjaga kebahagiaanmu. Dan maaf, mas tak bisa meninggalkan Dinda. Dek, satu pinta, mas. Belajarlah mengikhlaskan takdir ini, mas harap suatu saat kita akan hidup bahagia bertiga." mereka tetap larut dalam pelukan yang begitu menghangatkan sekaligus menyakitkan bagi Arumi. Ia menyadari tak hanya dirinya yang akan mendapatkan pelukan hangat dari saminya itu, ada Dinda yang juga akan mendapatkan perlakuan serupa dari Afif.
"Mas, aku mau pulang!" seru Arumi kepada suaminya.
"Biar mas antar ya?"
"Nggak usah, mas! sebentar lagi kamu akan mengadakan resepsi, kamu siap-siap gih sana, aku bisa pulang sendiri!"
"Dek, tak bisakah kau tetap disini sampai acara selesai?"
"Mas, kamu sadar dengan pertanyaanmu itu? Apakah aku harus tetap disini menyaksikanmu duduk berdua menebar kebahagiaan di pelaminan bersama adik maduku? Kau mau membuat luka ini semakin menggerogoti hatiku?"
Afif terkesiap mendapat pertanyaan yang lagi lagi membuat hatinya tertohok.
"Dek, bukan itu mak..."
"Sudahlah, mas.! Aku mau pulang, selamat atas pernikahanmu dan selamat malam pertama semoga kamu segera di karunia anak bersama Dinda. Nikmatilah kebahagiaanmu.... diatas lukaku."
Arumi segera berlalu dari hadapan Afif, ia segera keluar dari rumah itu dengan berurai air mata. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, ia tak mau mati mengenaskan akibat sakit hati karena dipoligami. Otak warasnya masih berfungsi agar ia tak melakukan hal yang aneh-aneh. Setibanya di rumah, ia segera masuk ke kamar yang menyimpan sejuta kisah bersam Afif, tubuhnya luruh kelantai dengan tangisan seakan hendak menjerit tapi di tahannya.
'Oh, Tuhan sesulit inikah untuk ikhlas?"
*****
🙏🙏🙏🙏
REVISISemalaman Arumi tak bisa tidur, air matanya tak jua berhenti membasahi wajah Arumi, sehingga matanya sudah tampak bengkak akibat kelamaan menangis. Afif semalam tak pulang ke rumah, Arumi mengerti jika semalam adalah malam pertama mereka dan saat membayangkan semua itu hatinya menjerit, meronta, meraung-raung agar waktu bisa diulang kembali. Bahkan jika mengikuti bisikan setan, Arumi pasti sudah mendatangi rumah mertuanya itu dan mengacaukan semuanya sehingga malam pertama mereka menjadi gagal. Namun hati nuraninya melarang untuk melakukan itu, ia tak mau mertuanya semakin benci kepadanya. Pun juga tak mau menjatuhkan harga dirinya, ia harus berusaha untuk ikhlas walau terkadang keikhlasan itu tampak begitu mustahil di fikirannya.Biasanya setiap pagi dengan begitu semangatnya ia membuatkan sarapan untuk suami tercintanya sebelum suaminya itu berangkat ke kantor, tapi untuk hari ini Arumi merasa tubuhnya begitu lemas, ia enggan untuk beranjak dari tempat tidur w
KETIKA LUKA MENYAPA4. Tinggal seatap dengan maduPagi ini, Arumi memasak ayam kecap kesukaan Afif, suaminya, karena sekarang adalah waktunya Afif untuk pulang kerumah Arumi. Setelah kemaren suaminya itu menghabiskan waktunya bersama adik madunya tersebut. Kini saatnya Afif menghabiskan waktunya bersama Arumi. Setelah hampir sebulan ia harus rela berbagi suami, kini dihatinya ada setitik keikhlasan untuk berbagi suami. Tak ada lagi tetesan air mata yang keluar karena Afif tak disisinya saat malam menjelang.Arumi begitu asyik berkutat dengan alat alat dapur, ia sangat mahir dalam memasak. Ia kini memasak seorang diri, karena dirumah itu tak ada art untuk membantu pekerjaan rumah, sebenarnya Afif sudah mengusulkan agar mereka memasang art, tapi Arumi menolak dengan alasan agar ia tak bosan dirumah. Sebenarnya Arumi memiliki sebuah salon kecantikan. Namun karena permintaan Afif, agar Arumi berdiam saja dirumah, akhirnya Arumi menyerahkan kepengurusan salonnya kepa
KETIKA LUKA MENYAPA5. Sebuah Harapan"Selamat pagi, Nona." sapa para karyawan saat Arumi tiba di salon miliknya.Ia memasuki salon dan senyum cerah terbit di wajahnya dikala melihat betapa banyak pengunjung salon miliknya ini. Semua karyawan tampak sibuk memberikan pelayanan kepada para pengunjung."pagi juga," jawab Arumi sambil memberikan seulas senyum."dimana Maya?" tanya Arumi"Ada di ruangannya, Nona." jawab salah satu karyawan."baiklah, aku masuk dulu,"Arumi berlalu dari hadapan mereka menuju ruangan Maya asisten pribadinya. Saat tida di depan ruangan Asistennya, Arumi langsung saja masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu."Kalau mau mas....... Eh, Nona Arum, ma-maaf saya tidak tahu kalau Nona yang datang," gugup Maya"tak apa, May. Aku kesini cuma mau ngomongin sesuatu,""Ada apa, Nona? tak biasanya Anda datang kemari kecuali untuk perawatan. Oh, apakah anda ingin perawatan, kalau begitu saya
KETIKA LUKA MENYAPA6. Kejamnya TakdirArumi terbangun di pagi hari saat merasakan sakit yang teramat sangat dikepalanya, ia mengerang mencoba menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Saat menoleh kesamping tempat tidur, Arumi tak mendapati Afif ada disana, padahal ini masih sangat pagi, dan malam ini harusnya Afif bersama Arumi. Arumi tersenyum kecut, ternyata suaminya mengibuli dirinya, fikirnya.tes tessetetes dua tetes darah keluar dari hidung Arumi, bersamaan dengan sakit kepala yang semakin menjadi-jadi."ya, Tuhan! Ada apa denganku? arrgh sakit!"Dalam sakit yang kian mendera, satu nama terlintas dipikirannya 'Andra' sahabat sekaligus dokter spesialis penyakit dalam.Arumi berusah mendial nomor Andra, dan syukurlah segera diangkat oleh pemuda itu."halo Ndra," sapa Arumi dengan suara lemah menahan rasa sakit."hei, Ar. Tumben Lo hubungin gue, ada apa?" sahut Andra diseberang sana."gue butuh bantuan L
KETIKA LUKA MENYAPA7. MAMA INADinda yang saat ini sedang memasak menyiapkan makan siang, aktivitasnya terhenti di saat terdengar suara bel pertanda ada tamu. Dinda bergegas keruang tamu untuk membuka pintu, saat pintu di buka ternyata yang datang adalah mama Ina."eh, mama," sapa Dinda sambil mencium tangan mama Ina."kayaknya rumah ini sepi deh, kemana wanita sundal itu?" tanya mama Ina sambil masuk dan menelusuri isi rumah."iya, ma, mbak Arumi sedang pergi ke salon,""terus kamu di tinggal sendirian di rumah ini?""emangnya Dinda mau kemana ma, kalau nggak diam di rumah?""iya juga sih,""eh, ma, Dinda tinggal ke dapur dulu ya, Dinda lagi masak buat makan siang soalnya, ntar kalau udah selesai kita makan siang bersama,""kamu masak sendirian?""iya ma, ya udah aku ke dapur dulu,""iya,""mama istirahat dulu gih,"setelah itu, Dinda melanjutkan masaknya ia memasak ayam Kentucky kesu
Ada perasaan menghangat di hati Arumi saat mendengar cerita dari Dinda, ternyata suaminya terpaksa menikah lagi karena kelicikan sang mertua, tapi bersamaan rasa itu, ada juga rasa sakit yang mendera takut jika suaminya akan mencintai Dinda, cepat atau lambat. Ah, atau mungkin sekarang Afif sudah mulai mencintai madunya ini? sehingga Afif mengajak Dinda tinggal bertiga dengannya."mbak," panggilan menghentikan lamunan Arumi"ah, iya?""apakah kita tidak bisa untuk akur seperti semula?" Tanya Dinda penuh harap."maaf, Din, mbak masih butuh waktu," lirih Arumi"huft, baiklah mbak, aku mengerti,""terimakasih," tak lupa senyuman yang begitu tulus Arumi berikan kepada Dinda."aku ke kebawah dulu, mbak," pamit Dinda yang di jawab anggukan oleh Arumi.selepas
Sebelum mereka keluar, Arumi cepat-cepat turun agar mereka gak tahu kalau Arumi tanpa sengaja mendengar perbincangan mereka. Tak lama setelah Arumi duduk di kursi, keduanya sudah turun dan duduk berseberangan dengannya."kok lama banget?" tanya Arumi pura-pura gak tahu."eh, ehm, ma-maaf mbak,""lah, aku nanya kenapa lama kok malah minta maaf sih,""tadi mas masih minta Dinda buat pasangin dasi, mas,""oh,""maaf, mbak,""gapapa kok, justru bagus dong, agar mas Afif gak selalu bergantung padaku, agar saat aku pergi...ups," Arumi menutup mulutnya saat ia keceplosan mengatakan pergi."apa maksud kamu bicara seperti itu, dek?""ah, nggak mas, maksud aku kalau aku terburu-buru pergi salon, jadinya ada yang gantiin aku ngurus kam
Hari ini adalah hari keberangkatan Afif dan Dinda untuk melakukan bulan madu. Sungguh Arumi sangat iri pada Dinda yang bisa melakukan bulan madu, karena dirinya dulu tak pernah di ajak bulan madu oleh Afif, karena waktu itu, keadaan ekonomi tak seperti sekarang, yang serba kecukupan bahkan berlebihan. Sedangkan kedua orang tua Afif yang memang sudah kaya sejak awal, mereka enggan untuk sekedar membelikan tiket bulan madu untuk Afif dan Arumi.Yah, kedua orang tua Afif memang tak merestui hubungan mereka sejak awal, pernikahan mereka terjadi karena Afif meng iming imingi kedua orang tuanya dengan cucu, Afif berjanji akan segera memberikan kedua orang tuanya seorang cucu. Dengan terpaksa kedua orang tua Afif memberikan mereka izin untuk menikah, dengan syarat mereka harus memberikan seorang cucu dalam waktu satu tahun. Afif dan Arumi sangat bahagia karena restu sudah mereka dapatkan dari kedua orang tua Afif. Pernikahan pun terjadi, dan Afif serta Arumi