Share

1. Sesulit Inikah Untuk Ikhlas?

Satu jam berikutnya, Arumi sudah sadar dari pingsannya. Perlahan ia membuka mata dan menatap sekeliling, secara perlahan kesadarannya terkumpul penuh. Kejadian-kejadian sebelum ia pingsan mulai muncul di pikirannya hingga tanpa sadar air matanya kembali mengalir. Sungguh hatinya teramat sakit menyaksikan suaminya mengikrarkan janji suci untuk yang kedua kalinya. Hatinya begitu perih, jiwanya begitu terguncang mendapati kenyataan yang begitu menyakitkan ini.

Disini, di dalam kamar ini, ia hanya hanya seorang diri, tak ada satupun orang yang menemaninya. Lagi dan lagi hal ini membuat air matanya mengalir semakin deras. Ia tersenyum miris.

'Ah,kenapa ini begitu menyakitkan? Tuhan, kuatkah aku menjalani hari-hariku berikutnya!'

Pikirannya kembali melayang pada saat dulu ia pingsan dalam jangka waktu yang lama gara-gara kepergian mamanya di saat usia pernikahannya yang ke empat. Saat itu ketika tersadar ia mendapati Afif berada di sisinya sedang ketiduran sambil menggenggam tangannya. Merasakan ada pergerakan Afif terbangun dan sinar khawatir bercampur bahagia terpancar jelas di wajahnya.

"Sayang, kamu sudah sadar? Apa ada yang sakit? Mau makan atau mau minum? Mas ambilin ya?"

Arumi tersenyum mendapatkan suaminya begitu khawatir kepadanya, kemudian ia berkata "Nggak mas, aku gak mau apa-apa dan nggak apa-apa."

"Ehm, berapa lama aku pingsan, Mas?"

Afif kemudian melihat kearah jam tangannya, dan menghitung berapa lama istrinya itu pingsan.

"Sekitar tiga jam-an."

"Terus mas belum mandi? Ini kayaknya udah sore deh,"

"Nggak sayang, mas mau disini terus nemeni kamu, mas takut kamu kenapa-napa. Mas khawatir banget sama kamu, sayang." Kata Afif kala itu seraya mengelus kepala Arumi dan mencium keningnya.

Alangkah begitu bahagianya dan bersyukur Arumi mendapatkan seorang suami yang sangat mencintai dan menyayanginya. Tapi sekarang.... Ah Arumi menggelengkan kepalanya, ia tersadar dari lamunannya. Ia harus ikhlas jika cinta dan kasih sayang suaminya sudah tidak lagi utuh untuknya.

Ia merasakan tenggorokannya kering, kemudian ia bangun dan hendak meraih segelas air di atas nakas, selesai minum Arumi meletakkan kembali gelas yang sudah kosong itu di atas nakas. Saat ia mendudukkan dirinya di pinggir tempat tidur, pintu kamarnya terbuka dan suaminya muncul seorang diri dari balik pintu. Tak lupa Afif menutup pintu itu rapat-rapat.

"Eh, dek. kamu sudah sadar?" kata Afif sambil duduk di samping Arumi.

Hanya anggukan yang Arumi berikan sebagai jawaban dari pertanyaan suaminya. Bahkan ia tak melihat kearah Afif sedikitpun. Hatinya masih terlalu sakit dengan perlakuan suaminya.

Afif kemudian menaikkan satu kakinya keatas kasur hingga ia kini menghadap Arumi dan Afif juga membalikkan badan Arumi agar menghadap kearahnya juga. Arumi memalingkan wajahnya seiring dengan air mata

"Sayang, coba lihat mas!" kata Afif sambil membingkai wajah Arumi. Arumi menghadap ke Afif tapi tidak dengan matanya.

Dengan lembut Afif menghapus air mata Arumi dan mencium kedua mata milik Arumi. Hal itu bukan membuat Arumi berhenti menangis melainkan isakan-isakan kecil semakin jelas terdengar di telinga Afif, isakan itu terdengar begitu pilu menyayat hati.

"Maaf, mas tadi gak ada saat kamu sadar. Mas tadi masih istirahat agar nanti malam...." Afif menghentikan penjelasannya menyadari itu akan semakin membuat Arumi terluka, ia merutuki mulutnya yang tak bisa dikendalikan itu.

"Maafkan, mas, sayang. Maaf, maaf."

"..."

"Maaf sudah membuat kamu terluka."

Arumi menggelengkan kepalanya tanpa berniat untuk membuka suaranya. Entah pertanda apa itu gelengan, menolak maaf dari Afif atau untuk yang lain? hanya Arumi lah yang tahu betapa sakit dan hancur hatinya saat ini.

"Dek, mas janji mas akan berbuat adil kepada kamu dan Dinda, mas tak akan menelantarkan kamu, mas  akan selalu ada saat kamu butuh," penjelasan Afif semakin membuat Arumi terluka. Baru beberapa jam ia berpoligami, di saat Arumi pingsan justru Afif tak ada di sisinya dan dengan santainya suaminya itu mengatakan kalau dia sedang istirahat. Apakah itu yang dikatakan bahwa Afif akan selalu ada untuk dirinya?

"Dek, bicaralah, jangan diam seperti ini, mas mohon bicaralah. Maafkan mas, dek."

"Apa yang harus aku katakan mas?"

"Terserah, sayang. Bicaralah! Keluarkan semua yang ada di hatimu, ungkapkan semua rasa sakitmu kepadaku, kalau perlu pukullah aku jika itu bisa membuatmu tenang!"

Kalau aku mengatakan segala yang berkecamuk di dalam hati ini, apakah semua akan kembali seperti sedia kala? Apakah aku akan kembali menjadi wanitamu satu-satunya? Apakah cinta dan kasih sayangmu itu akan kembali sepenuhnya milikku? Dan apakah kita akan kembali hidup hanya berdua dan seperti nasehatmu dulu bahwa aku harus bersabar menantikan buah hati kita? Apakah akan seperti itu jika aku mengutarakan semua isi hatiku? Jika memang akan kembali seperti sedia kala, maka dengan senang hati akan aku utarakan semua isi hatiku," Semakin jatuh berderai air matanya mengucapkan semua itu. Afif bungkam mendapatkan semua pertanyaan itu, sungguh ia menyadari betapa terlukanya istrinya saat ini.

Kemudian Arumi kembali melanjutkan perkataannya dengan lirih "Tapi itu semua mustahil akan kembali, keadaannya sekarang sudah berbeda, aku bukan lagi satu-satunya prioritasmu, cinta dan kasih sanyangmu tak lagi utuh untukku, dan mungkin kamu akan lebih sering bersamanya demi memenuhi keinginanmu untuk segera mempunyai buah hati. Aku berusaha ikhlas, mas. Tapi, ini begitu sulit untukku, mas." tubuh Arumi semakin terguncang karena menangis.

Afif memeluk tubuh istrinya itu dengan begitu erat, ia ikut meneteskan air matanya, sungguh ia merasa sebagai lelaki terjahat yang telah menciptakan luka sedemikian rupa di hati istrinya. Hanya berulang kali kata maaf yang Afif lontarkan, ia tak bisa menampik semua perkataan istrinya.

"Mas, kenapa sesakit ini, mas? kenapa, kenapa mas?" lirih Arumi

"Dek, maafkan, mas, sayang. Maafkan suamimu yang begitu jahat ini. Maafkan mas yang tak bisa selalu menjaga kebahagiaanmu. Dan maaf, mas tak bisa meninggalkan Dinda. Dek, satu pinta, mas. Belajarlah mengikhlaskan takdir ini, mas harap suatu saat kita akan hidup bahagia bertiga." mereka tetap larut dalam pelukan yang begitu menghangatkan sekaligus menyakitkan bagi Arumi.  Ia menyadari tak hanya dirinya yang akan mendapatkan pelukan hangat dari saminya itu, ada Dinda yang juga akan mendapatkan perlakuan serupa dari Afif.

"Mas, aku mau pulang!" seru Arumi kepada suaminya.

"Biar mas antar ya?"

"Nggak usah, mas! sebentar lagi kamu akan mengadakan resepsi, kamu siap-siap gih sana, aku bisa pulang sendiri!"

"Dek, tak bisakah kau tetap disini sampai acara selesai?"

"Mas, kamu sadar dengan pertanyaanmu itu? Apakah aku harus tetap disini menyaksikanmu duduk berdua menebar kebahagiaan di pelaminan bersama adik maduku? Kau mau membuat luka  ini semakin menggerogoti hatiku?"

Afif terkesiap mendapat pertanyaan yang lagi lagi membuat hatinya tertohok.

"Dek, bukan itu mak..."

"Sudahlah, mas.! Aku mau pulang, selamat atas pernikahanmu dan selamat malam pertama semoga kamu segera di karunia anak bersama Dinda. Nikmatilah kebahagiaanmu.... diatas lukaku."

Arumi segera berlalu dari hadapan Afif, ia segera keluar dari rumah itu dengan berurai air mata. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, ia tak mau mati mengenaskan akibat sakit hati karena dipoligami. Otak warasnya masih berfungsi agar ia tak melakukan hal yang aneh-aneh. Setibanya di rumah, ia segera masuk ke kamar yang menyimpan sejuta kisah bersam Afif, tubuhnya luruh kelantai dengan tangisan seakan hendak menjerit tapi di tahannya.

'Oh, Tuhan sesulit inikah untuk ikhlas?"

*****

🙏🙏🙏🙏

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status